KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) TERHADAP PERBUATAN PERUNDUNGAN YANG DILAKUKAN

MELALUI MEDIA ONLINE*

Oleh:

Erisa Wulandari**

I Gde Putra Ariana***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Perundungan merupakan suatu perbuatan atau prilaku yang memiliki karakteristik merugikan bagi orang lain dapat berupa tindakan kekerasan secara fisik atau secara verbal. Perundungan melalui media online tidak diatur subtansinya dalam ketentuan KUHP maupun Undag-Undang ITE, sehingga ada kekosongan norma hukum. Peneiltian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaturan terhadap tindakan perundungan di media online dalam hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil dari penelitian ini, yaitu kebijakan kriminal hukum pidana menekankan pada aspek materiil dari penanggulangan serta penegakan hukum pidana atau politik hukum pidana. Kriminalisasi tindakan perundungan melalui media online menekankan pada aspek penyalahgunaan teknologi dan transaksi elektronik.

Kata Kunci: Perundungan, Media Online, Kebijakan Hukum.

ABSTRACT

Harassment is an act or behavior that has a detrimental characteristic to others which can be physical or verbal violence. Submission through online media is not regulated through the provisions of the Criminal Code and ITE Law, resulting in the absence of legal norms. This writing aim to see how criminal law and criminalization of acts of harassment in online media regulated in Indonesian criminal law. This writing uses the normative legal writing method. The results of this paper, namely criminal law criminal law emphasizes the material aspects of the handling and enforcement of criminal law or criminal law politics. Criminalization of harassment through online media emphasizes aspects of the misuse of technology and electronic transactions.

Keywords: Bullying, Online Media, Penal Policy.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Media online telah menjadi candu dalam pergaulan dunia modern, pengguna media sosial menjadi lebih bervariatif, mulai dari usia muda hingga para orang tua.1 Media online juga menjadi trend dalam tatanan pergaulan para remaja. Penggunaan media sosial sebagai alat komunikasi baru, menyebabkan penyebaran informasi melalui media online dapat terjadi dengan sangat cepat. Kecepatan dalam menyebarkan informasi tersebut terkadang tidak dipilah oleh penggunanya sehingga berpotensi terjadinya penyebaran informasi yang tidak benar atau kurang faktual.

Pengguna media online bebas untuk mengungkapkan ekspresinya melalui berbagai fitur yang tersedia dalam berbagai aplikasi. Kemudahan mengakses, kemudahan penggunaan, membuat media online semakin populer dan seakan menjadi roh bagi setiap individu. Ketergantungan terhadap media sosial juga memiliki dampak yang buruk. Kebebasan berekpresi melalui media online mengakibatkan tidak terbatasnya penggunaan kata atau kalimat yang kurang pantas untuk disebarkan. Kalimat yang kurang pantas tersebut kadang ditujukan kepada seseorang yang awalnya dianggap sebagai sebuah lelucon atau sebuah candaan.

Sebuah candaan yang memiliki kalimat kurang pantas atau dapat menyinggung perasaan orang lain merupakan

sebuah penghinaan. Tidak jarang pengguna media online menyerang secara verbal kepada pengguna lainnya yang dianggap tidak sependapat, dan kelompok orang lainnya ikut serta mengintimidasi. Perbuatan seperti itu disebut dengan istilah bullying, dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perundungan.2

Perundungan merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang yang berpengaruh dan ditakuti oleh orang lainnya untuk melakukan pemalakan, pengucilan terhadap seseorang hingga intimidasi kepada seorang yang dianggap berbeda oleh kelompok orang lainnya. Perundungan adalah suatu perbuatan atau prilaku yang memiliki karakteristik merugikan bagi orang lain, dilakukan secara sadar serta dilakukan pengulangan secara sistematis.3

Perundungan secara fisik dapat berupa tindakan kekerasan, seperti: memukul, mengigit, menendang dan bentuk kekerasan fisik lainnya. Perundungan yang dilakukan secara verbal dapat berupa penyebaran suatu isu dengan menggunakan perangkat elektronik yang lebih populer terjadi pada media sosial. Tindakan perundungan berdampak pada psikologis serta fisik bagi korbannya.4

Perundungan secara verbal yang pada umumnya dilakukan melalui media online dapat berupa penghinaan, memfitnah, komentar yang tidak pantas, kritikan yang kejam. Korban dari tindakan perundungan ini biasanya merupakan

seorang yang lemah dan tidak memiliki kuasa untuk melawan tindakan tersebut. Perundungan dapat terjadi pada semua kalangan, baik dari usia anak-anak hingga masyarakat luas. Dengan meningkatya penggunaan internet dan media online, dapat menimbulkan meningkatnya prilaku perundungan kepada seorang yang lebih lemah secara fisik maupun secara mental.

Berbagai macam bentuk dan cara yang dilakukan oleh pelaku perundungan melalui media sosial, seperti memaki, mengolok-olok, melecehkan hingga melakukan penghinaan dalam bentuk audio visual maupun gambar yang diunggah melalui akun media sosial disertai dengan kalimat yang kurang pantas. Tindakan perundungan yang akhir-akhir ini muncul adalah dalam kontestasi politik pemilihan kepala daerah, calon legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Masing-masing kelompok atau pendukung dari salah satu pasangan calon saling menyerang satu sama lainnya, melakukan caci maki, merendahkan martabat dan bentuk lainnya. Perundungan melalui media sosial dapat berlanjut pada kehidupan sehari-hari dan atau sebaliknya.

Tindakan perundungan terjadi karena adanya suatu hubungan kedekatan antara pelaku dengan korban. Tindakan tersebut juga dapat berlaku antara orang yang tidak saling mengenal namun memiliki perbedaan pandangan seperti pada fenomena “cebong versus kampret” dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Cebong5 merupakan istilah yang dipakai oleh basis pendukung pasangan Prabowo Subianto dengan Sandiaga S. Uno untuk menyebut atau mengoloh-olok basis

dari pendukung pasangan calon Joko Widodo dan Ma’aruf Amin, yang kemudian dibalas dengan menyebut kampret6 kepada basis pendukung pasangan Prabowo Subianto dengan Sandiaga S. Uno. Melihat konteksnya, dua istilah tersebut digunakan sebagai kata ganti dari pendukung masing-masing pasangan calon yang berseberangan diranah politik. Sesungguhnya, arti dari kata 'cebong' dan 'kampret' sangat jauh dari ranah politik.7

Sebagaimana paparan dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian hukum mengenai perundungan pada media online yang dapat menimpa siapa saja. Penulis tertarik melakukan penelitian karena, perundungan tidak hanya dilakukan oleh anak-anak seperti kebanyakan kasus yang telah terjadi, namun dapat terjadi kepada siapa saja terlebih lagi dalam hajatan politik yang sangat kental akan perbedaan visi misi diantara para pendukung dari masing-masing pasangan calon.

Tindakan perundungan pada media online tidak diatur secara tegas melalui beberapa rumusan pasal penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (untuk selanjutnya disingkat KUHP) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat Undang-Undang ITE). Kedua pengaturan tersebut tidak mendefinisikan mengenai perbuatan perundungan. Perundungan dapat dipersamakan

dengan penghinaan namun sesungguhnya berbeda. Perundungan dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal dan dapat terjadi kapan saja, dimana saja, termasuk dalam media online.

Tindakan perundungan merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang kali, seperti mengejek seseorang pada media sosial, atau pada fenomena cebong dan kampret yang dilakukan secara berulang-ulang kepada seseorang atau sekelompok orang yang sama. Tindakan yang merupakan pengulangan tersebutlah yang belum nampak pada norma peraturan perundangan di Indonesia berkaitan dengan tindakan perundungan. Pada peraturan hukum pidana, hanya mengatur sebatas tindakan penghinaan, sedangkan tindakan perundungan tidak terbatas hanya pada perbuatan penghinaan semata. Terdapat kekaburan norma hukum dalam peraturan hukum yang mengatur mengenai tindakan perundungan di Indonesia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan dua permasalahan dalam penulisan ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimana pengaturan perbuatan perundungan melalui media online dalam hukum pidana?

  • 2.    Bagaimana    sebaiknya    pengaturan    tindakan

perundungan di media online dalam hukum pidana Indonesia dimasa mendatang?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perbuatan perundungan pada media online dalam hukum

pidana dan untuk mengetahui pengaturan perbuatan perundungan pada masa yang akan datang.

  • 1.4    Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif.8 Penulisan ini menggunakan pendekatan perundangan dan pendekatan konsep hukum. Sumber bahan hukum dari penulisan ini berasal dari perundangan yang terkait dengan tindakan perundungan yang dilakukan dimedia online, penulisan karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan, pendapat para sarjana/doktrin. Sumber bahan hukum yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif, kemudian dideskripsikan sehingga menemukan jawaban dari rumusan permasalahan yang telah diuraikan diatas.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Pengaturan Hukum Pidana Dalam Perbuatan Perundungan Melalui Media Online

Kebijakan hukum pidana atau penal policy merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy).9 Kebijakan kriminal merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang awalnya bukan merupakan tindak pidana atau tidak dapat dipidana menjadi suatu tindak pidana atau dapat dilakukan pemidanaan.10 Kebijakan kriminal dalam penulisan ini menekankan pada aspek materiil, yaitu penegakan hukum pidana atau politik hukum pidana mengenai perundungan

pada media online.11 Aspek materiil yang ditekankan pada formulasi dari perumusan delik dan sanksi yang akan diterima oleh pelanggarnya atau kepada pelaku perbuatan perundungan.

Perundungan, adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan. Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan cyber.

Urgensi dari kebijakan kriminal dalam menjerat pelaku tindakan perundungan ini dapat dilakukan dengan menggunakan frasa penghinaan pada rumusan Pasal 27 ayat (3), frasa pengancaman atau pemerasan pada Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 29, frasa menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu pada Pasal 28 ayat (2).

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE terdapat dalam Bab XI Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Perumusan beberapa pasal dalam Bab XI mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tndakan perundungan di media online terdapat pada Pasal 45 Undang-Undang ITE, mengatur bahwa:

  • (1)    Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • (2)    Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • (3)    Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Sanksi yang diterima oleh pelaku perundungan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ITE bersifat alternatif kumulatif yang terdapat pada kata “dan/atau”. Jenis sanksi berdasarkan ketentuan Undang-Undang ITE yaitu pidana penjara dan denda. Maksimal pidana penjara yang diterima pelaku perundungan paling lama 12 tahun, dan maksimal denda dua belas milyar rupiah dan paling sedikit tiga ratus juta rupiah. Dari ketentuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ITE, maka dapat digunakan untuk menanggulangi berbagai macam tindakan perundungan yang dilakukan dimedia sosial.12

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diketahui bahwa dilihat dari perspektif politik hukum pidana, Undang-Undang ITE dapat digunakan untuk menanggulangi jenis perilaku perundungan pada media online, sebagai suatu fenomena/bentuk baru cyber crime secara umum. Undang-undang ini menekankan pada pengaturan keamanan penggunaan Sistem Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik, dan mengara pada menyalahgunakan Informasi

Elektronik untuk tujuan perbuatan-perbuatan tindakan perundungan pada media online.

  • 2.2    Pengaturan Tindakan Perundungan Di Media Online Dalam Hukum Pidana Indonesia Di Masa Yang Akan Datang

KUHP Indonesia hanya mengatur tindakan penghinaan dalam konteks kehidupan sehari-hari dan tidak dilakukan melalui media sosial, meskipun dalam penggunaannya dilakukan dengan cara menuliskan kalimat penghinaan tersebut melalui media sosial.13 Penghinaan yang merupakan sebuah perbuatan perundungan pada dunia maya melalui media sosial, dalam ketentuan KUHP tidak didefinisikan atau tidak dijelaskan secara lebih spesifik mengenai maksud dari penghinaan melalui dunia maya dengan menggunakan media sosial.14

Ketidakmampuan KUHP untuk mengatur mengenai tindakan perundungan dalam bentuk penghinaan, maka diperlukan pengaturan lainnya guna mencegah dan menindak para pelaku perundungan pada media sosial. Undang-Undang ITE bertujuan untuk mengharmonisasikan antara instrument peraturan hukum nasional dengan Instrument Hukum Internasional yang mengatur teknologi informasi diantaranya, yaitu: The United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL), World Trade Organization (WTO), Uni Eropa (EU), APEC, ASEAN, dan OECD. Masing-masing organisasi

mengeluarkan peraturan yang mengisi satu sama lain. Instrumen Hukum Internasional ini telah diikuti oleh beberapa negara seperti: Australia (The cyber crime act 2001), Malaysia (Computer Crime Act 1997), Amerika Serikat (Federal legislation: update April 2002 UNITED STATE CODE).

Kongres PBB ke 8 di Havana, Kongres ke X di Wina, kongres XI 2005 di Bangkok, berbicara tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offender. Negara-negara anggota harus berusaha melakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kriminalisasi, pembuktian dan prosedur (States should seek harmonization of relevan provision on criminalization, evidence, and procedure) dan negara-negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi yang terkait dengan hukum positif (existing law) nasionalnya.

Undang-Undang ITE sebagai peraturan tindak pidana diluar KUHP, merupakan solusi untuk mengatur mengenai tindakan perundungan pada media sosial serta mempidanakan pelaku perundungan pada media sosial. Undang-Undang ITE merupakan pengaturan mengenai segala bentuk tindak kejahatan dengan menggunakan sarana teknologi (kejahatan dunia maya). Perbuatan perundungan pada dunia maya merupakan bagian dari kejahatan dunia maya.

Keselarasan antara KUHP dengan Undang-Undang ITE terlihat dari unsur pidana pada pasal-pasal Undang-Undang ITE tersebut secara tegas telah memiliki sifat melawan hukum. Unsur sifat melawan hukum dalam Undang-Undang ITE dapat dilihat pada rumusan “... setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum sebagaimana

dalam pasal..” Berbeda dengan Konsep KUHP baru yang sekarang tengah disusun yang menentukan bahwa meskipun unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan secara tegas, tetapi suatu delik harus tetap dianggap bertentangan dengan hukum.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Perbuatan perundungan dikategorikan termasuk kedalam perbuatan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), Pasal 29, Pasal 28 ayat (2) KUHP. Apabila perbuatan perundungan dilakukan melalui media online, maka diatur oleh Undang-Undang ITE Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Perundungan dikategorikan    sebagai    perbuatan    penghinaan

sebagaimana diatur dalam frasa penghinaan pada KUHP dan Undang-Undang ITE.

  • 2.    Konsep KUHP baru yang sekarang tengah disusun yang menentukan bahwa meskipun unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan secara tegas, tetapi suatu delik harus tetap dianggap bertentangan dengan hukum. Perlu suatu keselarasan pengaturan antara KUHP dan Undang-Undang ITE mengenai definisi dari perbuatan perundungan mencakup unsur perbuatan apa saja, sehingga dari penegasan unsur dari perbuatan perundungan tersebut maka akan lebih mudah menentukan perbuatan yang termasuk sebagai perundungan dan perbuatan yang termasuk seebagai penghinaan.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Disarankan kepada pembentuk undang-undang untuk merevisi peraturan terkait atau menambahkan pasal perundungan dalam Undang-Undang ITE karena perundungan dengan penghinaan merupakan perbuatan yang tidak dapat dipersamakan. Disarankan kepada masyarakat luas untuk berhati-hati dalam menggunakan media online, sehingga terhindar dari pasal penghinaan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang ITE.

  • 2.    Disarankan kepada pembentuk undang-undang untuk secara tegas mengatur jenis-jenis perbuatan perundungan secara verbal dan non verbal baik yang dilakukan didalam ruang ruang publik dan atau dalam dunia digital seperti media online. Penegasan tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum dan sebagai upaya preventif dan represif dalam menindak dan mencegah terjadinya perbuatan perundungan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief, Barda Nawawi, 2002, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

___________, 2002, Sarri Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Rahardjo, Agus. 2002, Cybercrime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti.

Sitompul, Josua. 2012, Cyberspace, Cybercrime, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Tatanusa, Jakarta.

Sudarto, 2003, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

Sunggono, Bambang. 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Jurnal:

Permana, Kadek Cintyadewi. I Gusti Ketut Ariawan, I Gusti Angung Ayu Dike Widhiyaastuti, 2016, Perlindungan Hukum Terhadap Artis Sebagai Korban Tindak Pidana Cyberbullying Pada Media Sosial Instagram Di Indonesia, Jurnal Kertha Wicara Vol.05 No.06. November 2016, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Gita Permatasari, Gusti Ayu Made dan Komang Pradnyana Sudibya, 2018, Tinjauan Yuridis Mengenai Pengaturan Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian Di Media Sosial, Jurnal Kertha Wicara Vol. 07, No. 03, Mei 2018, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Pratiwi, Nyoman Trisna Sari Indra dan Ni Nengah Adiyaryani, 2019, Pemberantasan Pungutan Liar (PUNGLI) Sebagai Bentuk Kebijakan Kriminal Di Indonesia, Jurnal Kertha Wicara Vol.08 No.01. Maret, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar

Rismajayanthi, Ni Gusti Agung Ayu Putu dan I Made Dedy Priyanto, 2019, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana

Penghinaan Citra Tubuh (Body Shaming) Menurut Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Kertha Wicara Vol. 08, No. 01, Maret 2019, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar

Satyawati, I G A Ayu Dewi dan Sagung Putri M. E. Purwani, 2014, Pengaturan Cyber Bullying Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jurnal Kertha Wicara Vol.03 No.02. Mei 2014, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Internet:

Muhamad Imron Rosyadi, 2018, Ramai-ramai Soal Cebong-Kampret di Medsos, diakses pada 15 Juli 2019 URL: https://inet.detik.com/cyberlife/d-4105892/ramai-ramai-soal-cebong-kampret-di-medsos

Peraturan-Perundangan:

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Jakarta, 1946.

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta, 2016.

16