PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PROSTITUSI SECARA ONLINE MELALUI SOSIAL MEDIA LINE DAN WHATSAPP
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PROSTITUSI SECARA ONLINE MELALUI
SOSIAL MEDIA LINE DAN WHATSAPP*
Oleh:
I Putu Diland Agustya Sandika Putra, email: dilandasp1@gmail.com. Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali **
I Wayan Suardana, email: suardana.wayan57@yahoo.com. Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali ***
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Prostitusi online merupakan suatu tindakan yang melanggar nilai – nilai kesusilaan di masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk membahas mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku prostitusi online melalui media sosial Line dan Whatsapp. Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang – undangan dan pendekatan fakta. Artikel ini menyimpulkan bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana prostitusi harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah dengan sengaja melawan hukum. Tulisan ini juga menyimpulkan KUHP dan UU terkait sampai saat ini belum mengatur secara tegas dan jelas mengenai pengguna layanan prostitusi. Pengaturan tindak pidana pengguna layanan terkait prostitusi secara online menurut hukum positif di Indonesia belum spesifik diberlakukan untuk menjerat pengguna layanan, sebab mengenai pengguna layanan pada prostitusi online tidak ada diatur, sehingga pengguna layanan prostitusi tidak bisa dijerat berlandaskan hukum positif di Indonesia. Dan juga Aturan – aturan yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna layanan prostitusi diatur di dalam Peraturan Daerah dari beberapa daerah di Indonesia. Yang artinya penanggulangan kasus prostitusi sangat bergantung dengan lokasi daerah yang menjadi tempat kejadian perkara.
Kata kunci : Pertanggungjawaban, Prostitusi, Pelaku.
ABSTRACT
Online prostitution is an act that violates the values of decency in society. This article aims to discuss criminal liability against online prostitution via social media Line and Whatsapp. This paper is a normative legal research with a statutory approach and a fact approach. This article concludes that a person who commits a crime of prostitution must be able to account for his actions because he has deliberately violated the law. This paper also concludes that the Criminal Code and related laws have not yet explicitly and clearly regulated the use of prostitution services. The regulation of criminal acts of users of services related to prostitution online according to positive law in Indonesia has not been specifically applied to ensnare service users, because there is no regulation regarding service users in online prostitution, so that users of prostitution services cannot be ensnared based on positive law in Indonesia. And also the rules that can be used to ensnare users of prostitution services are regulated in the Regional Regulations of several regions in Indonesia. Which means that the handling of prostitution cases is very dependent on the location of the area where the crime case took place.
Keywords: Accountability, Prostitution, Perpetrators.
Hadirnya Smartphone yang beredar di Indonesia dengan berbagai jenis dan tipe semakin memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi atau berkomunikasi melalui jejaring sosial. Era baru telah dimulai dengan komunikasi berbasis data seluler. Setiap pengguna smartphone tentunya memiliki aplikasi sosial media, line dan whatsapp adalah beberapa contoh dari aplikasi media sosial yang terhubung melalui internet dan dan amat popular di Indonesia. Bahkan dapat mengalahkan pamor aplikasi sosial media lainnya yang sejenis, dan perlahan – lahan mulai menggeser popularitas dari blackberry messanger (BBM) sebagai aplikasi yang berbasis dari send message sending (sms) yang populer pada masanya. Fitur – fitur baru yang terdapat pada aplikasi sosial media line dan whatsapp tersebut semakin memudahkan penggunanya untuk berkomunikasi. Mulai dari fitur video call, group message, voice note, story, serta emoticon yang di tawarkan sangat beragam. Line dan Whatsapp yang awalnya digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara global, kini digunakan sebagai sarana untuk memasarkan transaksi seks dalam modus operandi yang baru.
