MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

PERKARA PADA TINDAK PIDANA BODY SHAMING*

Oleh:

Ni Putu Melinia Ary Briliantari**

A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi***

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Body shaming atau penghinaan terhadap citra tubuh merupakan bentuk penghinaan yang apabila dilakukan dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan mental illness. Terdapat dua jenis Body shaming, yaitu secara langsung diatur dalam Pasal 315 KUHP dan tidak langsung yang diatur pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Terjadinya penumpukan kasus body shaming yang ditempuh melalui jalur penal menyebabkan adanya pertentangan dari tiga asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan sehingga memerlukan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penegakkan hukum pada perkara tindak pidana body shaming, dan menelaah dan menformulasikan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) dapat ditempuh melalui mediasi penal. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penilitian hukum yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan untuk menjawab permasalahan. Penegakkan hukum body shaming mengacu kepada KUHAP sesuai dengan penegakkan hukum pidana pada umumnya, dan mediasi penal sebagai bentuk restorative justice dapat diterapkan berlandaskan Surat Edaran Kapolri No. SE / 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dan sistem Criminal Court Disputes Resolutions.

Kta kunci: Body shaming, Mediasi Penal, Restorative justice

Abstract

Body shaming or insult against body features is considered as a form of humiliation which may result in a mental illness within a long period of time. Body shaming is governed in Article 315 of Indonesia Criminal Code as well as Article 27 point (3) of the Electronic Transaction Information Act. The mounting of body shaming case leads to the conflict with the trilogy principle of punctual, simple, and low-fare proceeding, accordingly it requires an alternative dispute resolution beyond the scope of criminal court. Therefore, the issues can be drawn as: 1) how does the law enforcement in body shaming case work according to the applicable law, 2) would it be possible to make penal mediation as an ADR in resolving the

dispute on the crime of body shaming. The method used in this scientific article is a normative legal research method with statutory approach. The legal enforcement of body shaming, according to the Code of Criminal Procedure, is similar to the typical criminal law enforcement, and penal mediation as a form of restorative justice may be applied as ruled in the Handbill of the Head of Police Department as well as CCDR system.

Keywords: Body shaming, penal mediation, Restorative justice

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Body dalam Bahasa Indonesia artinya tubuh dan shaming artinya mempermalukan1. Terdapat dua jenis body shaming atau penghinaan terhadap fisik seseorang: a) Penghinaan citra tubuh yang dilakukan secara langsung; dan b) Penghinaan citra Tubuh secara tidak langsung. Penghinaan citra tubuh secara langsung (direct) dilakukan secara bertatap muka melakukan penghinaan terhadap citra tubuh seseorang dan penghinaan secara tidak langsung (indirect) biasa dilakukan melalui media sosial.

Penghinaan citra tubuh yang dilakukan secara langsung dan tidak langsung diatur secara implisit dalam Pasal 315 KUHP yang pada intinya: “Tiap-tiap penghinaan yang dilakukan secara sengaja yang tidak bersifat mencemarkan secara lisan maupun tulisan ataupun dengan perbuatan di muka umum, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”. Penghinaan terhadap citra tubuh melalui media elektronik secara khusus diatur pada Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Teknologi Elektronik, yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Terdapat 996 kasus Body shaming di Indonesia pada tahun 2018 yang menunjukkan masih tingginya angka penghinaan terhadap citra tubuh seseorang yang dapat melukai perasaan seseorang sehingga menimbulkan mental illness seperti depresi yang parahnya juga dapat merenggut nyawa seseorang. Secara filosofis, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu putusan yang bersifat win lose solution2 dan dengan waktu yang lama dalam penyelesaiannya dapat mendorong terjadinya penumpukan kasus sebagaimana yang ditunjukkan melalui data tersebut yang juga bertentangan terhadap asas trilogi peradilan, yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan. Inilah yang kemudian mendorong diperlukan adanya penyelesaian perkara pidana melalui jalur Alternative Dispute Resolution atau biasa disebut ADR yang ditujukan agar dapat menjadi jawaban dalam upaya penyelesaian konflik antara pelaku dengan korban.3 Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian sengketa tidak ditentukan di dalam KUHAP ataupun peraturan lain di Indonesia, maka dari itu perlu adanya reformulasi pengaturan tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana mekanisme penegakkan hukum tindak pidana penhinaan citra tubuh (body shaming) dalam hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Apakah mediasi penal dapat dijadikan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Terdapat tujuan umum dan tujuan khusus pada jurnal ilmiah ini sebagai berikut:

  • 1.    Tujuan umum dari penulisan ini agar akademisi, praktisi, dan masyarakat mengetahui terdapat alternatif penyelesaian sengketa perkara tindak pidana body shaming melalui penal.

  • 2.    Tujuan khusus:

  • 1)    Mengetahui mekanisme penegakkan hukum tindak pidana penhinaan citra tubuh (body shaming) dalam hukum positif di Indonesia.

  • 2)    Menelaah dan memformulasikan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) dapat ditempuh melalui mediasi penal.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan mengananalisisnya.4 Jenis metode penelitian yang diterapkan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penilitian hukum yuridis normatif yang membahas

doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.5 Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach) mengenai pengaturan secara formil dan materiil terhadap perkara tindak pidana body shaming. Dengan menggunakan teknik deskripsi analisis tersebut yang dapat menjawab permasalahan melalui analisis bahan hukum serta perundang-undangan.6

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1.    Penegakkan Hukum Tindak Pidana Body Shaming Dalam Hukum Positif Indonesia

Sistem Peradilan Pidana merupakan sebuah proses atau teori pengendalian kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh aparat penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang. Dalam pengendalian tindak pidana Indonesia menerapkan sistem peradilan pidana yang berintegritas yang artinya dilakukan secara berbarengan oleh aparat penegak hukum. Adapun aparat penegak hukum yang terlibat, yaitu Kepolisian; Kejaksaan; Kehakiman; Lembaga Pemasyarakatan; dan Asosiasi Advokat.

Masing-masing dari penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang saling berkaitan satu sama lain dalam melakukan penegakkan hukum. Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk mengurangi tingkat kejahatan pidana dan untuk melindungi masyarakat juga ditujukan sebagai penegakkan hukum, dan yang menjadi objeknya adalah proses peradilan dari

perkara pidana itu sendiri dan seluruh sub sistem peradilan pidana mengacu pada KUHAP.

Body shaming adalah istilah yang merujuk kepada kegiatan mengkritik dan mengomentari secara negatif terhadap fisik atau tubuh orang lain atau bertindak mengejek/menghina dengan mengomentari fisik (bentuk tubuh maupun ukuran tubuh) dan penampilan seseorang.7 Dalam penyelesaian perkara tindak pidana body shaming atau penghinaan terhadap citra tubuh mengacu pada Undang-Undang Tahun 8 tahun 1981 yang dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga dikenal sebagai The Umbrella Act.

KUHAP karena didalamnya mengatur mengenai tata cara, prosedur peradilan pidana atau disebut juga mekanisme beracara dalam peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana melibatkan penyidik, penuntut umum dan hakim. penyelesaian perkara pidana meliputi: Penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian atau PNS yang diberikan wewenang oleh UU; Penuntutan dan eksekusi putusan hakim oleh Kejaksaan Negeri; Peradilan perkara oleh Hakim.

Tindak pidana body shaming merupakan delik aduan yang mana polisi dapat menindaklanjuti perkara apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan dan melakukan pengaduan. Setelah adanya pengaduan maka polisi akan menindaklanjuti perkara dengan melakukan penyelidikan yang ditentukan Pasal 5 KUHAP yakni menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan

serta memeriksa tanda pengenal diri, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Setelah melakukan penyelidikan maka penyelidik membuat dan menyampaikan laporan terhadap penyidik mengenai hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan. Apabila sudah memenuhi maka akan dikeluarkannnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan.

Dalam tahapan penyidikan, penyidik mengumpulkan alat bukti yang dapat menjadikan orang yang diduga menjadi tersangka. Dalam proses penyidikan juga dapat dilakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, maupun penyitaan. Melakukan pemeriksaan yang menghasilkan berita acara pemeriksaan yang digunakan sebagai sarana penunjang. Apabila telah dilaksanakan penyidik akan melimpahkan hasil penyidikan kepada penuntut.

Apabila berkas telah lengkap maka akan diberikan surat P21 sebagai tanda berkas sudah lengkap. Penuntutan akan dilakukan oleh seorang jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dalam hal ini penuntut umum memiliki wewenang untuk memeriksa berkas perkara dari penyidik, membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan dan melakukan penuntutuan. Setelah dilimpahkan pengadilan akan dijalankan proses seperti:

  • 1.    Pembukaan sidang

  • 2.    Pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum

  • 3.    Eksepsi oleh penasihat hukum

  • 4.    Putusan sela oleh hakim

  • 5.    Pembuktian dari penuntut umum dan penasihat hukum

  • 6.    Pembacaan surat tuntutan

  • 7.    Replik dari penasihat hukum

  • 8.    Putusan pengadilan

  • 9.    Eksekusi

Dalam penjatuhan putusan tersebutlah biasanya menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, pada perkara tindak pidana body shaming, proses beracaranya sama dengan kasus pidana pada umumnya yang rumit dan memakan waktu panjang sehingga tidak sesuai dengan asas trilogi peradilan.

