KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

Oleh:

Komang Ayu Trisna Cahya Dewi∗∗ Ni Nengah Adiyaryani∗∗∗

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pembuktian merupakan suatu tahapan penting dalam pemeriksaan suatu perkara di pengadilan, karena sebagai penentu seseorang yang didakwa bersalah atau tidak. Maka dalam melakukan pemeriksaan perkara, tahapan yang paling penting adalah pembuktian. Pembuktian yang sah di Indonesia adalah pembuktian yang hanya diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Alat bukti elektronik yang timbul akibat adanya tindak pidana penyalahgunaan teknologi adalah suatu alat bukti yang tidak diatur dalam KUHAP. Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui keabsahan alat bukti elektronik dalam Hukum Acara Pidana Indonesia serta untuk dapat mengetahui kekuatan pembuktian elektronik dalam pembuktian hukum acara pidana. Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian dengan hukum normatif, dimana dilakukan dengan pendekatan undang - undang serta menganalisis konsep hukum. Penelitian ini lengkap karena dipakainya bahan hukum primer dan sekunder, menggunakan teknik studi kepustakaan agar terkumpulnya bahan hukum tersebut dan bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik deskripsi dan evaluasi. Dari hasil penelitian ini, alat bukti elektronik dikualifikasikan menjadi alat bukti yang sah, pembuktian secara elektronik telah dapat dikatakan sama dengan alat bukti yang diatur di dalam KUHAP, yaitu alat bukti surat dan alat bukti petunjuk serta dipertegas juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa kekuatan pembuktiannya mampu menyamakan kekuatan alat bukti surat dan petunjuk, namun hal ini hakim tidak terikat yang artinya bebas menilai kekuatan pembuktian.

Kata Kunci: Pembuktian, Alat Bukti Elektronik, dan Peradilan Pidana.

Penulisan karya ilmiah yang berjudul Kedudukan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia ini merupakan ringkasan skripsi.

∗∗ Komang Ayu Trisna Cahya Dewi, (1516051044), Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi : ayutrisna2701@gmail.com

∗∗∗ Ni Nengah Adiyaryani adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana selaku Pembimbing Skripsi.

Abstract

The existence of a case that is settled in a trial, so to prove someone guilty or innocent requires evidence that is presented at the trial. So in conducting a case investigation, the most important stage is proof. Valid proof in Indonesia is proof only regulated in Article 184 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code. Electronic evidence that arises as a result of a crime of misuse of technology is an evidence that is not regulated in the Criminal Procedure Code. The purpose of writing is to find out the validity of electronic proof in Indonesian Criminal Procedure Law and to be able to know the power of electronic proof in proof of criminal procedural law. In this study used a type of research with normative law, which is carried out with the approach of the law and analyze the concept of law. This research is complete because primary and secondary legal materials are used, using literature study techniques so that the legal materials are collected and the legal materials are analyzed by description and evaluation techniques. Qualified as valid evidence, electronic proof can be said to be the same as the evidence set out in the Criminal Procedure Code, which is evidence evidence and is also confirmed in the ITE Law that the strength of evidence is able to equalize the strength of evidence evidence, but this is not the judge is bound in means free to judge the strength of proof.

Keywords: Evidence, Electronic Evidence Tools, and Criminal Justice.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan pidana, pembuktian sangatlah penting untuk dihadirkan, karena seseorang dinyatakan bersalah atau tidak adalah tergantung dari pembuktian yang dihadirkan di dalam persidangan. Maka sehubungan dengan hal tersebut, prinsip kehati-hatian sangatlah penting untuk diterapkan dalam menilai alat bukti.

Penentuan seseorang bersalah atau tidak adalah ditentukan oleh alat bukti. Jika alat bukti yang dihadirkan di muka pengadilan tidak cukup untuk membuktikan seseorang bersalah maka akan terlepas dari hukuman, namun hal tersebut berbalik apabila alat bukti yang dihadirkan mampu membuktikan seseorang tersebut bersalah dan harus dijatuhi hukuman sesuai dengan UU yang berlaku. Terdapat 2 (dua) kata yang menunjukkan arti bukti dalam bahasa asing yakni evidence dan proof. “Evidence diartikan sebagai informasi yang dikumpulkan agar dapat menjadi data pendukung

yang bisa meyakinkan bahwa fakta tersebut benar, sedangkan proof mengacu kepada hasil dari suatu proses evaluasi.”1

Berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) diatur mengenai keterangan alat bukti, yang dimana “alat bukti tersebut berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa.” Dalam ketentuan pasal tersebut telah menetapkan secara limitatif bahwa alat bukti tersebut adalah yang mampu memberikan bukti bersalah terhadap terdakwa di depan pengadilan, karena diluar alat bukti tersebut tidak dapat dibenarkan menjadi alat bukti oleh hakim ketua sidang, jaksa penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum.

