PEMIDANAAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
on
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN*
Oleh :
Kadek Danendra Pramatama** Komang Pradnyana Sudibya***
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa. Seorang anak juga bisa melakukan hal yang sama. Misalnya kasus di Torjun Sampang Madura, seorang anak didik melakukan pemukulan terhadap gurunya hingga menyebabkan guru tersebut meninggal dunia. Permasalahan yang dibahas dalam jurnal ini adalah mengenai pengaturan pemidanaan dan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan serta pengaturan diversi sebagai upaya menuju keadilan restoratif terhadap anak yang berhadapan dengan hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah berupa metode penelitian normatif yang merupakan metode yang berdasarkan atas bahan-bahan hukum dan fokusnya untuk meneliti dan mengkaji prinsip-prinsip hukum serta peraturan perundang-undangan terkait. Hasil penelitian menunjukkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur bahwa apabila terpenuhi unsur-unsur delik dari tindak pidana tersebut untuk anak yang melakukan tindak pidana berat dapat dipidana dengan ketentuan ½ dari maksimum masa hukuman orang dewasa dengan ketentuan bahwa umur seorang anak telah mencapai 12 tahun ke atas. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengisyaratkan bahwa upaya diversi sebagai upaya menuju keadilan restoratif harus diutamakan dalam menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum apabila upaya diversi tidak berhasil maka proses persidangan dilanjutkan ke tahap berikutnya, akan tetapi untuk kasus tindak pidana pembunuhan tidak dapat dilakukan upaya diversi.
Kata Kunci: pemidanaan terhadap anak, tindak pidana pembunuhan.
Abstract
Crime is not only done by adults. A child can do the same thing. For example the case in Torjun Sampang Madura. A student beaten his teacher then led to the teacher’s death. The problems which discussed in this article are about the regulation of punishment and sanctions on children who commit crimes of murder and diversion arrangements as an effort towards restorative justice for children who are faced with the law according to Act No. 11 Year 2012 concerning the Child Criminal Justice System. The method used in this paper is a normative research method which is a method based on legal materials and its focus is to examine and review the principles of law and related laws and regulations. The Criminal Regulation (KUHP) stipulates that if the elements of offense from the crime are fulfilled for a child who commits a serious criminal offense, he / she can be punished with the provisions of ½ of the maximum sentence of an adult , provided that the age of a child has reached 12 years and above. The Child Criminal Justice System Act implies that attempts at diversion as an effort towards restorative justice must be prioritized in resolving cases of children in conflict with the law if the diversion attempt is unsuccessful then the trial process continues to the next stage, however for criminal cases of murder, diversion efforts cannot be carried out.
Keywords: juvenile's penalty, murder crime
Kasus tindak pidana yang melibatkan seorang anak, baik posisinya sebagai korban maupun sebagai pelaku, sering terjadi. Anak dalam hal ini berada dalam posisi pelaku intensitas perbuatannya sudah dapat dikatakan sangat memprihatinkan dan tidak bermoral. Salah satu kasus yang baru saja terjadi di SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura pada 1 Februari 2018.1 Seorang siswa memukul gurunya hingga meninggal dunia. Berawal dari seorang guru yang menginstruksikan muridnya melukis, namun si murid (MH) tidak menghiraukannya. Guru tersebut berkali-kali menegurnya, akan tetapi tetap tidak dihiraukan sampai pada MH memukul guru tersebut di bagian pelipis kanan hingga meninggal
dunia setelah dirujuk ke rumah sakit dengan diagnose mati batang otak. Hakim Pengadilan Negeri Sampang memvonis MH dengan pidana penjara 6 tahun atas delik penganiayaan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Kasus serupa juga terjadi pada 29 April 2016 dengan pelaku 2 orang anak berinisial DE (13 tahun) dan AR (15 tahun). Korbannya adalah Hendi Pratama, seorang tenaga honorer Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pangkalpinang dengan motif pelaku sakit hati terhadap korban.2
Pasal 1 angka 1 UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan anak tersebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum yaitu anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pada umumnya anak yang dalam rentang umur 12 tahun sampai 17 tahun sebagaimana definisi undang-undang tersebut sejatinya sudah mampu berfikir rasional dan logis, sudah mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, seiring dengan masa akil balik mereka sehingga apabila berkonflik dengan hukum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Setiap anak mempunyai hak-hak dasar yang perlu dipenuhi, dijaga dan dilindungi oleh semua orang. Apabila anak tersangkut masalah sebisa mungkin untuk dijauhkan dari ranah hukum, menjaga dan melindungi serta memenuhi hak-hak anak tanpa terkecuali.