Ketika peradaban manusia telah memasuki era reformasi yang di tandai dengan aksesabilitas informasi yang sangat tinggi dan didukung dengan 2
perkembangan teknologi multimedia maka muncul masalah prostitusi yang baru. Prostitusi menurut James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Topo Santoso merupakan “The offering of sexual relations for monetary or other gain” (penawaran hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya).1 Bentuk dan mekanisme prostitusi sangat beragam, yaitu yang terorganisir dan tidak terorganisir. Pertama yang terorganisir yaitu dengan munculnya lokalisasi, contohnya adalah panti pijat, rumah bordil, klub malam, dsb. Kedua yang tidak terorganisir dapat ditemukan pada wanita panggilan maupun wanita yang menjajakan diri di pinggir jalan.2
Beragam bentuk prostitusi tidak mengenal geografis ( kota atau desa), kelas atas (hotel mewah) sampai kelas bawah ( warung remang – remang, tempat lokalisasi). Berbagai masalah pun timbul muncul akibat dari adanya prostitusi seperti penyakit menular seksual, kekerasan terhadap PSK, sampai dengan konflik dengan masyarakat sekitar.3 Bonger dan Mudjijono berpendapat bahwa prostitusi adalah gejala sosial pada saat wanita menjajakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagaipekerjaan atau mata pencahariannya.4
Jadi Prostitusi adalah seks untuk pencaharian, terkandung beberapa tujuan yang ingin diperoleh, biasanya berupa uang, termasuk didalamnya bukan saja persetubuhan tetapi juga setiap bentuk hubungan seksual dengan orang lain untuk mendapatkan bayaran. Dalam prostitusi terlibat tiga komponen penting yakni pelacur (prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggannya (client) yang dapat dilakukan secara konvensional maupun melalui dunia maya. 5
Ketentuan hukum positif yang ada di Indonesia hanya bisa mengenakan pertanggungjawaban pidana pada mereka yang membantu serta penyedia
pelayanan seks secara illegal, artinya pertanggungjawaban pidana hanya diberikan untuk mucikari atau germo, serta pekerja seks komersial sebaliknya tidak ada pasal yang diaturnya pengguna jasa seks komersial.6
Pasal 296 KUHP menentukan bahwa pemidanaan hanya dapat dikenakan bagi orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan. Selanjutnya dalam Pasal 506 KUHP disebutkan “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”. Melihat dari rumusan pasal – pasal tersebut maka pemidanaan hanya dapat dilakukan kepada mucikari atau germo (pimp).
Pidana yang dijatuhkan terhadap mucikari atau germo (pimp) berupa pidana pokok yakni pidana penjara dan kurungan namun aktivitas prostitusi tetap tidak dapat ditanggulangi. Ketentuan mengenai legalitas wilayah lokalisasi justru diatur melalui peraturan daerah dan terhadap pelacur (prostitute) hanya mampu dijaring dengan ketentuan administrasi kependudukan. Untuk prostitusi konvensional di beberapa daerah di bali seperti daerah semawang, cargo, dan sanur. Razia di daerah lokalisasi hanya bertujuan untuk menjaring peredaran minuman keras, penyalahgunaan narkotika, dan administrasi kependudukan. Meskipun begitu, aktivitas prostitusi ini sangat berbenturan dengan nilai – nilai filosofis dan kultur di Indonesia. Demoralisasi yang terjadi akibat kegiatan prostitusi ini semakin diperparah dengan penggunaan internet sebagai media marketing dalam penawaran jasa sexual tourism.
