PENGATURAN TUKANG GIGI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN*

Nyoman Kinandara Anggarita**

Sagung Putri M.E Purwani***

Program Kekhususan Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Tukang Gigi merupakan Prefensi dari Dokter Gigi. Perbedaan yang paling menonjol adalah, meskipun sama-sama terjun di ranah dental health, Tukang Gigi tidak memiliki Ijazah yang diakui dari Kementrian Kesehatan, akan tetapi memiliki kemampuan yang mumpuni dibidangnya. Hal itu nampaknya tidak menyurutkan antusiasme Masyarakat untuk menggunakan jasa seorang Tukang Gigi. Bahkan,tidak sedikit kasus bahwa si Tukang Gigi melakukan treatment Ortodontis kepada konsumennya.ortodonti merupakan cabang ilmu pengetahuan kedokteran khususnya tentang dentist, yang berhubungan langsung dengan permasalahan genetic gigi,estetika gigi,bentuk rahang dan wajah. Tujuan Penulisan Jurnal ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan dari Tukang Gigi berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dikarenakan maraknya fenomena dimana tukang gigi bertindak diluar kewenangannya. Penulisan Jurnal ini menggunakan metode Penulisan Normatif yang berpatokan pada UU dan beberapa buku penunjang penulisan jurnal ilmiah ini. Sehingga hasil dari penulisan ini Berdasarkan PERMENKES 39/2014 seorang tukang gigi dalam pekerjaannya wajib mementingkan nilai keselamatan dan keamanan dengan cara memperhatikan material pembuatan gigi tiruan lepasannya. Untuk mempertegas pengaturan yang mengatur kewenangan tukang gigi, maka diperlukannya pengaturan baru tentang control atau pengawasan seperti Inspeksi

dari Kementrian Kesehatan dan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut. Tukang gigi yang melakukan pelayanan ortodontis merupakan pelanggaran huruf a Pasal 9 PERMEN KES/39/2014 sehingga,sanksi yang dapat di jatuhkan kepada tukang gigi berupa pidana pokok dan pidana tambahan.

Kata kunci : Tukang gigi, Ortodentis, hukum kesehatan.

Abstract

Dental Artisan is a preference for Dentist. The difference between dental artisan with dentist is, eventhough they’re all engaged in the same field, Dental Artisan has no recognized certification from the Ministry of Health, but also has a capable ability in their field which is human’s dental. However, doesn’t seem to lower public enthusiasm to use a Dental Artisan’s service. Moreover, there is not little amount of cases that the Dental Artisans do orthodontic treatment to their customers. Orthodonthy is a branch of medical science that directly relates to dental genetic problems, dental aesthetics, jaw shape and face. this journal written by normative research methods, which are based on law and several supporting books. So that the results of this article based on PERMENKES 39/2014 a Dental Artisan in their job should prioritize safety and security value by paying attention to the material of the making of dentures. To emphasize the arrangements governing the authority of dental artisans, new regulations on control or supervision such as Inspections from the Ministry of Health are needed and how the supervision mechanism is needed too. A Dental Artisan that does orthodontic services violates point a of Article 9 PERMENKES 39/2014 that a Dental Artisan is forbidden to do a job outside of their authority that only involves the making of dentures. Therefore, penalties that can be convicted to the Dental Artisan are basic criminal penalties and additional criminal penalties.

Keywords : Dental Artisan, Orthodontics, Health Law.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Masalah atas kesehatan sangat dicari dan dibutuhkan, Mengingat derasnya Globalization era diantara masyarakat Indonesia. Pelayanan kesehatan semakin di kejar dan terus dicari dalam berbagai aspek, baik yang Modern maupun Tradisional. Tidak menutup fakta bahwa sesungguhnya masih banyak masyarakat yang mengandalkan Pelayanan Kesehatan secara Tradisional sebagai salah satu Option dalam penyembuhan penyakit yang dimiliki. Maka seharusnya, pekerjaan sebagai seorang Tukang Gigi sudah menjadi sahabat baik Masyarakat Indonesia. Tukang Gigi merupakan Prefensi dari Dokter Gigi. Perbedaan yang paling menonjol adalah, bahwa Tukang Gigi merupakan sebuah Profesi yang bergerak di bidang Kesehatan Gigi. Namun, meskipun sama-sama bergerak di bidang kesehatan gigi, Tukang Gigi tidak memiliki license atau Ijazah yang diakui dari Kementrian Kesehatan1. Faktor tersebut menjadikan seorang Tukang Gigi tidak memiliki kemampuan yang mumpuni, mengingat bahwa disiplin ilmu yang mereka miliki didapat hanya dari Pengalaman sesama Tukang Gigi saja.2

