PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

I Putu Gede Titan Bismantara, email : titanbismantara@gmail.com, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

I Dewa Gede Dana Sugama, email : dewasugama@ymail.com, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

ABSTRAK

Keterlibatan anak didalam kasus pidana di Indonesia pada dewasa ini menunjukkan perkembangan yang sangat mengkhawatirkan. Semakin banyak anak di Indonesia yang bersinggungan dengan hukum menunjukkan adanya perubahan dari diri seorang anak yang timbul karena berbagai faktor. Berbagai bentuk regulasi baik itu yang bersifat formil maupun materil sudah tersedia di Indonesia, namun perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini menekankan bahwa penyelesaian tindak pidana anak tidak dapat dipersamakan dengan penyelesaian dengan orang dewasa. Maka dari itu jurnal ilmiah ini secara khusus membahas mengenai apa saja bentuk perlindungan hukum yang diberikan jika seorang anak melakukan tindak pidana dalam perpektif hukum yang berlaku di Indonesia. Selain itu pada jurnal ini juga memuat pembahasan mengenai bagaimana mekanisme dan akibat hukum jika kesepakatan diversi yang sebelumnya sudah memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak tidak dilaksanakan sesuai dengan isi dari kesepakatan untuk menghindari ketidakpastian hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan untuk mengetahui bagaimana akibat hukum jika kesepakatan diversi tidak dilaksanakan oleh para pihak. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukka bahwa peraturan perundang-undangan harus memberikan kepastian hukum jika kesepakatan diversi tidak dilakukan oleh masing masing pihak.

Kata kunci : Perlindungan Anak, Diversi, Tindak Pidana

ABSTRACT

Indonesia’s children involvement on criminal cases have showed apprehensive progress. Increasing number of children’s action pertaining to lawsuit indicates the alteration of children’s behavior caused by numerous factors. There are several statutory law has been provided in Indonesia including material law as well as procedural law. Yet, knowledge sophistication of law emphasizes children’s criminal dispute resolution is unable to be equalized to the adult ones. Therefore, the research particularly examine legal protection to children’s criminal cases according to Indonesia’s legal system perspective. Moreover, this research elaborates legal mechanism and consequences of accepted diversion agreement frustration. The research aims to acknowledge legal protection to children’s criminal conduct as well as legal consequences to accepted diversion agreement frustration by the parties. The research uses normative legal research within statutory approach. The result of this study indicate the regulation must provide legal certainty if devertion process is not implemented by the parties.

Keywords : Children’s Legal Protection, Diversion, Criminal Offense.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia menjamin hak anak sebagai warga negara untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terhindar dari diskrimiinasi. Secara eksplisit didalam konstitusi negara memberikan perlindungan

terhadap anak walaupun melakukan tindak pidana1. Apabila dipandang dari sisi filosofis, anak menjadi aset genereasi penerus dimana masa depan dari bangsa ini berada ditangan mereka maka dari itu peran negara sangatlah penting.2 Didalam proses petumbuhan anak menuju dewasa sangat diperlukan pendidikan dan pendampingan guna memberikan dampak positif bagi tumbuh kembang mental seorang anak. Perlunya memberikan pendidikan dan pendampingan ini karena anak dalam keadaan psikologis yang masih labil sehingga belum bisa membedakan antara perbuatan baik dan buruk. Dalam kenyataannya sering sekali kita mendengar terjadi kasus-kasus hukum yang melibatkan anak didalamnya. Penegakan hukum yang dilakukan kepada anak tentunya tidak diperbolehkan menerapkan sistem peradilan pidana seperti orang dewasa, dikarenakan seorang anak sedang berada dalam proses perkembangan secara fisik maupun psikis serta memiliki harapan hidup dan masa depan cukup panjang. Selain itu dalam sudut pandang hukum walaupun seorang anak dapat digolongkan sebagai subjek hukum tetapi karena usianya dianggap belum cakap hukum sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Selain itu seorang anak sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa memiliki martabat dan harkat yang mutlak untuk dihormati hak-haknya sebagai manusia3