Diversi merupakan upaya yang pertama kali dilakukan dalam hal penanganan anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dalam Pasal 6 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun apabila upaya diversi tersebut tidak berhasil maka anak akan dikenakan pidana dengan ketentuan ½ masa pidana orang dewasa. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
-
1. Bagaimana pengaturan pemidanaan dan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan?
-
2. Bagaimana pengaturan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak?
Tulisan ini bertujuan memberikan sekaligus menambah wawasan penulis dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum pidana dan untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar. Tujuan penulisan karya ilmiah ini juga bertujuan untuk mengetahui pemidanaan dan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan.
Untuk mengetahui pengaturan pemidanaan dan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan dan untuk mengetahui pengaturan diversi terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum menurut Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Metode yang dipergunakan adalah metode penulisan hasil penelitian normatif yakni penelitian yang dilakukan dengan cara mencari, mengolah bahan yang obyeknya norma hukum yang didukung bahan hukum yaitu dengan menggunakan bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan yaitu UU 11/2012, UU 35/2014 dan bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berasal dari teori-teori atau doktrin dalam literatur hukum dan penelitian ilmiah. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan yakni menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dan pendekatan kasus merupakan dengan menelaah kasus-kasus hukum yang ditemukan berkaitan dengan penelitian ini yaitu mengenai pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan. Sifat penelitiannya adalah deskriptif dengan teknik pengumpulan bahan hukum dengan sistem kartu dan menggunakan teknik analisis bahan hukum berupa teknik evaluasi, argumentasi, dan teknik sistematisasi.
-
2.2 Hasil dan Analisis
Kata ”pemidanaan” dapat diartikan sebagai suatu proses dari pidana itu sendiri di mana orientasinya pemberian efek jera sehingga untuk memaksimalkan dan mengimplementasikan hal
tersebut diperlukan suatu cara yaitu dengan menjatuhkan hukuman atau sanksi terhadap orang yang melakukan tindak kejahatan maupun pelanggaran. Teori-Teori Pemidanaan terdiri dari Teori Absolut, Relatif dan Gabungan.3 Teori Absolut atau Teori Pembalasan yaitu pidana merupakan suatu pembalasan; Teori Relatif atau Teori Tujuan yaitu pidana merupakan suatu alat yang digunakan untuk menegakkan tata tertib hukum dalam masyarakat; Teori Gabungan adalah teori perpaduan antara teori pembalasan dan teori tujuan. Teori ini terbagi menjadi 2 golongan (titik berat pada teori pembalasan dan titik berat pada usaha mempertahankan ketertiban pada masyarakat).4
Pemberian pertanggungjawaban pidana kepada anak haruslah mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak di masa mendatang atau di masa depan. 5Tidak menutup kemungkinan seorang anak memiliki niat untuk melakukan sesuatu apalagi di era seperti saat ini seorang anak bisa saja melakukan apa yang dilakukan orang dewasa dalam konteks positif maupun negatif. Anak saat ini pikirannya tidak sesuai dengan umurnya sehingga dapat dikatakan sebenarnya anak telah mampu untuk membedakan benar ataupun salah. Niat bisa jadi telah ada pada saat sebelum seorang anak melakukan suatu tindak pidana.
Perbuatan menghilangkan nyawa seseorang disebut sebagai pembunuhan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kejahatan terhadap nyawa yang atas dasar unsur kesalahan dan atas dasar dari unsur obyeknya dalam hal ini berupa nyawa seseorang. Kejahatan terhadap nyawa yang atas dasar unsur kesalahan yaitu kejahatan
yang dilakukan dengan sengaja dan kejahatan yang dilakukan tidak dengan sengaja di mana diatur dalam KUHP pada Bab XIX buku II yang terdiri dari 13 pasal, mulai dari Pasal 338 sampai pada Pasal 350. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja diatur dalam Bab XXI Pasal 359. Kejahatan yang atas dasar unsur obyeknya dalam hal ini bahwa dapat dikatakan sebagai merampas jiwa orang lain (nyawa orang lain) terdapat beberapa teori yaitu 1. Teori Equivalensi/Teori Conditio Sine Qua Non (Von Buri); 2. Teori Adequate atau Teori Keseimbangan (Van Kries); 3. Teori Individualisasi (Birk Meyer)6.
