KEDUDUKAN HUKUM ANAK DALAM UPAYA DIVERSI TERKAIT TINDAK PIDANA NARKOTIKA
on
KEDUDUKAN HUKUM ANAK DALAM UPAYA DIVERSI TERKAIT TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Tia Monica Sihotang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: tiamonhoran@gmail.com
A.A. Ngurah Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: yudistira.darmadi@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan dari ditulisnya penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana mekanisme diversi yang diterapkan pada Anak ketika Anak terkait dengan tindak pidana narkotika dan juga untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum anak dalam upaya diversi yang terkait dengan tindak pidana narkotika. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini ialah metode penelitian yang mengkaji norma atau biasa disebut penelitian normatif. Pengupayaan Diversi dalam tindak pidana anak adalah jalan yang harus dilalui sebelum menuju ke persidangan yang tentunya memerlukan persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Perlakuan khusus berupa Diversi ini dibentuk untuk melindungi hak-hak Anak yang memang seharusnya didapatkan sebagai anugrah dan amanah dari Tuhan YME serta sebagai generasi penerus bangsa. Anak yang terlibat dalam kasus tindak pidana narkotika tidak dapat dikatakan sebagai pelaku namun sebagai pelaku sekaligus korban, karna sangat tidak mungkin Anak melakukan tindak pidana narkotika tanpa adanya campur tangan orang dewasa. Orang dewasa yang terlibat dalam kasus inilah yang seharusnya mendapatkan sanksi pidana. Mekanisme upaya Diversi sendiri sudah diatur di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012.
Kata Kunci: Kedudukan Hukum Anak, Upaya Diversi, Tindak Pidana Narkotika Anak
ABSTRACT
The purpose of this research is to find out how the mechanism of diversion is applied to children when children are related to narcotics crime and also to find out how the legal position of children in diversion efforts related to narcotics crime. The method used in writing this research is a research method that examines norms or commonly called normative research. Diversification in child crime is a path that must be passed before going to trial which certainly requires the approval of the parties concerned. This special treatment in the form of Diversi was formed to protect the rights of the children that should be obtained as a gift and trust from God and as the next generation of the nation. A child who is involved in a narcotics crime cannot be said to be a perpetrator but as a perpetrator as well as a victim, because it is very unlikely that a child will commit a narcotic crime without the intervention of an adult. The adults involved in this case should get criminal sanctions. The mechanism of Diversity effort itself has been regulated in the Criminal Justice System Law Number 11 of 2012.
Keywords: Legal Status of Children, Diversion Efforts, Child Narcotics Crimes
-
I. PENDAHULUAN
-
1.1. Latar Belakang
-
Anak adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa untuk agama, keluarga, bangsa dan negara.1 Orang tua, masyarakat dan juga negara bersama-sama bertanggung jawab atas perkembangan dan tingkah laku Anak.
Perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum merupakan hak setiap anak.2 Karna itu, hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan hukum sangat penting dilakukan secara profesional. Salah satu fasilitas yang negara berikan terkait perlindungan Anak adalah dengan mengadakan tindakan seperti Diversi sebagai proses utama peradilan. Diversi ialah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses pengadilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses Diversi ini wajib dilakukan sebagaimana diungkapkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak pasal 5 ayat (3) “Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b wajib diupayakan Diversi.” Fungsi dari diversi sendiri adalah untuk kesejahteraan bagi sang Anak.
Jika ditelaah lebih dalam kerap kali kasus-kasus yang terkait dengan tindak pidana narkotika ialah kasus crime without victim atau pelaku tanpa korban maka perlu diteliti lebih dalam apakah anak yang terlibat kasus narkotika merupakan pelaku, korban, atau pelaku sekaligus korban. Sebagai contoh, Anak yang menjadi kurir narkotika misalnya, disini perlu pemahaman lebih lanjut, tidak mungkin bila Anak melakukan tindak pidana narkotika sebagai kurir tanpa adanya pengaruh dan arahan dari orang dewasa maka dari kasus ini dapat di tarik kesimpulan bahwa Anak tidak bisa dikatakan sebagai pelaku namun juga sebagai pelaku sekaligus korban dari pengaruh buruk orang dewasa yang terlibat.
