ASPEK YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK MEDIS

Ngurah Nandha Rama Putra∗∗

I Gusti Ngurah Dharma Laksana∗∗∗ Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Maraknya kasus malpraktek di Indonesia terjadi karena kesalahan atau kelalaian seorang dokter dalam upaya mengambil tindakan medis terhadap pasien, sehingga timbul ketidakpuasan bagi pasien yang merasa haknya telah dicederai dan ingin menuntut dokter yang telah merugikannya. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui terkait pertanggungjawaban pidana terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis serta untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai tindakan malpraktek medis. Berdasarkan fenomena tersebut maka dapat ditarik beberapa permasalahan yakni bagaimana pertanggungjawaban pidana dan pengaturan hukum terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yuridis. Hasil penelitian menunjukkan, dokter dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila dokter tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur dari adanya suatu kesalahan. Karena kesalahan merupakan unsur yang paling penting dalam menentukan adanaya pertanggungjawaban pidana. Pengaturan mengenai malpraktek medis dalam hukum pidana Indonesia secara tidak langsung dapat dikenakan sanksi sesuai pasal yang terdapat dalam KUHP, sedangkan dalam UU Praktek Kedokteran dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk menerima dan memeriksa pengaduan serta memberikan keputusan terkait pelanggaran displin yang dilakukan oleh dokter. Kesimpulannya, tindakan dokter yang melakukan malpraktek medis dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya jika telah memenuhi unsur-unsur dari adanya suatu kesalahan.Dikarenakan dalam hukum positif Indonesia dokter yang melakukan tindakan malpraktek masih belum mempunyai payung hukum yang jelas atau dasar hukum yang khusus maka secara tidak langsung dokter yang melakukan malpraktek dapat dikenakan sanksi sesuai

Karya Ilmiah yang berjudul “Aspek Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Tindakan Malpraktek Medis” ini merupakan karya ilmiah diluar dari ringkasan skripsi.

∗∗Ngurah Nandha Rama Putra adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: [email protected].

∗∗∗ I Gusti Ngurah Dharma Laksana adalah Dosen Fakultas Hukum Uuniversitas Udayana.

dengan pasal 359 dan 360 KUHP apabila korban tersebut sampai mengalami kematian atau luka berat.

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, dokter, malpraktek

Abstract

The rise of malpractice cases in Indonesia occurs because of errors or negligence of a doctor in an effort to take medical action against patients, resulting in dissatisfaction for patients who feel their rights have been harmed and want to sue doctors who have harmed them. The purpose of this paper is to find out related criminal liability to doctors who commit acts of medical malpractice and to know the legal arrangements regarding medical malpractice actions. From these phenomena it can be drawn several problems namely how criminal liability and legal arrangements against doctors who commit acts of medical malpractice. The method used in this research is a juridical normative research method, which basically emphasizes the existence of a norm of emptiness. The results showed that the doctor could be held liable if the doctor was proven to meet the elements of an error. Because mistakes are the most important element in determining there is criminal liability. Regulations regarding medical malpractice in Indonesian criminal law can indirectly be subject to sanctions in accordance with the articles contained in the Criminal Code, whereas in the Medical Practice Act doctors who commit medical malpractice will be examined by the Indonesian Medical Disciplinary Honorary Council (MKDKI) to receive and examine complaints and provide complaints decisions related to disciplinary violations committed by doctors. In conclusion, the actions of a doctor who performs medical malpractice can be justified if the actions have met the elements of an error. Because in positive law in Indonesia doctors who commit malpractice still do not have a clear legal umbrella or specific legal basis, indirectly doctors who commit malpractice may be subject to sanctions in accordance with articles 359 and 360 of the Criminal Code if the victim suffers death or serious injury.

Keywords: criminal responsibility, doctor, malpractice

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk sosial ditakdirkan untuk hidup saling berhubungan dan berdampingan antara satu dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Sakit merupakan suatu contoh bahwa manusia dalam keadaan lemah, dan tidak berdaya mengatasi dirinya sendiri, sehingga pada saat itu ia membutuhkan seseorang yang dapat membantunya untuk sehat. Kebutuhan yang utama bagi orang itu adalah adanya orang lain yang dapat membantu menyembuhkan penyakitnya yaitu seorang dokter.

