PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM PROSTITUSI ONLINE DI

INDONESIA

Oleh :

I Made Agastia Wija Prawira∗∗

Made Subawa∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pesatnya perkembangan teknologi khususnya dibidang komunikasi tidak hanya mendatangkan kemudahan dampak positif bagi kehidupan sosial manusia. Juga tak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit pihak yang memanfaatkan kemudahan ini untuk melakukan tindakan melanggar hukum seperti menyediakan jasa prostitusi online berbasis sosial media daring (online). Pertanggungjawaban pidana dan upaya dalam menekan angka prostitusi di Indonesia hingga kini masih menjadi perdebatan, khususnya dalam orientasi pemidanaan dan regulasi terkait prostitusi di Indonesia.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini yaitu penelitian hukum normatif. Adanya kekaburan hukum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Pidana di Indonesia serta guna memberikan solusi terkait masalah serupa di masa mendatang menjadi tujuan dari ditulisnya jurnal ilmiah ini.

Pertanggungjawaban pidana dalam hal prostitusi hingga saat ini hanya bisa dilimpahkan kepada muncikari/germo sebagai pihak yang menyediakan dan mempermudah orang lain melakukan tindakan yang melanggar kesusilaan. Kriminalisasi terhadap PSK bukan merupakan jalan keluar mutlak, melainkan pengenaan denda, pembinaan dan rehabilitasi menjadi solusi untuk mengurangi praktek prostitusi.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Prostitusi Online, Pekerja Seks Komersial

ABSTRACT

Tulisan ini merupakan tulisan ilmiah diluar ringkasan skripsi

∗∗I Made Agastia Wija Prawira adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Email :agastiawija@yahoo.co.id.

∗∗∗Made Subawa adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Email: made_subawa@unud.ac.id.

Massive growth of techonology especially in terms of communication not only brings positive benefits towards the social live of people. It’s a fact that we cant deny that there are so many parties who benefited from this technological advances to do things which are against the law such as providing online prostitution services based on social media platform. Criminal Responsibility and the efforts that has been done on this case is still debatable. Especially in terms of orientation on the criminalization and regulation regarding prostitution in Indonesia.

Research method used to accomplish the writing of this journal is normative legal research method. The existence of legal obscurity in the provisions of criminal regulation in Indonesia while also to give solutions on the account of future occurence of similar problem is the main purpose of this scientific law-journal.

Criminal Responsibility regarding prostitution can only be bestowed towards the pimp as parties which provided and facilitated people to do such things which are against the fundamental norm of morality. Although criminalization towards sex worker is not the way to solve the problem.

Keywords : Criminal Responsibility, Online Prostitution, Commercial Sex Worker

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri serta dihindari. Pesatnya pertukaran informasi, kemudahan dalam mengakses informasi dan aktivitas perekonomian di dunia maya menjadi salah satu bukti konkrit era globalisasi. Namun pada pengaplikasiannya tidak sedikit pihak yang turut memanfaatkan kemudahan-kemudahan ini untuk mencari keuntungan dengan melakukan perbuatan melanggar hukum, atau yang lebih dikenal dengan istilah kejahatan siber (cyber crime).

Salah satu fenomena kejahatan siber yang sedang berkembang saat ini adalah berkaitan dengan prostitusi daring (online) yang sempat

menjadi perhatian masyarakat Indonesia. semenjak beredarnya kabar penangkapan terhadap salah seorang artis berinisial VA.1 Tentu saja hal ini memiliki relevansi yang sangat erat dengan perkembangan teknologi, khususnya penyedia jasa komunikasi daring seperti Facebook, Twitter, WhatsApp dan Instagram. Sebab transaksi dan metode pembayaran dalam praktik prostitusi daring ini sering terjadi secara online dengan menggunakan media-media tersebut diatas.

