KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI PENYANDANG DISABILITAS SENSORIK (TUNA RUNGU) DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

Oleh:

Octavia Dewi Indrawati∗∗ I. G. N. Dharma Laksana∗∗∗

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik atau mental. Keterbatasan fisik maupun mental yang dimaksud terjadi dalam jangka waktu yang lama. Dalam proses peradilan pidana, penyandang disabilitas seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang saksi karena keterbatasan yang dimilikinya. Tujuan penulisan jurnal hukum ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penyandang disabilitas tuna rungu dapat menjadi saksi dalam pembuktian pidana dan bagaimana kekuatan pembuktian penyandang disabilitas di pengadilan. Metode penelitian yang dipergunakan untuk menulis jurnal hukum ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Pada dasarnya, konstitusi telah menegaskan, pada pasal 27 UUD NRI 1945 bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama sama hukum atau pemerintahan. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah keterangan saksi yang memiliki keterbatasan tuna rungu, kekuatan pembuktiannya adalah sama dengan keterangan saksi saksi non-disabilitas, sepanjang orang tersebut memenuhi syarat sebagai saksi sesuai apa yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP dan mau untuk diambil sumpahnya sebelum menerangkan kesaksiannya. Mengenai dapat diterima atau tidaknya kesaksian tersebut merupakan wewenang majelis hakim sebagai aparat penegak hukum.

Kata kunci: pembuktian, disabilitas, peradilan pidana

Jurnal Hukum Ini adalah ringkasan diluar skripsi

∗∗ Octavia Dewi Indrawati adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi: [email protected]

∗∗∗ I.G.N. Dharma Laksana adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

Persons with disabilities are people who has physical or mental limitations. The intended physical or mental limitations occur over a long period of time. In criminal justice processes, persons with disabilities are often underestimated and considered incompetent to become witnesses because of their limitations. The purpose of writing this legal journal is to find out to what extent a person with a hearing impairment can find out whether a hearing witness's testimony can be a witness in criminal evidence and how the power of evidence of a person with a disability in court. The research method used to write a legal journal is a type of normative legal research. Basically, the constitution has affirmed, in article 27 of the 1945 Constitution of Indonesia that all citizens have the same legal or administrative position. The results obtained from this study are the testimony of witnesses who have deaf limitations, the strength of the evidence is the same as the testimony of witnesses of non-disability witnesses, as long as the person qualifies as a witness according to what is stated in Article 168 of the Criminal Procedure Code and is willing to take an oath before explaining his testimony. Regarding whether or not the testimony can be accepted is the authority of the judges as law enforcement officers.

Keywords: proof, disabilities, and criminal justice processes

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Setiap individu yang terlahir di muka bumi ini tidaklah sama. Ada yang terlahir sempurna, ada pula yang kurang. Bagi individu yang lahir kurang sempurna merupakan individu yang membutuhkan yang kebutuhan khusus (penyandang disabilitas). Istilah “Penyandang Disabilitas”, digunakan secara resmi sejak diratifikasi konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Right of Person With Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Penyandang” artinya “orang yang menderita sesuatu” dan “Disabilitas”

artinya “keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara biasa”.

Indonesia sebagai Negara Hukum wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku di negara Indonesia. Oleh Karena itu semua tindakan negara melalui pemerintahan maupun Lembaga-lembaga negara yang lainnya harus berlandaskan hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.1 Konstitusi sendiri telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang berkesetaraan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, menyatakan bahwa setiap warga Negara memiliki kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Dengan ratifikasi yang sudah ada dan beberapa aturan mengenai kesetaraan penduduk, maka pemerintah Indonesia berkewajiban merealisasikan hak-hak penyandang disabilitas yang tertuang didalam konvensi melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan termasuk menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas untuk menjalani kehidupan sehari-hari.2 Apapun ragam mereka dengan kondisi rentan atau keterbatasan berinteraksi dalam masyarakat, negara tetap menjamin kelangsungan hidup, mengakui kedudukan hukum serta hak asasi manusia mereka adalah sama dengan warga negara lainnya.