Seperti contoh pada kasus artis Vanessa Angel yang baru – baru ini mencuat di media masa, dari kasus tersebut yang hanya dikenakan pidana hanyalah pihak mucikari atau germo dan pihak artis VA selaku yang menjadi pelayan jasa prostitusi secara online. Sedangkan pengguna layanan atau pelanggan dari prostitusi tersebut tidak dikenakan pidana. Artis yang sudah
melanglang buana di dunia hiburan tersebut dikenakan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE dengan pertimbangan dia secara langsung mengeksploitasi dirinya kepada muncikari, pengiriman foto pribadi dari VA juga ia sebarkan sendiri kepada beberapa tersangka muncikari yang sebelumnya sudah ditangkap oleh Polda Jatim.7 Belakangan, pemberitaan media menyorot siapa orang yang ‘memesan’ jasa kedua artis tersebut. Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jawa Timur AKBP Harissandi mengungkapkan, adalah pengusaha berinisial R yang menyewa jasa VA. Dia merupakan pengusaha tambang pasir yang memiliki pertambangan di Lumajang. "R itu pengusaha pasir. Dia usahanya banyak, di Lumajang ada. Usahanya banyak," kata Harissandi saat ditemui di Mapolda Jatim seperti dilansir Antara di Surabaya, Senin (7/1). Sebelumnya, penyidik dari Polda Jatim sempat memeriksa R usai digerebek di salah satu hotel di Surabaya dengan artis berinisial VA. Pemeriksaan tersebut hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, polisi melepas R karena statusnya hanya sebagai saksi.8
Meskipun pengaturan mengenai larangan prostitusi online terlah dirumuskan dengan jelas dalam hukum positif namun penegakan hukum dalam kasus ini sangat sulit dilakukan. Hali ini disebabkan karena sulitnya menentukan yurisdiksi dari prostitusi online. Berkat kemajuan informasi para netter dapat bertransaksi prostitusi secara online. Prostitusi secara online dalam cyberspace yang telah meresahkan banyak kalangan beserta saksi – saksi yang telah ditetapkan oleh KUHP, Undang – Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang – Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang – Undang No 44 tahun 2008 Tentang Pornografi secara lebih mendalam. Dalam hal dasar hukum yang memiliki kaitan erat pada pokok permasalahan ini adalah KUHP Pasal 296 dan Pasal 506, UU No 19 tahun 2016 Pasal 27 ayat 5 (1), UU No 44 tahun 2008 Tentang Pornografi Pasal 30 juncto Pasal 4 ayat (1). Artikel ini akan membahas mengenai bagaimana
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku prostitusi secara online melalui media sosial line dan whatsapp.
Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat dari latar belakang diatas yakni:
-
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna layanan prostitusi online melalui media sosial?
-
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna layanan prostitusi online di masa yang akan datang?
Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu, karena dengan adanya tujuan tersebut akan memberikan arah yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut, baik tujuan secara umum maupun khusus.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana yang berhubungan dengan perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi. Serta pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna layanan prostitusi online melalui media sosial dan pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna layanan prostitusi online di masa yang akan datang
Tujuan khusus dari penelitian ini yang ingin dicapai, yaitu :
-
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna layanan prostitusi online melalui media sosial
-
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna layanan prostitusi online di masa yang akan datang
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yang dimana pada pembahasan menggunakan pendekatan peraturan Perundang-undangan yang berlaku (statute approach) sebagai sumber dari bacaan dan disamping itu juga pendekatan menggunakan bahan-bahan kepustakaan dan konsep-konsep (conceptual approach) yang ada juga menjadi sumber bahan hukum yang digunakan dalam melakukan pembahasan.9 Sumber bahan hukum yang akan digunakan adalah berupa bahan hukum primer yang berupa buku-buku serta kepustakaan lainya yang belum atau yang sudah ditelaah, kemudian dijadikan satu serta nantinya akan dikaitkan dengan rumusan masalah yang ada di dalam jurnal ini.10 2.2 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum normatif ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan yakni, pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach).11 Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian berupa pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan Pendekatan Analisis (Analitycal Approach). Artinya dalam menelaah permasalahan yang ada dikaji melalui disiplin ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada kaitanya dengan permasalahan yang akan dibahas.
Dalam penelitian ini, teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik deskripsi. Analisis dilakukan dengan memaparkan isi hukum dengan menguraikannya secara lengkap dan jelas untuk selanjutnya dilakukan pengklasifikasikan terhadap bahan-bahan hukum tertulis melalui proses analisis dan dikaitkan dengan teori, konsep serta doktrin para sarjana.