Unsur-unsur tindak pidana pembunuhan adalah sebagaimana pada Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa dengan bunyi pasal “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, di pidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Rincian unsurnya adalah unsur obyektifnya yaitu “menghilangkan nyawa orang lain”, dan unsur subyektifnya: dilakukan “dengan sengaja”. Pasal 338 KUHP tentang perbuatan menghilangkan nyawa orang lain tersebut harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu adanya wujud/bentuk dari suatu perbuatan, adanya suatu akibat dari perbuatan tersebut berupa meninggalnya orang lain (kematian), terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dan juga akibat yang berupa adanya kematian dari hal tersebut. Wujud perbuatan tidak terfokus pada satu perbuatan tertentu saja. Wujud daripada perbuatan menghilangkan nyawa orang lain menurut KUHP tersebut bisa berupa bermacam-macam perbuatan (yang sifatnya abstrak) seperti memukul, membacok, menembak, juga bisa termasuk
perbuatan yang hanya sendikit menggerakkan anggota tubuh.7 Pasal 338 tersebut juga mensyaratkan akan timbulnya suatu akibat dalam hal ini yaitu hilangnya nyawa seseorang (orang lain) (opzet). Pasal 338 tersebut juga ditentukan bahwa adanya unsur kesengajaan yang hal ini harus ditafsirkan secara luas di mana mencakup 3 unsur yakni sengaja sebagai adanya suatu niat, sengaja karena insyaf akan kepastian dan keharusan, dan sengaja insyaf akan kemungkinan8.
Ancaman pidana bagi anak yang telah ditentukan oleh KUHP (lex generalis) dan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (lex spesialis) dijelaskan bahwa bagi anak penjatuhan pidananya ditentukan yaitu ½ dari maksimum pidana orang dewasa, dan terhadap anak tidak ada pemberlakuan pidana seumur hidup dan pidana mati9. Selain itu juga diatur mengenai sanksi yang dijatuhkan yang ditentukan berdasarkan umur yaitu, bagi anak yang berumur 12 (dua belas) sampai dengan berumur 18 tahun dapat dijatuhi pidana sedangkan yang berumur 8 tahun sampai dengan berumur 12 tahun hanya akan dikenakan sanksi tindakan. UU tersebut mengamanatkan untuk dalam hal proses penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum harus wajib mengutamakan menggunakan proses diversi terlebih dahulu sebagaimana pada Pasal 5 ayat (3).
Pemidanaan anak dikenal asas ultimum remedium di samping asas kepentingan terbaik bagi anak yang memiliki
landasan hukum dalam instrumen-instrumen internasional seperti Beijing Rules, Riyadh Guidelines, dan Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya. Ketentuan hukum internasional seperti Beijing Rules (United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice) menjelaskan serta mempertegas sistem peradilan anak yang baik harus mengutamakan kesejahteraan anak dan selalu memastikan bahwa reaksi apapun itu terhadap pelaku atau pelanggar hukum yang dikategorikan sebagai anak akan sepadan dengan keadaan-keadaan baik pelanggar hukumnya atau pelanggaran hukumnya dan anak hanya dapat dihilangkan kemerdekaannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Instrumen Internasional maupun nasional tersebut10.
United Nations Rules For The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty menjelaskan bahwa sistem peradilan anak harus menjunjung tinggi hak-hak serta keselamatan dan juga memajukan kesejahteraan fisik dan mental anak. Hukuman penjara itu pun juga seharusnya menjadi upaya paling akhir untuk pemidanaan dan dengan jangka waktu yang relatif pendek (masa minimum) serta terbatas pada kasus yang bisa dianggap luar biasa apabila dilakukan oleh seorang anak (Beijing Rules, prinsip-prinsip umum butir ke-5 tentang tujuan-tujuan peradilan bagi anak). Pada The Riyadh Guidelines butir 54 juga disebutkan bahwa tidak seorang anak atau remaja pun yang menjadi obyek langkah-langkah penghukuman.
