PERKOSAAN DALAM PERKAWINAN (MARITAL RAPE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
on
PERKOSAAN DALAM PERKAWINAN (MARITAL RAPE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA∗
Oleh
Ni Made Sintia Ardi Ari∗∗
Ida Bagus Surya Dharma Jaya∗∗∗ Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak
Perkosaan merupakan salah satu bentuk kejahatan seksual yang setiap tahun tiada habisnya. Perkosaan bukan saja dapat terjadi di luar perkawinan, tetapi juga bisa terjadi dalam perkawinan atau dalam istilah asingnya disebut dengan marital rape. Permasalahan yang diangkat dari penulisan ini adalah pengaturan tentang perkosaan dalam perkawinan (marital rape) di Indonesia, serta sanksi bagi pelaku. Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini yaitu, untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang perkosaan dalam perkawinan (marital rape) di Indonesia serta untuk mengetahui sanksi bagi pelaku. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, guna menganalisis norma kabur terkait perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dalam UU No. 23 Thn. 2004. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah, perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dalam KUHP tidak ada pengaturannya, tetapi perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 8 UU. No. 23 Thn. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana perkosaan, maka konsekuensinya terhadap istri selaku korban tidak bisa mengadukan perbuatan suami (pelaku) dengan tuduhan perkosaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 285 KUHP. Walaupun tetap diadukan perkara akan diproses sebagai tindak pidana penganiayaan yang terdapat pada Pasal 351, 354 dan 356 KUHP, pelaku juga dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai Pasal 46 UU No. 23 Thn. 2004. Simpulannya adalah perkosaan dalam perkawinan (marital rape dalam KUHP tidak diatur, tetapi perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 8 UU
∗Penulisan Jurnal Ilmiah yang berjudul “Perkosaan Dalam Perkawinan (Marital Rape) Ditinjau Dari Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” ini merupakan jurnal ilmiah di luar ringkasan skripsi.
∗∗Ni Made Sintia Ardi Ari adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, korespondensi: sintiaardi@gmail.com.
∗∗∗Ida Bagus Surya Dharma Jaya adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
No. 23 Thn. 2004 terkait dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Kata Kunci: Perkosaan dalam Perkawinan, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Abstract
Rape is a form of sexual crime that occurs every year. Rape cannot only occur outside of marriage, but can also occur in marriage that in foreign terms called marital rape. The problem raised from this writing is the regulation of marital rape in Indonesia and sanctions for perpetrators. The purpose of this paper is to find out how the regulation of marital rape in Indonesia and to find out sanctions for perpetrators. The research method used is normative legal research, in order to analyze blurred norms related to marital rape in act number 23 year 2004. Results of the research that has been done are, marital rape in the Criminal Code has no regulation, but the act is regulated in Article 8 of the Act Number 23 year2004 concerning the Elimination of household Violence. Rape in marriage (marital rape) cannot be said to be a crime of rape, so the consequences for the wife as the victim cannot complain about the husband's (perpetrators) actions with rape charges as stated in Article 285 of the Criminal Code. Although complaints will still be processed as a criminal act of persecution contained in Article 351, 354 and 356 of the Criminal Code, the perpetrators may also be subject to criminal sanctions in accordance with Article 46 of Act Number 23 year 2004. The conclusion is that marital rape is not regulated in the criminal code but the act is regulated in Article 8 of Act Number 23 year 2004 related to sexual violence in the household.
Keyword: Marital Rape, Act of The Elimination of Domestic Violance
Majunya dunia, menyebabkan berkembang pula berbagai bidang penyokong kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, hukum dan lain sebagainya, namun majunya dunia dan berkembangnya berbagai bidang penyokong kehidupan manusia, tidak serta merta memajukan dan mengembangkan mental maupun moral manusia,terbukti dengan makin maraknya kasus-kasus tidak manusiawi yang terjadi khususnya di Indonesia seperti pelanggaran-pelanggaran baik itu ringan ataupun berat maupun kejahatan.
Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan. Kekerasan bukan saja sebatas kekerasan terhadap fisik, tetapi juga kekerasan terhadap psikis-psikologis maupun terhadap seksualitas seseorang. Kekerasan bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan bahkan dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal status dan pertalian darah. Dewasa ini, kekerasan terhadap perempuan dan juga anak sekiranya merupakan suatu topik penting yang tidak pernah usai untuk dibahas, hal ini dikarenakan perempuan dan anak sering menjadi objek dari kekerasan itu sendiri, dimana dalam lingkungan sosial perempuan dan anak masih ditempatkan dan dianggap sebagai pihak yang lebih lemah daripada laki-laki.
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual sering terjadi kepada perempuan, baik itu perempuan dewasa, remaja maupun anak-anak. Mirisnya, pelaku bukan saja dari kalangan laki-laki dewasa, namun juga remaja dan anak-anak di bawah umur, bukan saja dari lingkup orang jauh tetapi juga dari lingkup orang terdekat, misalnya suami. Kasus perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau bisa disebut perkosaan dalam perkawinan dimana dalam istilah asingnya disebut dengan
marital rape, merupakan salah satu contoh bahwa kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja.
Dalam hukum pidana umum Indonesia, yakni KUHP, perkosaan yang dikenal adalah perkosaan yang terjadi di luar perkawinan, dalam artian baik pelaku maupun korban tidak terikat perkawinan. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) termasuk ke dalam tindakan kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam UU. No. 23 Thn. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, terdapat beberapa simpulan permasalahan, antara lain:
-
1. Bagaimana pengaturan tentang perkosaan yang dilakukan dalam perkawinan (marital rape) di Indonesia ?
-
2. Apakah sanksi bagi pelaku perkosaan dalam perkawinan (marital rape) ?
Terdapat beberapa tujuan yang sekiranya ingin dicapai dari penulisan ini, antara lain:
-
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang perkosaan dalam perkawinan (marital rape) di Indonesia.
-
2. Untuk mengetahui apa saja sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pelaku perkosaan dalam perkawinan (marital rape).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal1. Penelitian hukum normatif atau doktrinal adalah penelitian dalam ilmu
hukum yang membahas mengenai doktrin-doktrin ataupun asas-asas2.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan Tentang Perkosaan dalam Perkawinan (Marital Rape) di Indonesia.
-
Perkosaan merupakan suatu tindak pidana, dalam Bahasa Belanda tindak pidana disebut dengan strafbarfeit. Menurut E. Mezger, strafbarfeit adalah “Die Straffat ist der inbegriff der Voraussetzungen der strafe” jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, artinya “tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana”. Selain itu, unsur-unsur dari tindak pidana (strafbarfeit) menurut Van Hamel, adalah:
-
a. suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
-
b. dimana sifat perbuatan tersebut adalah melawan hukum;
-
c. adanya kesalahan;
-
d. patut dipidana3.
Suatu perbuatan dikatakan tindak pidana bilamana perbuatan yang dilakukan sesuai dengan unsur-unsur dari tindak pidana itu sendiri.Dalam hukum pidana umum Indonesia (KUHP), perkosaan diatur dalam Pasal 285 yang menyatakan “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa tindak pidana perkosaan difokuskan kepada
persetubuhan dengan kekerasan atau ancama kekerasan yang terjadi di luar perkawinan, bukan di dalam perkawinan.
Mulyana W. K. seorang kriminolog menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis perkosaan, yakni:
-
a. Sadistic Rape
Sifat yang sangat merusak merupakan salah satu ciri dari perkosaan jenis ini. Kesenangan yang di dapat pelaku bukan dari berhubungan seksual dengan korban, tetapi didapatkan dengan serangan-serangannya terhadap korban baik itu serangan terhadap alat kelamin maupun tubuh korban.
-
b. Angea Rape
Penganiayaan terhadap seksualitas korban dijadikan cara untuk melampiaskan perasaan marah si pelaku. Tubuh korban dijadikan objek oleh pelaku seakan-akan tubuh korban disini adalah musuhnya.
-
c. Dononation Rape
Pada jenis ini perkosaan yang dilakukan dititik beratkan terhadap pelaku yang merasa bahwa pelaku merupakan sosok yang lebih kuat dari korban, mempunyai kedudukan superioritas dari korban, perbuatannya bertujuan untuk menaklukan korban secara seksual, untuk menyakiti korban dengan kekuatannya dan juga ingin berhubungan seksual.
-
d. Seduktive Rape
Pada jenis ini perkosaan dapat terjadi karena situasi merangsang yang diciptakan oleh pelaku maupun korban itu sendiri, dimana pada akhirnya korban yang merasa bahwa keintiman personal tidak harus melewati batas, tidak harus sampai pada perbuatan kesenggamaan, seingga pelaku yang sudah terangsang dan korban yang mulai
menolak mengakibatkan pelaku melakukan paksaan untuk berhubungan seksual dengan korban tanpa rasa bersalah.
-
e. Victim Precipitatied Rape
Pada jenis ini penekanannya adalah perbuatan perkosaan terjadi karena ulah korban sendiri atau dengan kata lain korban sebagai pencetus dari perkosaan itu sendiri.