Secara historis, modus prostitusi online pertama kali terungkap pada tahun 2003 oleh bidang Reskrimsus cyber crime Polda Metro Jaya, yang mana pada kasus ini transaksi dilakukan melalui sebuah laman daring (website) yang memajang foto-foto wanita untuk ditawarkan kepada laki-laki hidung belang, apabila transaksi telah sukses dilakukan maka muncikari akan mengantarkan PSK yang telah dipilih ke kamar hotel sang pemesan.2 Sejak saat itu praktik prostitusi online menjadi modus dan gaya baru dalam lingkup penyediaan jasa pemuas hasrat kepada oknum-oknum tidak bertanggungjawab.3

Pada mulanya dalam penanggulangan dan penindakan terhadap tindak prostitusi dilakukan dengan penertiban terhadap PSK yang dilakukan oleh aparat dan pembinaan.4 Hal ini dikarenakan belum adanya aturan yang dapat diterapkan terhadap PSK khususnya yang menjajakan dirinya melalui media online. Hukum Pidana positif di

Indonesia atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana / Wetboek Van Straftrecht (KUHP) hanya mengatur kejahatan kesusilaan sebagaimana tertuang dalam pasal 281-303 KUHP. Hal yang menarik yang dapat dicermati adalah tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur tindakan dari Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagai tindak pidana yang dapat dijatuhkan hukuman.

Pengaturan terhadap tindak kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP pada prinsipnya dibentuk dan dirancang guna melindungi nilai dan norma kesusilaan yang hidup di masyarakat. Hanya saja dalam hal ini tidak didukung dengan kenyataan bahwa pemerintah mau secara tegas menerapkan ketentuan terkait prostitusi. Orientasi pengaturan hanya sebatas melarang seseorang untuk menyediakan dan mempermudah orang lain mendapatkan jasa prostitusi.5 Namun realitasnya di lapangan menunjukkan bahwa tindakan kejahatan terhadap kesusilaan seperti prostitusi acapkali tidak memberikan perlindungan dan keadilan terhadap mereka yang rentan. Hal ini turut didukung oleh rendahnya tingkat pemahaman legislatur, aparat penegak hukum dan masyarakat terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak terlantar dan mereka yang pernah menjadi korban kejahatan kesusilaan, sehingga hal ini berdampak pada penerapan aturan yang tidak aplikatif di masyarakat.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pekerja seks komersial dalam tindak pidana prostitusi online?

  • 2.    Bagaimanakah solusi dan upaya mengatasi problematika prostitusi online di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ilmiah ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban pidana terhadap pekerja seks komersial (PSK) dalam fenomena prostitusi daring (online) serta memberikan analisis terhadap pengaturan dan pertanggungjawaban hukum terhadap para pihak dalam tindakan prostitusi online serta memberikan solusi terhadap masalah serupa di masa mendatang.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam proses penyusunan dan penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penelitian hukum normatif. Adanya kekaburan hukum dalam konteks pertanggungjawaban pidana terhadap pekerja seks komersial dalam kasus prostitusi online. Dimana penelitian ini berorientasi pada referensi-referensi berupa literatur, bahan kepustakaan serta peraturan perundang-undangan yang juga didukung dengan pendekatan konseptual dan library research.6

  • 2.1    Pertanggungjawaban Pidana Pekerja Seks Komersial dalam Tindak Pidana Prostitusi Online

Pertanggungjawaban Pidana dikenal dengan berbagai istilah asing diantaranya adalah “toereken-baarheid”, “criminal responsibility”, dan

criminal liability”.7 Pertanggungjawaban Pidana sendiri muncul guna menentukan apakah seseorang dalam konteks subjek hukum dapat dipertanggungjawabkan atas pidananya atau terhadap suatu tindakan yang dilakukan tersebut.8 Maka dari itu seseorang dapat dipidana berdasarkan dua hal, yakni (1) harus terpenuhinya unsur keberadaan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum (Objektif), dan (2) terdapat unsur kesalahan pada pelakunya baik dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan pada yang bersangkutan (Subjektif). 9

Pada hakikatnya, pertanggungjawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang terbentuk dari adanya hukum pidana itu sendiri yang menjadi reaksi terhadap pelanggaran atas suatu perbuatan tertentu.10 Sedangkan dalam konteks kemampuan bertanggungjawab, pertanggungjawaban pidana didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vermogens) yang mana hal ini tidak didasarkan pada kemampuan berpikir (verstanddelijke vermogens) ketentuan ini tercantum dalam pasal 44 KUHP.11 Adapun seseorang baru dapat dikatakan mampu bertanggungjawab, apabila memenuhi beberapa unsur yang dikutip dari pendapat sarjana yaitu E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi yang berpendapat bahwa seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila:

  • a.    Keadaan Jiwanya:

  • 1.    Tidak terganggu oleh penyakit yang bersifat permanen maupun sementara

  • 2.    Tidak cacat dalam proses pertumbuhan

  • 3.    Tidak terganggu kejiwaanya karena terkejut, hipnotisme, amarah yang meluap, adanya pengaruh bawah sadar. Dengan kata lain didalam keadaan sadar.

  • b.    Kemampuan Jiwanya:

  • 1.    Dapat menginsyafi tindakannya

  • 2.    Memiliki   kemampuan   untuk   menentukan

kehendaknya atas suatu tindakan

  • 3.    Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan yang telah dilakukannya tersebut. 12

Sedangkan dalam sistem pertanggungjawaban pidana dalam Hukum Pidana Indonesia menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas (Ps. 1 KUHP). Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana muncul ketika adanya suatu kesalahan yang merupakan tindak pidana dan dilakukan oleh seseorang yang dimana telah ada peraturan yang mengatur tindak pidana tersebut.

Prostitusi atau yang lazim dikenal dengan pelacuran secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu “pro-situare” yang berarti suatu tindakan yang membiarkan diri melakukan perbuatan persundalan, berbuat zina, pencabulan dan pergendakan.13 Sedangkan di Indonesia dikenal dengan istilah pelacuran yang didefinisikan sebagai praktek hubungan seksual yang dilakukan

sesaat, yang dapat dilakukan oleh dan kepada siapa saja guna mendapatkan imbalan berupa uang.14

Kejelasan terhadap pertanggungjawaban pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana merupakan salah satu syarat tegaknya hukum, lebih spesifik pada kasus ini adalah kejelasan teradap pertanggungjawaban Pidana para pihak yang terlibat dalam kasus prostitusi baik online maupun konvensional.15 Menyoal tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menyangkut prostitusi dapat dilihat dalam KUHP pada pasal 296 dan 506 KUHP dimana kedua pasal tersebut pada dasarnya memberikan ketentuan pidana terhadap tindakan seseorang yang menyediakan dan mempermudah orang lain dalam melakukan perbuatan cabul dengan cara menyediakan jasa PSK pada orang-orang tertentu, dan hal tersebut dijadikan sumber pendapatan daripada seseorang (muncikari).

Juga tercantum dalam UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada pasal 27 ayat (1). Hal serupa juga dicantumkan dalam ketentuan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi pada pasal 4 ayat (1) yang ditujukan kepada mereka yang menyediakan jasa pornografi yang turut memuat ketentuan pidana. Apabila dilihat dari perspektif tindakan prostitusi sebagai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) maka UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) turut memberikan ketentuan pidana bagi mereka yang

menyediakan, memperjual belikan dan mempermudah seseorang dalam melakukan tindakan yang melanggar nilai-nilai kesusilaan.

Apabila ditelaah lebih lanjut, dari berbagai bunyi dan ketentuan pasal yang disebutkan diatas maka pada hakikatnya pemidanaan hanya dapat dilakukan kepada muncikari atau germo, sedangkan pemidanaan terhadap PSK (prostitute) dan pengguna jasa dari PSK tersebut tidak dapat dikenakan pidana. Maka dari itu ketentuan pemidanaan lebih dititik beratkan pada germo/muncikari sebagai penyedia jasa yang mempermudah orang lain melakukan tindakan yang melanggar kesusilaan.