Untuk anak yang berkonflik dengan hukum terkait perbuatan pidana pembunuhan yang dilakukannya apabila telah berumur 14 tahun sampai dengan 18 tahun sebaiknya tetap melalui tahapan persidangan di pengadilan. Penjatuhan pidana
atau tidaknya diserahkan kepada pertimbangan hakim dengan berpokok pada UU SPPA dan sanksi yang telah ditentukan (1/2 dari masa pidana orang dewasa) dan apabila penjatuhan pidana penjara (sebagai ultimum remedium) yang dikenakan oleh hakim, maka demi asas kepentingan terbaik bagi anak maka ditempatkan dalam Lapas Anak dengan kuantitas dan kualitas pelayanan dan infrastruktur yang memadai dan juga harus menghormati dan memenuhi hak-hak mereka sebagai seorang anak.
Penerapan dan bentuk sanksi pidana kepada anak yang melakukan tindak pidana dalam UU No.11/2012 termaktub dalam Bab V mulai dari Pasal 69 sampai dengan Pasal 83 tentang pidana dan tindakan. Sanksi bagi anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan yaitu sesuai dengan Pasal 338 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” dengan ketentuan ½ dari total maksimum pidana orang dewasa maka untuk anak akan dikenakan sanksi pidana penjara selama -/+ 7,5 tahun. Terlebih lagi korbannya adalah orang dewasa. Alangkah lebih efektif lagi apabila sanksi yang dijatuhkan berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan secara bersamaan (prinsip Double Track System). Dikembalikan lagi kepada hakim yang menangani perkara tersebut sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan seperti faktor usia, terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur pidana, pembuktian di persidangan berdasarkan kesesuaian alat bukti yang sah, keyakinan hakim, melihat hal-hal yang dapat memberatkan atau meringankan terdakwa. Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dibuat Balai Pemasyarakatan (BAPAS) menyebutkan perlunya keterangan dari orangtua, orangtua asuh ataupun wali di persidangan, dan akibat langsung bagi korban/keluarga. Diharapkan pertimbangan tersebut sesuai dan dapat mewujudkan asas kepentingan terbaik
bagi anak, mewujudkan prinsip proporsionalitas, dan asas-asas perlindungan anak lainnya serta juga tidak melenceng dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak yakni UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak), UU PA (Perlindungan Anak), UU KA (Kesejahteraan Anak), dan sebagainya.
-
2.2.2 Pengaturan Diversi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum menurut Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal-pasal dalam Undang-undang SPPA yang mengatur tentang diversi terdiri dari: Pasal 6 menjelaskan tujuan dari diversi, Pasal 7 wajibnya diupayakan diversi di setiap tahap pemeriksaan dan batasan mengenai lamanya pidana serta residiv Pasal 8 menyangkut para pihak yang turut serta dalam upaya diversi dengan melalui proses musyawarah dan asas diversi Pasal 9 pertimbangan para aparat penegak hukum dalam proses melakukan diversi dan kesepakatan diversi Pasal 10 lanjutan Pasal 9 atau jo Pasal 9 Pasal 11 mengenai bentuk hasil kesepakatan diversi Pasal 12 lanjutan Pasal 11 atau jo Pasal 11 dan syarat pihak dalam penyampaian hasil kesepakatan diversi beserta kurung waktu penyampaian kesepakatan diversi terhitung sejak kesepakatan tersebut dicapai untuk memperoleh penetapan dan jangka waktu penetapan serta sampai pada penerbitan penetapan penghentian oleh penyidik dan penuntut umum.
Pada Pasal 14 ayat (1) dijelaskan bahwa pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Ayat (2) menyebutkan, selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan
pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Ayat (3) mengatur, dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pada ayat (4) dijelaskan bahwa pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Tahapan-Tahapan diversi terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2012 wajib dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan melalui persidangan.