Profesi dokter merupakan profesi yang mulia, karena dokter merupakan salah satu tempat bagi seseorang yang mengalami gangguan kesehatan menggantungkan harapan untuk dapat sembuh dari penyakit yang di deritanya. Namun, dalam prakteknya tidak dapat dipungkiri bawasannya seorang dokter dapat melakukan kelalaian maupun penyimpangan baik disebabkan karena adanya suatu kesalahan maupun kesengajaan yang dikenal dengan istilah malpraktek (malpractice). Malpraktek medis adalah kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya sebagai dokter dimana tidak sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedurnya.

Keresahan masyarakat tentang malpraktek mengakibatkan adanya pengaduan tentang kasus malpraktek di setiap rumah sakit, dimana pengaduan disebabkan karena kualitas dan kurangnya pelayanan kesehatan pasien baik dari rumah sakit maupun dari dokter.

Salah satu kasus malpraktek yang mendapat sorotan nasional adalah kasus yang dialami oleh Mariana Sihombing yang dirugikan oleh pihak Rumah Sakit Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara akibat terjadi robekan sebesar ibu jari pasca operasi dan terus mengalami pendarahan. Kemudian ia mengadukan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) namun belum juga menemukan titik terang dan penyelesaian dari kasus tersebut dari pihak (MKDKI).1

Kasus diatas merupakan satu dari banyaknya kasus malpraktek di Indonesia. Seringkali dalam kasus malpraktek korban yang dalam hal ini sebagai pasien, kurang diberikan rasa keadilan bagi pihak korban, sehingga korban ingin menuntut dokter yang melakukan tindakan malpraktek tersebut, akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran) tidak memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Ketentuan Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran terdapat kalimat yang hanya mengatur tentang kesalahan praktik kedokteran, yakni "Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia". Pasal ini hanya memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan dasar untuk menuntut tindakan dokter.2 Sedangkan dalam KUHP tidak disebutkan secara jelas juga mengenai mekanisme pertanggungjawaban pidana bagi dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis, tetapi hanya ditemukan beberapa pasal yang secara tidak langsung mengarah kepada perbuatan yang diakibatkan oleh tindakan malpraktek medis tersebut.

Kasus-kasus dugaan malpraktek juga seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul dipermukaan, padahal ada banyak tindakan medis yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang

berpotensi sebagai tindakan malpraktek yang dilaporkan oleh masyarakat, akan tetapi acapkali tidak diselesaikan secara hukum karena masyarakat hanya memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai ilmu kedokteran dan juga dikarenakan belum adanya pengaturan yang secara spesifik dan jelas mengenai bagaimana kualifikasi dari tindakan malpraktek tersebut.

Berdasarkan problematika tersebut ditemukan hal menarik berkaitan dengan “Aspek Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Tindakan Malpraktek Medis”

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis?

  • 2.    Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindakan malpraktek medis yang dilakukan oleh dokter menurut hukum pidana Indonesia dan undang-undang praktek kedokteran?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan melakukan penelitian ini adalah agar civitas akademika mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis serta agar mengetahui pengaturan hukum mengenai malpraktek medis.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yuridis. Digunakannya penelitian hukum normatif pada penulisan jurnal ini beranjak dari adanya kekosongan norma

hukum, yaitu norma kosong (rechtvacum) dimana belum terdapat peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur tentang malpraktek.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    2.2.1    Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktek Medis

Secara kodrati pada dasarnya setiap manusia yang hidup dibebani oleh suatu tanggungjawab atas segala perbuatan dan tindakanya. Bertanggungjawab disini dapat diartikan sebagai terikat, dengan demikian tanggung jawab dalam pengertian hukum artinya keterikatan. Tanggung jawab hukum disini dapat dimaksudkan sebagai tanggung jawab pidana. Dalam tanggung jawab hukum secara pidana sangat ditentukan oleh adanya suatu kesalahan dalam arti dolus maupun culpa.