Kedudukan hukum Anak sebagai pelaku sekaligus korban dalam tindak pidana narkotika harus ditindak lanjuti dengan bijak. Pemberian sanksi pidana tanpa memperhatikan kondisi psikis merupakan sebuah ketidakadilan. Maka dari itu upaya Diversi dibentuk sebagai fasilitas perlindungan dari negara kepada Anak yang berkonflik dengan hukum. Mekanisme upaya Diversi juga harus diperhatikan agar upaya ini berjalan dengan sebagaimana mestinya serta menjadi keadilan bagi sang Anak.
Dengan latar belakang yang telah dibuat maka tulisan ini akan membahas tentang Kedudukan Hukum Dalam Upaya Diversi Pada Anak Terkait Tindak Pidana Narkotika untuk diteliti lebih lanjut.
-
1) Bagaimanakah mekanisme diversi terhadap Anak yang terkait dengan tindak pidana narkotika dalam hukum positif Indonesia?
-
2) Bagaimanakah kedudukan hukum ketika Anak terkait dengan tindak pidana narkotika?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu mekanisme diversi pada Anak yang berkonflik dengan hukum terkait dengan tindak pidana narkotika di dalam hukum positif Indonesia dan juga mengetehui kedudukan hukum ketika Anak terkait dengan tindak pidana narkotika sebelum diberikannya sanksi.
Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini yaitu metode penelitian hukum secara normatif, yaitu mengkaji mengenai norma, teori hukum serta merujuk pendekatan perundang-undangan sebagai objek didalam penelitian ini guna menentukan kesesuaian peraturan tertulis yang berlaku.3 Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian Pendekatan Perundang-undangan atau biasa disebut The Statue Approach, yang dilakukan dengan cara telaah masalah dalam UU yang mengatur sebuah kasus. Selain menggunakan jenis penelitian Pendekatan perundang-undangan, digunakan pula Pendekatan Analisis Konsep Hukum atau biasa disebut Analitical And Conseptual Approach yang berarti pendekatan ini akan membantu menguraikan dan menganalisis masalah dalam penulisan.
Sumber yang dipakai dalam penulisan ini berasal dari bahan primer dan juga sumber bahan sekunder. Sumber bahan hukum primer adalah sumber yang mempunyai otoritas yang dapat juga diartikan sebagai hasil kegiatan yang dilakukan pada lembaga berwenang, sedangkan sumber hukum sekunder ialah penjelasan lanjutan dari bahan hukum primer. Bahan hukum yang digunakan adalah beberapa literatur yang berkaitan dengan isi penelitian dan juga jurnal-jurnal yang bersangkutan dengan hukum dan isi penelitian.
Maka dari itu untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, penulisan ini menggunakan teknik deskriptif yang berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum.4
Anak merupakan tunas baru yang berpotensi dan merupakan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.5 Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk Anak yang masih dalam kandungan”. Selain itu pengertian Anak menurut UU No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dijelaskan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Anak juga anugrah dari Sang Pencipta untuk dilindungi hak dan kewajibannya yang didalam jiwa Anak tersebut mengandung martabat serta harkat sebagai seorang insan. Jelas tertulis pula dalam pasal 2 ayat (1) UU No 4 tahun 1979 bahwa “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar”. Pada Tindak pidana, Anak di perlakukan khusus dan berbeda dengan sebagaimana orang dewasa di perlakukan dalam proses pidana. Banyak hal yang menjadi alasan mengapa Anak di berikan keistimewaan dalam hukum, Anak mempunyai kondisi mental dan psikologis yang belum stabil sehingga rentan terpengaruh hal-hal buruk, Anak juga menjadi harapan bangsa dan negara.
Narkotika merupakan hal yang tidak asing lagi di masyarakat Indonesia.6 UU Narkotika juga menjelaskan bahwa tidak hanya pengguna yang termasuk dalam pelaku tindak pidana namun juga yang memproduksi secara langsung dan tidak langsung, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, pengangkut, penyalahgunaan izin obat-obatan terlarang, juga yang menjadi transito merupakan pelaku dalam tindak pidana narkotika.
Seringkali para sindikat peredar narkoba menjadikan Anak-Anak sebagai sasaran empuk untuk di jadikan pelaku. Mulai dari menghasut Anak memakai narkoba sampai memanfaatkan Anak sebagai kurir dalam jaringan narkoba secara langsung maupun tidak langsung. Bukan tanpa alasan pengedar menjadikan Anak sebagai sasaran, Anak mudah sekali terhasut omongan orang dewasa mengingat Anak masih belum bisa sepenuhnya berpikir jernih dan benar-benar membedakan yang baik dan yang buruk, alasan inilah yang memicu para sindikat tertarik untuk memperdaya Anak untuk terlibat dalam tindak pidana narkotika.
