PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA GRATIFIKASI SEKSUAL BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA

I Putu Rian Septiadi∗∗ Marwanto∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Di Indonesia tindak pidana korupsi adalah satu tindak pidana yang paling sering terjadi. Pemerintah Indonesia selalu berupaya melakukan upaya pemberantasan dan juga pencegahan terhadap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Namun berbanding terbalik terhadap tujuan pemerintah, kasus korupsi di Indonesia semakin berkembang dan selalu mencari celah di setiap Undang-Undang yang mengaturnya. Salah satu perkembangannya adalah munculnya kasus gratifikasi berupa gratifikasi seksual, yang dimana seksual yang diberikan dalam kasus gratifikasi tidak bisa disebut sebagai barang, diskon ataupun potongan harga sebagaimana tercantum dalam pengertian gratifikasi. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui aturan mengenai gratifikasi dan juga pertanggungjawaban pelaku tindak pidana gratifikasi seksual. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa aturan mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana gratifikasi seksual berdasar Pasal 5 UU No 31 Tahun 1999 Jo. UU No 20 Tahun 2001 adalah pidana penjara paling singkat 1 Tahun dan paling lama 5 Tahun bagi pemberi gratifikasi dan pada Pasal 12

∗∗ I Putu Rian Septiadi, Adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected].

∗∗∗ Marwanto, Adalah Dosen Pengajar Bidang Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana.

pidana penjara seumur hidup atau paling singkat penjara 4 Tahun dan paling lama 20 Tahun.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Korupsi, Gratifikasi Seksual.

ABSTRACT

In Indonesia, corruption is one of the most common criminal acts. The Indonesian government is always trying to make efforts to eradicate and also prevent corruption cases that occur in Indonesia. However, it is inversely proportional to the government's goals, corruption cases in Indonesia are growing and always looking for loopholes in every law that regulates them. One of the developments is the emergence of cases of gratification in the form of sexual gratification, which is sexual given in the case of gratification can not be referred to as goods, discounts or discounts as stated in the meaning of gratification. The purpose of this paper is to find out the rules regarding gratification and also the responsibility of the perpetrators of the crime of sexual gratification. This type of research in this study is to use normative legal research methods. The approach used is the statutory approach (Statute Approach). The results of this study are that the rules regarding gratification are regulated in Article 12B and Article 12C of Law No. 31 of 1999 Jo. Law No 20 of 2001 concerning Corruption Crimes. While the accountability of perpetrators of sexual gratuity based on Article 5 of Law No. 31 of 1999 Jo. Law No. 20/2001 is a prison sentence of 1 year and a maximum of 5 years for gratuities and Article 12 is imprisonment for life or a maximum of 4 years and a maximum of 20 years.

Keywords: Criminal Acts, Corruption, Sexual Gratification.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum, dimana setiap warga negaranya wajib untuk mengikuti dan mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah terhadap warga negaranya. Sebuah aturan yang berlaku dalam suatu Negara adalah sebuah kewajiban bagi warganya untuk mematuhinya dan jikalau ada warga negara yang melanggar

maka akan diberikan sanksi oleh Negara itu sendiri terhadap warganya yang melanggar aturan tersebut. Pemberian aturan dalam suatu Negara itu semata-mata bertujuan untuk melindungi setiap hak-hak setiap warga negara dan menuntun bangsanya menuju tujuan bersama. Jadi Negara menimbang bahwa siapapun yang nantinya melanggar peraturan yang sudah ditetapkan oleh negara akan mendapatkan sanksi yang setimpal dan seadil-adilnya.

Namun sebaik dan sesempurna apapun suatu tempat selalu saja terdapat hal-hal negatifnya. Hal ini juga berlaku di bangsa ini, sebagus dan sesempurna apapu hukum yang telah diciptakan dan diterapkan pada bangsa ini akan selalu ada oknum-oknum yang melakukan tindakan-tindakan merugikan banyak pihak dan melanggar hukum, salah satunya adalah tindakan korupsi. Korupsi adalah sebuah mimpi buruk bagi pembangunan dan pemenuhan kesejahteraan sebuah bangsa. Korupsi yang awalnya merupakan sebuah tindakan individu dikarenakan ketamakan personal, kini berubah menjadi tindakan terorganisir dan terstruktur secara komunal. Korupsi menjadi virus mematikan yang merusak sistem hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.1 Pendeknya, korupsi telah menggerogoti semua sendi-sen+di kehidupan berban+gsa dan bernegara karena telah merasuk-masuk sampai ke kursi presiden dan lin+gkarannya, meja hak+im yang mulia bahkan telah menodai altar-alt+ar suci tempat peribadatan dan menyengsarakan ratusan juta anak bangsa. Korup+sia b+erasal a dari kata a Lat+in a corruptio a atau corruptu. Kem+u+dian, a mu+ncul a dalam a bahasa a Ingg+ris a dan a Prancis a corrup+tion, a dalam a bah+asa a

Belanda a korruptie, a sel+anjutnya a dalam a ba+hasa a Indones+ia a disebut korupsi.

