ASPEK KRIMINOLOGIS WHITE COLLAR CRIME DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI BUMN

Oleh:

Ni Wayan Suartini**

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

White collar crime merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang memiliki jabatan dengan menggunakan kewenangan yang dimiliki dalam pekerjaannya. White collar crime seringkali terjadi dalam tindak pidana korupsi yang tak terlepas dari korporasi terutama pada BUMN. Adanya kesempatan dalam jabatan di BUMN tersebut, membuka peluang maraknya terjadi kejahatan white collar crime. Adapun permasalahan hukum yang diangkat dalam penulisan ini yaitu aspek kriminologis yang terkait dengan kejahatan kerah putih dalam tindak pidana korupsi serta bagaimana upaya penanggulangan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kasus white collar crime di BUMN. Tujuan studi ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi aspek kriminologis terkait dengan white collar crime serta mengetahui upaya penanggulangan white collar crime dalam tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN. Metode penelitian yang digunakan pada studi ini adalah penelitian hukum empiris dengan pendekatan kasus dan juga pendekatan perundang-undangan. Hasil analisis dari studi ini adalah terdapat empat faktor terjadinya white collar crime yaitu teori asosiasi diferensiasi, teori sub-budaya, teori netralisasi, dan teori kesempatan. Serta terdapat upaya preventif dan represif dalam penanggulangan white collar crime. Upaya preventif tersebut adalah mengadakan pengawasan internal keuangan dalam BUMN, melakukan Operasi Tangkap Tangan secara rutin oleh KPK, dan melakukan penyeleksian dengan meningkatkan kualifikasi secara ketat terhadap calon yang akan menduduki sebuah jabatan dalam

Aspek Kriminologis White Collar Crime dalam Tindak Pidana Korupsi merupakan karya tulis ilmiah diluar ringkasan skripsi.

Penulis pertama adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi : nwsuartini@gmail.com.

Penulis kedua adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi : ari_atudewi@unud.ac.id.

BUMN. Sedangkan upaya represif yang dapat dilakukan adalah melakukan penindakan tegas terhadap pelaku white collar crime berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kata Kunci: Kriminologis, Korupsi, BUMN.

Abstract

White collar crime is a form of crime committed by individuals or groups who have positions using the authority possessed in their work. There are opportunities in the corporation, opening up opportunities for white collar crime especially in BUMN.The legal issues raised in this paper are the criminological aspects related to white collar crimes in corruption and how mitigation efforts can be done to minimize white collar crime cases in BUMN.The purpose of this study is to find out the factors that become criminological aspects related to white collar crime and find out the efforts to overcome white collar crime in corruption in BUMN. The research method used in this study is empirical legal research with a case approach and also a legislative approach. The results of the analysis of this study are founded four theory in white collar crime , that is differential association theory, sub-culture theory, netralization theory, opportunity theory. And have preventive and repressive efforts in tackling white collar crime. The preventive effort is to conduct internal financial oversight in BUMN, carry out by Capture Hands Operation regularly by the Corruption Eradiction Commission, and make selections by tightly increasing the qualifications of candidates who will occupy a position in BUMN. While repressive efforts that can be done is to take firm action against white collar crime perpetrators based on Article 20 Years 2001 about Corruption Criminological Eradiction.

Keywords: Criminology, Corruption, BUMN.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Era globalisasi yang sarat akan kemajuan teknologi membuat mudahnya akses kejahatan. Tidak terkecuali dengan white collar crime. Istilah white collar crime merupakan simbol dari jabatan. Menurut Lerry J. Siegel, dalam bidang kegiatan ekonomi

bentuk pelanggaran hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu white collar crime dan organized crime. 1 Kedua bentuk pelanggaran hukum tersebut seringkali dianggap sama, dapat memanfaatkan jabatannya tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana. Saat ini white collar crime tidak hanya tertuju pada pemerintahan, tetapi pada sektor swasta atau korporasi yang merupakan badan hukum. Terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara sektor pemerintah dan swasta menjadi perkembangan kejahatan baru dalam dunia hukum.2 Berdasarkan data yang diperoleh dari website KPK, pada tahun 2017-2019 terdapat berbagai kasus white collar crime seperti pada tabel berikut:

Tabel.1 Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Profesi/Jabatan

Jabatan

2019

2018

2017

Anggota DPR dan DPRD

8

103

20

Kepala Lembaga/Kementrian

1

1

0

Duta Besar

0

0

0

Komisioner

0

0

0

Gubernur

0

2

1

Walikota/Bupati dan Wakil

9

30

13

Eselon I/II/III

8

24

43

Hakim

0

5

3

Jaksa

1

0

1

Polisi

0

0

0

Pengacara

1

4

0

Swasta

26

56

28

Lainnya

9

31

13

JUMLAH KESELURUHAN

64

260

123

Sumber Data :

https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-profesi-jabatan

Berdasarkan data tersebut dapat diamati bahwa white collar crime pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan serta ekonomi yang mapan. Kesempatan yang terdapat dalam jabatan tersebut membuka peluang maraknya terjadi kejahatan white collar crime. Selain data diatas, terdapat hasil pemantauan oleh Indonesia Corruption Watch sepanjang tahun 2018 :

Tabel.2 Pemetaan Korupsi Berdasarkan Modus

No.

Modus

Jumlah Kasus

Nilai Kerugian Negara

Nilai Suap/Gratif ikasi/Pung utan Liar

Nilai Pencucia n Uang

1.

Mark Up

76

Rp 541 M

-

-

2.

Penyalahgunaan

Anggaran

68

Rp 455 M

-

-

3.

Penggelapan

62

Rp 441 M

-

-

4.

Laporan Fiktif

59

Rp 160 M

-

-

5.

Suap

51

-

Rp 67,9 M

Rp 57 M

6.

Kegiatan/Proyek Fiktif

47

Rp 321 M

-

-

7.

Pungutan Liar

-

-

Rp 6,7 M

-

8.

Penyalahgunaan

Wewenang

20

Rp 3,6 T

-

-

9.

Pemotongan

16

Rp 38,2 M

-

-

10.

Gratifikasi

7

-

Rp 65,9 M

-

11.

Pemerasan

2

-

Rp 80 Juta

-

12.

Anggaran Ganda

2

Rp 2,7 M

-

-

13.

Mark Down

1

Rp 1,4 M

-

-

TOTAL

Rp 5,6 T

Rp 140,8 M

Rp 91 M

Sumber Data :

https://antikorupsi.org/id/tren/tren-penindakan-kasus-korupsi-2018

Ketiga belas kasus tersebut, 70% diantaranya adalah kasus white collar crime antara pemerintah dengan BUMN yang terdiri dari korporasi. Pejabat BUMN yang sedang terkena kasus white collar crime diantaranya eks Direktur Utama Garuda Indonesia

Emirsyah Satar, eks Direktur Utama PTPN III Dolly Pulungan, eks Direktur Keuangan Angkasa Pura II Andra Y Agussalam, eks Direktur Teknologi dan Produksi Krakatau Steel Wisnu Kuncoro, eks Direktur Utama PLN Sofyan Basir, eks Direktur Utama Asuransi Jasindo Budi Tjahjono, eks Direktur Utama PT. Industri Telekomunikasi Indonesia Darman Mappangara, eks Direktur Keuangan PT. Nindya Karya Edy Sularso, dan masih banyak lagi kasus lainnya.3

Kejahatan ini merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sangat merugikan negara maupun masyarakat lainnya.4 Sehingga berdasarkan tabel diatas, perkembangan white collar crime dalam BUMN setiap tahunnya masih banyak terjadi dan perlu diketahui beberapa aspek kriminologis yang menyebabkan terjadinya tindak pidana tersebut.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur mengenai kejahatan yang melibatkan jabatan atau kedudukan. Namun KUHP belum mengatur korporasi yang merupakan salah satu tempat terjadinya white collar crime. Rumusan ini tidak memuaskan sehingga dalam penerapan hukumnya sering terjadi ketidakpastian dalam penjatuhan pidananya. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diambil judul “ASPEK KRIMINOLOGIS WHITE COLLAR CRIME DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI BUMN”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat diangkat berdasarkan latar belakang tersebut adalah :

  • 1.    Apakah aspek kriminologis yang terkait dengan white collar crime dalam tindak pidana korupsi pada korporasi di BUMN?