Berkembangnya jaman diiringi dengan perkembangan teknologi yang dimana kegunaan teknologi tersebut semakin canggih, saking canggihnya terkadang teknologi dapat menimbulkan suatu masalah. Penyalahgunaan teknologi seringkali dilakukan untuk melakukan kejahatan tindak pidana. Dalam artian bahwa, apabila terjadi kejahatan tindak pidana melalui penyalahgunaan teknologi, maka dalam penyelesaian di persidangan akan dibutuhkan alat bukti elektronik. Yang dimaksud alat bukti elektronik adalah “suatu alat bukti yang diberikan dalam bentuk informasi elektronik, dokumen elektronik, dan dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan saksi dengan teleconference, serta untuk dapat melihat dokumen perusahaan dilakukan dengan microfilm, namun bukti ini selain rekaman radio kaset, VCD (Video Compact Disk) atau DVD (Digital Versatile Disk), foto, faximile, hasil rekaman CCTV (Clossed Circuit Television), bahkan SMS (Short Message Service) atau MMS (Multimedia

Messaging Service).”2 Tetapi seperti yang dikatakan bahwa dalam KUHAP tidak tercantum atau tidak disebutkan mengenai media elektronik yang bisa dipergunakan sebagai alat bukti di dalam persidangan. Dari masalah pembuktian inilah maka diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) untuk menuntaskan serta membuktikan suatu perkara atau kejahatan pidana yang telah dilakukan menggunakan media elektronik.

Terdapat beberapa kasus penyelesaian dengan menggunakan bukti elektronik di persidangan, misalnya terhadap kasus BULOG dengan BJ Habibie sebagai saksi yang memberikan keterangannya dengan menggunakan teleconference. Selain itu ada kasus lain yakni terhadap kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Ibu Prita Mulyasari. Terhadap dua kasus tersebut, dalam penyelesaiannya di dalam persidangan adalah menggunakan alat bukti elektronik, namun telah diketahui alat bukti elektronik tidaklah diatur di dalam Pasal 184 KUHAP.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana?

  • 2.    Apakah yang menjadi kekuatan hukum dalam pembuktian dengan alat bukti elektronik Hukum Acara Pidana?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan ini mempunyai tujuan agar dapat mengetahui sah atau tidaknya alat bukti elektronik serta mengetahui kekuatannya di dalam pembuktian hukum acara pidana.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penulisan

Jurnal ini dilakukan dengan metode penelitian yang dikenal dengan nama penelitian hukum normatif. Dikatakan metode penelitian hukum normatif karena “dalam penelitiannya menggunakan peraturan hukum dan buku kepustakaan yang menjadi sumber utama di dalam penelitian ini.”3 Untuk lebih lengkap dalam penjelasan penelitian ini dikumpulkan “bahan hukum yang diperoleh dari bahan yang diteliti yang terkait dengan permasalahan di dalam penelitian untuk dapatnya dibahas dengan baik.”4

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana

Secara spesifik belum dapat ditemukan mengenai pembuktian dengan alat bukti elektronik di dalam KUHAP. Perkembangan zaman yang disertai dengan berkembangnya kejahatan tindak pidana yang kian meningkat di Negara Indonesia, maka sangat diperlukan pengaturan tentang alat bukti elektronik. Dalam KUHAP diatur secara limitatif mengenai alat bukti yang sah pada Pasal 184 yakni alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. KUHAP menganut asas legalitas yang artinya “setiap perbuatan yang disebut sebagai

perbuatan/tindakan pidana harus dirumuskan dalam undang-undang yang diadakan terlebih dahulu yang menetapkan dalam rumusan yang jelas tentang perbuatan-perbuatan tersebut.”5 Tetapi berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis yakni aturan khusus yang mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum, dengan kata lain apabila ada aturan hukum yang bersifat khusus yang membuat alat bukti elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, maka KUHAP dapat dikesampingkan, agar tidak terjadi kekosongan hukum. Sebagai aparat penegak hukum yang bertugas untuk memeriksa mengadili serta memutus perkara Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan berdasarkan alasan undang-undang tidak jelas atau tidak lengkap, sehingga dalam hal ini Hakim haruslah menggunakan metode argumentasi dalam menyelesaikan kasus di dalam persidangan, dikarenakan belum diatur secara khusus di dalam KUHAP mengenai alat bukti elektronik. Di dalam pengadilan, secara yuridis belumlah mempunyai dokumen atau informasi dalam bentuk elektronik yang dipakai untuk alat bukti dalam menyelesaikan perkara di dalam pengadilan.