Perlu kita cermati sebagai fakta bahwa tidak semua anak dapat penghidupan yang normal, sehingga sebagian dari anak tersebut melakukan kenakalan dan akhirnya bersebrangan dengan hukum 4. Ketika anak terlibat masalah hukum perlu kita lihat bahwa unsur-unsur yang mendorong anak tersebut melanggar ketentuan hukum, sehingga sesuai dengan tujuan peradilan anak pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang memiliki tujuan untuk mencapai keadilan restoratif yakni penyelesaian sengketa yang didalam proses penyelesaiannya menekankan pada pemulihan kejadian seperti sebelum terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut. dalam keadilan restoratif dimaknai sebagai proses pencarian penyelesaian malah diperlukan itikad baik dari kroban,pelaku,orang tua maupun tokoh masyarakat dalam proses perbaikan dan rekonsiliasi5. Perlindungan anak di hadapan hukum memiliki tingkat minimal yang sama terhadap perlindungan yang didapat oleh orang dewasa karena dalam sistem hukum Indonesia menganut prinsip equality before the law.6 Tujuan akhir dari pemidanaan anak bukan untuk menghukum anak melainkan untuk dibina dan pada akhirnya anak dapat tumbuh dan dapat diterima di lingkungan sosialnya.

Dengan tidak menitikberatkan pada sistem pidana yang sifatnya menghukum, maka pada undang-undang sistem peradilan anak diberikan alternatif dalam menyelesaikan sengketa dengan cara diversi. Adanya diversi ini diharapkan dapat menyelesaikan kasus terhadap seorang anak yang melanggar ketentuan hukum dapat berakhir degan cara-cara yamg baik tanpa harus melalui pengadilan yang

dikhawatirkan berpengaruh terhadap situasi psikologis anak kedepan. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak kerap terlibat dalam berbagai pelanggaran hukum yang terjadi. Perbuatan jahat yang tertanam pada diri anik timbul karena pengaruh perkembangan teknologi yang disalahgunakan dan tanpa pengawasan, gambar serta film dimana akan membuat anak memiliki keinginan dan berkehendak untuk melakukan perbuatan jahat kepada seseorang atau anak lainnya7. Oleh karenanya pengawasan orang tua terhadap anak sangat diperlukan untuk menghindari hal-hal buruk yang berpengaruh terhadap anak. Melalui pengawasan ini maka orang tua sebagai keluarga terdekat anak dapat mengontrol aktivitas yang dilakukan oleh anak dan memberikan edukasi terhadap setiap tindakan-tindakan dalam kehidupan sosial.

Tujuan dari penelitian ini untuk memberikan informasi tentang bagaimana bentuk perlindungan hukum yang didapat bagi anak yang sedang terlibat didalam tindak pidana sekaligus hak-hak yang wajib didapatkan ketika seorang anak menjalani proses sistem peradilan anak sesuai dengan apa yang diatur didalam undang-undang. Selain itu mengetahui kepastian hukum jika hasil kesepakatan diversi yang sudah ditetapkan oleh ketua pegadilan negeri tidak dilaksanakan oleh masing masing pihak. Tidak dapat dipungkiri bahwa didalam pelaksanaan di masyarakat mengenai pelaksanaan diversi ini akan terkendala hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dari itu didalam jurnal ini akan menjelaskan hal tersebut untuk menghindari ketidakpastian hukum.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak yang terlibat didalam tindak pidana ?

  • 2.    Bagaimana akibat hukum jika hasil diversi yang sudah mendapatkan penetapan oleh ketua pengadilan negeri tidak dilaksanakan oleh masing masing pihak ?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk memberikan informasi tentang bagaimana bentuk perlindungan hukum yang didapat bagi anak yang sedang terlibat didalam tindak pidana sekaligus hak-hak yang wajib didapatkan ketika seorang anak menjalani proses sistem peradilan anak sesuai dengan apa yang diatur didalam undang-undang. Selain itu mengetahui kepastian hukum jika hasil kesepakatan diversi yang sudah ditetapkan oleh ketua pegadilan negeri tidak dilaksanakan oleh masing masing pihak. Tidak dapat dipungkiri bahwa didalam pelaksanaan di masyarakat mengenai pelaksanaan diversi ini akan terkendala hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dari itu didalam jurnal ini akan menjelaskan hal tersebut untuk menghindari ketidakpastian hukum. Jurnal ini lebih menekankan pada perlunya kepastian hukum terhadap hasil diversi dengan menguraikan proses musyawarah dalam mencapai kesepakatan diversi jika para pihak tidak menjalankan isi dalam kesepakatan diversi tersbut.

