PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN

Oleh

Gusti Ayu Trimita Sania* Anak Agung Sri Utari **

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Judul jurnal ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai korban tindak pidana pemerkosaan. Dewasa ini, tindak pidana yang melibatkan anak sangat sering terjadi. Salah satunya adanya pemerkosaan terhadap anak dibawah umur. Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan , utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Rumusan masalah dalam jurnal ini yaitu bagaimana sanksi pidana terhadap pemerkosaan anak dibawah umur dan bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pemerkosaan anak dibawah umur dan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pemerkosaan. Jenis penelitian dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian normatif yaitu dengan menggunakan sumber bahan hukum primer yakni perundang-undangan tentang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak serta bahan sekunder yakni buku-buku dan Jurnal Hukum. Kesimpulan dari penulisan ini adalah ancaman hukuman terhadap pelaku pemerkosaan, sesuai aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang tindak pemerkosaan, adalah maksimal 15 tahun.

Kata Kunci: Anak, Tindak Pidana Pemerkosaan, Perlindungan Hukum

ABSTRACT

The title of this journal is Legal Protection Against Children As victims of rape. Today, crimes involving children are very common. One of them was the rape of a minor. The crime of rape is a form of violence against women which is an example of the vulnerability of women's positions, primarily to the sexual interests of men. The

formulation of the problem in this journal is how criminal sanctions against rape of minors and how legal protection against children as victims of rape. Writing this journal aims to determine criminal sanctions against rape of minors and legal protection against children victims of rape. This type of research in the writing of this journal is normative research that is using primary legal material sources namely legislation on Child Protection and the Criminal Justice System for Children and secondary materials namely books and Legal Journals. The conclusion of this paper is that the threat of punishment against rape perpetrators, according to the rules in the Criminal Code Act concerning rape, is a maximum of 15 years.

Keywords: Children, Rape, Legal Protection I.PENDAHULUAN

  • 1.1    LATAR BELAKANG

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara etimologis, anak diartikan sebagai manusia yang masih kecil atau manusia yang belum dewasa.1 Selain itu, anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus, dan harapan keluarga. Dan anak juga amanah sekaliguas karunia Tuhan yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.2 Fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada anak-anak di Indonesia mulai menuai sorotan keras dari berbagai kalangan pada saat banyak stasiun televisi swasta menayangkannya secara vulgar pada program kriminal, seperti: kasus perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi, perdagangan anak

untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersil hingga pembunuhan. Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauhmana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan (hukum) pada anak, sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Pasa1 20 UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Akhir-akhir ini sering terjadi suatu tindak pidana mengenai kekerasan seksual terhadap anak dan yang paling parah tindak pidana kekerasan seksual yang sekarang ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga dilakukan oleh anak. Anak dibawah umur yang dimaksud di sini adalah anak yang belum berusia 18 tahun atau yang berusia di bawah 18 tahun menurut undang-undang perlindungan anak. Fenomena tindak pidana ini terus meningkat dengan berbagai modus operandi. Dengan terdapatnya perkara perkosaan terhadak anak di bawah umur yang dilakukan, hal tersebut termasuk dalam kejahatan kesusilaan yang sangat mencemaskan dan memunculkan pengaruh psikologis terhadap korbannya yang juga di bawah umur, maka penanganan tindak pidana ini harus ditangani secara serius.

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi, bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 3 Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kita semua selalu berupaya agar jangan sampai anak menjadi korban kekerasan, maupun anak terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan tidak terpuji lainnya.

  • 1.2    RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini, sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah sanksi pidana terhadap perkosaan anak di bawah umur ?

  • 2.    Bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan ?

  • 1.3    TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan jurnal ini adalah:

  • 1.   Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pemerkosaan

anak dibawah umur.

  • 2.   Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap

anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan.

  • II. ISI MAKALAH

    1.1    METODE PENULISAN

  • a. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesa, maka titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan prosedur identifikasi dan inventarisasi hukum positif sebagai suatu kegiatan pendahuluan. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : KUH Pidana dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sedangkan bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti: literatur yang ada kaitannya dengan hukum pidana dan perlindungan anak, hasil seminar, karya ilmiah maupun hasil penelitian, jurnal yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari: Kamus Hukum, Kamus umum Bahasa Indonesia, maupun buku-buku petunjuk lain yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini.