  • 2.    Bagaimana upaya penanggulangan white collar crime dalam Tindak Pidana Korupsi di BUMN?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi aspek kriminologis terkait dengan white collar crime serta mengetahui upaya penanggulangan white collar crime dalam tindak pidana korupsi di BUMN.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang dikonsepkan sebagai gejala empiris terjadinya white collar crime dalam BUMN sehingga dapat mempengaruhi penanggulangan dalam tindak pidana korupsi yang ada di BUMN.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Aspek Kriminologis Terkait White Collar Crime dalam Tindak Pidana Korupsi di BUMN

Berdasarkan Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara

melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Istilah kriminologi merupakan ilmu pengetahuan dalam mempelajari kejahatan.5 Ditinjau melalui aspek kriminologis, white collar crime dapat disebabkan oleh occupational crime dan corporate crime. Occupational crime terdiri dari pelanggaran yang dilakukan oleh individu dihubungkan dengan jabatannya untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan corporate crime terdiri dari pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi maupun pegawainya untuk kepentingan korporasi.6 Kasus white collar crime di Indonesia terdiri dari kejahatan individu maupun korporasi seperti yang terjadi dalam BUMN.

Beberapa teori kriminologi yang berkembang dapat diklasifikasikan menjadi penyebab adanya white collar crime dalam BUMN, yaitu pertama differential association theory (teori asosiasi diferensial). Sutherland berpendapat bahwa kejahatan dipelajari dari tingkah laku manusia yang dapat diambil dari faktor sejarah, sehingga dapat menjelaskan seba-sebab terjadinya kejahatan.7 Selain itu, Gabriel Tarde berpendapat bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang merupakan hasil peniruan terhadap tindakan kejahatan yang telah ada dalam masyarakat. Sejarah korupsi di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda. Pejabat dalam serikat dagang VOC pada masa kolonial telah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyebabkan VOC itu mengalami

kebangkrutan dengan utang sebesar 136,7 juta gulden.8 VOC akhirnya bubar pada tanggal 31 Desember 1799 setelah berdiri kurang lebih selama 197 Tahun. Agus Rahardjo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi mengadakan suatu riset bahwa perilaku korupsi sejak masa kolonial tersebut telah membuat sebuah kebiasaan baru.9 White collar crime yang dilakukan oleh anggota VOC yang memiliki jabatan membuat korupsi dan kolusi dapat dipelajari secara berulang oleh para anggotanya. Proses peniruan ini ternyata menularkan perbuatan diluar kelompok, terutama pada pejabat-pejabat dalam BUMN.10

Teori yang kedua adalah sub-culture theory (teori sub-budaya) yang disebabkan oleh budaya Indonesia.11 Semenjak masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto telah terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme selama kurang lebih 32 tahun oleh para pejabat atau petinggi di dalamnya. Berdasarkan sub-culture theory, membuat budaya korupsi pada BUMN terjadi terus-menerus.

Teori kriminologi yang ketiga adalah netralization theory (teori netralisasi), asumsi dari teori ini adalah aktivitas manusia selalu dikendalikan oleh pemikirannya. Bahwa setiap manusia berpotensi untuk melakukan kekhilafan, terutama bagi orangorang yang telah memiliki jabatan tentunya keserakahan menjadi salah satu sifat alami manusia yang mendorong terjadinya white

collar crime. Orientasi utama penyebab kejahatan adalah kebutuhan hidup. Disaat kebutuhan hidup itu terasa cukup, maka seseorang akan berhenti melakukan kejahatan tersebut. Namun berbeda dengan white collar crime yang orientasinya adalah faktor keserakahan. Pejabat BUMN yang melakukan white collar crime tidak akan pernah berhenti karena tidak akan ada rasa puas ketika melakukannya.

Pelaku white collar crime berdasarkan tipologi perilakunya merupakan kalangan orang yang memiliki jabatan dalam BUMN yang terdiri dari korporasi memiliki kemampuan intelektual tinggi. Hal ini menyebabkan dalam proses pengungkapannya menjadi sangat sulit dengan modus operandi yang dilakukan oleh pelaku white collar crime dan kecanggihan pelaku dalam menghilangkan jejak. Modus operandi tindak pidana korupsi sangat bervariasi karena terkait dengan berbagai bidang seperti dalam administrasi, pemerintahan, perpajakan, perbankan dan yang lainnya.12

Teori kriminologi lain yang menjadikan terjadinya white collar crime di BUMN adalah opportunity theory (teori kesempatan). Coleman berpendapat bahwa ketika adanya jabatan dan sarana membuat kesempatan dan dianggap menjadi satu-satunya metode untuk masih mencapai kekayaan, atau dengan kata lain “takut jatuh” merupakan sebuah motivasi yang kuat bagi pelaku white collar crime tersebut.13 Keempat aspek kriminologis tersebut membuat white collar crime dalam BUMN sangat sulit diungkap sehingga membutuhkan penanganan yang khusus, ekstra, dan serius untuk ditangani.