Hal itu nampaknya tidak menyurutkan antusiasme Masyarakat untuk menggunakan jasa seorang Tukang Gigi. Karena seperti yang diketahui bahwa factor kesenjangan sosial merupakan jawaban yang tepat. Ekonomi mayoritas masyarakat yang dapat dikatakan masih rendah versus biaya

perawatan gigi di Dokter Gigi yang terbilang cukup tinggi, membuat sebagian rakyat berpihak terhadap Tukang Gigi dengan dalih efisiensi waktu pengerjaan dan harga yang lebih “masuk akal”.3

Meskipun lebih terkesan ‘tradisional’, Tukang Gigi tetap memiliki pengaturan hukumnya sendiri. Adapun yang dimaksud adalah peraturan kementrian kesehatan No.39 Tahun 2014 yang mengatur kewenangan Tukang Gigi. Peraturan ini diciptakan tidak lain dan tidak bukan atas dasar pertimbangan agar pemerintah dapat memantau kinerja Tukang Gigi dalam melakukan pekerjaannya di Masyarakat.

Nampaknya fakta di lapangan sungguh berbeda dengan yang tercantum dalam rumusan peraturan Menteri Kesehatan tersebut. Masih dapat dijumpai perbedaan antara realita dan aturan yang mengatur. Banyaknya jumlah Tukang Gigi yang tidak mengikuti tolak ukur kesehatan yang di tetapkan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut membuat seolah-olah norma yang dibuat tidak berarti. Bahkan,tidak sedikit kasus bahwa si Tukang Gigi melakukan treatment Ortodontis kepada konsumennya.4

Berangkat dari permasalahan diatas, maka penulis mengangkat sebuah judul Tulisan Ilmiah, Yaitu “Pengaturan Tukang Gigi dalam Undang-Undang Kesehatan” Dimana akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana Undang-Undang

Kesehatan melihat fenomena Tukang Gigi yang memberikan pelayanan layaknya seorang Dokter Gigi.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana Pengaturan tukang gigi jika ditinjau dari Undang-Undang Kesehatan?

  • 2.    Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban tukang gigi

apabila bertindak diluar kewenangannya.

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu :

  • 1.    Untuk memahami seperti apa pengaturan tukang gigi di dalam Undang-Undang Kesehatan.

  • 2.    Untuk      memahami      bagaimana      bentuk

pertanggungjawaban tukang gigi yang memberikan pelayanan kesehatan gigi diluar kewenangannya.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

      2.1.1    Jenis Penelitian

Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan penelitian NORMATIF. Dimana penelitian normative berpatokan kepada Instrumen Instrumen hukum primer maupun sekunder seperti Hukum Positif di Indonesia dan buku-buku penunjang lain yang berkaitan dengan jurnal ilmiah ini.

  • 2.1.2    Jenis Pendekatan

Penulisan jurnal ini menggunakan jenis pendekatan UU sesuai dengan legislasi dan regulasi yang ada. 5 Penulis menggunakan pendekatan peraturan undang-undang karena penelitian ini menggunakan undang-undang kesehatan dan peraturan menteri kesehatan serta instrument hukum lain yang berhubungan dengan kesehatan ataupun kesehatan gigi.

  • 2.1.3    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan dan pengolahan bahan hukum diperlukan agar hasil penulisan yang dilakukan menjadi terstruktur dan tertata dengan baik. Bahan hukum yang sudah di dapat dari buku dan artikel ilmiah, kemudian di pilah dan di sesuaikan dengan keterkaitannya secara logis agar mempermudah saat mulau penulisan.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Pengaturan Tukang Gigi dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan.