Penggunaan sanksi pidana bagi Anak tidak dapat disamakan dengan penggunaan sanksi orang dewasa7. Dalam KUHP sama-sama mengatur penjatuhan sanksi terkait dengan tindak pidana Anak tepatnya pada Pasal 45 sampai Pasal 47. Pada KUHP (Pasal 45) tertulis jelas bahwa hakim berwenang untuk memerintahkan agar yang bersalah dikembalikan kepada orang tua, wali ataupun penanggungjawabnya, tanpa dijatuhkan pidana apa pun, atau juga memerintahkan agar yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dijatuhkan pidana, hal ini dapat diterapkan pada penuntutan pidana terhadap Anak ataupun orang yang belum dewasa karna melakukan suatu perbuatan pidana. Namun jika perbuatan-perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan atau pun suatu pelaggaran berdasarkan pasal-pasal pada ketentuan KUHP (Pasal 45) serta tidak lewat dari 2 tahun sejak diputuskan bersalah akibat kejahatan dan putusannya telah menjadi tetap. Pasal selanjutnya “(1) Jika hakim memerintahakan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau dikemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, Yayasan atau Lembaga amal yang berkedudukan di Indonesiauntuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. (2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 ini ditetapkan UU”. Lalu pada pasal berikutnya lagi dilanjutkan“(1) Jika Hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. (2) Jika perbuatan itu merupakan
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan”.
Sejak tahun 2012 sejak UU khusus tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan pasal-pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sesungguhnya perbedaan antara kedua instrumen hukum tersebut tidak begitu jauh, salah satu perbedaan yang cukup menonjol adalah tentang hukuman mati. UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak bisa menerapkan hukuman mati.
Saat UU Khusus tentang Anak sudah diundangkan lalu muncul polemik baru, instrumen hukum mana yang akan digunakan hakim dalam memecahkan perkara Anak terkait narkotika mengingat UU Khusus Narkotika juga berlaku.
Hakim tidak bisa terbatas pada satu instrumen hukum saja namun juga harus memperhatikan instrumen hukum yang lain. Sebagai contoh ketika Anak yang masih berumur 12 tahun menjadi kurir narkotika Golongan I. Pada UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 111 berbunyi “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000 (delapan miliar rupiah)”. Disisi lain jika melihat pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasalnya yang ke-69 ayat (2) yang berbunyi “Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan”. Merujuk pada pasal tersebut di ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak dimana dikatakan “Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam UU ini”, artinya segala tindak kriminal yang dilakukan Anak harus tetap menjadikan UU Sistem Peradilan Pidana Anak ini sebagai dasar dijatuhkannya sanksi. Segala bentuk aturan penjatuhan pidana pada Anak telah diatur dari Pasal 71 sampai Pasal 81 UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Maka dasar hukum yang hakim gunakan di kasus ini adalah UU Narkotika Pasal 115 jo UU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 69. Karena itu bisa disimpulkan dengan contoh kasus ini Anak berumur 12 tahun yang menjadi kurir narkoba golongan I tidak dapat dikenai sanksi penjara namun hanya berupa sanksi tindakan saja.
Berbeda dengan contoh kasus dimana Anak yang sudah mencapai umur lebih dari 14 tahun misalnya berkonflik dengan narkoba. Pada Pasal 79 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa “Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa” Saat Anak terkait kasus narkotika dan diancam dengan pasal 115 UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika misalnya, disana tertulis “Setiap orang yang tanpa haka tau melawan hukum membawa,mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) …” yang artinya ½ dari ancaman 12 tahun adalah 6 tahun, masih belum melanggar UU Sistem Peradilan Pidana Anak pada pasalnya yang ke-7. Pada kasus seperti ini diversi masih bisa diupayakan.
Lain jika Anak terkait kasus narkotika dan diancam UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika khusunya di Pasal 116 yang mana tertulis “Setiap orang yang tanpa haka tau melawan hukum meggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima( tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunkan orang lain sebagaimana dimaksud ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”, maka hukuman maksimum pidana Anak 10 tahun ( ½ dari 20). Artinya Diversi dalam kasus seperti ini sudah tidak dapat lagi diupayakan karna sudah bertentangan dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak dalam pasal ke 7 dimana dalam ayat (2) dinyatakan “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: (a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun; dan (b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Upaya Diversi ini bertujuan untuk mencapai perdamaian korban dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, penghindaran perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat agar berpartisipasi mengawasi serta bertanggung jawab pada Anak Diversi berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya.8 Sangat dikhawatirkan Anak-anak yang berkonflik dengan hukum akan dilabel buruk dari masyarakat, juga dikhawatirkan tumbuh kembang Anak secara psikologis akan berdampak buruk. “Oleh karena itu Undang-Undang Peradilan Anak mewajibkan penegak hukum yang menangani perkara anak sebelum melalui proses peradilan harus mengutamakan penyelesaian perkara anak dengan menggunakan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.”9 .