Koru+psi a juga memiliki jenis-jenisnya tergantung atas bagaimana cara atau tindakan dari pelaku dalam melakukan tindakan korupsi itu sendiri, salah satunya adalah korupsi jenis Gratifi+kasi. Yan+g dim+aksud a de+ngan a +gratifik+asi a dala+m a UU a Tipik+or adalah a pem+berian a dal+am a a+rti a luas, a yak+ni a melip+uti a p+emberian a u+ang, a bar+ang, a ra+bat a (poton+gan harg+a), a +komisi, a pinja+man a ta+npa a bun+ga, a ti+ket a perja+lanan, a fasi+litas a penginapan, a perjalan+an a wisata, pen+gobatan a cuma-Cuma+, a dan fasilita+s a lai+nnya. a Gra+tifikasi terse+but a baik a y+ang a diterima a di a d+alam a nege+ri a ma+upun adil+uar a nege+ri a dan y+ang a dil+akukan a deng+an a menggu+nakan a sa+rana aelekt+ronik a atau a tanp+a a sar+ana a elek+tronik. a Pada a karya ilmiah ini penulis bermaksud untuk mengangkat tentang bagaimana pertanggungjawaban sebuah tindak pidana gratifikasi tersebut jika gratifikasi yang diberikan tersebut berupas seksual. Maka dari itu penulis mengangkat judul “PERTANGGUNGJAWABAN   PELAKU TINDAK   PIDANA

GRATIFIKASI SEKSUAL BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah    pengaturan    mengenai    Gratifikasi

berdasarkan huk+um pos+itif Ind+onesia?

  • 2.    Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana Gratifikasi Seksual berdasarkan hukum positif Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

    1.3.1.    Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara

ilmiah terkait pengembangan hukum pidana khususnya tindak pidana gratifikasi dalam hukum positif Indonesia.

  • 1.3.2.    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memahami bagaimana pertanggungjawaban seorang pelaku tindak pidana gratifikasi seksual yang dimana dalam peraturan UU Tipikor tidak diatur secara spesifik apakah gratifikasi berupa seksual merupakan sebuah gratifikasi yang pelakunya bisa dipidanakan atau tidak.

  • II.    ISI MAKALAH

  • 1.1.    Metode

Je+nis penelitian dalam penulisan jurnal ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pene+litian huk+um normat+if a+tau dokt+rinal mer+upakan pene+litian a huk+um a ya+ng a melet+akkan a huku+m a seb+agai a seb+uah a bangu+nan a sist+em a n+orma. A Pa+da a pene+litian a huk+um a nor+matif hu+kum a dikons+epsikan seb+agai apa a yang a tert+ulis a dala+m a per+aturan a perun+dang-undan+gan (law in books). a2

Penelitian ini meng+gunakan a pen+dekatan a perund+ang-unda+ngan a (st+atut+e approach) da+n a pendekatan a kons+eptual (con+ceptual app+roach). a Pen+dekatan a und+ang-und+ang a dila+kukan adala+h a de+ngan a me+ngkaji a dan a me+nelaah a se+mua a per+aturan peru+ndang-unda+ngan a yan+g a bersangk+utan a den+gan a is+i a hu+kum menge+nai a korup+si a dan a grat+ifikasi a seksu+al. Pende+katan konsep+tual dilaku+kan de+ngan beranj+ak da+ri pandangan-pand+angan a dan a dok+trin-doktri+n a yang a ber+kembang di dal+am a

2 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, cet. XII, Kencana, Jakarta, h.107

ilmu huku+m. Dengan a mempelajari a pandan+gan-pandangan a dan d+oktrin-doktrin a ters+ebut, dap+at a menj+adi a san+daran a dala+m me+mbangun a argu+mentasi a hu+kum a dala+m a meme+cahkan a isu a yang dih+adapi. a