  • II.    Metode Penelitian

Didalam penulisan jurnal ilmiah ini tentunya menggunakan berbagai metode-metode penelitian sebagai acuan baku. Metode yang digunakan merupakan metode

penelitian kepustakaan atau sering dikenal dengan metode penelitian normatif yang memang dikenal didalam kajian-kajian ilmu hukum. Pendekatan dengan peraturan perundang undangan (statute approach) yakni menelaah peraturan yang terkait dengan pokok bahasan,menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) yakni dengan merujuk konsep,pendapat dan pandangan ahli (doktrin) ilmu hukum. Pengumpulan bahan dengan metode studi pustaka melalui buku-buku,jurnal ilmiah dan literatur lain yang terkait dengan bahasan serta dalam pengolahan bahan tersebut menggunakan metode deskripsi dengan melihan fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Peraturan perundang-undagan yang digunakan sebagai bahan hukum primer yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 tahun. Kemudian bahan hukum skunder meliputi buku-buku dan journal yang relevan dengan rumusan masalah serta bahan hukum tersier yang merupakan penjelasan mengenai bahan hukum sebelumnya sebagai penunjang penulisan jurnal ilmiah ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Sedang Terlibat Tindak Pidana

Sistem hukum positiif di Indonesia memuat mekanisme khusus yang berlaku apabila terjadinya suatu tindak pidana diakibatkan oleh anak yang dikategorikan dibawah umur oleh undang-undang. Undang-Undang peradilan anak pada pasal 1 angka 3 menentukan bahwa kategori anak dibawah umur yakni anak yang telah berumur 12 tahun dan belum berumur 18 tahun. Anak yang terbukti melanggar ketentuan pidana dianggap sebagai sesorang yang belum cakap hukum dan matang dalam melakukan perbuatan hukum.8 Ada banyak perbedaan yang dapat ditemukan didalam sistem peradilan pidana anak. Sistem peradilan yang melibatkan anak sebagai pelaku diselenggarakan secara sistematis, dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam persidangan dan pemasyarakatan. Berbeda haknya dibandingkan dengan sistem peradilan yang diperuntukkan terhadap orang dewasa. Sistem pidana anak diatur didalam UU No. 11 Tahun 2012 mengklasifikasikan tindakan menyimpang yang dilakukan oleh anak menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu anak dalam situasi berkonflik dengan hukum, sebagai korban tindak pidana, dan sebagai saksi dalam suatu peristiwa pidana. Sehingga sistem peradilan yang diterapkan pun berbeda antara ketiga golongan tersebut. Tujuan dibedakannya sistem peradilan pidana anak dengan orang dewasa karena anak sebagai pelaku tindak pidana masih dalam keadaan psikologis yang labil dan belum cakap untuk membedakan tindakan yang melanggar ketentuan pidana sehingga anak tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara penuh.

Selama beberapa dekade, regulasi yang menyangkut peradilan terhadap anak mengalami perubahan substansial seiring dengan dinamika perkembangan ilmu hukum yang ada. Sebelum berlakunya undang-udang tentang SPPA di Indonesia pedoman yang digunakan dalam melaksanakan peradilan terhadap anak menggunakan UU No. 3 Tahun 1997. Jika kita membandingkan pengaturan mengenai

sistem peradilan anak yang dikeluarkan terlebih dahulu dengan yang terbaru, terdapat beberapa perbedaan yang mendasar. Misalnya seperti penggolongan umur anak yang dikategorikan sebagai anak didalam peraturan terdahulu adalah rentang umur 8 tahun sampai 18 tahun. Sedangkan didalam regulasi terbaru rentang umur anak yang ditentukan adalah antara 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Selain itu yang sangat mencolok kita dapat temukan adalah mengenai diversi. Didalam peraturan anak terdahulu belum mengenal mengenai istilah diversi pada sistem peradilan terhadap anak, namun pada regulasi terbaru sudah mulai dimasukkan ketentuan tentang kewajiban pelaksanaan diversi pada kategori tindak pidana tertentu.