Pengaturan kewenangan tukang gigi di Indonesia diakui dan sah di mata Hukum. Berdasarkan Ayat (1) dan ayat (2) Pasal 6 Permenkes 39/2014, seorang tukang gigi dalam pekerjaannya wajib mementingkan nilai keselamatan dan keamanan dengan cara memperhatikan material pembuatan gigi tiruan lepasannya. Di dalam ayat (2) menjelaskan bahwa material utama dalam pembuatan gigi tiruan lepasan baik yang sebagan maupun keseluruhan adalah heatproof resin akrilik dan tetap memperhatika factor agar gigi tiruan tersebut tidak memenuhi sisa akar gigi.

Jika diperhatikan dengan seksama, tukang gigi DILARANG keras untuk bertindak diluar peraturan menteri kesehatan tersebut. Berdasarkan pasal 9 Permenkes ini juga mengatur apa-apa saja yang dilarang keras dilakukan oleh seorang tukang gigi. Hal ini mencakup seorang tukang gigi dilarang untuk melakukan pekerjaan selain yang diatur di dalam pasal 6,menyuruh orang lain untuk menggantikannya dalam melakukan pekerjaannya dan melakukan pekerjaan berpindah-pindah. Pada dasarnya, Peraturan Mentri Kesehatan sudah mengatur secara lengkap seperti apa kewenangan

profesi seorang tukang gigi. 6 Akan tetapi dalam realita peraturan tersebut hanya sebatas angin lalu. Seorang tukang gigi yang tidak memiliki background pendidikan mumpuni layaknya seorang dokter gigi terlihat menjamur membuka praktek di masyarakat. Mereka bahkan memberikan pelayanan bahkan selayaknya ortodontis pula, seperti pemasangan dental braces dan treatment veneer gigi yang merupakan bagian dari estetika gigi,rahang dan wajah 7 , dental braces merupakan suatu inovasi yang diciptakan oleh serorang orthodontist bagi mereka yang memiliki malocclusion. Malocclusion dapat terjadi pada siapa saja secara genetic atau factor yang disebabkan oleh kebiasaan. 8 dimana seharusnya pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang ortodontis.

Sebagai negara berkembang yang tingkat kesenjangan sosialnya masih tinggi, maka dapat dipastikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memilih tukang gigi yang menawarkan harga yang lebih bersahabat disbanding harus pergi ke ortodontis dengan harga yang berkali lipat. Pemasangan dental braces atau kawat gigi memerlukan Ilmu khusus yang didapat melalui pendidikan yang tidak mudah ini membuat hanya seorang Ortodontis saja yang memiliki kewenangan seperti ini. Bahkan seorang dokter gigi biasa tidak diperkenankan melakukan tindakan ini. Akan tetapi, banyak

dijumpai praktek-praktek tukang gigi dengan predikat ‘Ahli Gigi’.9

Tukang gigi yang meng-klaim dirinya sebagai ‘ahli gigi’ tidak belajar untuk mempraktekkan keahlian mereka pada gigi manusia. Maka mereka tidak memahami dengan baik aspek medis alat-alat yang dipergunakan. 10 Pemasangan dental braces yang tidak sesuai dan sembarangan bukan hanya akan mengubah struktur gigi sehingga mengakibatkan sulit mengunyah, akan tetapi juga akan mengakibatkan datangnya berbagai penyakit seperti radang gusi. hingga resiko jaringan yang rusak akan mengalami pertumbuhan secara tidak normal hingga menyebabkan tumor ganas.

Selain itu, tukang gigi yang merupakan seorang pemberi layanan jasa berdasarkan UU perlindungan konsumen memiliki kewajiban seperti selalu beritikad baik, memiliki warta yang jujur dan benar seputar jasanya serta memberikan tempuh kerugian apabila dalam pemberian jasanya, tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.11

  • 2.2.2    Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Tukang gigi Yang Memberika Pelayanan Diluar Kewenangan.