  • 2.2.2    Upaya Penanggulangan White Collar Crime dalam Tindak Pidana Korupsi di BUMN

Sutherland mengemukakan konsep white collar crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat yang berhubungan dengan pelaksanaan jabatannya untuk melakukan sebuah kecurangan.14 Johann Miller membagi white collar crime menjadi 4 (empat) bagian, yaitu kejahatan jabatan, kejahatan korporasi, kejahatan profesional, dan kejahatan individual. Realitanya, white collar crime tidak dilakukan secara sendirian, melainkan secara bersama-sama seperti yang terjadi dalam BUMN.15 Komisi Pemberantasan Korupsi dan Menteri BUMN memberikan rekomendasi terkait upaya penanggulangan white collar crime sebagai berikut:

  • 1.    Mengadakan Pengawasan Internal Terkait Keuangan di BUMN.

BUMN yang merupakan badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara harus melakukan pengawasan internal keuangan di dalamnya dalam bentuk laporan bulanan yang terpublikasi, karena selama ini hanya sedikit BUMN yang mempublikasikan laporan keuangan bulanannya kepada publik sehingga pengawasan internal perlu dilakukan selaras dengan kerjasama terhadap Badan Pemeriksa Keuangan juga Komisi Pemberantasan Korupsi.

  • 2.    Melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Secara Rutin.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi membuat KPK memiliki peran yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi, khususnya white collar crime karena KPK bersifat independen atau bebas dari pengaruh pihak manapun. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) secara rutin dalam BUMN guna melihat situasi apakah white collar crime masih sering terjadi dalam lingkungan pemerintah maupun korporasi.16

  • 3.    Melakukan Penyeleksian dengan Meningkatkan Kualifikasi Secara Ketat Terhadap Calon yang Akan Menduduki Sebuah Jabatan di BUMN.

Sebuah jabatan memegang peran yang sangat penting dan berpengaruh dalam suatu posisi. Penyeleksian secara ketat perlu dilakukan agar setiap orang yang memiliki jabatan berkompeten dalam bidangnya. Hal ini meminimalisir peluang dalam terjadinya white collar crime dalam BUMN. Karena pada dasarnya, seseorang yang telah memiliki jabatan harus memiliki integritas yang tinggi dan terlepas dari faktor nepotisme.

  • 4.    Menerapkan Sanksi Pidana Terkait White Collar Crime.

Penerapan sanksi pidana terkait white collar crime yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah)”. Sehingga tercipta tujuan pemidanaan bagi pejabat BUMN yang melakukan white collar crime agar memberikan efek jera.17

Keempat upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi dan menghilangkan praktek adanya white collar crime dalam BUMN yang terdiri dari berbagai macam korporasi. Korporasi tidak memiliki mens rea sehingga tidak dapat dijatuhi pertanggungjawaban pidana apabila korporasi tersebut ikut serta melakukan white collar crime. Pasal 55 KUHP hanya membahas mengenai unsur subyektif terkait keikutsertaan seseorang yang melakukan perbuatan tersebut, dengan mengatasnamakan korporasi, para pelaku white collar crime dapat bebas bertindak dan terlindung dari jerat hukum.18 KUHP perlu membahas mengenai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi Sehingga dapat melengkapi dan menguatkan peraturan yang sudah ada dan kemudian dapat diterapkan menjadi suatu upaya represif.

  • III.    Penutup

    • 3.1    Kesimpulan

Aspek kriminologis terkait dengan white collar crime dalam tindak pidana korupsi di BUMN terdiri dari empat teori, yaitu differential association theory yang berasal dari faktor sejarah pada

masa VOC, sub-culture theory yaitu berasal dari budaya korupsi yang telah disalahgunakan dan sekarang menjadi suatu kebiasaan, netralization theory bahwa aktivitas manusia selalu dikendalikan oleh pemikirannya sehingga ketika orang yang memiliki jabatan dalam BUMN menjadi serakah, dan opportunity theory yaitu ketida adanya kesempatan membuat white collar crime dalam BUMN terus menerus terjadi sehingga membuat perasaan “takut jatuh”.