  • 2.2.2 Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Body Shaming

Penyelesaian sengketa alternatif merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara sah menurut hukum berdasarkan consensus dari para pihak.8 Sengketa dalam hukum pidana disebut sebagai perkara. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa inti pengertian law enforcement ialah bertitik fokus untuk menyeleraskan keterkaitan nilai-nilai yang diuraikan dalam kaidah-kaidah yang dan menjabarkan sikap tindak sebagai rangkuman pengejawantahan pada nilai tahap akhir, guna menciptakan, memelihara serta mempertahankan kedamaian dalam kehidupan sosial.9

Didasari oleh teori diatas maka tujuan pemidanaan melalui retributive justice atau disebut juga sebagai pembalasan atas perbuatan tidak lagi relevan. Menjatuhkan putusan pemidanaan yang berujung ke lembaga pemasyarakatan tidak dapat dikatakan berhasil mengingat Lembaga Pemasyarakatan yang cenderung memiliki kesamaan dengan penjara yang mengasingkan terpidana dan merenggut kehidupan terpidana sehingga cenderung

kehilangan masa depannya. Ada pandangan yang mengatakan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan “sekolah untuk melakukan kejahatan”, sehingga bebasnya terpidana dari lembaga pemasyarakatan cenderung kembali melakukan kejahatan atau dikenal sebagai residivis.

John Delaney menyatakan bahwa kembalinya narapidana ke dalam masyarakat secara terintegrasi seharunya melalui tahapan self realization process, yakni proses yang meletakkan perhatian pada seksama pengalaman, nilai-nilai dan pengharapan serta cita-cita narapidana. Oleh karena itu, retributive justice sudah seharusnya digeser menjadi restorative justice.

Restorative Jutice yang sering disebut sebagai just peace principles.10 Alternative Dispute Resolution lahir sebagai suatu upaya penyelesaian perkara selain jalur penal.11 Menelisik lebih dalam perkara Body Shaming dapat diselesaikan melalui ADR (Alternatif Dispute Resolution) dengan menerapkan pendekatan Restorative Justice yang mengedepankan pemulihan bukan pembalasan (retributive justice).

Sejak dikeluarkannya Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalu ADR atau Alternative Dispute Resolution membuat mekanisme ini mulai luas dikenal. Lebih lanjut hal yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana oleh pengadilan ialah kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat12. Pendekatan

restoratif ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupakan perbuatan yang tercela di masyarakat dan menekankan pada upaya pengembalian pelaku kepada masyarakat agar nantinya ia dapat senantiasa mematuhi hukum serta menghargai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Terdapat sebuah kebutuhan akan pemikiran yang menempatkan jalur mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana sebagai suatu upaya penyelesaian secara menyeluruh dimana para pihak dalam perkara tersebut dapat menyelesaikan masalah dengan didasarkan pada kesadaran untuk menghormati hak-hak korban.13

Dalam Surat Edaran Kapolri No. SE / 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) ditentukan bahwa terdapat keharusan agar terpenuhinya syarat materiil yaitu berkaitan dengan tidak menimbulkannya keresahan atau penolakan dalam masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum.

Adanya prinsip pembatas pada pelaku bertalian dengan tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan (mens rea) dalam bentuk kesengajaan (dolus) terutama sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk) dan syarat pelaku bukan residivis pada tindak pidana dalam proses penyelidikan, penyidikan sebelum SPDP atau Surat Perintah Dimulainya Penyidikan dikirim ke Penuntut Umum.

Selanjutnya harus terpenuhi syarat formil yaitu adanya surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor),  terdapatnya akte dading atau surat pernyataan

perdamaian dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara diketahui oleh atasan penyidik, dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif serta semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban

manusia.

Dalam sistem peradilan pidana dikenal juga mengenai alternatif sistem peradilan pidana yang dikenal sebagai criminal court dispute resolutions) sebagai alternatif penyelesaian perkara diluar penal, yang kriterianya adalah adalah sebagai berikut14:

  • 1)    Jenis Perkara

  • a.    Tindak pidana ringan

  • b.    Jenis kualitas perkaranya sederhana dan mudah dibuktikan

  • c.    Kerugian dan akibat yang ditimbulkan ringan dan bernilai ekonomis

  • d.    Dapat diproses melalui normamasyarakat yaitu peradilan desa

  • 2)    Penyidikan dan penuntutan

  • a.    Penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Polri tanpa melibatkan jaksa

  • b.    Penyidik dan pelaku diberi kesempatan yang sama untuk membuktikan, dan apabila menurut alat bukti bersalah maka pelaku harus mengakui kesalahannya

  • c.    Diperlukannya lembaga jaminan dan perundingan yang berada diluar maupun didalam lembaga penuntutan namun bertugas secara integral.