Dapat dilihat dari permasalahan tersebut bahwa tukang gigi tentu melanggar kewenangan yang telah diatur di dalam permen kes tersebut. Salah satu contoh undang-undag yang dilanggar yaitu, UU No.8 tahun 1999. Karena tukang gigi dianggap sebagai pelaku usaha, karena memenuhi unsur di

dalam pasal 1 angka 3 UU no.8 tahun 1999 yang memuat bahwa setiap badan hukum maupun perseorangan dan melakukan kegiatan Ekonomi yang berkedudukan di Indonesia. karena kehaliannya ini tukang gigi mendapat upah berupa uang dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian ketika tukang gigi memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mendapat upah untuk pelayanannya, maka tukang gigi ini disebut pelaku usaha. Pada Pasal 19 UU No.8 tahun 1999 diatur tentang tanggung jawab pelaku usaha, dimana inti dari pasal tersebut mengharuskan tukang gigi sebagai pelaku usaha untuk selalu berkewajiban menanggung kerusakan dan kerugian atas pemberian layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien karena hal tersebut melanggar pasal 8 uu/8/1999 tentang apa saja larangan bagi pelaku usaha dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga muncul pertanyaan, apakah pasien atau pengguna layanan dokter gigi dapat dikatakan sebagai konsumen? Tentu saja seorang pasien juga merupakan konsumen meskipun di dalam uu no.8/1999 tidak secara gamblang menyebutkan pengguna jasa tukang gigi merupakan seorang konsumen, akan tetapi pasien juga memenuhi salah satu unsur yaitu, penikmat jasa dari pelaku usaha, dan konteksnya disini merupakan tukang gigi. Serta, jika di kutip dari John Fitzgerald Kennedy, bahwa definisi konsumen adalah kita semua12. Maka selaku penikmat jasa yang sama, pasien memiliki preservasi di bawah uu no.8/199913. Maka, berangkat dari kasus diatas, Pasien dari

Tukang gigi tersebut dapat dikategorikan sebagai korban. Korban, menurut kamus kejahatan adalah seseorang dengan kecacatan mental, Fisik, bahkan menimbulkan kematian baik secara kealpaan atau kesengajaan oleh orang lain.14

Berdasarkan pasal 45 ayat (3) penyelesaian perkara antara pelaku usaha dan konsumen secara privat, tidak dapat menghapuskan tanggungjawab pidana sebagaimana yang telah diatur di dalam undang-undang. sehingga,sanksi yang dapat di jatuhkan kepada tukang gigi adalah pidana pokok dan pidana tambahan.

  • a.    PIDANA POKOK

Sanksi ini merupakan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku usaha (dalam hal ini yaitu tukang gigi) yang melakukan pelanggaran-pelanggaran sesuai denga rumusan pasal 62 UU no.8/1999. dimana ketentuan pasal 62 UU no.8/1999 memberlakukan dua pengaturan hukum, disesuaikan dengan Peringkat pelanggaran yang terjadi.apabila pelanggaran tersebut menyebabkan penyakit tetap,cacat dan kelainan fisik permanen hingga kematian akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan KUHP. Sementara pelanggaran selain yang sudah disebutkan akan berlaku sanksi pidana yang tercantum di dalam UU No.8/1999.

  • b.    PIDANA TAMBAHAN

Sanksi yang dijatuhkan kepada tukang gigi bukan hanya berupa sanksi pidana pokok seperti yang diatur di dalam

pasal 62 tersebut. Akan ada penjatuhan sanksi tambahan berupa :

  • -  Penyitaan beberapa barang tertentu;

  • -  Pembayaran ganti rugi;

  • -  Pemberhentian kegiatan yang berhubungan dengan

pekerjaan;

  • -  Pencabutan izin usaha.

Bahkan, terdapat pengaturan spesifik seperti yang tercantum di dalam UU kesehatan pasal 58 yang menyatakan bahwa setiap orang yang merasa dirugikan memiliki hak menuntut ganti rugi terhadap pemberi layanan kesehatan akibat kelalaiannya. Maka, tukang gigi yang melakukan proses ortodonti dapat dituntut oleh pasien yang dirugikan karena pekerjaannya tidak sesuai dengan klaim   dan

menyalahi aturan yang berlaku sehingga mengakibatkan luka maupun cacat gigi .15

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Di dalam Hukum kesehatan, eksistensi tukang gigi atau ahli gigi diakui oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan    adanya    PERMENKES    39/2014.dan

bahkan,aturan tentang kewenangan tukang gigi sudah diatur dengan jelas. Akan tetapi, Tukang gigi yang melakukan    pelayanan    ortodontis    merupakan

pelanggaran huruf a Pasal 9 PERMENKES 39/2014 bahwa seorang tukang gigi dilarang melakukan pekerjaan diluar kewenangannya yang hanya membuat gigi tiruan lepas pasang. Untuk mempertegas pengaturan

yang mengatur kewenangan tukang gigi, maka diperlukannya pengaturan baru tentang control atau pengawasan seperti Inspeksi dari Kementrian Kesehatan dan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut.