Kesalahan merupakan unsur yang paling penting dalam menentukan adanya suatu pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana dalam hal untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula asas geen strafzonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu untuk menentukan adanya kesalahan dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang terdakwa, sebagaimana halnya seorang dokter yang didakwa melakukan malpraktek, setidak-tidaknya harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

  • a.    Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);

  • b.    Adanya kemampuan bertangggung jawab artinya keadaan jiwa petindak harus normal;

  • c.    Adanya hubungan batin antara petindak dan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa);

  • d.    Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau pemaaf.3

Profesi dokter tidaklah mudah karena banyak dokter yang sering melakukan tindakan malpraktek medis yang berakibat menyebabkan pasien menjadi cacat ataupun meninggal dunia, maka dalam prakteknya seorang dokter perlu dimintai pertanggungjawaban hukum secara pidana agar tidak menimbulkan kesewenang-wenangan dari seorang dokter terhadap pasiennya.

Kesalahan dalam praktek haruslah dipertanggungjawabkan oleh dokter. Seorang dokter dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila dokter tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur terjadinya suatu kesalahan.

Syarat pertama yaitu perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum, artinya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tersebut harus terbukti melanggar peraturan perundang-undangan. Syarat kedua yaitu adanya kemampuan untuk bertanggungjawab, artinya dokter yang melakukan tindakan medis tersebut dalam keadaan normal dan mampu bertanggungjawab. Syarat ketiga yaitu adanya hubungan batin berupa kesengajaan maupun kealpaan, artinya dokter dalam melakukan tindakan medis harus terbukti telah melakukan sebuah kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi pasien. Syarat keempat yaitu tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau

pemaaf, artinya dokter tidak dalam keadaan atau mengalami gangguan kejiwaan (Pasal 44 KUHP).

Jika dikaji dari KUHP dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis secara tidak langsung dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dengan Pasal 359 dan 360 KUHP, sehingga terhadap dokter yang melakukan tindakan medis yang berakibat menimbulkan kematian dan luka berat karena kelalaian dokter terhadap pasiennya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak korban yang mengalami malpraktek medis, akan tetapi pasal-pasal dalam KUHP hanya mengatur secara tidak langsung perbuatan yang mengarah pada tindakan malpraktek. Adapun dalam KUHP hanya mengatur perbuatan yang berhubungan dengan nyawa orang atau perbuatan menyakiti tubuh orang. Sedangkan dalam undang-undang praktek kedokteran terhadap pelaku yang melakukan tindakan malpraktek medis maka sanksi yang dapat dikenakan oleh MKKDI adalah pemberian peringatan tertulis, pencabutan surat izin praktek, dan juga berupa re-schooling yang merupakan kewajiban untuk mengikuti pendidikan di institusi pendidikan kedokteran.4

  • 2.2.2    Pengaturan Hukum Malpraktek Medis Menurut Hukum Pidana Indonesia Dan Undang-Undang Praktek Kedokteran

Pelayanan kedokteran merupakan pelayanan yang sangat krusial dalam menjalankan amanat undang-undang, karena pelayanan kedokteran semata-mata dilakukan untuk menyelamatkan

nyawa seseorang yang sedang sakit atau terluka. Namun terkadang dokter saat memberikan pelayanan tidak menutup kemungkinan melakukan tindakan atau praktik yang salah dan menyimpang dari prosedur yang benar atau dikenal dengan istilah malpraktek medis. Pada tahun 1992 WHO mendefinisikan malpraktek medis sebagai perbuatan dokter yang meliputi kegagalan memenuhi standar dalam penanganan kondisi pasien atau kekurangan keterampilan, atau karena kelalaian dalam memberikan asuhan kedokteran kepada pasien yang merupakan penyebab langsung dari cedera pada pasien.5

Dewasa ini maraknya kasus malpraktek medis yang sering terjadi membuat masyarakat semakin resah, sehingga mendorong masyarakat lebih kritis dan lebih mengetahui serta menuntut hak-haknya sebagai seorang pasien. Banyaknya kasus-kasus malpraktek medis yang sering terjadi membuat masyarakat kesal dan berusaha menuntut atau meminta pertanggungjawaban secara hukum. Kasus-kasus malpraktek medis seringkali tidak terselesaikan bahkan cenderung hilang begitu saja. Sudah sepantasnya masyarakat umum mengetahui segala pengaturan dan akibat hukum yang ditimbulkan atas terjadinya malpraktek medis tersebut. Namun karena belum adanya hukum yang mengatur tentang malpraktek medis ini menyebabkan malpraktek medis sulit untuk dibuktikan yang tentunya menimbulkan kerugian bagi pihak korban.