  • 1.2    HASIL DAN ANALISIS

  • 1.    Sanksi Pidana Terhadap Perkosaan Anak Di Bawah Umur

Masalah perkosaan yang dialami perempuan merupakan contoh kerendahan posisi perempuan terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah menempatkan dirinya sebagai objek sekual laki-laki temyata berimplikasi jauh. Dalam kehidupan kesehariannya, perempuan senantiasa berhadapan dengan kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik dan psikis. Oleh karena itulah, perkosaan bukan hanya cerminan dari citra perempuan sebagai objek seks, melainkan sebagai objek kekuasaan laki-laki.4 Pandangan pembela hak hak perempuan itu mensyaratkan bahwa selama ini perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi. Perempuan tidak sebatas sebagai objek pemuas seks kaum laki-laki dan selalu akrab dengan beragam kekerasan, namun juga sebagai kaum yang dipandang lemah, yang selalu harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki.

Pandangan seperti itu barangkali merujuk pada berbagai fenomena yang menunjukkan kalau kejahatan kekerasan yang seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat ini lebih banyak kaum laki-laki yang melakukannya, dan jarang sekali ditemukan suatu kasus yang menempatkan wanita sebagai pelaku kejahatan kekerasan kaum terhadap laki-laki. Perempuan telah menempati strata inferior akibat perilaku superioritas yang ditunjukkan laki-laki yang adigang dan congkak menunjukkan kekuatan fisiknya. Windhu mengomentari pula, bahwa "kekerasan (terhadap perempuan) adalah suatu sifat atau

keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan dan paksaan. Kekerasan terkait dengan paksaan, yang berarti tekanan yang keras. Kekerasan juga sering dikaitkan dengan tindakan perkosaan, yakni suatu tindakan menundukkan dengan paksaan dan kekerasan.5 Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.6

Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalarn Kitab Undang-Undang Hukurn Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasat 285) yang menyatakan: "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".

Sudarto berpendapat (seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana) bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian

integral dari upaya perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari poiitik kriminat adalah "perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat".7Alasan kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada poiisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

  • a.    Unsur-unsur objektif:

  • 1)    Perbuatannya: bersetubuh Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada persetubuhan yang terjadi baik di luar kehendak korban maupun didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali anak tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami, sehingga anak tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP. 8

  • 2)    Objek: dengan perempuan di luar kawin. Artinya perempuan di luar kawin.

  • 3)    Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas dan belum waktunya untuk kawin.

Indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah dan tubuhnya yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haid. Adapun bentuk psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masihsenang bermain seperti pada umumnya anak belum berumur lima belas tahun.

  • b.    Unsur Subjektif:

  • a) Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun.

Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahannya, yang berupa: Kesengajaan, yakni diketahuinya umurnya belum lima belas tahun dan kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin.

Ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur menurut UndangUndang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai berikut:

  • 1)    Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)

  • 2)    Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ancaman hukuman terhadap pelaku pemerkosaan, sesuai aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang tindak pemerkosaan, adalah maksimal 15 tahun. Pelaku kejahatan pemerkosaan kenyataannya banyak yang tak sampai menanggung hukuman maksimal. Sementara korbannya mesti seumur hidup menyimpan cerita aib dan trauma psikis. Sangat tak adil. Itu sebabnya penulis meyakini ancaman hukuman di KUHP itu sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan masyarakat. DPR mesti melakukan langkah merevisi pasal Kitab Undangundang Hukum Pidana tentang tindak pemerkosaan.

Seharusnya berlaku syarat hukuman minimal dan ganjaran pidana penjara maksimal seumur hidup bagi pelaku pemerkosaan. Bahkan ada sebagian kalangan menuntut diberlakukan hukuman mati. Sanksi berat dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi pelaku pemerkosaan dan memberi peringatan kepada khalayak untuk tak sekali-kali mencoba melakukan kejahatan ini. Selain persoalan penegakan hukum dan sanksi berat, prosedur pelayanan laporan pengaduan korban kasus pemerkosaan mesti dilakukan dengan baik sehingga membuat masyarakat merasa terlindungi. Pemerintah rasanya juga perlu mendirikan semacam trauma centre, setidaknya di tingkat kabupaten, yang bisa memberi pendampingan dan bimbingan psikologis bagi korban-korban kasus perkosaan. Trauma psikis akan menorehkan luka batin seumur hidup. Tugas kita bersama untuk membantu

memulihkan kondisi batin para korban dari musibah kelam yang menimpa mereka.

  • 2.    Upaya Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan.