  • 2.    Berdasarkan pasal 45 ayat (3) UU No.8/1999, penyelesaian perkara antara pelaku usaha dan konsumen secara privat, tidak dapat menghapuskan tanggungjawab pidana sesuai pengaturan dalam undang-undang. sehingga,sanksi yang dapat di jatuhkan kepada tukang gigi adalah sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan. Berdasarkan UU Kesehatan, tukang gigi yang melakukan proses ortodonti dapat dituntut oleh pasien yang dirugikan karena pekerjaannya tidak sesuai dengan klaim dan menyalahi aturan yang berlaku sehingga mengakibatkan luka maupun cacat gigi.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Untuk mempertegas pengaturan kewenangan tukang gigi agar tidak melewati batas kewenangannya, maka diperlukan suatu mekanisme pengawasan seperti melakukan Inspeksi dari kementrian kesehatan dan menunjuk siapa yang berhak melakukan Inspeksi tersebut.

  • 2.    Diperlukan kepastian yang tegas dalam penjatuhan sanksi terhadap tukang gigi yang melakukan tindakan diluar kewenangannya. Seperti aturan terpisah mengenai sanksi bagi tukang gigi tersebut.

Daftar Pustaka

Buku

Petter Mahmud Marzuki, 2015, Penelitian Hukum, Prenamedia Group, Jakarta.

Ramadhan, Ardyan Gilang, 2010, serba serbi kesehatan gigi dan mulut, Bukune, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja Karya CV, Jakarta.

Skripsi

Flavia Pinasthika, 2012, Skripsi Sarjana “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Penerima Layanan Orthodonti Oleh Tukang Gigi”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Jurnal Ilmiah

A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, I Nyoman Darma Yoga, “Upaya Pemulihan Korban Tindak Pidana Terorisme Oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar Dan Kejaksaan Negeri Denpasar”, Jurnal Kertha Patrika, Vol.41 No.2, Agustus 2019.

Firdalia Emyta Nurdiana Isliko, Gde Made Swardhana dan I Made Walesa Putra, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tenaga Medis Yang Melakukan Malpraktik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran”, Jurnal Kertha Wicara, Vol.07 No.02, Maret 2018.

I.B.Putra Atmadja, Sagung Putri M.E. Purwani, “Perlindungan Hukum Pasien Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Hukum Konsumen”, Jurnal Actual Justice, Vol.3 No.1, Mei 2018.

I Gede Wahyu Dananjaya, Ida Bagus Putu Sutama, dan I Made Dedy Priyanto, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen yang dirugikan Atas Jasa Praktek Tukang Gigi Di Kota Denpasar” Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol.1 No.10, Oktober 2013.

I Putu Wahyu Weda Gunawan, I Ketut Sudiarta, “Pertanggungjawaban Pidana Ahli Gigi Dalam Melakukan Suatu Malpraktik Dalam Persfektif Kuhp Dan Uu No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 05 No.02, Juni 2015.

Ni Wayan Adiani, I Gusti Ngurah Wairocana, “Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/Menkes/Per/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

339/Menkes/Per/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi”, Jurnal Kertha Negara, Vol. 01 No.01, Maret 2013.

Putu Meida Anny Liestarini, Ida Bagus Surya Dharmajaya, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual”, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 07 No.05, November 2018.

Yohanna Feryna, I Gusti Ayu Puspawati dan Dewa Gde Rudy, “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Pelayanan Kesehatan Non Medis Tukang Gigi”, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol.1 No.4, Mei 2013.

Internet (Situs Resmi)

Instagram @korbantukanggigi, https://www.instagram.com/korbantukanggigi/?hl=en, (diakses pada pukul 18.35 WITA tanggal 10 Oktober 2019)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)

Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PERIZINAN, PEKERJAAN TUKANG GIGI.

14