Aspek pidana dari malpraktek medis secara tidak langsung dapat bersandarkan pada beberapa pasal dalam KUHP. Peristiwa pidana merupakan istilah yang dapat menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Dalam hukum pidana, terjadinya

suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:6

  • a.    Harus ada perbuatan manusia.

  • b.    Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang ada dalam ketentuan perundang-undangan.

  • c.    Harus terbukti adanya kesalahan pada orang yang berbuat.

  • d.    Perbuatan tersebut harus melawan hukum.

  • e.    Perbuatan tersebut harus tersedia ancaman hukumnya di dalam Undang-Uundang.

Berbagai penyimpangan atas praktek kedokteran yang berada dibawah standar profesi dapat disebabkan oleh dua unsur yaitu:

  • 1.    Kesengajaan (dolus)

Kesengajaan ini dapat dibagi menjadi dua teori, yaitu:

  • 1) . Teori kehendak.

  • 2) . Teori pengetahuan.

Contoh dalam kasus kedokteran, apabila ada seorang dokter yang melakukan praktek menggugurkan kandungan seorang wanita dengan motif untuk memperoleh uang (aborsi), berarti dokter disini telah melakukan kesengajaan dimana dokter memang menghendaki terjadinya pengguguran tersebut.

  • 2.    Kealpaan atau kelalaian (culpa)

Kealpaan atau kelalaian merupakan suatu bentuk sikap dimana pelaku tidak menghendaki timbulnya hal yang

terlarang, akan tetapi karena kesalahannya menyebabkan kekeliruan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Contoh dalam kasus, apabila seorang dokter memberi suntik penisilin kepada pasiennya lalu pasien tersebut meninggal karena anaphylactic shock, suntikan penisilin mungkin dapat digantikan dengan cara memberi obat dari jenis yang sama tetapi dengan dara diminum bukan disuntikkan, karena akibat buruk yang timbul bisa lebih ringan atau tidak ada. Setiap dokter seharusnya tau bahwa penisilin jika diberikan dalam bentuk injeksi sering menimbulkan anapylatic shock. Hal inilah yang dapat disebut kelalaian yang disadari.

Menurut Guwandi, pengaturan terkait malpraktek medis yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain:7

  • 1.    Pasal 322 KUHP, yaitu membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh penderita.

  • 2.    Pasal 359 KUHP, yaitu karena kesalah menyebabkan matinya seseorang.

  • 3.    Pasal 360 KUHP, yaitu karena kesalahannya menyebabkan sesorang menjadi luka berat dan luka sedemikian rupa sehingga menjadi sakit.

  • 4.    361 KUHP, yaitu jika kejahatan dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjaan.

  • 5.    Pasal 386 KUHP, memberikan atau membuat obat palsu.

  • 6.    Pasal 531 KUHP, yaitu tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam keadaan bahaya maut.

Pada penjelasan pasal-pasal di atas, tidak disebutkan pengaturan yang jelas mengenai malpraktek di dalam KUHP, namun pasal-pasal diatas hanya meninjau berdasarkan kelalaian atau kesengajaan dokter melakukan malpraktek.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, maka dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medis akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI ini yang berwenang untuk menerima pengaduan, memeriksa serta memberikan keputusan terkait pelanggaran displin yang dilakukan oleh dokter. Walaupun demikian, sebagaimana yang diatur dalam pasal 66 ayat 3 UU Praktek Kedokteran yang menyatakan bahwa “pengaduan setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktek/malpraktek kepada MKDKI tidak menghilangkan hak setiap orang melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang atau dengan kata lain menggugat ke pengadilan”. Jadi dalam Undang-Undang tentang Praktek Kedokteran ini belum diatur secara jelas mengenai sanksi dokter yang melakukan tindakan malpratek bahkan tidak memuat sama sekali ketentuan tentang malpraktek.8 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran hanya mengatur mengenai sanksi pidana bagi para pesaing yaitu dokter yang bekerja tanpa memiliki surat tanda registrasi atau surat izin praktek. Dalam Undang-Undang ini diatur

juga mengenai hak dan kewajiban pasien sebagaimana diatur dalam pasal 52 dan 53. Akan tetapi didalam Undang-Undang ini sama sekali tidak diatur mengenai sanksi pidana yang akan dikenakan apabila hak pasien tersebut dilanggar oleh dokter. Yang diatur hanyalah sanksi pidana yang akan dikenakan pada dokter yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan pasal 79 huruf b Undang-Undang Praktek Kedokteran.9