Tindak pidana perkosaan dapat digolongkan ke dalam bentuk kejahatan dengan kekerasan, karena biasanya tindak pidana ini disertai dengan kekerasan/ancaman kekerasan. Menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh Mulyana W. Kusuma, penyebab terjadinya kejahatan dengan kekerasan adalah:

  • a.   Adanya orientasi pada benda yang menimbulkan keinginan

untuk mendapat materi dengan jalan mudah.

  • b.    Tak ada penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada seseorang.

  • c.    Keberanian mengambil resiko.

  • d.   Kurangnya perasaan bersalah dan adanya keteladanan yang

kurang baik.9

Berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pemerkosaan adalah:

  • c.    Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar

lembaga;

  • d.    upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media

massa dan untuk menghindari labelisasi;

  • e.    pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi

ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

  • f.    pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi

mengenai perkembangan perkara.

Perlindungan hukum terhadap anak korban pemerkosaan menyatakan bahwa seorang anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara fisik maupun secara mental, spiritual dan sosial, selain itu privasinya wajib untuk dilindungi, nama baiknya dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi tanggung jawab pemerintah, dan anak yang jadi korban tersebut berhak untuk senantiasa mengetahui perkembangan perkara yang dihadapinya. termasuk pula hak untuk diberitahu apabila si pelaku telah dikeluarkan atau dibebaskan dari penjara (kalau ia dihukum). Apabila tidak dihukum, misalnya karena bukti yang kurang kuat, seyogyanya korban diberi akses untuk mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi pembalasan dendam oleh pelaku dalam segala bentuknya. Koordinasi dengan pihak kepolisian harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter. Dalam kondisi daerah yang tidak memungkinkan, harus diupayakan untuk menempatkan orang-orang dengan kualifikasi yang paling mendekati para profesional di atas, dengan maksud agar lembaga ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan baik. Pendanaan untuk lembaga ini harus dimulai dari pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah, dan tentunya dapat melibatkan masyarakat setempat baik secara individu maupun kelompok.

  • III. PENUTUP

    3.1    KESIMPULAN

Didalam jurnal ini hasil dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya ditarik 2 kesimpulan, yaitu:

  • 1.    Ancaman hukuman terhadap pelaku pemerkosaan, sesuai aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang tindak pemerkosaan, adalah maksimal 15 tahun. Pelaku kejahatan pemerkosaan kenyataannya banyak yang tak sampai menanggung hukuman maksimal. Sementara korbannya mesti seumur hidup menyimpan cerita aib dan trauma psikis.

Seharusnya berlaku syarat hukuman minimal dan ganjaran pidana  penjara maksimal seumur  hidup bagi  pelaku

pemerkosaan. Bahkan ada sebagian kalangan menuntut diberlakukan hukuman mati. Sanksi berat dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi pelaku pemerkosaan dan memberi peringatan kepada khalayak untuk tak sekali-kali mencoba melakukan kejahatan ini.

  • 2.    Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan adalah: Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun social dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

  • 3.2    SARAN

  • 1.    Sebaiknya Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara merus menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemudian hari.

  • 2.    Disarankan kepada pemerintah untuk memberikan sarana dan prasarana terhadap pemulihan anak korban pemerkosaan, sehingga korban bisa melanjutkan kehidupannya di masa mendatang. Disarankan kepada masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para anak korban kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

A.    BUKU

Arief, Barda Nawawi. 2012. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Chazawi, Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenal Kesopanan. Bandung: Bandung Angkasa.

Kusuma, Mulyana W. 1982. Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Marpaung, Leden. 2013. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. jakarta: Sinar Grafika.

Nashriana. 2011. Perlindungan Hukum Bagi Anak Di Indonesia. Jakarta: Grafindo Presada.

Pramukti, Angger Sigit. 2015. Sistem Peradilan Pidana Anak.

Yogyakarta: Pustaka Yudisia.

  • B.    JURNAL DAN KARYA ILMIAH

Ni Made Ayu Dewi Mahayani, Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual, Kertha Wicara, Vol. 08, No. 01 Tahun 2019

Anak Agung Gede Ari Paramartha, Pemidanaan Terhadap Anak

Yang Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Restorative Justice, Kertha Wicara, Vol. 07, No. 01 Tahun 2018

Gede Nyoman Gigih Anggara , Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan, Kertha Wicara, Vol. 07, No.05 Tahun 2018

  • C.    Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332

14