Negara Indonesia dalam sistem hukum pembuktian yang terkait dengan permasalahan dengan pembuktian elektronik sebelumnya belum diatur secara jelas, namun setelah diundangkannya UU ITE, yang mengutamakan bahwa alat bukti elektronik berfungsi sebagai informasi, dokumen elektronik, dan hasil cetaknya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti di persidangan. Dengan demikian, undang-undang ini diharapkan “dapat menjawab berbagai hak yang berkaitan dengan hukum (termasuk hukum pembuktian) yang berkenaan dengan

dunia maya (cyber law, virtual world law), hukum tentang teknologi dan komunikasi (law technology of information and communication), dan hukum tentang perdagangan dengan memakai elektronik (e-commerce).”6

Hal yang menarik dari adanya alat bukti elektronik ini adalah di dalam penggunaan teknologi elektronik informasi atau internet alat bukti elektronik menjadi isu yang sangat hangat. Selain di Indonesia, ada beberapa Negara yang mengakui alat bukti elektronik, yakni Singapura, Jepang, China, Chili serta Australia mengatur sistem hukum yang dimana pengakuan terhadap data elektronik sebagai alat bukti di dalam persidangan. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE telah memberikan suatu dasar hukum yakni bahwa informasi elektronik yang mampu menghasilkan hasil cetak yang dimana merupakan suatu perluasan dari suatu alat bukti yang sah sebagaimana telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah alat bukti elektronik menambah alat bukti yang telah diatur sebelumnya di dalam hukum acara pidana Indonesia.

Berdasarkan Pasal 44 UU ITE, alat bukti elektronik berupa informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti lain disamping alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan untuk keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam bentuk originalnya, dokumen elektronik merupakan alat bukti selain alat bukti yang diatur di dalam KUHAP. Undang-undang ini juga mengatur syarat-syarat agar alat bukti elektronik dapat dianggap sah, yakni syarat formil yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE bahwa ketentuan informasi dan dokumen elektronik pada Pasal 5 ayat (1) tidak

berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis serta harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Selanjutnya syarat materiil diatur dalam Pasal 6 yakni mensyaratkan suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah apabila sepanjang informasi yang dicantum dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Selanjutnya, UU ITE menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Hasil cetak dari dokumen elektronik dapat dikategorikan sebagai surat lain sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP.

Menurut Munir Fuady,7 terdapat beberapa kriteria atau syarat agar alat bukti elektronik bisa dipertimbangkan sebagai bukti surat, yakni pertama menggunakan prinsip otensitas artinya suatu dokumen atau surat digital serta tanda tangan tersebut dianggap asli, kecuali dapat membuktikan sebaliknya. Selain prinsip tersebut Munir Fuady juga menyatakan mengenai integritas informasi dan keaslian dokumen. Dalam hal ini, dokumen elektronik maupun rekaman elektronik dianggap asli apabila dapat menampilkan jaminan bahwa dokumen atau rekaman tersebut asli, tidak berubah, komplit dan sama dengan waktu pada saat proses pembuatan tersebut dilakukan. Selanjutnya, ada notarisasi bisnis, tugas notaris “tidak hanya membuat akta otentik saja tetapi juga melakukan pendaftaran serta mensahkan surat-surat dibawah tangan.”8 Dengan begini harus dibentuk notaris maupun petugas

khusus untuk melakukan penelaahan, pemeriksaan pemakaian standar tertentu, yang kemudian notaris tersebut dapat menyatakan bahwa tanda tangan elektronik tersebut benar atau tidak ditandatangani oleh pihak yang tertulis sebagai penandatangan.