B+ahan a huku+m a yan+g a dipergunakan dalam a penulisan ini yakni adalah a pertama, Bahan +a huk+um a primer a yait+u a ba+han h+ukum a yan+g a me+mpunyai a otorita+s a dan m+engikat. Bah+an a huk+um pr+imer a yang di+gunakan da+lam pene+litian ini dian+taranya : Un+dang-Undan+g a No+mor a 20 a Ta+hun a 2001 a te+ntang a Peru+bahan a UU Nomo+r a 31 a Ta+hun a 199+9 a ten+tang a Pembera+ntasan a Tinda+k a Pid+ana a Kor+upsi. a Ke+dua, bah+an a hu+kum a sekun+der, a ya+itu ba+han a ya+ng a m+emberikan petu+njuk ma+upun penjela+san terhadap bah+an hu+kum pr+imer, a sepe+rti a ranca+ngan a undang-und+angan, a ha+sil pene+litian, +…….a atau a penda+pat a pa+kar a huku+m. a Ket+iga, Bah+an a nonhukum, a yaitu a bahan a pen+elitian a yang a ter+diri a atas a bu+ku a te+ks a buka+n a hu+kum a yang a ter+kait a denga+n a penelitian +a dan a kam+us a bah+asa Ind+onesie dan a en+siklopedia a um+um. Te+knik pengu+mpulan a da+ta a dal+am a pen+ulisan a ini a dil+akukan a den+gan a stu+di pus+taka a ter+hadap a bahan-ba++han a hu+kum, baik a bahan a huk+um pri+mer, a ba+han a hukum +a sek+under a maup+un a b+ahan a nonh+ukum yan+g a berh+ubungan a de+ngan a pe+nelitian a h+ukum a ini. +Da+lam a peneli+tian a huku+m a nor+matif, pengol+ahan a bah+an a be+rwujud ke+giatan a untuk a men+gadakan a sis+tematisasi a ter+hadap a bahan-b+ahan a hu+kum a tert+ulis. Peng+olahan a ba+han a dilak+ukan a den+gan ca+ra a melak+ukan a sele+ksi a ba+han a hu+kum a dan +a me+ncari a ket+erkaitan an+tara a bah+an huku+m a sat+u a den+gan a bah+an a hu+kum a lai+nnya a un+tuk mend+apatkan a gamb+aran a um+um a dari a h+asil a pe+nelitian. Jeni+s penelt+ian dala+m a penu+lisan jurnal i+ni ad+alah menggunak+an a m+etode a penel+itian a hu+kum a normat+if. a Pen+elitian a hu+kum a normat+if at+au doktri+nal merupak+an a pen+elitian a huk+um a

yang a me+letakkan a huk+um seba+gai sebua+h bang+unan a si+stem nor+ma. Pa+da pene+litian a hu+kum a no+rmatif huk+um a dikons+epsikan seba+gai a a+pa yang a t+ertulis a dal+am a peratura+n a per+undang-undangan +a (law in b+ooks). 3 a

Penelitia+n ini men+ggunakan a +pendeka+tan a per+undang-un+dangan a (st+atute appro+ach) a dan a pende+katan a ko+nseptual (conceptu+al appr+oach). a Pe+ndekatan a undan+g-undang a di+lakukan adal+ah a de+ngan a men+gkaji a dan a me+nelaah a se+mua a perat+uran perun+dang-undangan a yang a bersan+gkutan a deng+an a isi a huku+m mengen+ai grati+fikasi sek+sual. Pendek+atan a konseptu+al a dilak+ukan den+gan a beran+jak a dari a pan+dangan-pandangan a dan a dok+trin-doktrin a a y+ang berkemban+g di a dal+am ilm+u huku+m.4 a De+ngan memp+elajari pan+dangan-pandangan dan dokt+rin-doktrin tersebu+t dap+at menjadi san+daran da+lam memban+gun arg+umentasi aa huk+um a a da+lam aa memec+ahkan a a is+u aa yang a a dihada+pi.