Mengenai perlakuan yang sama terhadap penyandang disabilitas, telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang (selanjutnya disebut UU HAM), menyatakan bahwa penyandang disabilitas juga berhak mendapat perlakuan lebih atau khusus. Persamaan inipun ditegaskan pula di Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Pada realitanya, pelaksanaannya di kehidupan sehari-hari masih belum berjalan dengan apa yang telah diatur dalam perundang-undangan.3 Akses keadilan dalam segi hukum masih sangat langka dirasakan oleh kaum disabilitas. Masih banyak Penyandang disabilitas yang mendapatkan perlakuan diskriminatif karena dianggap tidak cakap hukum dan dalam kapasitasnya untuk menjadi saksi, mereka tidak termasuk sebagai kategori kesaksian penuh karena tidak dapat melihat, mendengar dan seperti saksi normal lainnya. Seringkali penyandang disabilitas dibatasi haknya selama proses penyidikan maupun persidangan, sehingga hal ini dapat menghambat proses persidangan demi menemukan keadilan yang seadil-adilnya.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah saksi penyandang disabilitas tuna rungu dapat menjadi saksi dalam proses pembuktian perkara pidana?

  • 2.    Apakah kesaksian yang dikemukakan saksi penyandang disabilias tuna rungu kekuatan pembuktiannya sama dengan saksi non-disabilitas?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Agar pembaca mengetahui apakah saksi penderita tuna rungu dapat menjadi saksi dan mengemukakan keterangannya di muka persidangan pada agenda pembuktian dalam perkara pidana.

  • 2.    Untuk mengetahui apakah keterangan yang dipaparkan oleh saksi penderita tuna tungu kekuatan pembuktiannya adalah sama dengan keterangan saksi non-disabilitas.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menyusun jurnal hukum ini adalah metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Selain itu penelitian ini juga lebih banyak menggunakan bahan bahan hukum sekunder yang diambil di perpustakaan. Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan jurnal hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statue approach) yang dilakukan dengan cara melihat undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan rumusan masalah.4

Bahan hukum yang digunakan untuk jenis penelitian hukum normatif adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.5 Bahan hukum sekunder yang dipergunakan adalah buku-buku hukum dan jurnal, sedangkan bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan.

  • 2.2.    Hasil Dan Analisis

    • 2.2.1.    Pengertian Pembuktian, Jenis-jenis Alat Bukti dan Pengertian Alat Bukti Keterangan Saksi

Kata “Pembuktian” bermula dari kata “bukti” yang berarti “sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, lalu diawali dengan awalan “pem” dan diakhiri dengan “an”, jadi pembuktian berarti proses perbuatan, cara membuktikan suatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.6

J.C.T. Simorangkir berpendapat,7 bahwa pembuktian merupakan suatu usaha dari seseorang untuk mengemukakan sebanyak mungkin hal-hal mengenai suatu perkara kepada majelis hakim, dengan tujuan agar keterangan tersebut dapat dipergunakan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun putusan untuk suatu perkara.

Proses pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran

materiil, maksudnya disini yang perlu terbukti adalah peristiwanya (beyond reasonable doubt). 8.

Hakim harus mencari, menemukan, dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang ada dalam suatu perkara, dan bukanlah semata-mata mencari kesalahan seseorang tanpa adanya bukti yang cukup. Maka dari itu, sebagai seorang hakim, semaksimal mungkin harus berusaha mencoba, mengerti dan memahami berbagai aspek dari perkara yang bersangkutan baik dari segi faktanya maupun alat buktinya.9

Dalam sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia, guna menentukan kebenaran maupun kesalahan atau ketidaksalahan seorang terdakwa diperlukan alat bukti yang sah yang telah ditentukan oleh aturan yang berlaku sehingga hakim memperoleh keyakinan dalam menentukan putusannya.10 Pasal 184 KUHAP telah menetapkan alat bukti sah yang dapat diajukan ke pengadilan, diantaranya:

