PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP ORANG YANG MENDERITA PENYAKIT KLEPTOMANIA
on
PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP ORANG YANG MENDERITA PENYAKIT KLEPTOMANIA
Oleh:
Ni Luh Bella Mega Brawanti* Anak Agung Sri Utari** Bagian Kekhususan Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract
The journal purpose is analyzing problem about larceny thatis done by someone who haskleptomania disease, which has not been described in article 44 KUHP. The problem can be drawn from this writing is about the criminal liability from a person who has kleptomania disease which commits larceny. The writing method used in the articles is normative method because there is a vague norm in particular about a person who has a kleptomania do theftthat has not been explicity mentioned in article 44 CRIMINAL code. A person with kleptomania disease was not able to resist the urge to steal , because they recived a pleasureor satisficaetion for themselves which is done in a completely unconscious state. Hence the perpetrator of larceny with kleptomania disease can not convicted as though as the normal perpetrator of larceny. That is why the law enforcer need to convicing that the perpetrator of larceny with kleptomania disease are not totally afford to convicted as a theft because they are do not have a capable mind when doing the larceny.
Keywords: Criminal, Liability, Person, Kleptomania
Abstrak
Tujuan jurnal adalah menganalisis masalah tentang pencuri yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki penyakit Kleptomania, yang belum dijelaskan dalam artikel 44 KUHP. Masalah dapat ditarik dari tulisan ini adalah tentang tanggung jawab pidana dari orang yang memiliki penyakit Kleptomania yang melakukan pencurian. Metode penulisan yang digunakan dalam artikel ini adalah metode normatif karena ada norma samar khususnya tentang seseorang yang memiliki Kleptomania melakukan pencurian yang belum secara eksplisit
disebutkan dalam Pasal 44 kode pidana. Seseorang dengan penyakit Kleptomania tidak mampu menolak dorongan untuk mencuri, karena mereka menerima kesenangan atau kepuasan bagi diri mereka sendiri yang dilakukan dalam keadaan yang sama sekali tidak sadar. Oleh karena itu pelaku pencuri dengan penyakit Kleptomania tidak dapat dihukum seolah-olah sebagai pelaku normal pencuri. Itulah sebabnya mengapa penegak hukum perlu untuk meyakinkan bahwa pelaku pencuri dengan penyakit Kleptomania tidak sepenuhnya mampu untuk dihukum sebagai pencurian karena mereka tidak memiliki pikiran yang mampu ketika melakukan pencuri.
Keywords: Pidana, Pertanggungjawaban, Orang,
Kleptomania
Pencurian merupakan tindakan criminal yang banyak dijumpai dalam kehidupan bermasyarakatan. Seseorang dapat dikatakan melakukan pencurian bilamana ia mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Hal ini dijelaskan secara tegas dalam Pasal 362 KUHP sekaligus menjadi indikator kapan dana bagaimana seorang yang diduga melakukan tindakpencurian itu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Dalam Hukum Pidana tidak semua pelaku pencurin kejahatan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Dengan kata lain ada beberapa pengecualian dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku. Contoh mengenai persoalan pertanggungjawaban pidana yang dikecualikan adalah para pelaku tindak pidana yang mengalami gangguan mental seperti penderita kleptomania.
Pengidap “kleptomania” pada umunya memiliki hasrat tidaka dapat menahan diri untuk mengambil sesuatu barang yang bukan miliknya dan hasrat itu akan terus menganggungnya apabila belum tercapai atau terwujud. Penderita “kleptomania” melakukan tindakan pencurian secara spontan dan tidak terencana. Kegiatan mencuri yang dilakukan oleh seorang pengidap penyakit “kleptomania” bukan karena dirinya tidak memilki uang, namun pengidap penyakit ini menjadikan tindakan pencurian sebagai kepuasaan dan kesenangan dirinya sendiri. Dari beberapa kasus, perilaku menyimpang dan kelainan emosi salah satu kelainan yang dimiliki oleh seorang “kleptomania”.
Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab dalam Hukum Pidana telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP mengenai hal-hal yang menghapuskan.1
Sudarsono, menyatakan bahwa “ Kleptomania ialah dorongan hati untuk mencuri milik atau harta benda orang lain demi kepuasan hatinya, tentang mencuri itu dan bukan hasil yang dicuri “.2 Pada dasarnya apa yang dilakukan pencuri biasa dan pengidap penyakit “kleptomania” adalah sama, namun “kleptomania” menyangkut penyakit jiwa. Benda-benda yang dicuripun tidak berharga, seperti sepatu bekas, baju bekas, permen dan lain sebagainya.
Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana seorang kleptomania yang melakukan pencurian ?
Tujuan penulisan dari jurnal ilmiah ini yaitu mengetahui Pertanggungjawaban Terhadap Orang Yang Menderita Penyakit Kleptomania.
Penelitian ini dibuat menggunakan metode empiris, dalam upaya melihat adanya kesenjangan antara aturan hukum dengan praktek dilapangan tentang pertanggungjawaban pidana penderita kleptomania.
Pertanggungjawaban pidana terjadi karena adanya perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan persoalan ada tidaknya kesalahan seseorang yang melakukan perbuatan. Oleh karena itu dalam Hukum Pidana terdapat asas prinsip tentang pertanggungjawaban pidana yaitu asas: (geen straf zonder schuld; actus non facit reun nisi mens sist rea) atau tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.3 Asas ini memang tidak tercantum secara eksplisit dalam hukum tertulis yang berlaku di Indonesia namun diakui sebagai asas yang penting dalam menentukan dapat tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan secara pidana. Sehubungan dengan itu mengutip pendapat Roslan Saleh “ Membicarakan tentang pertanggung- jawaban pidana, tidak dapat dilepaskan dari satu atau dua aspek yang dilihat dengan pandangan falsafah. Salah
satu diantaranya adalah keadilan, yang memberikan pengaruh lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai hukum pidana terjalin dengan keadilan yang filsafat.4 Jadi dapat dikatakan bahwa dalam pertanggungjawaban pidana sangatlah penting untuk memperhatikan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan hukum dapat bersikap adil kepada mereka yang tidak memiliki kesalahan.
Secara teoritis, pertanggungjawaban pidana dibagi menjadi : Kurang mampu bertanggungjawab, mampu bertanggung jawab dan tidak mampu bertanggungjawab sebagian.5 Dalam konteks ini Keadaan psychis termasuk ke dalam kemampuan bertanggung-jawab, hal ini dapat dilihat dari sudut umum maupun orangnya. Artinya seorang yang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat dan menyadari perbuatannya bertentangan dengan hukum. Untuk keadaan kurang mampu bertanggung jawab dianggap pelaku tetap bertanggungjawab, kan tetapi kekurangannya dipandang sebagai factor untuk meringankan hukumannya. Contoh orang yang jiwanya kurang sempurna dan keterangan ini bisa didapat dari ahli jiwa. Seperti apa yang dipaparkan dalam Pasal 44 KUHP. Keadaan tidak mampu bertanggungjawab sebagian biasanya ditujukan kepada penderita penyakit jiwa seperti kleptomania.
“Kleptomania” merupakan penyakit jiwa yang tidak tahan untuk mencuri dan menjadikan kegiatan ini sebagai kepuasan diri. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh masa lalu si pelaku yang mendalam dan beberapa factor yang membuat kebiasaan ini tumbuh. Biasanya penyakit kelptomania tingkah lakunya
tidak selalu terlihat. Namun, ada 3 faktor tingkah laku “kleptomania” yang membahayakan :
-
a. Penderita “kleptomania” selalu gagal menolak dorongan untuk tidak mencuri, meski barang yang dicuri tidak terlalu berharga dan dibutuhkan.
-
b. Penderita awalnya merasa cemas dan tegang saat hendak mencuri, namun setelah mencuri penderita merasa senang dan puas melakukan aksinya.
-
c. Setelah itu muncul kembali rasa bersalah, menyesal dan takut tertangkap, namun penderita tetap tidak bisa menahan kegiatannya tersebut.6
Seseorang penderita “kleptomania” memiliki ciri penting, yaitu gagal untuk menahan impuls dan mencuri benda-benda yang tidak diberharga, untuk pemakaian diri sendiri dan tidak memilki arti ekonomi.7 Bagi orang kleptomania kegiatan tersebut tidak terencana dan tidak mau melibatkan orang lain.8 Seorang “kleptomania” tidak menargetkan benda yang dicuri sebagai sasaranya, karena tindak tersebut yang dijadikan sasaran.9
Seperti yang sudah dijelaksan pada tingkah laku “kleptomania”, pengidap penyakit ini akan merasa malu setelah mencuri namun mereka tidak marah apalagi ingin balas dendam. Jika kemungkinan mereka ditangkap, karena melakukan tindak pidana pencurian (karena mengambil barang milik orang lain), itu disebabkan karena pelaku tidak dapat menahan impuls.
Tindak pidana di Indonesia yang paling banyak dilakukan oleh penderitaan kleptomania adalah pencurian. Dalam pencurian seseorang dikatakan memenuhi unsur-unsur pencurian apabila dengan sengaja melakukan hal tersebut dan mengetahui akan akibat dari tindakannya. Bisa dikatakan orang tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 362 dan terbukti melakukan tindak pidana pencurian.
Berbeda dengan “kleptomania”, pengidap penyakit ini melakukan pencurian bukan karena penderita menginginkan barang/benda tersebut, namun ada sesuatu dorongan yang tidak bisa ditahannya. Dalam hal ini niat kesengajaan yang dikehendaki oleh Pasal 362 tidak dapat dipenuhi oleh pelaku pencurian dengan kleptomania.
Disamping itu pencurian yang dilakukan oleh orang yang sehat rohani dan jasmani berbeda dengan orang yang mengidap penyakit kleptomania. Pencuri biasa akan merasa khawatir dengan tindakannya jika diketahui orang lain, beda halnya dengan seroang “kleptomania” yang justru tidak merasa khawatir melakukan pencurian karena hal tersebut dianggap menyenangkan. Ada hal-hal yang membedakan pencurian biasa dengan pencurian yang dilakukan oleh seorang kleptomania, seperti berikut :
-
1. Seorang “kleptomania” mencuri barang yang tidak berharga, sedangkan pencuri biasa akan mengambil barang yang berharga.
-
2. Seorang “kleptomania” hanya akkan menyimpan barang yang dicurinya dan bisa juga mereka tidak ingat dengan barang tersebut. Kalau pencuri biasa barang yang dicuri tidak hanya dipakai untuk pribadi, biasannya akan mereka jual demi mendapatkan uang.
-
3. Seorang “kleptomania” pada saat akan mencuri sama sekali tidak berniat jahat, beda halnya dengan pencuri biasa ketika hendak mencuri pasti berniat jahat.
Perspektif pertanggungjawaban hukum kepada pelaku pencurian yang menderita “kleptomania” dapat dikenakan hukuman atas apa yang telah diperbuat karena kemampuan yang bertanggungjawab tidak sepenuhnya hilang. Atas perbuatannya penyakit “kleptomania” dikenal dengan tidak mampu bertanggungjawab sebagian.
Pemeriksaan perkara pidana di Indonesia yang dilakukan oleh seorang “kleptomania” sangat jarang, hanya diperiksa dan dijatuhi putusan pidana pencurian biasa, namun dalam melakukan penyelesaian perkara tersebut tidak hanya mengacu pada ilmu hukum atau ilmu dukungan lainnya. Harus dibantu dengan logika, psikologi dan kriminalistik, karena menyangkut dengan gangguan mental atau penyakit jiwa. Hal ini harus mendapat keputusan yang tepat dan juga membutuhkan bantuan dari ahli hukum untuk mengungkap perkara pidananya.
Pengidap penyakit “kleptomania” dalam hal ini, aparat penegak hukum agar memberikan tindakan yang tegas terhadap para pelaku yang menderita penyakit tersebut. Tindakan yang harus dilakukan adalah memasukkan orang yang mengidap penyakit “kleptomania” ke rumah sakit jiwa atau mencarikan seorang psikolog untuk memeriksa kejiwaanya. Penyidikan kepolisian untuk memproses seorang “kleptomania”, jika adanya aduan dari pelapor atau pihak yang merasa dirugikan atas apa yang telah diperbuat oleh seorang “kleptomania”, maka dapat di proses sesuai dengan prosedur penyelidikan. Jika memang benar pelaku terbukti mengidap
penyakit tersebut, maka proses penyelidikan dapat diberhentikan atau mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP 3).
Aparat penegak tidak akan salah dalam mengambil keputusan, apabila ditangani dengan cara yang benar dan sesuai prosedur. Pelaku pencurian oleh seorang “kleptomania” harus dipastikan terlebih dahulu apakah benar ia seorang “kleptomania” atau tidak, agar tidak membebaskannya begitu saja.
Jika kasus ini sampai ke persidangan, pada tahap penyidikan ditemukan bukti-bukti awal bahwa pelaku pencurian menderita kelainan jiwa, untuk itu maka penyidik wajib minta kepada ahli jiwa guna mengetahui sejauh mana tingkat kelainan jiwa yang diderita pelaku. Setelah ahli melakukan pemeriksaan maupun observasi terhadap pelaku. Berdasarkan pemeriksaan ahli jiwa, yang juga dituangkan dalam hasil pemeriksaan, maka dapat diketahui tingkat kelainan jiwa yang diderita oleh pelaku. Dan berlandaskan hal tersebut, mak penyidik dapat menghentikan penyidikan terhadap pelaku dan jika pelaku ditahan maka demi hukum penyidik wajib mengeluarkan pelaku dari tahanan. Namun bilaman kelainan jiwa pelaku diketahui saat persidangan, mak hakim memerintahkan penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan kejiwaan pada ahli. Setelah ahli jiwa memeriksa pelaku, diketahui bahwa pelaku menderita kleptomania, dan keterangan itu juga disampaikan oleh ahli didepan sidang, maka hakim mengeluarkan penetapan bahwa penuntutan terhdap pelaku tidak dapat dilanjutkan dan berkas perkara serta barang bukti dikembalikan kepada penuntut umum. Dan
jika pelaku dilakukan penahanan, maka demi hukum pelaku dikeluarkan dari tahanan.10
Jaman sekarang, banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa “kleptomania” adalah gangguan mental atau penyakit jiwa. Masyarakat berpikir seorang yang mengidap penyakit “kleptomania” merupakan pencuri pada umumnya, sehingga penderita “kleptomania” dikucilkan dan mendapatkan bullying dari masyarakat. Dengan adanya bullying didalam masyarakat, maka akan muncul perilaku mungurung diri, berasa diri sendiri paling bersalah dan malu untuk bersosialisasi. Hal ini bisa saja tidak terjadi, jika masyarakat diberikan sosialisai tentang kleptomania atau membantu mereka untuk tidak terdorong melakukan klepto.11
Berdasarkan penulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa : Menurut Pasal 44 ayat (1) KUHP, “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Adanya mekanisme pemeriksaan di perUndang-undangan dengan fakta dilapangan bahwa memang benar pengidap penyakit “kleptomania”, tidak bisa dipidana. Hal tersebut juga diperkuat dengan pasal 44 ayat (1) KUHP dengan keterangan ahli jiwa dalam persidangan karena dalam hasil pemeriksaan pelaku terbukti mengidap penyakit kleptomania, agar aparat penegak hukum tidak salah mempidanakan seorang yang mempunyai penyakit jiwa karena perbuatannya.
Dalam kasus ini, aparat penegak hukum harus lebih hati-hati karena pelaku bukanlah seorang yang sehat jasmani dan rohani, melainkan seorang yang memilki gangguan jiwa (kleptomania). Seharusnya aparat penegak hukum memberikan fasilitas kepada pelaku, seperti mengajak pelaku ke ahli psikiater untuk memeriksakan kejiwaan pelaku tersebut. Hasil dari pemeriksaan tersebut nantinya dapat dijadikan pertimbangan agar tidak masuk ke persidangan.
Apabila pelaku terbukti memilki penyakit jiwa (kleptomania), dan mantap dilanjutkan ke persidangan. Hasil pemeriksaan pelaku di ahli jiwa bisa dijadikan alat bukti yang sah, untuk menjadi pertimbangan hakim membuat putusan apakah selajutnya pelaku di masukkan ke rumah sakit jiwa atau di rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Harold, I. Kaplain, Benjamin J. Sadock, dan Jack A. Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis, Jilid II. Bina Rupa Aksara. Tangerang.
Huda Chairul, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Cetakan Kedua, Kencana. Jakarta.
Kadir Nassa Abdul, 2010, Cleptomania, Jurnal Hukum, Universitas Sumatera Utara.
Lamintang, S.H. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung.
Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP : Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Saleh Roeslan, 1982. Pikiran-Pikuiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Anak Agung Ayu Sinta Paramita Sari, Jurnal Dasar Kualifikasi Curi Patologis (Kleptomania) Dalam
Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 02, No. 02 Tahun 2013
Supriyadi, Jurnal Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan Pelanggaran Dalam Undang-Undang Pidana Khusus, Mimbar Hukum, Vol. 27, No. 3 Tahun 2013
Bangkit Ary Prabowo, Jurnal Gambaran Psikologis Individu Dengan Kecenderungan Kleptomania, Jurnal Psikologi Undip, Vol. 13, No. 2 Tahun 2014
I Putu Yoga Ari Permana, Jurnal Analisis Yuridis Tindak Pidana Pencurian Terhadap Pelaku Yang Mengidap Kleptomania, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 8, No. 5 Tahun 2019
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2007, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta.
13
Discussion and feedback