Terhadap anak yang sudah ditangkap oleh polisi, diversi dapat dilakukan oleh polisi (diskresi) tersebut kepada anak tanpa dengan meneruskannya ke jaksa penuntut umum. Kemudian jika kasus tersebut sudah sampai di tahap pengadilan, hakim berwenang sesuai dengan kehendaknya melakukan peradilan sesuai dengan prosedurnya dan mengutamakan anak agar bebas dari penjatuhan pidana penjara. Apabila anak ternyata terbukti bersalah dan hakim menjatuhkan pidana penjara sehingga anak telah berada di dalam Lapas Anak tersebut maka petugas Lapas Anak dapat membuat suatu kebijakan diversi terhadap anak sehingga anak dapat dilimpahkan ke lembaga sosial, atau sanksi alternatif yang lebih berguna untuk masa depannya11. Kasus Pembunuhan dalam hal ini dilakukan oleh anak tidak dapat untuk ditempuhkan proses diversi oleh karena sebagaimana dalam pasal 7 Undang-Undang SPPA dijelaskan bahwa diversi itu sendiri dapat dilakukan hanya apabila ancaman pidananya dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, sedangkan
kasus pembunuhan itu sendiri menurut pasal 338 KUHP ancaman pidananya 15 tahun untuk orang dewasa sedangkan untuk anak yang melakukan delik tersebut maka dikurangi ½ dari ancaman pidana orang dewasa yakni 7,5 tahun.
-
III. PENUTUP
-
1. Pengaturan mengenai pemidanaan dan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan diatur dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan tidak diatur secara eksplisit, namun dalam UU No. 11 Tahun 2012 diatur mulai dari Pasal 69 s/d Pasal 83 yang pada intinya mengutamakan upaya diversi dan pidana penjara ½ dari maksimum pidana orang dewasa yang dikenakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tergantung dari unsur-unsur tindak pidana yang menyertai dengan juga melihat apakah akibat dari perbuatan tersebut terdapat korban yang meninggal dunia ataukah masih hidup (sehat walafiat). Penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan (prinsip Double Track System) juga mulai dilirik untuk pemidanaan anak karena dirasa lebih efektif demi mewujudkan asas kepentingan terbaik untuk anak dan kesejahteraan anak, mewujudkan prinsip proporsionalitas, dan Hakim dengan keyakinannya tetap berada dalam koridor Peraturan Perundang-undangan.
-
2. Pengaturan diversi dalam Undang-Undang SPPA diatur di dalam Pasal 6 s/d Pasal 14 yang pada dasarnya untuk menyelesaikan permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum upaya pertama yang dilakukan adalah upaya diversi
itu sendiri demi mencapai keadilan restoratif dan mengenakan pidana sebagai upaya terakhir, akan tetapi untuk kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak tidak dapat ditempuhkan proses diversi sebagaimana menurut UU SPPA mengenai syarat diversi.
-
1. Sebaiknya Pembentuk Undang-Undang terkait Pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum berupa tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana berat lainnya diatur secara eksplisit di dalam Peraturan Perundang-undangan Pidana Anak agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian sanksi oleh aparat penegak hukum kepada anak sehingga lebih memberikan kepastian hukum serta mengatur mengenai sanksi double track system terhadap anak di dalam UU SPPA.
-
2. Aparatur Penegak Hukum harus memaksimalkan implementasi konsep keadilan restoratif dan upaya diversi pada penyelesaian perkara anak serta mengupayakan pidana penjara sebagai upaya terakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami, 2010, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dharmajaya, Surya. et.al, 2016, Klinik Hukum Pidana, Udayana Press, Denpasar.
Mahrus Ali, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Santoso, Topo. et.al, 2015, Hukum Pidana Materiil dan Formil,
USAID, Indonesia.
Teguh Prasetyo,2011, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Wadong, M. Hasan, 2012, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta.
Wahid, Eriyantouw, 2009, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, Universitas Trisakti, Jakarta
Munajah, 2016, “Ketentuan Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Sebelum dan Sesudah Pengaturan Keadilan Restoratif Justice di Indonesia”,Volume VIII Nomor 1, Jurnal Fakultas Hukum Uniska MAAB Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5332).
15
Discussion and feedback