Baha+n a hu+kum a yang a dipe+rgunakan dal+am a pe+nulisan ini yak+ni adala+h a p+ertama, Bahan hu+kum prime+r yai+tu baha+n huk+um yang mempun+yai otorita+s dan mengikat+.5 B+ahan huk+um pri+mer yang diguna+kan da+lam penelitian ini dian+taranya : U+U a No. 31 Ta+hun 1999 jo. UU No. 2+0 a Tahu+n a 200+1 ten+tang a Pemb+erantasan Tin+dak a Pid+ana a Korup+si. Ked+ua, baha+n a huk+um a sekund+er, a yai+tu baha+n a ya+ng a member+ikan a pe+tunjuk mau+pun penje+lasan a terhad++ap ba+han a huk+um a prim+er, a sep+erti a ra+ncangan a und+ang-undangan, hasil a pen+elitian, at+au a pend+apat a pak+ar huku+m.6 Keti+ga, Baha+n nonh+ukum, yait+u ba+han pene+litian ya+ng ter+diri a at+as a buk+u a te+ks buk+an a huk+um a

ya+ng a ter+kait a den+gan a pene+litian a dan kam+us a baha+sa Indo+nesia dan a ensikl+opedia a um+um.7 Tek+nik a pengu+mpulan a da+ta dal+am a penul+isan a in+i dilakukan a dengan a studi a pustakaa terhadap bahan-bahan a hukum, bai+k a bah+an a hukum a p+rimer, a ba+han a huk+um sekun+der a mau+pun a bah+an a nonh+ukum ya+ng berhub+ungan den+gan pene+litian huk+um ini. Dal+am a peneli+tian a huk+um a norm+atif, pengolahan a bah+an a be+rwujud a kegi+atan a unt+uk a menga+dakan siste+matisasi a terh+adap a b+ahan-bahan a hu+kum a tertu+lis. Pen+golahan a ba+han a dil+akukan a d+engan a ca+ra a me+lakukan a se+leksi ba+han a hu+kum a a dan me+ncari keterka+itan ant+ara bah+an huku+m sat+u a de+ngan a ba+han a huk+um a lain+nya a un+tuk a menda+patkan gam+baran a umu+m a da+ri a ha+sil a pene+litian. a

  • 1.2.    Hasil dan Analisis

    • 1.2.1. Pengaturan Mengenai Gratifikasi Berdasarkan Hukum Positif Indonesia

Yang a dimaksud a dengan a gratifikasi a dalam a UU a Tipikor adalah a pemberian a dalam a arti a luas, yakni a meliputi a pemberian uang, a barang, a rabat a (potongan harga), komisi, a pinjaman a tanpa bunga, a a tiket a perjalanan, a fasilitas a penginapan, a perjalanan a wisata, pengobatan a cuma-cuma, a dan a fasilitas a lainnya. a Gratifikasi tersebut a baika yanga diterimaa di a dalam a negeri a maupun a diluar negeri a dan a yang a dilakukan a dengan menggunakan a sarana elektronika atau a tanpaa saranaa elektronik. a89

Istilah gratifikasi secara jelas dan gamblang kita temukan dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).10

Pasal 12B Ayat (1), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Ketentuan Pasal 12C Ayat (1) menyebutkan, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Ayat (2) menyatakan, Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Pasal 12C Ayat (3) menyebutkan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.11

  • 1.2.2. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Gratifikasi Seksual Berdasarkan Hukum Positif Indonesia

Pertanggungjawaban a pidana a dalam a istilah a asing a disebut dengan a teorekenbaardheid a atau a criminal a responsibility, a pada hakikatnya a membahas a masalah a pemidanaan a pelaku a dengan maksud a untuk a menentukan a apakah a seorang a terdakwa a dapat dipertanggungjawabkan a atas a suatu a tindakan a pidana a yang terjadi a atau a tidak. a12

Untuk a dapat a memidanakan a pelaku, a diharuskan a tindak pidana a yang a dilakukannya a itu a memenuhi a unsur-unsur a tindak pidana a yang a telah a didakwakan a kepadanya. a Dilihat a dari a sudut terjadinya a tindakan a yang a dliarang,seseorang a akan dipertanggungjawabkan a atas a tindakan-tindakan a tersebut, apabila a tindakan a tersebut a melawan a hokum a serta a tidak a ada alasan a pemaaf a atau a peniadaan a sifat a melawan a hokum a untuk tindak a pidana a yang a dilakukannya. Dilihat a dari a sudut kemampuan a bertanggung a jawab, a maka a hanya a seseorang a yang mampu a bertanggungjawab a yang a dapat a dipertanggungjawabkan atas a perbuatannya. a13

Syarat-syarat a orang dapat a dipertanggungjawabkan menurut a G.A. Van a Hamel a adalah a sebagai a berikut: 14

  • 1.    Jiwa a orang a harus a sedemikian a rupa a sehingga a dia mengerti a atau a menginsafi a nilai a dari a perbuatannya;