Upaya penanggulangan white collar crime dalam tindak pidana korupsi di BUMN terdiri dari upaya preventif yaitu dengan mengadakan pengawasan internal keuangan dalam BUMN, melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) secara rutin yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, melakukan penyeleksian dengan meningkatkan kualifikasi secara ketat terhadap calon yang akan menduduki sebuah jabatan di BUMN. Upaya represif yang dapat dilakukan adalah dengan cara melakukan penindakan tegas terhadap pelaku white collar crime di BUMN berdasarkan hukum yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  • 3.2    Saran

Bagi pemerintah seharusnya dapat memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya white collar crime dalam BUMN.

Bagi pembentuk undang-undang, perlu adanya pembuatan pengaturan mengenai korporasi di Indonesia agar pengaturan sanksi pidana dalam korporasi seperti BUMN dapat sesuai dengan konsep atau tujuan pemidanaan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

A.    BUKU

Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Suartha, I Dewa Made, 2015, Hukum Pidana Korporasi, Setara Press, Malang.

  • B.    JURNAL/ARTIKEL ILMIAH

Badri, Muhammad, White Collar Crime Sebagai Kejahatan Individual yang Berkaitan Dengan Hukum Pidana dan Kegiatan Perekonomian,  Jurnal Fakultas Hukum

Universitas Batanghari, 1 (20), 2014.

Djanggih, Hardianto dan Nurul Qamar, Penerapan Teori-Teori Kriminologi dalam Penanggulangan Kejahatan, Jurnal Pandecta UNNES, 13 (1), 2018.

Firdausi, Firman dan Asih Widi Lestari, Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif, Jurnal Unitri, 6 (1), 2016.

Hakim, Uminah, Eksistensi Akuntansi Forensik Dalam Penyidikan Dan Pembuktian Pidana Korupsi, UNNES Law Journal, 3 (1), 2014.

Mahardika, Bisma Putra, Urgensi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Akibat Bencana oleh Korporasi, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2 (1), 2014.

Prakoso, Abintoro, Kriminologi dan Hukum Pidana, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jember, 1(1), 2017.

Runturambi, Josias Simon, Sisi Kriminologi Pembalakan Hutan Ilegal: Suatu Telaah Awal, Jurnal Kriminologi Indonesia, 3 (1), 2003.

Suwitri, Sri, Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sebuah Upaya Reformasi Birokrasi, Dialogue, 4 (1), 2007.

Wisnu Kesuma Sari, A.A Ayu Windah dan Sagung Putri M.E. Purwani, Pengetatan Syarat Pemberian Remisi Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif HAM, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, 8 (4), 2019.

Wulandari, Riski dan Sagung Putri M.E Purwani, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Menangani Tindak Pidana Korupsi Yang Di Atur Dalam RUU KUHP, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, 8 (5), 2019.

Zakiyah, Millatuz, dkk, Semantik Prototipe Korupsi: Kajian Linguistik Kognitif, Jurnal Retorika Universitas Brawijaya, 11 (2), 2018.

  • C.    INTERNET

Adi, Bernadinus, 2017, Ketua KPK : Korupsi Adalah Perilaku Warisan yang Ditinggalkan Belanda, URL : https://www.rappler.com/indonesia/berita/178292-agus-raharjo-korupsi-perilaku-kolonial-belanda, diakses tanggal 10 September 2019.

Arsip Nasional Republik Indonesia, Surat-Surat Diplomatik 1625-1812, https://sejarahnusantara.anri.go.id/id/diplomatic-letters/, diakses tanggal 10 September 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019, URL : https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-profesi-jabatan, diakses tanggal 10 September 2019.

Putra, Muhammad Andhika, 2017, “KPK Soal Setnov : Kejahatan Kerah Putih Tak Mungkin Sendirian”, URL : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170925224 252-12-244014/kpk-soal-setnov-kejahatan-kerah-putih-tak-mungkin-sendirian, diakses tanggal 30 Agustus 2019.

Victoria, Agatha Olivia, 2019, Sri Mulyani Sebut Para Bos BUMN yang Ditangkap KPK Sebagai Pengkhianat, https://www.katadata.co.id/berita/2019/10/04/sri-

mulyani-sebut-para-bos-bumn-yang-ditangkap-kpk-sebagai-pengkhianat, diakses tanggal 23 November 2019.

  • D.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 75; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851).

16