Sesuai dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak pada Bab III tentang Diversi telah diuraikan dengan jelas proses berjalannya Diversi. Proses Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri dengan melibatkan kedua belah pihak yang terlibat (beserta wali/orang tua), pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keadilan restoratif atau restorative justice merupakan penyelesaian perkara dengan melibatkan para pihak untuk mengembalikan keadaan seperti semula tanpa adanya maksud pembalasan dengan mencari jalan penyelesaian yang adil.. Ciri khas dari keadilan restoratif adalah pemulihan kembali seperti keadaan semula. Menjauhkan pelaku dari proses persidangan dan mendudukan korban pada titik sentral merupakan ciri khas selanjutnya. Fokus utama peradilan restoratif untuk membangun secara positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama.10 Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya.11
Kesepakatan kedua belah pihak sangat dibutuhkan seperti yang tertulis pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak (Pasal 9), kecuali: tindak pelanggaran, pidana ringan, pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat. Diversi mencapai kesepakatan mengakibatkan proses penyidikan dapat dihentikan, selanjutnya penyidik menyerahkan berita acara dan hasil kesepakatan diversi ke Pengadilan Negeri untuk dikeluarkan penetapan.12
Dalam hal upaya Diversi ini berhasil maka akan ditetapkan hasil penetapan keberhasilan Diversi. Biasanya proses musyawarah atau Diversi ini dilakukan paling lama tiga puluh hari dari dimulainya Diversi. Setelah dinyatakan proses Diversi berhasil maka Penyidik menyampaikan berita acara beserta kesepakatan Diversi kepada Pengadilan Negeri namun, jika ternyata proses Diversi ini gagal maka Penyidik diwajibkan untuk melanjutkan proses ke persidangan dengan melaporkannya kepada pejabat yang bertanggungjawab.
Kesepakatan Diversi dapat berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam Pendidikan atau pelatihan di Lembaga Pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat. Pengawasan di dalam proses ini dan pelaksanaan pada kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab disetiap tingkat pemeriksaan.
Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbing, dan pengawasan. Dalam hal Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab untuk ditindak lanjuti dan di arahkan pada persidangan.
Keberadaan pendekatan Keadilan Restoratif tentunya akan memiliki keterkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh anak sebagai korban.13 Keadilan restoratif berupa Diversi yang diberikan negara dalam rangka melindungi Anak bangsa tidak lepas juga peran dari orang tua serta masyarakat agar nantinya dapat menekan tindak pidana yang dilakukan anak. Seperti yang dijelaskan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Pasal 93) bahwa masyarakat juga mempunyai peran yang tidak kalah krusial dalam melindungi Anak.
Tindak pidana narkotika yang umunya bersifat crime without victim atau tindak pidana tanpa korban ini membuat Anak yang berbuat perbuatan pidana narkotika kurang tepat disebut sebagai pelaku, namun juga korban karena memang jika di teliti lebih lanjut pelaku dan korban tindak pidana tersebut adalah satu subjek hukum yang
sama. Anak disebut sebagai korban adalah karena dia mengalami derita, atau kerugian mental, fisik, atau sosial oleh sebab orang lain yang melakukan kekerasan pada anak.14
Pelaku sesungguhnya dalam kasus seperti ini adalah orang dewasa yang secara sengaja atau tidak sengaja menjerumuskan Anak ke dalam tindak pidana narkotika. Perlu juga di ingat bahwa Anak Korban tetap mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, seperti mendapat bantuan baik secara fisik dan psikologis, mendapat bantuan penyelesaian masalah, mendapat pembinaan dan rehabilitas, mendapat upaya hukum, dan lainnya. Perlindungan hukum bagi anak juga sudah diatur di dalam UU Dasar Negara 1945 pada Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.15
Merujuk ke dalam UU Narkotika No 35 Tahun 2009 maka Anak yang melakukan tindak pidana narkotika adalah pelaku, mengingat Anak merupakan subjek hukum dalam hukum positif Indonesia. Mencermati fakta bahwa Anak adalah generasi penerus bangsa yang mana anak sebisa mungkin dihindarkan dari proses peradilan melainkan harus menadapat perlindungan hukum maka sangat tidak adil rasanya jika status anak ditetapkan murni sebagai pelaku tetapi seharusnya sebagai pelaku sekaligus korban.