Belum diaturnya secara kontekstual mengenai kualifikasi dan jenis-jenis tindakan malpraktek yang ada dalam bidang kedokteran, dan keterbatasan pengaturan mengenai malpraktek inilah yang menimbulkan problematika tersendiri. Sehingga dibutuhkan adanya peraturan baru yang secara khusus mengatur tentang kualifikasi tindakan malpraktek yang dilakukan oleh dokter, sehingga dokter dapat mempertanggungjawabkan tindakannya secara pidana dan penegak hukum dapat memiliki landasan yuridis yang jelas dalam menegakkan peraturan terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis.

  • III.    Penutup

    3.1    Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yakni sebagai berikut:

  • 1.    Pertanggungjawaban pidana dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis seringkali terjadi dikarenakan oleh kelalaian

yang dilakukan oleh dokter, tindakan dokter yang melakukan malpraktek medis dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya jika telah memenuhi unsur-unsur dari suatu kesalahan. Dalam KUHP dokter yang melakukan malpraktek medis juga secara tidak langsung dapat dikenai Pasal 359 dan 360 KUHP atas dasar karena kelalaiannya menyebabkan seseorang hingga mengalami kematian maupun keadaan tertentu seperti luka berat serta cacat fisik secara permanen, yang diakibatkan kelalaian dari tindakan medis tersebut. sedangkan dalam UU Praktik Kedokteran hanya dikenakan sanksi yang bersifat administratif saja seperti pemberian peringatan hingga pencabutan izin praktek.

  • 2.    Pengaturan mengenai malpraktek medis dalam hukum postif Indonesia belum terdapat pengaturan yang mengatur secara khusus. Walaupun dalam beberapa peraturan perundang-undangan (lex generali) yakni dalam KUHP dan UU Praktek Kedokteran ditemukan beberapa pasal yang secara tidak langsung berkaitan dengan malpraktek medis, akan tetapi dalam peraturan tersebut belum dinyatakan secara spesifik dan jelas mengenai malpraktek medis. Sehingga dapat dikatakan bahwa malpraktek medis di Indonesia masih belum mempunyai payung hukum atau dasar hukum yang jelas, sehingga

dirasakan masih sulit untu menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan malpraktek medis.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Pembentuk Undang-undang sebaiknya merevisi dan mencantumkan peraturan yang secara khusus mengatur

mengenai kualifikasi tindakan malpraktek dalam RUU KUHP dan Undang-Uundang Praktek Kedokteran, sehingga dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana dan aparat penegak hukum dapat memiliki landasan yuridis yang jelas dalam menegakkan aturan terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek.

  • 2.    Sebaiknya pembentuk Undang-Undang khususnya DPR dapat memperluas atau membuat secara spesifik pengaturan tentang malpraktek medis, dan lebih mempertajam serta memperberat sanksi pidana terutama pidana penjara, denda, dan administrasi bagi dokter yang melakukan tindakan malpraktek medis dalam Undang-Undang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Muhamad Sadi Is, 2015, Etika Hukum Kesehatan Teori dan Aplikasinya di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta.

Tresna, 1989, Azaz-azas Hukum Pidana, PT. Tiara Llimited, Jakarta.

Jurnal Ilmiah

Amalia Taufani, 2011, Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum Indonesia, Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret.

Eriska Kurniati Sitio dan A.A. Ngurah Wirasila, 2017, Hukum Pidana Dan Undang-Undang Praktek Kedokteran Dalam Penanganan Malpraktek, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

Nurul Latifah, 2015, Pertanggungjawaban Malpraktek Memurut KUHP, Fakultas Hukum Univeristas Hansanudin, Makasar.

Raodatul Jannah dan I Gusti Ngurah Wairocana, 2018, Pertanggungjawaban Dokter Dalam Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari Perspektif UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran