TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PEMBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Oleh :

Anak Agung Ayu Sisthayoni∗∗ I Wayan Suardana∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Tindak pidana pembakaran hutan dan lahan yang marak bermunculan di Indonesia sudah menjadi isu lingkungan hidup yang sangat mengkhawatirkan dan memerlukan tindakan tegas dari pemerintah, dimana banyak pihak yang melakukan pembakaran hutan dan lahan demi membuka lahan baru tanpa memerlukan banyak waktu dan dengan biaya lebih murah. Pengaturan tindak pidana dan sanksi pidana pembakaran hutan dan lahan diatur dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Disini terlihat adanya pertentangan antara pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan pasal 187 KUHP, pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d Undang-Undang Kehutanan yang secara jelas melarang pembakaran hutan. Tulisan ini bertujuan untuk membahas dan mencari tahu mengenai pengaturan pembakaran hutan dan lahan sebagai tindak pidana lingkungan hidup dengan menggunakan metode penelitian normatif untuk mengkaji permasalahan konflik norma dalam tindak pidana pembakaran hutan dan lahan melalui jenis pendekatan perundang-undangan, sehingga dapat menemukan penyelesaian dari konflik norma tersebut.

Kata Kunci : tindak pidana, pembakaran, hutan, lahan

Penulisan karya ilimiah “Tindak Pidana Lingkungan Hidup Terhadap Pembakaran Hutan dan Lahan” ini merupakan karya ilmiah di luar ringkasan skripsi.

∗∗ Anak Agung Ayu Sisthayoni merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi : [email protected].

∗∗∗ I Wayan Suardana merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: [email protected].

Abstract

The forest and land burning crimes that happen frequently in Indonesia have become an environmental issue that is very worrying and requires decisive action from the government and community participation in order to prevent this from continuing, where many parties are burning forests and land just to open new lands in a relatively shorter time and at a lower cost. Arrangement of criminal acts and criminal sanctions for burning forests and land are contained in KUHP, Act Number 32 of 1999 about Environmental Protection and Management, Act Number 41 of 1999 about Forestry, Act Number 39 of 2014 about Plantations. There is a conflict between article 69 section (2) of Environmental Protection and Management Act and article 187 of KUHP, article 56 section (1) of Plantation Act, also article 50 section (3) point d of Forestry Act. This paper aims to discuss and find out about the forest and land burning as using normative research methods to analyze the norm conflict problems in the forest and land burning crime using the type of legislative approach, so that the solution of the norm conflict can be found.

Keywords : criminal act, burning, forest, land

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Indonesia dewasa ini dihadapkan pada persoalan lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan, banyaknya bermunculan tindak pidana lingkungan hidup mengakibatkan keadaan lingkungan hidup semakin memprihatinkan. Indonesia adalah salah satu negara dengan permasalahan lingkungan hidup yang kian lama semakin mengkhawatirkan. Permasalahan tersebut sudah banyak terekspos ke publik, seperti yang terlihat pada berbagai media massa atau disaksikan langsung oleh masyarakat setempat.1 Pembakaran hutan dan lahan adalah perwujudan bentuk tindak pidana lingkungan hidup yang sering terjadi di

Indonesia. Lahan tersebut dapat berupa lahan gambut yang sangat rentan mengalami kebakaran.

Permasalahan pembakaran ini banyak terjadi di Indonesia, seperti masalah pembakaran hutan dan lahan yang cukup marak terlihat pada wilayah Sumatera dan Kalimantan.2 Kasus pembakaran tersebut banyak terjadi dikarenakan masyarakat lebih memilih membakar hutan untuk membuka lahan baru seperti membuat lahan pertanian maupun perkebunan. Pembakaran ini dilakukan karena masyarakat menganggap proses pembakaran tersebut tidak memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang lebih murah, serta hasil yang dicapai juga cukup memuaskan jika dibandingkan dengan cara pembukaan lahan yang legal sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Akibatnya pelaku pembakaran, baik perorangan maupun korporasi lebih memilih membakar hutan dan lahan sebagai persiapan pembukaan lahan baru.

Hutan yang terbakar menimbulkan efek buruk berupa rusaknya lingkungan, berkurangnya jumlah satwa dan tumbuhan yang ada di hutan, menurunnya tingkat kesuburan tanah, berubahnya iklim lokal hingga luas, serta hilangnya habitat hewan-hewan.3 Selain itu, asap dari pembakaran tersebut dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang dapat menimbulkan berbagai penyakit, bahkan dapat menyebabkan kematian. Pengaruh asap yang disebabkan dari kebakaran hutan di

Indonesia saat ini sudah sampai ke negara tetangga.4 Pada lingkup masalah lingkungan secara internasional sendiri, Indonesia merupakan negara yang melakukan perusakan hutan terbesar akibat tingginya jumlah perusakan hutan yang terjadi, salah satunya karena pembakaran hutan dan lahan tersebut.5 Akan tetapi, karena kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat menyebabkan masih banyak terdapat kasus pembakaran hutan dan lahan di Indonesia. Tindakan pembakaran ini adalah contoh dari kasus perusakan lingkungan yang sangat mengkhawatirkan dan memerlukan tindakan tegas dari pemerintah maupun peran serta masyarakat untuk dapat mencegah terus berlanjutnya pembakaran hutan dan lahan.

Untuk itu diperlukan adanya hukum di dalam masyarakat yang akan menjadi sarana utama untuk melestarikan dan melindungi lingkungan hidup, serta menanggulangi pencemaran maupun kerusakan lingkungan agar dapat menciptakan lingkungan yang kondusif, bersih, serta layak untuk masyarakat. Hukum tersebut kemudian disebut sebagai hukum lingkungan yang dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan.6

Di Indonesia pada prinsipnya telah ada hukum yang mengatur tentang persoalan lingkungan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Keempat undang-undang yang mengatur tentang lingkungan

hidup tersebut telah berupaya menegakkan hukum lingkungan dengan menyertakan aturan pidana dengan sanksi-sanksi yang tegas sebagai ultimum remedium atau sebagai jalan terakhir untuk melestarikan lingkungan yang ada. Hanya saja timbul persoalan mengenai konflik norma dalam keempat undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup tersebut, khususnya yang mengatur mengenai pembakaran hutan dan lahan yakni antara pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan pasal 187 KUHP, pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d Undang-Undang Kehutanan yang secara jelas melarang pembakaran hutan tanpa ada pengecualian.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan tindak pidana pembakaran hutan dan lahan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah konflik norma yang terdapat antara peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai pembakaran hutan dan lahan?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan penjelasan mengenai pengaturan dan sanksi pidana dari pembakaran hutan dan lahan sebagai bentuk dari tindak pidana lingkungan hidup. Selain itu juga tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan konflik norma dalam pembakaran hutan dan lahan.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif melalui pendekatan perundang-undangan atau the statue approach yang dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungan dengan tindak pidana lingkungan hidup, terutama terkait pembakaran hutan dan lahan untuk menyelesaikan masalah konflik norma pada tindak pidana pembakaran hutan dan lahan.

Untuk mendukung penulisan jurnal ini, digunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku, makalah maupun jurnal yang membahas mengenai tindak pidana lingkungan hidup, terutama mengenai pembakaran hutan dan lahan.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Pengaturan Tindak Pidana Pembakaran Hutan dan Lahan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Pembakaran hutan dan lahan merupakan suatu perbuatan merusak lingkungan hidup dengan membakar hutan maupun lahan yang dilakukan secara sengaja oleh orang ataupun korporasi, sehingga termasuk ke dalam tindak pidana lingkungan hidup. Pembakaran hutan dan lahan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan dan dapat disebut tindak pidana karena tindakan tersebut memiliki suatu dampak yang dapat merugikan kepentingan banyak orang, serta telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana sehingga terdapat sanksi bagi pelakunya.7 Perbuatan pidana pembakaran tersebut banyak terjadi di

Indonesia akibat kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup.

Untuk itu sangat diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang berisi aturan-aturan terkait perbuatan pidana pembakaran hutan dan lahan ini. Peraturan perundang-undangan memiliki peran untuk mengatur, mencegah, serta menanggulangi akibat dari tindakan pembakaran tersebut. Pembakaran hutan dan lahan tersebut diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 mengenai Perkebunan.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana pembakaran hutan dan lahan ini diatur pada pasal 187 KUHP yang menjelaskan bahwa, barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, maka akan diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun, lima belas (15) tahun, hingga penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh (20) tahun, dimana masa hukuman tersebut berbeda-beda tergantung dari akibat yang akan terjadi dari perbuatan pidana yang telah dilakukan.

Kemudian, dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 69 ayat (1) huruf h melarang setiap orang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Akan tetapi, ditemui adanya pengecualian pada pasal 69 ayat (2) yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”. Mengenai kearifan lokal ini dijelaskan lebih lanjut pada bagian penjelasan Pasal 69 ayat

(2), yang berbunyi “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”. Kemudian, Undang-Undang mengenai Kehutanan pada pasal 50 ayat (3) huruf d menyebutkan “setiap orang dilarang membakar hutan”. Dan dalam Undang-Undang mengenai Perkebunan pada pasal 56 ayat (1) menyebutkan “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar”.

Selain itu, peraturan-peraturan tersebut juga mengatur mengenai sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku pembakaran sebagai bentuk pertanggung jawaban pidana, dimana pelaku pembakaran tersebut wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sanksi pidana yang diberikan bagi pihak yang membakar hutan dan lahan secara sengaja diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

  • a.    Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 98, dimana hukuman diberikan sebagai akibat yang ditimbulkan dari pembakaran hutan dan lahan. Dalam pasal ini terlihat adanya delik materiil yang menekankan pada akibat dari tindakan pembakaraan hutan dan lahan yang dilakukan dengan sengaja.

  • b.    Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 108 mengenai pihak yang membakar lahan seperti dijelaskan pada pasal 69 ayat (1) huruf h.

  • c.    Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 116 sampai pasal 119 yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap korporasi dengan menjelaskan pihak mana saja pada sebuah korporasi yang bisa dijatuhi

sanksi pidana atau dimintai pertanggung jawaban, serta mengenai pidana tambahan yang dapat dikenakan.

  • d.    Undang-Undang Perkebunan pasal 108 yang menjelaskan mengenai pelaku  usaha perkebunan yang membuka

dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar seperti dijelaskan pada pasal 56 ayat (1).

  • e.    Undang-Undang Kehutanan pasal 78 ayat (3) mengatur mengenai pihak yang secara sengaja melanggar aturan seperti dijelaskan pada pasal 50 ayat (3) huruf d.

  • f.    Undang-Undang Kehutanan pasal 78 ayat (4) yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana pembakaran hutan.

Dalam penjelasan umum angka 6 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjelaskan bahwa undang-undang ini menggunakan ancaman hukuman minimum di samping maksimum dalam penegakan hukum pidananya, serta dalam menegakan hukum lingkungan masih menggunakan asas ultimum remedium, yaitu menerapkan hukum pidana sebagai upaya paling akhir yang hanya digunakan terhadap tindak pidana formil tertentu saja, yakni penjatuhan pidana terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sudah jelas bahwa dalam undang-undang tersebut menggunakan ancaman hukuman maksimum sekaligus minimum atau dikenal dengan minimal khusus, begitu juga dengan peraturan-peraturan lainnya.

Pemidanaan berkaitan erat dengan masalah pertanggung jawaban pidana sebagai bentuk penegakan hukum pidana, dimana dalam tindak pidana lingkungan hidup diterapkan double track system (sistem dua jalur), yaitu terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan akan dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda

yang bersifat kumulatif bukan alternatif. Maka dari itu, sanksi pidana penjara dan pidana denda akan diterapkan bagi pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan. Selain itu, pertanggung jawaban tindak pidana ini juga didasarkan pada kesengajaan atau kelalaian.8

Sebelum menjatuhkan sanksi perlu dibuktikan adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan berupa kesalahan, baik kesengajaan ataupun kealpaan dengan memperhatikan tentang delik, yaitu delik materiil ataupun formil. Rumusan delik memberi petunjuk dan mengarahkan apa yang harus dibuktikan. Hukum menganggap segala sesuatu yang termasuk sebagai unsur pada rumusan delik wajib dibuktikan sesuai hukum acara pidana, begitu juga dalam pembakaran hutan dan lahan harus dibuktikan di persidangan. 9

Berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait pembakaran hutan dan lahan ini, terlihat bahwa subjek dari tindak pidana ini adalah orang atau perorangan serta badan hukum atau korporasi, sehingga dalam hal pembakaran hutan dan lahan sebagai tindak pidana lingkungan hidup terdapat pertanggung jawaban perorangan dan pertanggung jawaban badan usaha (korporasi) sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang kemudian akan dijatuhi sanksi pidana. Pertanggung jawaban korporasi merupakan permasalahan yang kompleks menyangkut pembuktian kesalahan, baik sengaja maupun kealpaan karena pembuktian berbagai bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan korporasi merupakan hal yang sulit dan kompleks.10

Untuk menerapkan hukum dan menjatuhkan hukuman pidana bagi orang yang membakar hutan dan lahan tersebut diperlukan adanya penegak hukum, dimana harus ada kerja sama antara berbagai instansi penegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih penegakan hukum.11 Selain itu, juga diperlukan penegak hukum yang memahami mengenai permasalahan lingkungan agar mampu menangani tindak pidana lingkungan hidup. 12

  • 2.2.2    Konflik Norma yang Terdapat Antara Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yang Mengatur Mengenai Pembakaran Hutan dan Lahan

Berdasarkan perumusan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lingkungan hidup, khususnya pembakaran hutan dan lahan tersebut ditemukan adanya suatu konflik norma yang terdapat pada pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan pengecualian terhadap ayat (1), bahwa setiap orang tidak diperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar. Akan tetapi, pada pada ayat (2), setiap orang diperkenankan membuka lahan melalui cara membakar, dimana syaratnya lahan yang dibakar maksimal sebanyak 2 hektar untuk setiap kepala keluarga yang digunakan menanam tanaman varietas lokal serta dikelilingi oleh sekat bakar untuk mencegah api menjalar ke wilayah di sekitarnya, sesuai dengan kearifan lokal tiap daerah.13

Isi pasal di atas tidak sesuai dengan pasal-pasal pada peraturan perundang-undangan lain, seperti dalam pasal 187 KUHP, pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang sama sekali tidak mengizinkan, baik orang maupun korporasi untuk melalukan pembakaran hutan dan lahan sebagai cara untuk membuka lahan baru. Untuk itu konflik norma yang terjadi harus diselesaikan agar terdapat kepastian hukum dalam penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku.

Konflik norma ini dapat diselesaikan melalui asas preverensi yang bisa dipakai sebagai acuan dalam menentukan peraturan mana yang akan digunakan untuk menjatuhkan sanksi pidana jika terjadi ketidak sesuaian antara berbagai peraturan perundang-undangan tersebut. Asas preverensi ini terdiri dari asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan di bawahnya), asas lex specialis derogat legi generalis (peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum), asas lex posteriori derogat legi priori (peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan terdahulu). Jadi penjatuhan sanksi pidana ini dapat disesuaikan dengan asas-asas tersebut agar dapat menentukan peraturan perundang-undangan mana yang dapat digunakan dalam menyelesaikan suatu kasus pembakaran hutan dan lahan yang terjadi.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Dari hasil analisis yang dilakukan oleh penulis terkait permasalahan yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan, bahwa :

  • 1.    Larangan melakukan pembakaran hutan dan lahan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 mengenai Perkebunan. Selain itu, dalam peraturan-peraturan tersebut juga mengatur mengenai sanksi pidana bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.

  • 2.    Konflik norma antara pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan pasal 187 KUHP, pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d Undang-Undang Kehutanan dapat diselesaikan menggunakan asas preverensi, yaitu asas lex superior derogat legi inferiori, asas lex specialis derogat legi generalis ataupun asas lex posteriori derogat legi priori.

  • 3.2  Saran

  • 1.  Konflik norma antara peraturan perundang-undangan yang

mengatur masalah pembakaran hutan dan lahan harus segera diselesaikan dengan asas-asas preverensi, yaitu: asas lex superior derogat legis inferiori, asas lex specialis derogat legi generali ataupun asas lex posteriori derogat legi priori agar tercipta suatu kepastian hukum.

  • 2.    Untuk menegakan sanksi pidana pada pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan diperlukan kerja sama antar penegak hukum terkait dan diperlukan peran serta

masyarakat untuk mencegah terus terjadinya pembakaran hutan dan lahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Hamzah, Andi, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

_______, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.

Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, 2014, Hukum Lingkungan : Teori, Legislasi dan Studi Kasus, Jakarta.

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Husin, Sukanda, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan di Indonesia:  Sebuah

Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta.

Jurnal Ilmiah :

Apryani, Ni Wayan Ella, 2018, Pembukaan Lahan Hutan dalam Perspektif HAM : Studi tentang Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Universitas Udayana, Vol. 7, No. 3.

Ardhana, I Putu Gede, 2016, Dampak Laju Deforestasi Terhadap Hilangnya Keanekaragaman Hayati Di Indonesia, Jurnal Metamorfosa, Universitas Udayana, Vol. 3, No. 2.

Nur Rochaeti, R.B. Sularto, J. I. S, 2017, Kajian Kriminologi Terkait Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, Diponegoro Law Journal, Universitas Diponegoro, Vol. 6, No.2.

Rasyid, Fachmi, 2014, Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan, Jurnal Lingkar Widyaiswara, Vol. 1, No. 4.

Siregar, Januari dan Muaz Zul, 2015, Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Indonesia, Jurnal Mercatoria, Universitas Medan Area, Vol.8, No. 2.

Internet :

Fellyanda Suci Agiesta, 2019, Darurat Karhutla, Ini Data Kebakaran Hutan di Era Jokowi Periode Pertama, Web: https://www.merdeka.com/peristiwa/darurat-karhutla-ini-data-kebakaran-hutan-di-era-jokowi-periode-pertama.html. Diakses pada 18 November 2019, pukul : 11.15 WITA.

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888.

15