Selanjutnya, dilakukan penafsiran sistematis dan gramatikal. Penafsiran sistematis dilakukan dengan titik tolak dari aturan suatu konsep/aturan hukum dan mengaitkannya dengan konsep/aturan hukum lainnya. Sedangkan penafsiran secara gramatikal dilakukan dengan mencari arti/esensi dari suatu substansi aturan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya tiap kalimat menurut bahasa hukum ataupun bahasa keseharian.
-
III. PEMBAHASAN
Mengenai prostitusi online dalam pengaturan Hukum positif yakni KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Mengenai Pemidanaan yang diatur pada KUHP dan UU tersebut menerangkan pemidanaan kepada penyedia layanan saja. KUHP dan UU tersebut tidak ada yang merumuskan ketentuan pemidanaan terkait pengguna layanan prostitusi pada tindak pidana prostitusi online.
Berikut kesimpulan dari penjelasan pasal pada KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 44 tahun 2008 Tentang Pornografi, yaitu:
-
1. KUHP
Dalam KUHP tidak ditemukan pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna layanan seks komersial dan pekerja seks komersial. Seperti yang diatur pada Pasal 296 serta Pasal 506 KUHP tidak ada ditujukan terhadap pengguna layanan seks komersial dan pekerja seks komersial, namun hanya mengacu terhadap germo dan mucikari sebagai
penyedia layanan prostitusi. KUHP sekarang ini sebenarnya sudah patutnya direvisi, karena dengan merevisi KUHP untuk memperkuat serta menerangkan semua tindakan yang bersifat kesusilaan.12
-
2. Menurut UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dari semua pasal dari UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak ada menyebutkan kata prostitusi di dalamnya. Hanya pada Pasal 27 yang menyebutkan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang, menyebut kata kesusilaan yang menyangkut untuk hal-hal yang mengandung pornografi. Beda halnya kesusilaan dengan prostitusi online. UU ini tidak menjelaskan terhadap sanksi pidana buat para pengguna layanan prostitusi online. Dan pelaku pengguna layanan prostitusi online tidak dapat dijerat, jadi bisa dikatakan UU ini tidak tepat digunakan untuk menanggulangi permasalahan prostitusi online.
-
3. Menurut UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak dapat menjerat pengguna jasa prostitusi online, UU ini hanya membatasi pihak-pihak yang dapat dikenakan adalah sanksi bagi pelaku penyedia layanan terdapat dalam Pasal 30, sanksi bagi mendanai atau memfasilitasi pada Pasal 33, sanksi bagi pekerja seks komersial pada Pasal 34, serta sanksi bagi mucikari pada Pasal 35. Berdasarkan peraturan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut dapat dikatakan bahwa belum adanya penjelasan yang secara pasti mengatur tentang pengguna layanan seks komersial.
Undang – Undang di Indonesia yang mengatur mengenai prostitusi baik secara konvensional maupun online seperti KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE, dan UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi tidak ada yang mengatur mengenai pidana bagi pengguna layanan prostitusi. Aturan – aturan yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna layanan prostitusi diatur di dalam Peraturan Daerah dari beberapa daerah di Indonesia. Yang artinya penanggulangan kasus prostitusi sangat bergantung dengan lokasi daerah yang menjadi tempat kejadian perkara. Berikut beberapa contoh Peraturan Daerah yang mengatur sanksi bagi pengguna layanan prostitusi prostitusi sebagai berikut :
-
1. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum
Berdasarkan bunyi Pasal 42 ayat (2), siapapun dilarang untuk : a.) menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b.) menjadi penjaja seks komersial; c.) memakai jasa penjaja seks komersial. Bagi yang melanggar PERDA ini diancam paling singkat pidana kurungan dua puluh hari dan paling lama sembilan puluh hari, atau denda sedikitnya lima ratus ribu rupiah dan paling banyak tiga puluh juta rupiah.