Pengaturan dalam sistem peradilan anak menitikberatkan pada perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Irwanto berpendapat ada 4 (empat) prinsip yang mencerminkan perlindungan terhadap anak yakni : (a). adanya campur tangan Negara didalam perlindungan anak karena anak tidak dapat mendapatkannya sendiri, (b). segala keputusan mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak, (c). perlindungan anak dilakukan sejak dini, (d). perlindungan anak harus mendapat dukungan dan sumbangan dari berbagai sektor dan masyarakat.

Pada regulasi terbaru, terdapat berbagai asas-asas atau prinsip hukum yang diatur diluar dari ketentuan asas hukum pada umumnya, dikarenakan regulasi tentang SPPA ini dikategorikan sebagai regulasi khusus atau “lex specialis” yang mengenyampingkan berbagai regulasi umum atau “lex generalis” lainnya. Sesuai dengan berbagai asas-asas yang disebutkan didalam regulasi Sistem Pidana Anak ini maka dapat kita lihat adanya diferensiasi penerapan hukum yang berbanding terbalik dengan penerapan hukum pidana terhadap pelaku yang sudah dewasa. Perlindungan hukum terhadap anak merupakan proses dan hasil dari pengembangan kebenaran,kesejahteraan serta keadilan terhadap anak dengan dasar filosofis dari pancasila kemudian diatur secara teknis didalam peraturan hukum dibawahnya.9

Perlindungan hukum yang dijamin oleh undang-undang sistem peradilan anak adalah dengan memberikan opsi perdamaian terhadap korban dan pelaku mengingat peraturan hukum tentang peradilan terhadap anak menganut sistem pemulihan pelaku maupun korban pidana secara restorative of justice. Munculnya keadilan retoratif ini diilhami oleh pandangan bahwa belum terpenuhinya rasa keadalian terhadap korban sehingga menitikberatkan terhadap pemulihan seperti keadaan semula sama seperti ketika belum terjadinya tindak pidana namun ada berbagai kondisi yang harus dipenuhi agar metode diversi mampu dilaksanakan.10 Dalam pasal 7 undang-undang sistem peradilan anak menjelaskan syarat suatu perbuatan pidana yang mampu dituntaskan dengan metode diversi. Perbuatan pidana haruslah diancam dengan pertanggungjawaban pidana penjara tidak lebih dari 7 tahun serta tidak termasuk sebagai perbuatan yang tergolong dalam pengulangan pidana (residif). Metode diversi ini digolongkan sebagai bentuk implementasi “restorative of justice” bagi seorang anak yang terbukti telah melakukan perbuatan pidana. Dipenuhinya prasyarat diversi tersebut maka penegak hukum yang menangani kasus pidana anak wajib menyarankan diversi bagi kedua belah pihak.

Diluar itu, dalam berbagai kasus hukum yang melibatkan anak, proses sistem peradilan pidananya berhak didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan untuk

memantau perkembangan dari psikologis anak. Dengan adanya pembimbing kemasyarakatan ini merupakan wujud perlindungan yang diberikan oleh negara kepada anak yang sedang menjanlani proses hukum. Tujuan lainnya, dari adanya pemimbing kemasyarakatan ini ditujukan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan bagi anak sehingga diharapkan praktik peradilan ini berjalan sesuai koridor hukum dan tidak menyimpang dari berbagai asas-asas yang diatur didalam undang-undag mengenai sistem peradilan anak.