Terlepas dari kenyataan bahwa banyak orang yang menjadikan pelacuran sebagai mata pencahariannya. Kriminalisasi terhadap pekerja seks komersial hanya akan menjadi beban tambahan bagi aparat penegak hukum, sebab adanya banyak alasan dan pertimbangan dibalik kehidupan seseorang sebelum akhirnya memutuskan untuk melacurkan dirinya sendiri.

  • 2.2    Studi Komparatif Dalam Upaya Mengatasi dan Menemukan Solusi Terkait Problematika Prostitusi di Indonesia

Studi Komparatif dalam ilmu hukum dilakukan dengan mengaplikasikan pendekatan fungsional guna mempertanyakan fungsi suatu norma atau pranata dalam masyarakat tertentu, juga guna menentukan apakah fungsi tersebut terpenuhi dengan baik atau tidak. Dengan harapan dapat menemukan jawaban apakah suatu norma perlu dipertahankan, dihapus atau diubah. Dalam konteks tersebut G. Guitens Bourgois mengemukakan pendapatnya tentang Comparative Study (Studi Komparatif) sebagai suatu metode

perbandingan yang diterapkan dalam ilmu hukum yang digunakan untk meneliti sesuatu, mekanisme kerja dari suatu sistem hukum.16

Pengumpulan dan penelaahan informasi dilakukan melalui suatu studi komparasi terhadap pengaturan hukum prostitusi, dengan memperbandingkan hukum positif yang berkaitan dengan prostitusi di Indonesia dengan beberapa sistem hukum lain di berbagai negara. Secara umum, orientasi pembentukan peraturan perundang-undangan terkait prostitusi di Indonesia hingga saat ini masih menitik beratkan muncikari/germo sebagai pihak yang melakukan tindakan melawan hukum, hingga jurnal ilmiah ini ditulis belum ada satu ketentuan pun yang dapat mengkriminalisir pekerja seks komersial sebagai pelanggar hukum.

Amerika Serikat sendiri pada tahun 1910 menanggapi perdebatan tentang rezim hukum prostitusi dan memutuskan untuk melakukan kriminalisasi terhadap PSK di wilayah yurisdiksinya dengan alasan bahwa hal tersebut bertentangan dengan nilai moral, mengancam kesehatan publik, dan memiliki kaitan yang erat dengan kejahatan lainya seperti perdagangan manusia.17 Selain Amerika Serikat, berikut beberapa studi komparasi tentang pengaturan prostitusi di beberapa negara.

  • 1.    Australia

Di Australia sendiri beberapa daerah seperti New South Wales melegalkan praktik prostitusi, sedangkan di berbagai

daerah lain seperti Victoria, Queensland, Australia Utara dan Australia Pusat keberadaan rumah bordil diterima dan diatur melalui syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Diatur dalam The Prostitution Control Act (PCA) yang diundangkan pada Oktober 1994, melegalkan prostitusi indor di daerah Victoria, namun prostitusi jalanan dan seks komersial seperti panti pijat tetap dinyatakan ilegal. Pada umumnya PSK legal dan dapat beroperasi dalam wilayah kerja yang mengantongi izin, namun PSK juga harus mengantongi izin secara personal untuk dapat tetap menjajakan jasanya.18

  • 2.    Belanda

Kedekatan sistem hukum yang dianut antara Belanda dan Indonesia menjadikan rezim hukum Belanda adalah salah satu hal yang wajib ada pada sebuah studi komparatif. Sejak tahun 2000, Pemerintah Belanda telah menghapuskan pasal-pasal terkait rumah bordil dan muncikari pada KUHPnya (Criminal Code), pemerintah daerah juga turut membentuk peraturan dan ketentuan terkait prostitusi indor dan prostitusi jalanan. PSK hanya diizinkan untuk menjajakan jasanya di wilayah tertentu, pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan denda. Zona legal prostitusi dapat ditemu di beberapa kota seperti Utrecht, Heerlen, Endhoven, Groningen dan Arnhem. Namun izin operasional baik bagi rumah bordil dan PSK diatur sangat

ketat dengan mengharuskan keduanya mengantongi izin kesehatan dan keselamatan.19 Legalisasi prostitusi di Belanda mengacu pada ketentuan prostitusi yang disamakan dengan regulasi tenaga kerja jasa pada umumnya.20

  • 3.    Selandia Baru

Langkah dekriminalisasi terhadap prostitusi dilakukan pada tahun 2003 dibawah Prostitution Reform Act dengan tujuan memenuhi hak dak kesejahteraan mereka yang bekerja sebagai pekerja seks komersial. Rezim hukum prostitusi di Selandia Baru adalah salah satu yang paling inovatif, dikarenakan ketentuan yang diberikan tidak membenarkan maupun memberikan sanksi moral bagi mereka yang menggunakan atau menawarkan jasa psk, namun lebih bertujuan dan berorientasi pada pengentasan diskriminasi bagi PSK.21

Berdasarkan uraian tentang hukum positif yang berlaku di berbagai negara yang berkaitan dengan prostitusi diatas, maka legalisasi praktik prostitusi bukanlah jalan keluar yang dapat diterapkan di Indonesia. Legalisasi prostitusi akan berdampak signifikan pada terjadinya demoralisasi di masyarakat, dimana hal ini secara langsung berlawanan dengan nilai-nilai kesusilaan, ketuhanan dan kemuliaan. Selain itu perlu diperhatikan bahwa prinsip nullum delictum noela poena lege praevia yakni tiada pidana dapat dijatuhkan tanpa didahului adanya peraturan yang memuat sanksi pidana

terlebih dahulu masih diakui di Indonesia sebagai salah satu asas utama dalam Hukum Pidana Indonesia.

Mengacu pada ketentuan RKUHP pada pasal 486 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I”. Ketentuan pasal diatas memberikan pidana denda Kategori I yang berjumlah Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) pada pelanggaran terhadap ketentuan pasal 486 RKUHP. Dapat dilihat bahwa orientasi pemidanaan terhadap PSK di masa mendatang adalah pidana denda dan bukan pidana penjara. Dapat dipahami bahwa ketentuan ini berdasarkan pada prinsip rehabilitasi dan pemulihan keadaan seperti semula.

Pada akhirnya, perbuatan PSK tidak dapat dibenarkan namun tidak juga dapat dihakimi secara sepihak. Dalam negara berdaulat yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan melindungi segenap tumpah darah bangsanya, sudah sepatutnya orientasi pemidanaan terhadap PSK adalah penjatuhan denda dan rehabilitasi sosial, mengingat rehabilitasi sosial adalah segenap upaya yang ditunjukan untuk mengintegerasikan kembali seseorang kedalam kehidupan masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan tuntunan keluarga, komunitas dan pemerintah.22 II. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Mengacu pada asas legalitas maka Pekerja Seks Komersial dalam konteks pertanggungjawaban Pidana tidak dapat dipidanakan, sebab belum adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur bahwa perbuatan yang dilakukan oleh PSK melanggar ketentuan hukum pidana. Meskipun secara moral dan nilai kesusilaan perbuatan ini tidak dibernarkan.

  • 2.    Konsep pengembalian keadaan seperti sedia kala merupakan jalan terbaik dalam mengatasi problematika prostitusi online, pengenaan pidana denda, pembekalan keahlian, rehabilitasi serta reorientasi terhadap paradigma masyarakat terhadap PSK perlu disesuaikan kembali, karena bagaimanapun juga mereka tetaplah manusia yang terpaksa menekuni suatu pekerjaan karena adanya paksaan dalam konteks situasi perekonomian individu.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Peran pemerintah dan aparat penegak hukum sangatlah penting dalam hal pertanggungjawaban pidana, maka dari itu pentingnya pembentukkan peraturan perundang-undangan yang berorientasi terhadap perlindungan terhadap kelompok rentan (PSK, anak terlantar dan gelandangan) harus berorientasi terhadap penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka yang rentan

  • 2.    Kriminalisasi terhadap PSK bukanlah jalan keluar untuk mengentaskan permasalahan prostitusi di dalam negeri, melainkan pemerintah sudah seharusnya memberikan

pembekalan keterampilan dan inkubator  kerja guna

mengurangi tingkat prostitusi di dalam negeri. Penghapusan segala paradigma dan diskriminasi terhadap mereka adalah hal yang harus diwujudkan, sebab pada hakikatnya tidak ada yang ingin melacurkan dirinya sendiri, namun keadaan dan faktor ekonomi menjadi alasan bagi mereka yang memutuskan untuk menggeluti sisi kelam dunia malam ini.

  • IV. DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Buku:

Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta

E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta

S.R Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Alumni, Jakarta

  • B.    Karya Ilmiah:

Ane Mathieson, 2016, Prostitution Policy : Lagalization, Decrimminalization and the Nordic Model, Seattle Journal for Social Justice, Vol. 14

Cici Defiansari, 2019, Pertanggungjawaban Pidana Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam Prostitusi Online, Simposium Hukum Indonesia Vol. 1

Edi Yuhermansyah, Rita Zahara, 2017, Kedudukan PSK Sebagai Korban Dalam Tindak Pidana Prostitusi, Legitimasi Journal Vol. VI No. 2

Gail M. Deady, 2011, The Girl Next Door : A Comparative Approach to Prostitution Laws and Sex Trafficking Victim Indentifiication Within the Prostitution Industry, Washington and Lee Journal of Civil Rights and Social Justice Vol. 17, Washington.

Herman, 2017, Pengaturan dan Sistem Penyelesaian Tindak Pidana Prostitusi Online Menurut Hukum Positif, Jurisprudentie Journal Vol. 4, STIK Handayani.

Juli Ardila, 2016, Upaya Penanggulangan Prostitusi di Bandar Lampung, Jurnal Hukum Prosiding Vol. 4

Khairul Imam, 2018, Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Prostitusi Online Ditinjau dari UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, USU Law Journal Vol. 6

Liz Kelly, Maddy Coy, dkk., 2008, Shifting Sands : A Comparison of Prostitution Regimes Across Nine Countries, London Metropolitan University & Child and Woman Abuse Studies Unit

Mia Amalia, 2016, Analisis Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Dihubungkan Dengan Etika Moral Serta Upaya Penanggulangan di Kawasan Cisarua, Jurnal Hukum Mimbar Justitia Vol. 2 No. 2

Mohammad Satria Nugraha, 2014, Kendala Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Sosial Online di Kalangan Remaja, Universitas Brawijaya

Odam Asdi Artosa, 2018, Pekerja Migran dan Ekonomi Informal Ilegal (Prostitusi) di Wilayah Pasar Kembang Yogyakarta, Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 5 No. 1, Universitas Gadjah Mada

Oksidelfia Yanto, 2016, Prostitusi Online Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak, Ahkam Jurnal Vol. XVI, Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Tanggerang.

  • C.    Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

  • D.    Internet:

Detik News, 2019, URL:  https://news.detik.com/berita/d-

4372435/fakta-fakta-vanessa-angel-ditangkap-polisi-terkait-prostitusi-online, diakses pada 01 Oktober 2019

Tempo Media, 2019, Prostitusi Online, URL: https://www.tempo.co/tag/prostitusi-online, diakses pada 01 Oktober 2019

Tribun             News,             2019,             URL:

https://www.tribunnews.com/regional/2019/07/21/psk-prostitusi-online-ungkap-fakta-permintaan-lelaki-hidung-belang-yang-aneh-aneh, diakses pada 01 Oktober 2019

17