  • 2.    Orang a harus a menginsafi a bahwa a perbuatannya a menuut tataa caraa kemasyarakatan a adalah a dilarang; a dan

  • 3.    Orang a harus a dapat a menentukan a kehendaknya a terhadap perbuatannya. a

Memperhatikan a rumusan a Pasal a 2 sampai a dengan a Pasal a 16 serta a Pasal a 21 a sampai a dengan a Pasal a 24 Undang-undang a Nomor 31 tahun a 1999 a tentang a Pemberantasan a Tindak a Pidana a Korupsi jo. a Undang-Undang a Nomor a 21 a tahun a 2001 tentang a perubahan atas a Undang-Undang a Nomor a 39 a Tahun a 1999 a tentang Pemberantasan a Tindak a Pidana a Korupsi, maka a pelaku a tindak pidananya a adalah: “Setiap a orang” yang a berarti a orang perseoragan a atau a korporasi.15 a

Orang a perseorangan a berarti a adalah a orang a individu a atau dalam a Bahasa a KUHP a dirumuskan a dengan a kata a barangsiapa. Sedangkan korporasi menurut a Undang-Undang a Nomor a 31 Tahun a 1999 jo. UU Nomor 21 Tahun a 2001 a adalah a kumpulan orang a dan a atau a kekayaan a yang a teroganisir, baik a berupa a badan hokum a maupun a tidak a berbadan a hokum. a Badan a Hukum a di Indonesia a terdiri a atas a Perseroan a Terbatas a (PT), Yayasan, Koperasi a dan a Indonesische a Maatchapij a op a Andelen a (IMA), sementara a perkumpulan a orang a yang a tidak a berbadan a hokum dapat a berupaa Firmaa (Fa), Commanditairea Venootschap (CV).16

Gratifikasi dalam UU Tipikor diatur secara jelas dalam Pasal 12B yang dimana Gratifikasi masuk dalam kategori suap. Namun kemudian, apakah pemberian jasa seks kepada penyelenggara negara dapat dikategorikan gratifikasi dan dapat dipidanakan?. Definisi gratifikasi dapat diartikan secara luas. Gratifikasi seks boleh jadi merupakan pemberian agar seorang

terkait jabatannya tidak melakukan atau melakukan tugas dan kewajibannya demi kepentingan pribadi atau perorangan yang mengakibatkan kerugian negara.17

Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, di Indonesia beberapa kasus yang melibatkan adanya keterkaitan antara korupsi dengan gratifikasi yang pemberian itu berupa objek layanan seks dalam bentuk wanita, beberapa kasus diantaranya adalah kasus suap impor daging sapi diketemukan wanita dan sejumlah uang saat penggeledahan oleh KPK serta adapu kasus suap oleh Hakim Setiabudi yang disinyalir juga terdapat unsur pemberian berupa layanan seks. Namun, apakah pelaku tindak pidana gratifikasi seksual berdasarkan hukum positif di Indonesia dapat di pidana? Jawabnya adalah bisa. Pertama, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terdiri dari 30 pasal yang melarang orang untuk korupsi. Dari 30 pasal tersebut, dapat dirinci menjadi 7 jenis korupsi, diantaranya adalah suap (Pasal 5, 6, 11, 12 dan 13) dan gratifikasi (Pasal 12B jo. Pasal 12C). dalam pasal-pasal tentang suap, terdapat frasa “memberi/menerima sesuatu” dan “memberi/menerima hadiah atau janji”. Sementara dalam pasal gratifikasi, terdapat frasa “menerima gratifikasi”. Dari ketiga frasa tersebut, dari ketiga frasa tersebut dapat disimpulkan bahwa esensi dari suap maupun gratifikasi pada hakikatnya adalah suatu “pemberian”, hanya saja suap ditunjukan kepada seorang pejabat negara untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sementara gratifikasi tidak mesti untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Namun, kedua-duanya

tergolong kepada suatu pemberian yang dilarang dalam UU Tipikor.18

Kedua, Apakah layanan seks dapat digolongkan sebagai suatu pemberian (suap dan gratifikasi) yang dilarang dalam UU Tipikor? Dalam penjelasan Pasal 12B Ayat (1), disebutkan bahwa selain uang, barang, komisi dan lain-lain, gratifikasi yang dimaksud dalam undang-undang tipikor juga termasuk “fasilitas lainnya”. Kemudian dalam Pasal 3 UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, Yang dimaksud dengan “sesuatu atau janji” tidak selalu berupa uang atau barang. Undang-undang ini sampai sekarang belum dicabut dan tentunya masih memilki kekuatan hukum. Maka dengan demikian, paling tidak kita sudah sepakat jika suatu pemberian yang dilarang dalam UU Tipikor tidaklah sebatas kepada uang atau barang saja, namu lebih luas dari pada itu. Jika layanan seks yang diberikan kepada pejabat atau penyelenggara negara (termasuk hakim) dimaksudkan agar hakim berbuat atau tidak berbuat sesuatu, maka hal tersebut termasuk suap. Sedangkan jika diberikan tanpa adanya perbuatan tertentu dari sang hakim, maka itu tergolong gratifikasi.19

Ketiga, Terkait dengan proses pemeriksaan perkara suap maupun gratifikasi seks, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga dengan jelas telah mengaturnya. Terhadap tersangka maupun saksi nantinya dapat diperiksa pada sidang yang tertutup untuk umum. Mengingat suap maupun gratifikasi seks mengandung unsur kesusilaan (Pasal

153 ayat 3). Hanya saja, terhadap putusan tetap dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195).20

Pertanggungjawaban hukum dari pelaku tindak pidana gratifikasi seksual adalah berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b.memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Ayat (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

  • a.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

  • b.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

  • III. PENUTUP

  • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan mengenai gratifikasi dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pasal 12B Ayat (1), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

  • 2.    Pertanggungjawaban Pidana pelaku tindak pidana Gratifikasi seksual dalam perspektif hukum pidana berdasarkan undang-undang tindak pidana korupsi, Dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Hendaknya dari pihak legislatif dan eksekutif lebih mengatur secara terperinci dan detail lagi mengenai subjek-subjek dari gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang, karena seiring berkembangnya jaman pelaku kejahatan akan selalu berupaya mencari celah-celah kecil agar bisa mengelabui Undang-Undang.

  • 2.    Hendaknya dari pihak legislatif dan eksekutif mengatur kembali mengenai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi khususnya mengenai gratifikasi, yang dimana gratifikasi

berupa seksual merupakan suatu tindak pidana gratifikasi dan berkekuatan hukum tetap.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku

Amirudin, Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Laode M. Syarief, Didiek E. Purweleksono, tanpa tahun terbit, Hukum Anti Korupsi, tanpa penerbit, tanpa tempat terbit.

Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana.

  • 2.    Jurnal

Hervina Puspitosari, 2016, Kajian Gratifikasi Seks Dalam Perspektif Hukum Pidana, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Surakarta.

Yolana Jayaningrum, 2018, Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Kepala Desa dalam Pengelolaan Keuangan Desa (Studi Kasus Korupsi Desa Palur Sukoharjo Putusan Nomor: 71/Pid.Sustpk/2016/Pn Smg), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Aufia Sucitra Elfiana, 2018, Tinjauan Tentang Layanan Seksual Sebagai Salah Satu Bentuk Gratifikasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Berdasarkan Undang-Undang NO 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU NO 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Mataram

Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinald, 2017, Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi, Jurnal Ilmu Hukum.

Aulia Rahman, 2013, Hukum Gratifikasi, Jurnal Hukum Anti Korupsi

Wiwit Nur Asih, 2010, Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Jurnal Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Nadya Syafira, 2013, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang NO 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU NO 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Migel Kuntoro, 2015, Gratifikasi Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Wawan Andika, 2014, Penggunaan Pekerja Seks Komersiil dalam Tindak Pidana Gratifikasi, Jurnal Hukum Universitas Jember

Putra Gautama, 2018, Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Fakultas Hukum Unsyah

I Gusti Agung Satria Wedantha, Anak Agung Ari Atu Dewi, 2016, Penyuapan Sebagai Bentuk Gratifikasi Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Fakultas Hukum Udayana

Muji Dimarza Kesuma, 2017, Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberian Layanan Seks Dalam Tindak Pidana Gratifikasi, Jurnal Hukum Universitas Syah Kuala

Wardiman Joyonegoro, 2016, Pidana Korupsi Di Indonesia, Jurnal Fakultas Ilmu Pendidikan UNS.

  • 3.    Internet

Hukum Online, 2013, “Seks Dapat Dijerat UU Tipikor” , URL :

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51a72dfed1d6d/ gratifikasi-seks-dapat-dijerat-uu-tipikor/

  • 4.    Peraturan Perundang-Undangan

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

19