  • a.    keterangan saksi

  • b.    keterangan ahli

  • c.    surat

  • d.    petunjuk dan

  • e.    keterangan terdakwa.11

Dari alat bukti sah yang telah diuraikan diatas, keterangan saksi merupakan alat bukti yang memegang peranan sangat penting. Urgensi keterangan saksi dalam proses pemeriksaan perkara pidana telah dimulai sejak awal dimulainya proses peradilan. Sebagian besar terungkapnya kasus pelanggaran hukum berasal dari Informasi atau keterangan yang dilaporkan oleh masyarakat. Hal inipun terjadi juga dalam proses pada tingkat kejaksaan sampai pengadilan. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat krusial karena merupakan acuan bagi hakim dalam memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak. Dalam agenda pembuktian, keterangan saksi sangat diharapkan menjadi faktor penentu keberhasilan untuk mengungkap suatu tindak pidana.

R. Soesilo mengemukakan pendapatnya bahwa “keterangan saksi merupakan keterangan yang dikemukakan didepan hakim, dibawah sumpah, mengenai suatu kejadian tertentu yang saksi dengar, lihat, dan alami sendiri.”12 Agar sebuah keterangan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, harus dapat memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil maksudnya disini adalah apabila keterangan saksi

ini ingin dianggap “sah”, sebelum mengemukakan pendapatnya di depan hakim, saksi harus diambil janji atau sumpahnya terlebih dahulu sesuai dengan tata cara dan agama yang dianutnya. Hal ini telah diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Pengucapan sumpah sebelum menerangkan kesaksian adalah syarat yang mutlak yang harus dilakukan agar kesaksian yang dikemukakan saksi adalah sah dan dapat digunakan menjadi pedoman bagi majelis hakim hakim untuk mempertimbangkan putusan yang akan dijatuhi kepada terdakwa.

Dalam praktiknya, tidak semua saksi bersedia untuk disumpah. Apabila saksi tidak ingin untuk disumpah atau mengucapkan janji terlebih dahulu sebelum menyampaikan keterangannya di muka persidangan, maka keterangan saksi tersebut bukanlah termasuk alat bukti yang sah, namun hanya akan menjadi keterangan yang hanya dapat menguatkan keyakinan hakim.

Syarat kedua yaitu syarat materiil maksudnya adalah kesaksian satu orang saksi saja yang dihadirkan sebagai alat bukti di persidangan tidak dapat dianggap sah sebagai alat bukti (unus testis nulus testis). Pasal 183 UU No. 80 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga menegaskan hal yang sama. Majelis Hakim dalam menentukan adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, sekurang-kurangnya harus didukung oleh dua buah alat bukti yang sah yang

membuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan suatu tindak pidana.

Tidak semua orang yang terlibat dalam suatu perkara dapat menjadi saksi. Adapun beberapa pengecualian mengenai dapat atau tidaknya seseorang menjadi saksi yang diatur dalam Pasal 168 KUHAP. Saksi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak ataupun mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, dan suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai tidak bisa jadi saksi dalam persidangan karena kemungkinan besar saksi akan memberikan keterangan yang objektif.

Pada Pasal 171 KUHAP juga mengatur pengecualian mengenai kesaksian di bawah sumpah. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa anak umur 15 tahun, individu yang memiliki masalah mengenai ingatan, individu yang mengalami sakit jiwa dan sakit gila meski hanya sementara dan apabila ingatannya telah kembali, maka tidak bisa dikategorikan sebagai saksi yang sah dikarenanakan mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Keterangan saksi tersebut hanya dapat dipakai sebagai petunjuk hakim saja.

  • 2.2.2.    Kekuatan Pembuktian Kesaksian Penyandang Disabilitas Tuna Rungu dengan Kesaksian Nondisabilitas.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (yang selanjutnya disebut UU Penyandang Disabilitas), Pasal 1 angka (1) menyatakan “Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.” Jenis atau klasifikasi penyandang disabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, dan Penyadang cacat fisik dan mental.