Didalam proses peradilan anak diusahakan agar terciptanya kondisi-kondisi yang tidak mengakibatkan beban psikologis terhadap anak meskipun dalam hal ini anak berposisi sebagai “dader” atau pelaku kejahatan. Maka dari itu peraturan yang mengatur mengenai proses peradilan terhadap anak memberikan kewenangan penuh terhadap balai pemasyarakatan yang kemudian disebut dengan Bapas sebagai salah satu instrument hukum yang mendukung berjalannya sistem peradilan pidana anak. Bapass sebagai lembaga penyelenggara yang memiliki kewenangan supevisi dan pendampingann terhadap perkara pidama yang melibatkan anak. Lembaga bapas berkewajiban memberikan arahan dan bimbingan terhadap anak yang terlibat dengan kasus hukum sekaligus menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemidanaan anak agar sesuai dengan aturan yuridis yang berlaku demi kepentingan anak tersebut.

Sesuai dengan perintah hukum positif, anak telah dinyatakan bersalah didalam pengadilan juga diberikan untuk menjalani masa pemidanaannya, namun pola sistem pemidanaan anak ini tidak dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan atau (LP) seperti pertanggungjawaban pidana biasa yang dijalani oleh orang yang sudah cakap hukum. Maka daripada itu didalam regulasi secara yuridis formal, ditentukan bahwa lembaga yang berwenang untuk menjalankan masa pemidanaan anak adalah Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Didalam LPKA, para narapidana (anak) akan diberikan pendidikan,pelatihan serta keterampilan selama proses pemidanaan dilaksanakan. Penyelenggaraan pemidanaan anak di LPKA ini diawasi oleh Bapas sebagai pembimbing kemasyarakatan.

  • 3.2.    Akibat Hukum Jika Hasil Kemufakatan Diversi Yang Sudah Mendapatkan Penetapan Dari Ketua Pengadilan Negeri Tidak Dilaksanakan Oleh Masing-Masing Pihak

Diversi sebagai penyelesaian perkara anak dengan metode diluar pengadilan pidana merupakan hasil dari perkembangan ilmu hukum dewasa ini. Penyelenggaraan diversi ini merupakan pembaharuan dari hukum pidana yang sebagai pengakuan terhadap hak-hak anak.11 konsep ini didasari atas kenyataan bahwa hukuman pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Dalam pelaksanaannya diversi dapat dilakukan berdasarkan diskresi dari penegak hukum.12 Teori hukum yang dikemukakan oleh Van Bemmelen hukuman pidana bersifat Ultimun Remedium yang artinya sebagai obat terakhir maka dari itu metode diversi adalah salah satu cara untuk

menghindari penjatuhan hukum pidana kepada anak.13 Dengan begitu penjatuhan pada perbuatan anak yang melanggar ketentuan hukum hendaknya diminimalisir atau dengan kata lain sebagai obat terakhir.14 Diversi merupakan tindakan yang paling awal dilakukan oleh penegak hukum didalam proses penyelesaian permasalahan.15 Dalam hal ini sistem peradilan yang dijalankan memberikan paradigma bahwasannya anak tersebut telah melakukan kejahatan, karenanya akan lebih efisien apabila diselesaikan diluar dari sistem peradilan pidana secara yuridis formal.16 Berdasarkan konsep tersebut maka di Indonesia diperkenalkanlah sistem diversi sebagai alternatif untuk penyelesaian sengketa pidana anak.

Secara harfiah, diversi yang berbentuk sebagai kemufakatan antara pihak pelaku dan korban yang didalamnya memuat poin-poin yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah tertuang didalam kesepakatan diversi tersebut. Namun pada kenyataannya tidak menutup kemungkinan juga bahwa kesepakatan diversi tidak dijalankan oleh para pihak sehingga ada yang dirugikan lagi akibat tidak dijalankannya kesepakatan tersebut. Sehingga untuk menghindari tidak dijalankanya kesepakatan tersebut memerlukan pengaturan hukum untuk melindunginya. Pada dasarnya keterlibatan lembaga yang telah diatur didalam peraturan perundang-undangan sangat penting seperti halnya Bapas dan LPKA akan tetapi keterlibatan keluarga dan orang-orang terdekat bagi anak juga sangat berpengaruh akan keberhasilan dari metode diversi misalnya seperti orangtua korban,guru di sekolah,guru di ruanglingkup keagamaan atau pemuka agama. 17