-
2. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum
Pasal 39 ayat (1) Setiap orang dilarang : a. melakukan perbuatan prostitusi; b. menawarkan dan/atau menyediakan diri sendiri untuk perbuatan prostitusi; c. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa, menawarkan orang lain untuk melakukan perbuatan prostitusi; dan d. memakai jasa prostitusi. Sanksi pidananya diatur dalam pasal 58 ayat (2) yaitu : siapapun yang melanggar ketentuan PERDA ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan dapat dikenakan sanksi lain dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
3. PERDA Kab. Badung NO.7 TH. 2016 Tentang Ketertiban Umum Dan Ketenteraman Masyarakat
Pasal 26 ayat (2) Siapapun dilarang: a. menawarkan dan/atau menyediakan diri sendiri untuk perbuatan prostitusi; b. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan prostitusi; dan c. memakai jasa prostitusi. Ketentuan sanksi pidananya diatur dalam Pasal 32 ayat (2) siapapun yang melanggar ketentuan PERDA ini dapat diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dari perjalanan kasus prostitusi yang ada, hanya mucikari yang dijerat oleh hukum. Hal ini diakibatkan KUHP dan Undang – Undang terkait yang tidak tegas terhadap kejahatan prostitusi. Seperti contohnya UU ITE dan UU pornografi yang hanya mengcover kejahatan prostitisi dalam bentuk dokumen elektronik, seperti konten berupa gambar dan video porno. dalam hal ini Peraturan daerah diatas terlihat lebih tegas karena menjerat para pelaku prostitusi.
Sementara ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari berdasarkan ketentuan Pasal 296 juncto Pasal 506 KUHP.
Adapun Pasal 296 menyebut, “Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Sementara Pasal 506 menerangkan, Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE, dan UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi sebagai sebuah dasar hukum yang memiliki sifat
keberlakuan yang memaksa dan mengikat secara menyeluruh bagi setiap warga negara Indonesia hendaknya mengatur secara tegas terkait pertanggungjawaban dan sanksi pidana bagi pengguna jasa prostitusi, karena meskipun telah ada beberapa peraturan daerah yang mengatur terkait pertanggungjawaban dan sanksi pidana bagi pengguna jasa prostitusi berbeda-beda bergantung pada peraturan daerah masing-masing, serta sifat berlakunya bersifat parsial dan regional atau kedaerahan sehingga baik sanksi dan sifat memaksa dan mengikatnya terbatas pada daerah tertentu saja.
Selain itu jika kita bandingkan dengan beberapa negara-negara di dunia yang telah memiliki aturan nasional terkait kriminalisasi terhadap pengguna dan pelaku prostitusi diantaranya seperti Negara Kanada yang dalam hukum nasionalnya mengatur sanksi bagi penyewa PSK dikenakan sanksi denda mulai dari denda minimal CAN$ 500 atau sekitar Rp. 5,2 juta hingga penjara lima tahun, kemudian di Negara Swedia sudah sejak tahun 1999 dalam hukum nasionalnya mengatur bahwa pengguna PSK bisa dipenjara selama enam bulan dan bagi pemilik rumah bordil juga bisa dihukum hingga empat tahun penjara.13
Setelah kita melihat peraturan daerah diatas dan telah membandingkan aturan – aturan dari negara lain yang mengatur mengenai pidana bagi pengguna layanan prostitusi tersebut diatas hendaknya dijadikan kajian dalam peraturan hukum nasional. Diharapkan peraturan perundang – undangan di Indonesia dalam hal ini khususnya yang mengatur mengenai prostitusi agar bisa diperbaharui dan diperluas cakupanya untuk menanggulangi permasalahan prostitusi yang pada awalnya hanya mampu menjerat pihak penyedia layanan untuk selanjutnya diharapkan mampu juga menjerat pihak pengguna dari layanan prostitusi tersebut. Agar terciptanya peraturan perundang-undangan yang mampu dijadikan dasar hukum yang lebih kuat untuk memberantas praktik prostitusi di Indonesia secara merata.