-
f. Exploitation Rape
Pelaku mengambil keuntungan dengan posisi yang didapatkannya, dimana pelaku melakukan perkosaan kepada wanita yang bergantung padanya baik secara ekonomi ataupun secara sosial4.
Jika dikaitkan dengan macam-macam perkosaan di atas, maka perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dapat dikategorikan sebagai exploination rape, hal ini berkaitan dengan status seorang istri yang dapat dikatakan bergantung kepada suami baik secara ekonomi dan sosial, dimana peran suami dalam keluarga (perkawinan) adalah sebagai kepala keluarga, disisi lain juga berperan sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga.
Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dapat diartikan sebagai salah satu jenis kekerasan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual oleh suami terhadap istri tenpa mempertimbangkan kondisi atau keadaan istri5. Dilihat dari segi terminologi, marital rape adalah istilah Bahasa Inggris, terdiri dari kata marital dan rape. Marital itu sendiri adalah hal berkaitan dengan perkawinan, kemudian rape itu sendiri artinya adalah perkosaan. Jadi marital rape dapat diartikan sebagai perkosaan
yang dilakukan oleh suami dengan istri dalam hubungan perkawinan6.
Jika ditinjau dari UU No. 23 Thn. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU PKDRT), maka perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Pada Pasal 1 angka 1 UU PKDRT, pada intinya menyatakan bahwa KDRT adalah perbuatan yang dilakukan terhadap seseorang khususnya perempuan dalam lingkup rumah tangga, dimana perbuatan yang dilakukan dapat menimbulkan penderitaan baik itu secara fisik, psikologis, dapat juga berupa penelantaran dalam rumah tangga dan perbuatan-perbuatan yang berbentuk perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Secara sederhana KDRT juga dapat dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan tujuan untuk menekan atau mengendalikan orang-orang yang berada dalam satu lingkup rumah tangga7.
Kekerasan seksual adalah salah satu contoh KDRT, yang termuat pada Pasal 8 UU PKDRT. Adapun yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang yang menetap atau tinggal dalam lingkup rumah tangga tersebut8. Adapun kategori dari kekerasan seksual itu sendiri adalah :
-
a. Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;
-
b. hubungan seksual yang tidak dikehendaki oleh istri;
-
c. pemaksaan terhadap seorang istri untuk bekerja menjadi pelacur dan sebagainya9.
Berdasarkan hal tersebut, walaupun dalam hukum pidana umum Indonesia (KUHP) istilah perkosaan dalam perkawinan (marital rape) belum ada pengaturannya, namun perbuatan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam UU PKDRT pada Pasal 8 yang terkait dengan kekerasan seksual, walaupun rumusan pasal tersebut masih sangat luas, dikarenakan korban yang dimaksud pada pasal tersebut adalah semua orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, baik itu orang yang memang mempunyai hubungan darah maupun tidak, seperti pembantu rumah tangga dan lain sebagainya.
Fenomena perkosaan dalam perkawinan (marital rape) tidak dapat dipandang sebelah mata , mengingat bahwa dampak dari perbuatan tersebut sangatlah luas, bukan sebatas istri yang menjadi korban, namun juga bagi anak dan sanak keluarga lainnya dalam keluarga tersebut. Sejatinya perkawinan memang menyebabkan seorang laki-laki dan perempuan mempunyai ikatan yang amat erat, menimbulkan hak dan kewajiban baru bagi status baru. Perampasan hak sering terjadi dalam perkawinan, perkosaan dalam perkawinan (marital rape) itu sendiri contohnya. 2.2.2 Sanksi Bagi Pelaku Perkosaan dalam Perkawinan (Marital rape).
Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) sebagai suatu perbuatan yang dilarang, yang sejatinya diatur dalam undang-undang, maka konsekuensi bagi siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut akan dikenai sanksi, khususnya sanksi pidana.Kenyataannya, tidak semua orang yang melakukan perbuatan yang dilarang dapat dijatuhi dengan sanksi pidana.
Penjatuhan sanksi itu sendiri terlebih dahulu harus memperhatikan apakah orang tersebut mempu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya atau tidak.
Alasan penjatuhan pidana terhadap seseorang tidaklah cukup dengan alasan bahwa perbuatan orang tersebut telah memenuhi unsur-unsur delik dalam undang-undang. Selain alasan tersebut, masih terdapat syarat lain yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dijatuhkan pidana, syarat tersebut adalah adanya unsur kesalahan (subjective guilt) dalam diri seseorang yang melakukan perbuatan tersebut10. Kesalahan itu sendiri merupakan faktor penentu dari pertanggungjawaban pidana11.
Setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, bilamana dilanggar oleh seseorang maka orang tersebut wajib mempertanggungjawabkan pidananya, kecuali orang tersebut tidak mampu mempertanggungjawabkannya.
Pembahasan sebelumnya terkait dengan pengaturan tentang perkosaan dalam perkawinan (marital rape) di Indonesia, pada intinya menyatakan bahwa dalam hukum pidana umum Indonesia (KUHP) istilah maupun perbuatan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) belum ada pengaturannya, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan sebagaimana di atur pada Pasal 285 KUHP. Sebagai perbuatan yang tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana perkosaan, maka konsekuensinya sebagai istri selaku korban tidak bisa mengadukan suaminya dengan alasan perkosaan, seandainya-pun bisa, perkaranya akan diproses sebagai tindak
pidana penganiayaan bukan perkosaan, dengan demikian kasus-kasus perkosaan dalam perkawinan (marital rape) yang terjadi jika mengacu pada KUHP hanya bisa diancam dengan Pasal 351, 354, dan 35612.
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya pula, yang menyatakan bahwa perkosaan dalam perkawinan (marital rape) merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sebagaimana tercantum pada Pasal 8 UU PKDRT. Undang-undang ini juga mencantumkan mengenai ketentuan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut yang diatur pada Pasal 46.
Perlu diingat kembali bahwa penegak hukum tidak bisa serta merta menjatuhkan sanksi berupa pidana kepada pelaku bilamana pelaku dalam keadaan yang tidak bisa mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukannya, misalnya pelaku dalam keadaan jiwanya cacat sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP.
-
III. PENUTUP
Terdapat beberapa kesimpulan dari uraian permasalahan di atas, antra lain:
-
1. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dalam hukum pidana umum Indonesia, yakni KUHP belum ada pengaturannya. KUHP yang berlaku sekarang hanya
mengatur megenai perkosaan yang dikenal secara umum, yakni perkosaan yang terjadi di luar ikatan perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 285 KUHP, sehingga
perkosaan dalam perkawinan (marital rape) tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana perkosaan, tetapi perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU PKDRT.
-
2. Terkait dengan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) yang bukan merupakan kategori tindak pidana perkosaan sebagaiman diatur pada Pasal 285 KUHP, maka konsekuensinya terhadap istri selaku korban tidak bisa mengadukan pelaku dalam hal ini suami dengan tuduhan perkosaan. Seandainya pun bisa maka dalam penyelesaian perkaranya akan di proses sebagai tindak pidana penganiayaan, yang dapat diancam dengan Pasal 351, 354, dan 356 jika mengacu pada KUHP. Selain itu pelaku perkosaan dalam perkawinan (marital rape) juga dapat
dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU PKDRT.
-
1. Dikarenakan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) belum ada pengaturannya dalam KUHP, dimana juga dalam rumusan Pasal 8 UU PKDRT yang terlalu luas dan tidak merumuskan secara jelas istilah perkosaan dalam perkawinan, maka disarankan agar istilah maupun perbuatan tersebut dirumuskan baik itu dalam KUHP
maupun UU PKDRT.
-
2. Penjatuhan sanksi bagi pelaku perkosaan dalam perkawinan (marital rape) harus dilakukan dengan mempertimbangkan posisi korban selaku istri dari pelaku, dimana dalam hal ini
seharusnya penegak hukum dapat memberikan sanksi yang sesuai dengan pelaku.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Zainuddin, 2016, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Efendi, Jonaedi, 2016, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Prenadamedia Group, Depok.
Effendy, Marwan, 2014, Teori Hukum dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi Mecentre Group, Ciputat.
Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenadamedia Group, Jakarta.
Moerti Hadiati, Soeroso, 2012, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Victimologis, Sinar Grafika, Jakarta.
Sulityowati, Irianto, Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak.
Wahid, Abdul, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT Refika Aditama,Bandung.
Hasil Penelitian dan Jurnal:
Arumita Sari, Aldira, 2019, Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri (Marital Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 1, No. 1
Samsudin, Titin, 2010, Marital Rape Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jurnal Al-Ulum, Vol. 1, No. 2
Yunus, Muhhamad, 2018, “Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islma dan Hukum Positif Indonesia (Studi Putusan Negeri Bangil No. 912/Pid/B/2011/PN.Bgl)”,Skripsi Program Studi
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Instrumen Internasional/Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95.
14
Discussion and feedback