Proses diversi saat ini sudah diusahakan diberbagai tingkat sistem peradilan pidana anak.18 Ada beberapa dasar hukum mengenai diversi di Indonesia diantaranya adalah UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan diversi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014. Berdasarkan substansi Peraturan Pemerintah diatas, kesepakatan diversi yang telah terwujud tersebut dituangkan didalam surat kesepakatan diversi. Surat kesepakatan diversi ini diwajibkan untuk ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sesuai dengan yurisdiksi pengadilan yang berhak mengadili perkara pidana tersebut. kesepakatan diversi dapat berupa gantii kerugian korban, rehabilitasi medis, penyerahan kembali kepada orang tua, keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS dan pelayanan masyarakat selama tiga bulan.

Peraturan pemerintah mengenai pedoman pelaksanaan diversi diatur mengenai perihal yang berkaitan dengan pelaksanann diversi termasuk jika mufakat dalam

diversi tersebut tidak dilaksanakan. Diversi dikatakan tidak berhasil ketika tidak menghasilkan kesepakatan dan hasil dari kesepakatan diversi itu sendiri tidak dilaksanakan. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 10 PP pedoman pelaksanaan diversi. Tenggang waktu dalam melaksanakan proses diversi diatur selama 30 hari sejak diversi tersebut dimulai sampai dengan menghasilkan kesepakatan didalamnya. Proses diversi yang dimaksud adalah dengan melakukan musyawarah yang melibatkan pihak-pihak yang dianggap mampu memberikan solusi terhadap suatu permasalahan yang terjadi. Dalam penyelenggaraan diversi ini dilakukan oleh penyidik yang dapat melibatkan guru,tokoh agama,tokoh masyarakat advokat atau pendamping untuk bantuan hukum. Dalam jangka waktu tigapuluh hari ini akan dilakukan musyawarah untuk mencapai kepetingan terbaik bagi anak.

Implementasi atas hasil diversi sepenuhnya dalam pengawasan langsung penyidik dan bertugas untuk mendampingi dalam memberi bimbingan terhadap proses pelaksanaan diversi ini. Jika dalam hal proses pelaksanaan diversi ini tidak dijalankan oleh masing-masing pihak ataupun salah satu pihak maka sesuai dengan ketentuan pasal 25 Peraturan Pemerintah tentang pedoman pelaksanaan diversi maka pembimbing kemasyarakatan bertugas untuk melaporkan kepada atasan langsung penyidik terhadap apa yang terjadi selama proses diversi tersebut. Kemudian dengan jangka waktu 7 hari atasan langsung penyidik akan memberikan laporan yang diterima kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang atas perkara tersebut beserta kepada penuntut umum. Atas dasar laporan tersebut maka mekanisme peradilan anak akan berlanjut. Dengan demikian, secara serta merta pihak membatalkan kesepakatan diversi yang sebelumnya tidak dilaksanakan Itikad baik para pihak dalam menjalankan dan mentaati kesepakatan diversi sangat diperlukan guna kepastian hukum dan kepentingan terbaik pada anak baik dari sisi korban maupun pelaku didalam melakukan tindak pidana.

  • IV.    Penutup

    4.1 . Kesimpulan

  • 1.    Anak sebagai subjek hukum yang terlibat melakukan kejahatan yang kemudian harus dihadapkan dengan kasus hukum berhak mendapatkan proteksi sebagai warganegara sesuai dengan amanat peraturan-perundang undangan misalnya seperti adanya opsi diversi sebagai penyelesaian perkara pidana, ditempatkan di lembaga permasyarakatan khusus anak, sidang peradilan anak yang dilakukan secara tertutup untuk merahasiakan identitas anak serta mendapatkan pendampingan dan bimbingan baik oleh pembimbing kemasyarakatan dan Bapas.

  • 2.    Kesepakatan diversi yang tidak dilaksanakan para pihak ataupun salah satu pihak akan dilaporkan oleh pembimbing kemasyarakatan kepada atasan langsung penyidik dan diteruskan oleh jaksa penuntut umum dan ketua pengadilan negeri yang berwenang. Dengan adanya laporan tidak dilaksanakannya kesepakatan diversi tersebut maka proses peradilan pidana anak akan dilanjutkan. Hal tersebut diatur didalam PP No 65 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur dibawah umur 12 tahun.

  • 4.2    Saran

  • 1.    Pemerintah sebagai representasi negara didalam hukum agar lebih mendorong lagi dilaksanakannya diversi terhadap kasus-kasus hukum yang melibatkan anak secara langsung. Hal tersebut merupakan realisasi dari asas “restoration of justice” yang tercantum didalam peraturan yuridis mengenai peradilan anak secara

esensial. Selain itu dengan kehadiran negara didalam proses penyelesaian perkara diversi ini maka diharapkan berbagai kasus dalam ranah pidana anak dapat diselesaiakan secara kekeluargaan dan tidak bersifat menghukum karena tidak baik bagi kepentingan anak.

  • 2.    Didalam proses diversi hendaknya peraturan perundang-undangan memberikan sanksi ketika para pihak melalaikan substnasi yang menjadi materi pokok dari diversi tersebut. Karena pada intinya diversi merupakan suatu kesepakatan kedua belah pihak dan jika tidak dilakanakan dimungkinkan diberikan sanksi terhadap pihak yang tidak melaksanakannya.

Daftar Pustaka

Buku

Angger, S.P. “Sistem Peradilan Pidana Anak”.Yogyakarta: Pustaka Yudisia, 2015.

Widodo.”Prisoniasi Anak Nakal (Fenomena dan Penanggulangannya)”. Yogyakarta: Asswaja Pressindo, 2013.

Pramukti, A.S dan Primaharsya, F. “Sistem Peradilan Pidana Anak”. Yogyakarta: Medpress Digital, 2014.

Gultom, M. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”. Bandung: Refika Aditama, 2013.

Jurnal Ilmiah

Purwasari, Ida Ayu Tri Astuti,Perlindungan Tergadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Melalui Upaya Diversi,Kertha Wicara:    Journal Ilmu

Hukum,Vol.07.No.03,(2018)

Ariani, N. V. “Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Upaya Melindungi Kepentingan Anak”. Media Hukum: Journal Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (2014): 21(1).

Hambali, A. R. “Penerapan Diversi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum (2019).

Utari, N.P.S & Setiabudhi, I.K.R & Sarjana, I. M. “Diskriminasi Penerapan Diversi Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana“. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum (2018).

Anggara, G. N. G & Subawa, M. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan”. Kertha Wicara:Journal Ilmu Hukum (2018):7(5).

Danielt, R. T. “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur”. Lex et Societatis (2014).

Rahayu, S. “DiversioSebagaiAlternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Hukum Universitas Jambi (2015).

Hutahaean, B. “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak”. Jurnal Yudisial. (2013).

Cahyaningtyas, I. “Pembinaan Anak Pidana Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Dalam Perspektif Restorative Justice”. NOTARIUS, (2015).

Wardhani, N. M. K & Wairocana, I.G.N. “Perlindungan hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Dengan Ancaman Pidana Penjara Tujuh Tahun Atau Lebih”. Kertha Wicara:Journal Ilmu Hukum, (2018): 7(3).

Zulfa, E. A. Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia. Indonesian Journal of Criminology, (2010).

Ardiyantini, Ni Made Diah Arista,Diversi Terhadap Anak Berkonflik Dengan Hukum Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar), Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum,Vol.07,No.02,(2018)

Pramatama, Komang Danendra,Pemidanaan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan,Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum,Vol.08 No.07,(2019)

Reynovan Jeremia,Efektivitas Penerapan Diversi Sebagai Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Denpasar), Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum,Vol.07,No 01,(2018)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2015 tentang pedoman diversi dan penangaan anak yang belum berumur 12 tahun (Tambah Lembaran Negara).

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 6 Tahun 2020, hlm. 1-10.