KEKUATAN PEMBUKTIAN SUMPAH LI’AN SEBAGAI ALAT BUKTI PADA PERSIDANGAN PERKARA PERCERAIAN DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

Oleh:

Ida Bagus Sony Andara Putra∗∗

I Made Dedy Priyanto∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Peradilan

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Konteks perkawinan pasangan suami isteri yang dilakukan menurut agama Islam, tentunya disamping tunduk pada hukum nasional juga tunduk terhadap hukum Islam. Apabila terjadi gugatan perceraian, dalam hal ini Pengadilan Agama memiliki kompetensi dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Tujuan dari penulisan jurnal ini ialah untuk mengetahui kedudukan dan kekuatan alat bukti sumpah li’an dalam Persidangan Peradilan Agama. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif yang menginventarisasikan hukum positif melalui sumber hukum seperti KUH Perdata, Undang-undang Peradilan Agama, dan Undang-undang Perkawinan. Hasil penelitian menunjukan bahwa hukum acara peradilan agama memiliki kekhususan alat bukti sumpah yaitu sumpah li’an, yang dimana kedudukan alat bukti sumpah terletak pada bagian akhir dari hierarki pengaturan alat bukti yang sah pada sistem hukum acara peradilan agama. Ada pun kekuatan pembuktian dari sumpah li’an yaitu sama dengan sumpah pelengkap di pengadilan umum, akan tetapi prosesnya merujuk pada Al-Qur’an, Surah 24, An-Nur, ayat 6-9 dengan mengucapkan lafal yang ditujukan kepada Allah mengenai tuduhan yang di tujukan kepada pihak berperkara.

Kata Kunci : Sumpah Li’an, Pengadilan Agama, Perceraian

Karya tulis ini merupakan karya ilmiah diluar ringkasan skripsi

∗∗ Ida Bagus Sony Andara Putra adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Udayana. Korespondensi: ibsony12@gmail.com

∗∗∗ I Made Dedy Priyanto adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Korespondensi: dedy.priyanto333@gmail.com

Abstract

The context of marriage between men and women are conducted based on Islamic religious, aside of bound by the national law should also obey the Islamic law. In case of filing for divorce, Religious Court has the competence in examining and adjudicating such issue. The purpose of writing this journal is to find out the position and strength of the evidence of the oath of oath in the Religious Court Trial. The method used in writing this journal is a normative legal research method that inventory positive law through legal sources such as the Civil Code, the Religious Courts Law, and the Marriage Law. The results of the study showed that the procedural law of religious court has the specificity of the proof of oaths, namely the oath of li'an, where the position of the oath evidence lies at the end of the hierarchy of the regulation of legal evidence in the system of legal proceedings of the religious court. There is also the power of proof of the oath of li'an which is the same as the supplementary oath in the general court, but the process refers to the Al-Qur’an, Surah 24, An-Nur, Line 6-9 by articulating the phrases to Allah related to the charged issues to the parties.

Keywords: Vow Li'an, Religious Court, Divorce

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar0Belakang

Manusia dalam hidup bermasyarakat tidak dapat terlepas dari adanya hubungan hukum. R. Soeroso memiliki pendapat bahwasannya hubungan hukum merupakan suatu hubungan diantara dua atau bahkan lebih subjek hukum yang memuat kewajiban dan hak dari pihak satu dengan lainnya.1 Hubungan hukum lahir karena perikatan, sebagaimana menurut Subekti dalam P.N.H. Simanjuntak bahwa “perikatan ialah adanya suatu perhubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu mempunyai hak menuntut sesuatu hal daripada pihak yang lain, dan pihak yang lain memiliki kewajiban guna memenuhi tuntutan itu.”2

Di tengah dinamika hubungan sosial antara manusia terdapat persamaan dan perbedaan, yang dimana persamaan akan menambah erat suatu hubungan antar manusia, sedangkan perbedaan akan melahirkan benih-benih konflik antar manusia.3 Tidak terpenuhinya prestasi dalam suatu prikatan yang lahir karena perjanjian maupun undang-undang akan merujuk pada konflik antara pasangan suami isteri yang menimbulkan putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan atau dikenal dengan istilah perceraian, yang akan terjadi apabila terdapat putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap serta menyatakan bahwa perkawinan kedua belah pihak dinyatakan putus. Dalam mengajukan perceraian tidak telak akan diterima di pengadilan, dikarenakan adanya keharusan menyertai dalil-dalil seperti yang tertera pada tatanan perundang-undangan yang berlaku. Bersumber pada pasal 39 ayat0(1) dan ayat0(2) Undang-Undang0Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan selanjutnya disebut UU Perkawinan, bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Menjelang perceraian harus terdapat alasan yang cukup, bahwasannya antara suami dan isterinya sudah tak lagi bisa hidup rukun sebagaimana pasangan suami isteri.

Pada pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menegaskan bahwa “Perkawinan adalah00sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam konteks perkawinan pasangan suami isteri yang dilakukan menurut hukum agama Islam, tentunya segala ketentuan dalam perkawinan tersebut disamping tunduk pada hukum nasional juga

tunduk terhadap hukum agama Islam. Apabila terjadi gugatan perceraian, dalam hal ini Pengadilan Agama memiliki kompetensi dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Perzinahan dalam perkawinan memang kerap terjadi dan juga sebagai alasan dalam mengajukan perceraian. Dalam Undang-Undang0Nomor070Tahun 1989 tentang Peradilan0Agama selanjutnya disebut UU Peradilan Agama, telah diatur mengenai ketentuan acara dalam hal perceraian diajukan karena alasan berzina. Pasal 87 ayat (1) UU Peradilan Agama mengatur bahwa “apabila0permohon atau penggugat tidak melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali0serta upaya peneguhan alat bukti tidak lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim0karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah”.

Di pasal 88 juga tercantum: “apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 870ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara li’an”. Melihat ketentuan tersebut, menjadi persoalan terkait sumpah yang dilaksanakan melalui cara li’an, menimbang pada penjelasan pasal yang menyatakan cukup jelas. Berbeda halnya dengan ketentuan pasal087 ayat (2) yang menegaskan bahwa: “apabila sumpah yang dimaksud pada Pasal 87 ayat (1) ini dilakukan oleh isteri, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku”. Dalam kondisi ini hukum acara yang dipergunakan merujuk pada hukum acara perdata, sebagai lex generalis dari hukum acara peradilan agama. Atas dasar latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk untuk melakukan penulisan hukum dengan mengangkat tentang Kekuatan pembuktian sumpah li’an

sebagai alat bukti pada persidangan perkara perceraian di lingkungan peradilan agama.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Pada penulisan karya tulis ini membahas dua permasalahan yakni:

  • 1.    Bagaimana kedudukan alat bukti sumpah li’an dalam system hukum acara peradilan agama?

  • 2.    Bagaimana kekuatan pembuktian dari sumpah li’an dalam persidangan peradilan agama?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Mengenai tujuan dari karya tulis ini yaitu:

  • 1.    Guna mengetahui bagaimana kedudukkan alat bukti sumpah li’an pada system hukum acara peradilan agama.

  • 2.    Untuk mengetahui kekuatan pembuktian dari sumpah li’an dalam persidangan peradilan agama.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

Di penulisan jurnal ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini adalah “penelitian hukum yang menginventarisasi hukum positif, doktrin hukum dan asas asas, penemuan hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum”.4 Penilitian ini dilaksanakan dengan menganalisis undang-undang, asas, konsep serta teori yang menyangkut dengan permasalahan diatas. Bahan hukum primer menjadi sumber dalam penelitian ini yakni seperti peraturan perundang-undangan diantaranya Undang-Undang tentang Peradilan Agama

dan Undang-Undang tentang Perkawinan. Tak luput juga menggunakan bahan hukum sekunder diantaranya buku tentang hukum dan jurnal mengenai hukum yang memiliki hubungan dengan permasalahan tersebut diatas.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Kedudukan Sumpah Li’an sebagai Alat Bukti Dalam Peradilan Agama.

Pada penyelesaian perkara dalam ranah Pengadilan Agama terdapat prosedur atau tata cara yang ditentukan, yang disebutkan sebagai Hukum Acara Peradilan Agama. Adapun yang dapat diartikan sebagai Hukum Acara Peradilan Agama yakni suatu perkara dengan melingkupi segenap kaidah perundang-undangan negara atau pun syariat Islam, yang mengdikte bagaimanakah cara seseorang untuk berprilaku ke hadapan Pengadilan Agama hingga memperoleh suatu hasil berupa putuasan dari Pengadilan Agama tersebut.

Roihan A. Rosyid menginterprestasikan bahwa: “Pengadilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, yaitu peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh negara mengatur perundang-undangan, yang menegakan hukum Islam dalam batas-batas kekuasaannya pada jenis perkara perdata tertentu dari perdata Islam, bagi masyarakat Indonesia.”5

Eksistensi peradilan agama telah terlegitimasi dalam Pasal_24_ayat_(2)_Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun_1945 yang menegaskan bahwa ‘kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.’6 Dimana kemudian diatur secara lebih lanjut melalui Undang-Undang-Nomor-7-Tahun-1989 berkenaan dengan Peradilan Agama, dimana sudah 2 kali melangsungkan modifikasi yakni Undang-Undang-Nomor-3-Tahun-2006 disertai penjelasannya, serta perubahan kedua dengan Undang-Undang-Nomor-50-Tahun-2009. Namun, terkait beberapa perubahan atas Undang-Undang-Nomor-7-Tahun-1989 berkenaan Peradilan Agama hingga kini tak ada lebih lanjut pengaturan penjelasan mengenai sumpah li’an sebagai halnya yang dimaksud di Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang-Nomor-7-Tahun-1989 mengenai Peradilan Agama.

Berdasarkan asas pembuktian, merujuk pada sumber hukum dari Hukum Acara Perdata di sini sebagai lex generalis dari Hukum Acara Peradilan Agama, menurut Pasal 1865 BW, Pasal 163 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 283 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) menegaskan bahwa: “Barangsiapa mempunyai suatu hak atau guna membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa tersebut.” Yang dimaksudkan dengan “membuktikan” yakni dalam persengketaan suatu pihak berusaha meyakinkan hakim mengenai keabsahan dari dalil-dalil yang diajukan di hadapan sidang. Sehingga, membuktikan semata-mata apabila terdapat perselisihan, jadi dalam perkara perdata di hadapan pengadilan, pada prihal yang tak disangkal oleh pihak lawannya, tidak diperlukan lagi untuk membuktikannya.7

Dalam hukum acara perdata hakim tersekat atas alat bukti yang sah saja, ini artinya bahwasannya hakim semata-mata dapat menarik suatu keputusan berlandaskan pada alat-alat bukti sebagaimana dinyatakan pada undang-undang. Adapun Alat-alat bukti yang dibolehkan dibawa ke persidangan tercantum pada Pasal 284 RBg/164 HIR/Pasal 1866 KUH Perdata, yakni:

  • 1.    Bukti_tertulis (surat_dokumen),

  • 2.    Bukti_lewat_saksi-saksi,

  • 3.    Bukti_dengan persangkaan-persangkaan,

  • 4.   Bukti_menggunakan_pengakuan, dan

  • 5.    Bukti_sumpah.8

Memperhatikan ragam alat bukti sebagaimana yang tersistematis pada sumber hukum dari hukum acara perdata yang juga menjadi sumber hukum acara peradilan agama, bahwa kedudukan dari alat bukti sumpah berdasarkan hierarki terletak pada bagian terakhir, termasuk juga alat bukti sumpah li’an sebagai kekhususan dari hukum acara peradilan agama. Sumpah menurut hukum Islam disebut al-yamain lebih umum dipakai.9

Kekhususan dari Hukum Acara Peradilan Agama yaitu melegitimasi sumpah li’an. Suatu cara pembuktiannya bahwa sudah berzina oleh suami kepada isterinya, adalah melalui sumpah li’an, sebagaimana prosedurnya sesuai pada Al-Qur’an, surah 24, An-Nur, Ayat 6-9 sebagai berikut:10

Suami melafalkan sumpahnya di hadapan publik (kini dimuka siding Pengadilan Agama) sejumlah 5 kali. Di mana empat kali yang pertama berlafal: “Saya bersaksi kepada Allah bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada isteri saya bahwa ia

telah berzina”, kemudian ditambahkan kali yang kelima berlafal: “Laknat Allah atas diri saya sekiranya saya dusta dalam tuduhan saya ini”. Apabila tuduhan disertai tak mengakui anak yang dikandung/dilahirkannya oleh sang isteri, maka diimbuhkan sehabis kata-kata “… bahwa ia telah berzina” memakai kata-kata “dan anak yang dikandung/dilahirkannya bukan anak saya”.

Isteri, apabila ia benar, maka dapat membantah sangkaan suaminya tersebut dengan melafalkan 5 kali sumpah juga. Di mana keempat kali sumpah yang pertama berlafalkan: “Saya bersaksi kepada Allah bahwa tuduhan suami saya atas diri saya tersebut adalah dusta”, kemudian kali kelima ditambahkan dengan lafal: “kutukan Allah atas saya jika tuduhan suami saya itu benar”. Apabila tuduhan sang suami dibarengi penampikan anak sehingga sumpah si isteri tersebut akan diserasikan saja. Konsekuensi sumpah li’an ini banyak dan memiliki rentetan yang panjang. Sumpah li’an ini tak akan ditemui pada Peradilan Umum melainkan hanya ada di Peradilan Agama, sebab bersumber oleh Al-Qur’an, surah 24, Al-Nur, ayat 6-9.

  • 2.2.2 Kekuatan Pembuktian Dari Sumpah Li’an Dalam Persidangan Peradilan Agama.

Sudikno Mertokusumo memberikan pendapat mengenai pengertian dari sumpah, bahwa: ‘Sumpah pada umumnya ialah suatu pernyataan khidmat yang disebutkan atau dilafalkan ketika memberikan janji atau pun keterangannya dengan mengingat daripada sifat ke mahakuasaan Tuhan, dan yakin bahwa barang siapa yang memberikan keterangannya atau pun janjinya yang tidak betul akan dihukum oleh-Nya.’11 Sumpah sebagaimana alat

bukti teratur pada Pasal 155-158 HIR, Pasal-182-185, 314 RBg, da Pasal-1929-1945 KUH Perdata. Dalam Hukum Acara Perdata termuat 3 (tiga) ragam sumpah selaku alat bukti, yakni:

  • 1.    Sumpah Decisoir (pemutus) bermakna mempunyai resistensi untuk memutuskan suatu perkara  atau menyudahi

polemik.12 Sehingga sumpah ini memiliki sifat dan kapabilitas litis decisoir, maksudnya  dengan pelafalan

sumpah ini :13

  • a.    Oleh sendirinya menyudahi suatu proses inspeksi perkara.

  • b.    Kemudian disertai penjatuhan dan diambilnya putusan sesuai dengan ikrar sumpah yang telah di ucapkan.

  • c.    Serta undang-undang merekatkan sumpah ini dengan suatu nilai kekuatan pembuktian yang menentukan, mengikat dan sempurna.

  • 2.    Sumpah Suppletoir atau Sumpah Tambahan/pelengkap sesuai dengan psl.1943 BW bahwa oleh hakim suatu pihak diinstruksikan untuk bersumpah suppletoir ini tak boleh menggambil sumpah yang sama tersebut pada lawannya sebab ia hanya bisa menolak atau mematuhinya. Pada hal ini hakim secara ex officio dapat menginstruksikan Sumpah Suppletoir. Ada pun fungsi dari sumpah ini yakni untuk mengakhiri perkara, jadi masih memungkinkan adanya bukti lawan sebelum mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

  • 3.    Psl.155 HIR, Psl.182 Rbg, 1940 BW mengatur mengenai Sumpah Aestimatoir atau Sumpah Penaksir, yang mana sumpah ini yakni sumpah yang diperintahkan hakim

dikarenakan oleh jabatannya ditujukan ke penggugat guna menafsirkan berapa total uang ganti kerugian. Kekuatan pembuktian dari sumpah ini persis dengan Sumpah Suppletoir yakni mempunyai sifat sempurna dan masih dimungkinkan adanya pembuktian dari lawan. Sumpah tersebut bisa juga dilaksanakan di Masjid.

Perlu diketahui bahwa sumpah juga bisa dilakukan di luar pengadilan, namun sumpah tersebut mempunyai kapabilitas kekuatan sebagai alat bukti hanya apabila sumpah itu dilakukan dihadapan Hakim. Baik itu dihadapan Hakim Ketua yang

menangani perkara atau pun di depan Hakim Anggota saja.

Pembedanya terletak pada kualitas pembuktian, pada sumpah pemutus para pihaknya sama sekali tidak berupaya mengajukan bukti apa pun, lain halnya pada sumpah tambahan/pelengkap yang mana para pihak atau salah satu pihak bisa mengajukan pembuktian, namun tak mencapai batas minimum dari pembuktian itu.14

Berdasarkan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang-Nomor-7-Tahun-1989, jika isteri melafalkan sumpah bantahannya, maka pemecahan persoalan perceraian suami isteri ini dilakukan dengan acara biasa (bukan dengan cara li’an), namun apabila suami melafalkankan sumpah li’an yang tak disanggah oleh isterinya menggunakan sumpah pula, maka cerai mereka akan diselesaikan melalui acara li’an. Menurut Hukum Islam, kalau suami telah bersumpah meli’an isterinya sekalipun dibantah oleh

isterinya menggunakan sumpah juga, maka perkawinan mereka pasti tercerai untuk selamanya kendatipun isterinya luput dari pidana rajam, dan tak ada lagi pemecahan cerai sesuai acara yang berlaku biasa, di mana maksudnya tak diperlukan lagi menyertakan iqrar talaq misalnya, dan tak diperlukan lagi adanya pembuktian yang lain, akan tetapi sudah tercerai langgsung melalui li’an.15

  • III.  PENUTUP

  • 3.1  Simpulan

  • 1.   Hukum Acara Peradilan Agama merupakan Lex Specialis

dari Hukum Acara Perdata di Indonesia yang bersifat Lex Generalis oleh karena itu kedudukan sumpah li’an sebagai salah satu alat bukti sumpah di pengadilan agama mempunyai kedudukan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara perceraian akibat zina, sesuai dengan pasal 88 UU Peradilan Agama yang menegaskan bahwa apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaian dapat di laksanakan dengan cara li’an.

  • 2.   Kekuatan Pembuktian alat bukti sumpah li’an mempunyai

kekuatan pembuktian yang sama dengan sumpah pelengkap dalam Hukum Acara Perdata yaitu bersifat melengkapi alat bukti yang sudah ada namun belum cukup bukti. Akan tetapi ada kekhususan sumpah li’an dibandingkan sumpah pelengkap yaitu secara proses merujuk pada Al-Qur’an, Surah 24, An-Nur, Ayat 6-9 dengan mengucapkan lafal yang ditujukan kepada Allah mengenai tuduhan terhadap istrinya yang telah berzina. Alat bukti sumpah li’an ini dapat

disangkal oleh seorang isteri apabila merasa benar. Menurut hukum islam jika suami telah meli’an istrinya sekalipun dibantah oleh istrinya menggunakan sumpah li’an juga maka perkawinan mereka akan tercerai untuk selamanya tanpa menyertakan iqrar talaq.

  • 3.2  Saran

  • 1.   Seyogyanya pembentuk Undang-Undang menyusun

pengaturan lebih lanjut terkait sumpah li’an dalam penjelasan pasal maupun dalam peraturan pelaksana terkait acara pemeriksaan secara li’an di lingkungan Peradilan Agama.

  • 2.    Suami dalam hal ingin menggunakan sumpah li’an sebagai alat bukti, seharusnya dengan keputusan yang matang, karena akibat dari perceraian karena li’an memliki dampak yang berat bagi pasangan suami istri tersebut haram ruju’ kembali untuk selama-lamanya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Maskur Hidayat, 2016, “Strategi & Taktik Mediasi:-Berdasarkan Perma No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”, Kencana, Jakarta.

M. Yahya0Harahap, 2012, “Hukum Acara Perdata0Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, Sinar Grafiika, Jakarta.

P.N.H. Simanjuntak, 2016, “Hukum Perdata Indonesia”, Kencana,-Jakarta.

R. Soerso, 2015, “Pengantar Ilmu Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta.

Roihan A. Rasyid, 2015, ”Hukum Acara Peradiilan Agama-(Edisi Baru)”, PT. Raja Grafindo0Persada, Jakarta.

Roihan A. Rosyid, 2007, ”Hukum Acara Peradilan Agama”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Subekti, 1975, “Hukum Pembuktian”, Pradnya Paramita, Jakarta.

Susikno Mertokusumo,-2009, “Hukum Acara Perdata-Indonesia”, ed. 8, Liberty, Yogjakarta.

JURNAL:

Martius, A. Havizh, “Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Jurnal Hukum Diktum, Volume 14 Nomor 1 Tahun 2016.

Semara Dahayu, Cinde, “Alat Bukti Sumpah Dalam Pembuktian Pada Hukum Acara Perdata”, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2017.

I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, “Kekhususan Pengaturan Pemeriksaan dan Pembuktian Perceraian Dalam Hukum Acara Peradilan Agama”, Jurnal Kertha Patrika, Volume 38 Nomor 3 Tahun 2016.

Munthe, Riswan, “Kekuatan Sumpah Islam Menurut Fiqih Islam”, Jurnal Penegakan Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area , Volume 3 Nomor 1 Tahun 2016.

Jayantari, Shabaina, “Kekuatan Alat Bukti Dokumen Elektronik Dalam Tindak Pidana Berbasis Teknologi Dan Informasi (Cyber Crime)”, Jurnal Kerta Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 8 Nomor 9 Tahun 2019.

Puspita, Winda, “Kekuatan Pembuktian Fotocoy Alat Bukti Tertulis”, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2016.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang0Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611).

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400).

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

15