-
1. Mekanisme Diversi terhadap Anak sudah diatur secara jelas di dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2011. Diversi dapat dilaksanakan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dan dilakukan dengan melalui musyawarah, dengan catatan kedua belah pihak harus setuju untuk menjalankan upaya ini. Hasil kesepakatan yang diperoleh dari musyawarah tersebut akan dituangkan kedalam hasil kesepakatan Diversi dan akan dibuat penetapan penghentian penuntutan bila berhasil. Dalam hal Diversi tidak menghasilkan kesepakatan maka laporan hasil Diversi akan ditindaklanjuti dan proses persidangan akan dilanjutkan.
-
2. Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana tanpa korban, dengan kata lain pelaku dari tindak pidana ialah korban itu sendiri. Anak sebagai generasi penerus bangsa harus diberi perlindungan, maka ketika Anak terkait kasus tindak pidana narkotika Anak yang berkedudukan sebagai pelaku sekaligus korban harus diberikan perlindungan dari negara serta masyarakat mengingat Anak adalah generasi penerus bangsa dan negara, salah satu caranya adalah melalui upaya Diversi.
-
1. Perlunya peninjauan kembali tentang peraturan yang mengatur hanya anak dengan ancaman dibawah 7 tahun yang dapat di upayakan Diversi, hal ini merupakan diskriminasi terhadap Anak.
-
2. Masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa ketika Anak sudah melakukan tindak pidana tidak peduli bagaimanapun proses dan hasil akhirnya tetap saja melabeli Anak tersebut sebagai Anak nakal, walaupun Anak tersebut sudah melalui proses Diversi. Perlu adanya pendefenisian ulang kata Anak nakal dalam stereotip masyarakat sehingga masyarakat tidak mudah menstigma negatif Anak dalam kasus Anak yang terlibat dengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adi, Koesno, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak (Malang,Setara Press, 2015).
Djamil, Nasir, M, Anak Bukan Untuk Dihukum (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2013).
Pasek, Made, Metode Penelitian Hukum Normatif (Jakarta, Prenada Media Grup, 2017).
HASIL PENELITIAN DAN JURNAL
Anak Agung Sagung Istri Febriyanti, “Pertanggungjawaban Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 08, No.06 (2019)
Desak Made Ayu Puspita Dewi, “Hak-Hak Anak Sebagai Korban Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Dikaitkan Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif”, Jurnal Kertha Wicara, Vol.07/No.03 (2018)
Gede Nyoman Gigih Anggara, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan”, Jurnal Kertha Acara, Vol.07, No.05 (2018)
Ida Ayu Tri Astuti Purwasari, “Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Melalui Upaya Diversi”, Jurnal Kertha Wicara, Vol, 07, No.03 (2018)
Jeremia Reynovan, “Efektifitas Penerapan Diversi Sebagai Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”, Jurnal Kertha Wicara, Vol.07, No.04 (2018)
Luh Komang Ary Widianthi, “Tinjauan Yuridis Tentang Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perkosaan”, Jurnal Kertha Wicara, Vol.05, No.05 (2016)
Nengah Antara Putra, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Sistem Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas IIB Karangasem”), Jurnal Kertha Wicara, Vol.05, No.06 (2016)
Nyoman Arya Wira Temaja, “Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Anak”, Jurnal Kertha Wicara, Vol.07, No.04 (2018)
Nyoman Krisna Yudha, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Kertha Wicara, Vol.08, No.06 (2019)
Putu Sarastika Kismadewi, “Pertanggungjawaban Pidana Orang tua Yang Menelantarkan Anaknya Ditinjau Dari UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak,” Jurnal Kertha Wicara, Vol.06, No.05 (2017)
Satya Gita Adhyakasa, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengemudi Transportasi Online Sebagai Kurir Narkoba”, Jurnal Kertha Wicara, Vol.08, No.04 (2019)
Siti Zaenab, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN.Dps),” Jurnal Universitas Narotama Surabaya (2016)
INSTRUMEN INTERNASIONAL/PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332)
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahin 1999 Nomor 165, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143)
Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 6 Tahun 2020, hlm. 1-10.
Discussion and feedback