Menurut Edmon Makarim, menyatakan tentang prinsip kesetaraan kesetaraan fungsional (functional equivalent approach) yang harus dipenuhi minimal dengan 3 (tiga) dasar agar informasi maupun dokumen elektronik dapat dikatakan sama dengan bukti tertulis, yakni “dapat disimpan dan ditemukan kembali, tidak berubah substansinya atau yang dimaksud terjamin keautentikannya, serta bertandatangan apabila terdapat informasi yang menjelaskan adanya suatu objek hukum yang bertanggung jawab di atasnya atau terdapat sistem autentikasi yang reliable yang menjelaskan identitas dan otoritas atau verifikasi dari pihak tersebut.”9

Selanjutnya, bukti elektronik dapat dikatakan sebagai perluasan bukti petunjuk. Bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP, yakni “perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana dan siapa pelakunya.” Dalam KUHAP alat bukti petunjuk sumbernya ditentukan secara limitatif yakni berasal dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Apabila substansi dari alat bukti elektronik berisikan petunjuk seperti: rekaman suara, gambar, rekaman video dan sejenisnya, maka alat bukti ini dipakai sebagai perluasan alat bukti petunjuk. Sehingga perluasan alat bukti petunjuk tidak hanya diambil dari persesuaian

antara keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, namun bisa ditambahkan dengan alat bukti elektronik.

Terdapat beberapa undang-undang khusus yang mengatur mengenai alat bukti elektronik dapat dikatakan sebagai perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP,10 yakni dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen elektronik Pasal 15 ayat (1) mengakui bahwa bukti elektronik yakni hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dilihat dari substansinya berupa dokumen elektronik memuat unsur-unsur pengertian surat sehingga kedudukannya merupakan perluasan alat bukti surat. Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 26A menyebut dengan tegas bahwa bukti elektronik perluasan dari alat bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP.

Jadi keabsahan alat bukti yakni informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dapat disebut sebagai perluasan alat bukti yan sudah ada yang diatur dalam KUHAP. Perluasan yang dimaksud telah dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut :

  • 1.    Berfungsi sebagai perluasan alat-alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia;

  • 2.    Cakupan alat bukti yang telah diatur di dalam hukum acara pidana diperluas oleh hasil cetak dari informasi yang merupakan alat bukti surat serta alat bukti petunjuk.

  • 2.2.2 Kekuatan Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana

Kekuatan pembuktian alat bukti elektronik belum diatur di dalam hukum pidana Indonesia dan tidak ada kekuatan hukum di dalam persidangan. Biasanya dalam penyelesaian perkara di persidangan, alat bukti elektronik yang dihadirkan dalam persidangan akan menimbulkan konflik terhadap teknis penilaian pembuktian elektronik tersebut. Dengan ini hakim diharapkan mampu untuk memutuskan teknis penilaian terhadap bukti elektronik tersebut. Juga dimohonkan apabila telah terjadi tindak pidana umum, dan dengan tidak diaturnya alat bukti elektronik di dalam KUHAP, maka dengan ini Hakim diharuskan untuk melakukan penemuan hukum agar dapat mencegah terjadinya kekosongan hukum.

Sebenarnya, apabila dilihat lebih lanjut, kekuatan pembuktian alat bukti elektronik ini dapat menggunakan kekuatan pembuktian alat bukti surat dan alat bukti petunjuk. Sesuai dengan pemaparan pada keabsahan alat bukti elektronik di atas, dikatakan bahwa alat bukti elektronik merupakan perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP yakni alat bukti surat serta alat bukti petunjuk. Kekuatan pembuktian alat bukti surat “Ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna, dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut:

  • 1.    Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

  • 2.    Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya;

  • 3.    Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

  • 4.    Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan

dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa.”11

Peninjauan dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut “teoritis”, belum tentu sesuatu yang dapat dibenarkan dari segi teori dapat dibenarkan dalam prakteknya, sebab kenyataannya apa yang dibenarkan dari sudut teori dikesampingkan oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP.

Dari segi materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebutkan dalam Pasal 187, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain:

  • 1.    Asas proses pemeriksaan perkara pidana

  • 2.    Asas keyakinan hakim

  • 3.    Asas batas minimum pembuktian.”12

Dari uraian diatas dapat dipahami meskipun dikatakan sempurna tetap tidak dapat memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat dan tetap dikatakan sebagai nilai kekuatan pembuktian tidak sempurn, hakim tetap menilai bagaimana kekuatan dan kebenarannya yang harus ditinjau dari beberapa alasan.

Selanjutnya, kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk, yakni:

  • 1.    “Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang di wujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan menggunakannya sebagai upaya pembuktian;

  • 2.    Petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Alat bukti petunjuk tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk memiliki nilai

kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.”13

Dari keterangan mengenai kekuatan pembuktian diatas, dapat dikatakan bahwa alat bukti surat dan alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama, yakni kekuatan pembuktian tidak sempurna dan berdasarkan keyakinan hakim. Dengan kata lain karena hakim tidak terikat dan bebas menilai bagaimana nanti dalam menilai kekuatan alat bukti elektronik tersebut serta harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain agar bukti elektronik tersebut dapat digunakan dalam hal pembuktian di persidangan.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Keabsahan suatu pembuktian elektronik telah diakui menjadi suatu alat bukti yang dapat disahkan di dalam hukum acara pidana yakni adalah alat bukti surat dan alat bukti petunjuk. Selain itu, pengakuan terhadap pembuktian elektronik dipertegas pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dijelaskan bahwa pembuktian elektronik adalah sebagai penambah/perluasan dari pembuktian yang telah diatur pada hukum acara pidana di Indonesia.

  • 2.    Kekuatan pembuktian elektronik belum diatur dalam KUHAP. Namun, karena alat bukti elektronik sudah diakui sah dan di kualifikasikan sebagai bukti surat dan bukti petunjuk maka dapat dimungkinkan untuk menyamakan

kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dengan kekuatan pembuktian surat dan pembuktian petunjuk, yakni hakim tidak terikat dan bebas menilai kekuatan alat bukti elektronik tersebut serta harus ada penyesuaian dengan alat bukti lain, kecuali keterangan ahli.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Hakim dan para penegak hukum lainnya diharapkan dalam memeriksa dan mengadili perkara hendaknya dapat lebih cermat dan efektif dalam menilai suatu alat bukti elektronik, mengingat bukti elektronik ini tidak terdapat dalam KUHAP dan hanya sebagai perluasan dapat dengan mudah dimanipulasi atau diubah atau diedit sehingga sulit untuk menilai keaslian.

  • 2.    Semakin berkembangnya kemajuan teknologi, Pemerintah diharapkan untuk segera menambah pembuktian secara elektronik kedalam KUHAP agar pembuktian secara elektronik memiliki kekuatan hukum dalam penggunaannya dianggap sah jika dihadirkan sebagai alat bukti di persidangan dan mempermudah pekerjaan para penegak hukum dalam sidang di pengadilan.

Daftar Pustaka

1.    Buku

Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta.

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Munir Fuady, 2012, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta.

J.C.T. Simorangkir, 1983, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta.

  • 2.    Jurnal Ilmiah

I Ketut Tjukup, et.al., 2016, “Kekuatan Hukum Pembuktian Waarrmerken (Akta di Bawah Tangan yang Didaftarkan) Di Notaris”, Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

I Dewa Made Suartha, 2015, “Pergeseran Asas Legalitas Formal ke Formal dan Material dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional” Fakultas Hukum Universitas Udayana, Yustitia, Vol. 4 Nomor 1, Januari-April 2015.

Syaibatul Hamdi, Suhaimi, dan Mujibussalim, 2013, “Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Volume 1 Nomor 4, November 2013.

Yudhistira, 2018, “Kekuatan Surat Elektronik sebagai Alat Bukti dalam Persidangan Ditinjau dari Hukum Acara Pidana”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Putri Visky Saruji, 2015, “Kekuatan Hukum Pembuktian Tandatangan pada Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Efa Laela Fakhriah, “Kedudukan Bukti Elektronik sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.” Makalah disampaikan pada Seminar Terbatas kerja sama Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI dengan Perguruan Tinggi dengan Thema: “Validitas Alat Bukti Transaksi Elektronik Perbankan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya UU No. 11 Tahun 2008”, tanggal 25 November 2009, Grand Pasundan Hotel, Bandung.

Nur Laili Isma dan Arima Koyimatun, 2014, “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya dalam Pembuktian Tindak Pidana”, Jurnal Penelitian Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Volume 1 Nomor 2, Juli 2014.

Rahardi Wasi Bintoro, 2011, “Penerapan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Trnasaksi Elektronik di Peradilan Umum”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011.

Ramiyanto, 2017, “Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam hukum Acara Pidana”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 6 Nomor 3, November 2017.

H. Santhos Wachjoe P., 2016, “Penggunaan Informasi dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidngan”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5 Nomor 1, Maret 2016.

  • 3.    Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara No. 79/1981, Tambahan Lembaran Negara No. 3209)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 18)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108)

  • 4.    Internet

Josua Sitompul, “syarat dan kekuatan hukum alat bukti elektronik”,https://www.hukumonline.com/klinik/det ail/ulasan/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik, Diakses Pada Jumat, 22 Februari 2019.

Dimas Hutomo, “Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Hukum              Acara              Pidana”,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5c4ac 8398c012/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana, Diakses Pada Jumat, 22 Februari 2019.

18