Salah satu bentuk dari penyandang disabilitas adalah tuna rungu. Istilah tuna rungu bermula dari kata “Tuna” dan “Rungu”. “Tunaberarti “kurang” dan rungu berarti “pendengaran”.

Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak

terhadap kehidupan secara kompleks.13 Umumnya orang yang menderita gangguan pendengaran karena faktor bawaan akan mempengaruhi kemampannya dakam berbicara, walaupun tidak semua orang yang tuna rungu tidak dapat berbicara.

Sebagai penyandang disabilitas tunarungu yang memiliki keterbatasan tidak seperti orang orang normal lainnya juga memiliki hak-hak dijamin oleh Undang-Undang. Pengaturan tentang hak-hak penyandang disabilitas dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, mengenai hak penyandang disabilitias diatur dalam Pasal 5 hingga Pasal 26 UU Penyandang Disabilitas. Kedua, dapat dilihat dalam Pasal 5 angka 3, UU HAM. Ketiga, dapat dilihat dalam Convention on The Rights of Persons With Disabilities yang telah diratifikasi menjadi UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person With Disabilities.

Dalam pandangan hukum, semua orang derajatnya adalah sama. Maka dari itu, penyandang disabilitas tuna rungu juga dapat mengakes proses peradilan dan dapat menjadi saksi dalam di persidangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 9 huruf a

UU Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Salah satu asas dalam Hukum Acara Pidana yaitu asas Equality Before the Law atau persamaan di muka hukum juga menyatakan hal yang sama. Pada awalnya lingkup seseorang dikatakan dapat menjadi saksi apabila ia benar-benar melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu kejadian yang melanggar hukum. Namun pada perkembangan zaman saat ini, terdapat perluasan makna saksi dimana orang yang memiliki keterangan yang kualitasnya memenuhi syarat kesaksian, maka ia dapat menjadi saksi di muka persidangan. Kualitas dari seorang saksi lebih diutamakan daripada kondisi fisiknya.

Penerapan sistem pembuktian perkara pidana terkait penyandang disabilitas sensorik memang membutuhkan kemampuan, pemahaman dan kecermatan Hakim untuk mempertimbangkan keberadaan mereka secara komprehensif. Penyandang disabilitas tunarungu dalam kapasitas sebagai saksi, korban atau terdakwa memang memiliki keterbatasan untuk mengakses proses dan informasi selama persidangan dengan baik. Namun keterbatasan itu bukan menjadi penghalang untuk memperoleh akses keadilan yang sesungguhnya. Keterbatasan berupa tidak bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia lisan yang baik akan mengalami kesulitan ketika dimintai

keterangan di pengadilan. Namun untuk menjamin hak penyandang disabilitas tuna rungu terpenuhi sesuai ketentuan perundang-undangan, mereka wajib didampingi oleh seorang penerjemah Bahasa isyarat yang memadai untuk menjembatani interaksi antara saksi dengan para penegak hukum hukum dimana hal ini diatur Pasal 178 KUHAP. Hakim dapat menunjuk orang terdekat dan mengerti saksi dalam arti orang itu dapat menterjemahkan Bahasa isyarat dari saksi penyandang disabilitas tuna rungu. Kebutuhan akan jasa penerjemah bagi seorang penyandang disabilitas tuna rungu dalam proses persidangan juga diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menegaskan: seorang saksi dan korban berhak memperoleh penerjemah.

Berdasarkan apa yang terlah dipaparkan diatas, maka kekuatan pembuktian keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu adalah sama dengan saksi normal sepanjang orang itu memenuhi persyaratan sebagai saksi dan pada saat memberikan keterangannya sebagai saksi, ia didampingi oleh seorang penerjemah yang netral (tidak memihak siapapun). Yang dilihat dari seorang saksi adalah kualitasnya, bukan keterbatasan fisiknya. Yang memengaruhi ketarangan saksi adalah kesesuaian

keterangannya antara satu saksi dengan saksi lain.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Simpulan