-
1. Tindakan buruk dalam kehidupan masyarakat yaitu penggunaan layanan prostitusi secara online yang terus menerus bertumbuh dan berkembang akan mengakibatkan buruknya citra bangsa dan keresahan dalam lingkungan masyarakat, demikian dengan para penegak hukum yang tidak dapat berbuat apa-apa karena terhalang oleh belum adanya Undang - undang yang di dalamnya mengatur mengenai pidana kepada para pengguna layanan prostitusi karena KUHP sampai saat ini belum mengatur secara tegas dan jelas mengenai pengguna jasa prostitusi. Pengaturan tindak pidana pengguna layanan terkait prostitusi secara online menurut hukum positif di Indonesia belum spesifik diberlakukan untuk menjerat pengguna layanan, sebab mengenai pengguna layanan pada prostitusi online tidak ada diatur, sehingga pengguna layanan prostitusi sehingga tidak bisa dijerat berlandaskan hukum positif di Indonesia.
-
2. Aturan – aturan yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna layanan prostitusi diatur di dalam Peraturan Daerah dari beberapa daerah di Indonesia. Yang artinya penanggulangan kasus prostitusi sangat bergantung dengan lokasi daerah yang menjadi tempat kejadian perkara. Peraturan – peraturan daerah dan luar negeri tersebut hendaknya dijadikan kajian dalam peraturan hukum nasional.
Diharapkan peraturan perundang – undangan di Indonesia dalam hal ini khususnya yang mengatur mengenai prostitusi agar bisa diperbaharui dan diperluas cakupanya untuk menanggulangi permasalahan prostitusi yang pada awalnya hanya mampu menjerat pihak penyedia layanan untuk selanjutnya diharapkan mampu juga menjerat pihak pengguna dari layanan prostitusi tersebut. Agar terciptanya peraturan perundang-undangan yang mampu dijadikan dasar hukum yang lebih kuat untuk memberantas praktik prostitusi di Indonesia secara merata.
-
4.2. SARAN
-
1. Diharapakan ketentuan dari setiap Undang – Undang yang mengatur mengenai Prostitusi di Indonesia segera diperbaharui dan dibenahi agar tidak adanya kekosongan norma untuk menjerat para pengguna layanan prostitusi baik secara online maupun konvensional.
-
2. Diharapkan agar peraturan – peraturan daerah dan luar negeri yang mengatur mengenai prostitusi dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk memperbaharui perundangan – udangan yang mengatur mengenai prostitusi di Indonesia sehingga dalam hal penegakan, penertiban dan pemberantasan praktik prostitusi di Indonesia akan lebih efektif dan merata.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Santoso Topo, 1997, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, h.134
Amiruddin danaZanil Asikin, 2004, Pengaturan Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
BambangiSunggono, 2010, MetodeiPenelitianiHukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Dewi Bunga, 2012, Prostitusi Cyber, Udayana University Press, Denpasar.
Abdu Wahib dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung.
Jurnal Hukum
Amalia, M. (2018). Analisis Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Dihubungkan Dengan Etika Moral Serta Upaya Penanggulangan Di Kawasan Cisarua Kampung Arab. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 2(2).
Khumaerah, N. (2017). Patologi Sosial Pekerja Seks Komersial (PSK) Persfektif Al-Qur’an. Jurnal Al-Khitabah, 3(3).
Listyani, R. H. (2017). Pencegahan Praktik Prostitusi Online Melalui Lembaga Sekolah Dan Keluarga. The Journal of Society and Media, 1(2).
Munawaroh, S. (2010). Pekerja Seks Komersial (PSK) di Wilayah Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi, 4(2).
Putri, R. Fenomena Kehidupan “Ayam Kampus” (Studi Kasus Mahasiswi Di Surabaya). Jurnal Of Nonformal Education, 2(2).
Saraswati. NKAG. (2018). Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Menurut Hukum Positif Di Indonesia. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, 7(4).
Yanto, Oksidelfa, 2016, Prostitusi Online Sebagai Kejahatan Kemanusian Terhadap Anak: Telah Hukum Islam dan Hukum Positif, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang. Vol. XVI, No.2 Juli 2016.
Internet
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190116163019-12-361299
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c333538e4960
https://beritagar.id/artikel/berita/ragam-hukuman-untuk-prostitusi-diberbagai-negara
UNDANG-UNDANG
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
16
Discussion and feedback