  • d.    Para pihak dapat melakukan perundingan sendiri

  • e.    Menganut sistem praduga bersalah atau presumption of guilty

  • 3)    Pemeriksaan pengadilan dan putusan Hakim

  • a.    Lembaga peradilan menjamin hak setiap orang.

  • b.    Hakim bersifat sebagai penengah dalam musyawarah pelaku dan korban

  • c.    Sidang terbuka untuk umum

  • d.    Putusan hakim final dan binding.

Dasar-dasar yuridis tersebutlah yang dapat dijadikan acuan penerapan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian sengketa body shaming, sehingga dapat sesuai dengan asas trilogi peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan sehingga sesuai dengan tujuan hukum yang dikemukakan oleh Radbruch yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, sehingga tidak lagi adanya penumpukan perkara di pengadilan dan pemulihan pelaku tindak pidana mudah dilakukan karena dapat diterima dengan baik oleh masyarakat melalui mediasi penal sebagai bagian sistem restorative justice.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:

  • 1.    Mekanisme penegakkan hukum dalam penyelesaian tindak pidana body shaming di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang tercantum pada KUHAP sebagai

hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam penyelesaian perkara melibatkan aparat penegak hukum yang bekerja secara bersama-sama, yang pada akhirnya cenderung menjatuhkan putusan pemidanaan oleh pengadilan apabila terbukti bersalah. Proses yang dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, memutus, eksekusi.

  • 2.    Sesuai dengan Surat Edaran Kapolri No. SE / 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana body shaming dapat diterapkan pada perkara tindak pidana body shaming, sehingga dapat memperbaiki sistem pemidanaan di Indonesia melalui pemulihan atau restorative justice yang juga mengacu kepada sistem criminal court dispute resolutions.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Penerapan hukum positif dalam penegakkan kasus body shaming diharapkan mampu mengurangi terjadinya body shaming di masyarakat dan utnuk menghindari penumpukan perkara dan pemulihan yang dirasa kurang berhasil pada pelaku tindak pidana body shaming agar sesuai dengan asas trilogi peradilan yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan maka diperlukanlah alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi penal.

  • 2.    Mengingat tidak relevan lagi diterapkannya retributive justice dalam pemidanaan maka perlu adanya pertimbangan dalam menerapkan sistem penyelesaian perkara diluar penal yang dapat menghasilkan pemulihan pelaku tindak pidana tanpa harus menghilangkan masa depannya akibat pemidanaan yang mendapat pelabelan negatif di masyarakat melalui

penerapan restorative justice yaitu dengan mediasi penal dalam perkara pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

I Gusti Ayu Dike W, dkk. (2015), Rekonstruksi Pengaturan Confidential Principle Bagi Komunikasi Pada Mediasi Sengketa Perdata Di Indonesia: Studi Perbandingan Dengan Praktek Di Amerika Serikat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 2001, Pemberdayaan Court Management Dalam Rangka Meningkatkan Fungsi Mahkamah Agung (Kajian dari Aspek system Peradilan Pidana), Makalah Pada Seminar Nasional Pemberdayaan Court Manajement di Mahkamah Agung R.I., dan diskusi Buku Fungsi Mahkamah Agung, F.H., UKSW, Salatiga.

Soekanto, Soeryono, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang.

Jurnal

Gatri Puspa Dewi dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Tinjauan Yuridis Terhadap Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual, Kertha Wicara, Vol. 8 No. 3, Juni 2019.

Akmal, A, 2016, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pada Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengalami Kerugian Material    (Studi Di Polres

Jember), Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.

I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Indonesaia Bussiness Law Center. Jakarta.

Lasmadi, S, 2011, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum, 4(5).

Prayitno, K, 2012, Restorative Justice Untuk Peradilan Di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), Lisya Chairani,

2018, Body Shame Dan Gangguan Makan Kajian MetaAnalisis, Vol.26, No. 1,   12-17, Jurnal Ilmiah

Buletinpsikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)

Website

KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Online) Available at: http://kbbi.web.id/pusat. (Diakses 21 oktober 2019).

15