  • 1.    Tidak memandang dari segi fisiknya, semua orang dapat menjadi saksi dalam persidangan. Agar keterangan saksi menjadi sah, maka sebelum menyampaikan keterangannya saksi wajib untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Adapun beberapa pengecualikan seseorang dapat menjadi saksi, diatur dalam Pasal 168 KUHAP. Sebagai seorang penyandang disabilitas tuna rungu bukanlah menjadi suatu halangan untuk menjadi seorang saksi dalam persidangan. Penyandang disabilitas tuna rungu juga memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama di muka hukum. Hal inipun sudah ditegaskan dalam Pasal 9 huruf a UU Penyandang Disabilitas. Namun memang dalam pelaksanaannya, penyandang disabilitas memerlukan seorang penerjemah Bahasa isyarat sebagai alat komunikasi antara saksi dengan aparat penegak hukum.

  • 2.    Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi disabilitas tuna rungu dengan keterangan saksi nondisabilitas memiliki kekuatan pembuktian yang sama. Saksi penyandang disabilitas juga memilik hak yang sama sebagai saksi di muka persidangan dengan saksi non-disabilitas lainnya. Namun perlu digarisbawahi, keterangan saksi yang berdiri sendiri dalam suatu perkara dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah

apabila keterangan saksi itu memiliki hubungan dengan alat bukti satu dengan yang lainnya, sehingga benar bahwa terdapat suatu kejadian atau peristiwa hukum. Untuk memutuskan bahwa keterangan saksi tersebut dapat diterima atau tidak merupakan wewenang majelis hakim.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Untuk mempermudah askes disabilitas dalam persidangan, maka perlu disediakan jasa pelayanan penerjemah di setiap sektor instansi penegak hukum, mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan, Persidangan, sampai Putusan Majelis Persidangan untuk menjamin hak-hak penyandang disabilitas tuna rungu dalam memperoleh akses keadilan menuju kesamaan hak dalam proses peradilan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

  • 2.    Mahkamah Agung perlu melaksanakan regulasi untuk menyusun Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang pedoman pelaksanaan akses disabilitas dalam proses Peradilan dengan mengidentifikasi masalah tuna rungu di pengadilan. Kemudian pengadilan dapat menyediakan akses yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pihak berperkara. Karena dalam UU Penyandang Disabilitas telah diatur bahwa Bahasa isyarat merupakan salah satu akses yang harus disediakan oleh pengadilan untuk pihak berperkara penyandang disabilitas tuna rungu.

DAFTAR PUSTAKA:

  • 1.    Buku:

Amiruddin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Marzuki, Peter, 2015, Penelitian Hukum, Prenamedia Group. Jakarta. h.137

Saija W, 2017, Eksistensi dan Urgensi Penerjemah Bahasa Isyarat “Bisu Tuli” Dalam Melancarkan Proses Peradilan Pidana. Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2017

Simorangkir. J.T.C, 1983, Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru

Soesilo. R. Hukum Acara Pidana, 1982, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum, Politeia, Bogor.

Sofyan, Andi, 2013, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Rangkang Education, Yogyakarta

Sofyan, Andi, 2014, Hukum Acara Pidana, Prenadamedia Group, Jakarta.

Somad, Permanarian, 1996, Ortopedagogik Anak Tunarungu, Depdikbud Direktorat Pendidikan Tinggi Jakarta, Bandung.

Yudiman, 2013, Konflik Sosial dan Anarkisme, Andi offserr, Yogyakarta.

  • 2.    Jurnal Hukum:

Krisnawati, I. G. A. A. A. Kekhususan Pengaturan Pengaturan Pemeriksaan dan Pembuktian Perceraian Dalam Hukum Acara Pengadilan Agama. Kertha Patrika, Vol. 38, No.3, 2016

Rusyadi, I. Kekuatan Alat Bukti Dalam Persidangan Perkara Pidana. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 5, No.2, 2016

Ante, S. Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Acara Pidana. Lex Crimen, Vol. 2, No.2, 2013

Tjukup, I. K., et.all., Penerapan Teori Hukum Pembangunan dalam Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Murah. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER, Vol. 1, No. 1, 2015

  • 3.    Peraturang Perundang-undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 Nomor 64,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871)

18