GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI1

Oleh

Ida Ayu Dwi Wirautami2 Anak Agung Sri Utari3

Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan menganalisis permasalahan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya Pasal 12B tentang gratifikasi belum secara tegas menyebutkan layanan seksual sebagai salah satu bentuk gratifikasi. Rumusan masalah yang dapat ditarik dari penulisan ini adalah bagaimana sebaiknya gratifikasi seksual diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Supaya pemerintah dapat mengantisipasi gratifikasi seksual ini dengan lebih teliti dan segera merancang aturan khusus yang mampu mengatur secara keseluruhan aspek dalam gratifikasi seksual supaya tercapainya pemerintahan yang aman dan bersih di masa yang akan datang. Metode penulisan yang di gunakan adalah Metode yuridis normative karena adanya norma kabur khususnya mengenai gratifikasi dalam bentuk layanan seksual yang seringkali terjadi namun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum menyebutkannya secara tegas sebagai salah satu bentuk gratifikasi. Pemerintah Indonesia perlu melakukan perbandingan hukum dengan negara Singapura. Meskipun Singapura tidak memiliki aturan khusus mengenai gratifikasi seksual namun Singapura tetap bisa memidanakan pelaku gratifikasi seksual

Kata Kunci: Gratifikasi, Seksual, Tindak Pidana

ABSTRACT

This writing aims to analyse the problem in law No. 20 of 2001 about the amendment to Law No. 31 of 1999 on corruption eradication in particular section 12B on gratification has not been expressly Mention sexual services as one form of gratification. The formulation of problems that can be withdrawn from this writing is how should sexual gratification be governed by the legislation in Indonesia, particularly in the Corruption Eradication Act. In order for the government to anticipate this sexual gratification more thoroughly and immediately devise a special rule that is able to regulate the overall aspect in sexual gratification in order to achieve a safe and clean government in the future Come. The method of writing that is used is the juridical method of normative because the presence of vague norms in particular about gratification in the form of sexual services is often the case but the Corruption Eradication Act has not mentioned it expressly as a form of gratification. The Indonesian government needs to do comparisons of laws with Singapore. Although Singapore has no specific rules regarding sexual gratification but Singapore can still have a sexual gratification practitioner.

Keywords: gratification, sexual, criminal.

  • I.    PENDAHULUAN

    1.1    LATAR BELAKANG

Kejahatan korupsi merupakan tindak pidana yang sangat serius sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena dampak yang ditimbulkannya tidak hanya merugikan keuangan negara, menganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas,4 bahkan dapat merusak nilai-nilai demokrasi, sopan santun dan kepastian hukum.5

Istilah “gratifikasi” menjadi bagian yang baru dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.6 Salah satu bentuk kejahatan korupsi yang belakangan menjadi tren adalah gratifikasi dan gratifikasi yang belakangan banyak berkembang adalah gratifikasi seksual. Pemberian yang bertujuan sebagai ungkapan rasa terima kasih dan kasih sayang saja tentunya tidaklah dilarang, akan tetapi apabila perbuatan memberikan hadiah tersebut dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu seperti untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian tersebut tidaklah dibenarkan karena dilandasi oleh keinginan dan iktikad tidak baik dalam hal ini untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, dari pejabat dan penyelenggara Negara yang menerima hadiah.

Mengenai Tindak Pidana Gratifikasi tercantum dalam pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan isi pasal diatas menyebutkan gratifikasi sebagai pemberian hadiah dalam arti yang lebih luas diantaranya pemberian uang tunai, barang berharga, berbagai macam diskon, bonus, pinjaman bunga 0%, tiket gratis berwisata, fasilitas berbagai macam penginapan, berobat gratis dan fasilitas lainnya. Penerimaan gratifikasi yang dilakukan atau diterima diluar negeri atau didalam negeri oleh pejabat yang bersangkutan dengan

melakukan melalui media elektronik ataupun tanpa sarana media elektronik.

Berbicara gratifikasi tentu bentuk-bentuknya terbatas sebagaimana termakhtub dalam penjelasan Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara eksplisit Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mencantumkan layanan seksual sebagai salah satu bentuk gratifikasi, yang ada hanyalah frasa “fasilitas lainnya” dan frasa ini pun tidak dijelaskan lebih lanjut oleh UU Tipikor ataupun Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.01/2015 Tahun 2015 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan. Sehingga berdasarkan asas legalitas pelaku gratifikasi seksual tidak dapat dipidana, penulis berasumsi para koruptor menjadikannya sebagai celah untuk korupsi. Mungkin ketika mereka diberikan hadiah dalam bentuk uang/barang mereka akan menolak karena takut sebagai gratifikasi. Akan tetapi belum tentu untuk layanan seksual. Mengapa demikian? Secara eksplisit UU Tipikor tidak mencantumkan layanan seksual sebagai salah satu bentuk gratifikasi, yang ada hanyalah frasa “fasilitas lainnya” dan frasa ini pun tidak dijelaskan lebih lanjut oleh UU Tipikor ataupun Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.01/2015 Tahun 2015 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan. Sehingga berdasarkan asas legalitas pelaku gratifikasi seksual tidak dapat dipidana.

Salah satu contoh kasus yang dituliskan dalam Kompasiana pada tanggal 22 maret 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim Setyabudi di ruang kerjanya karena

menerima uang suap sebesar Rp 150 juta dari Asep Triana Hakim Setyabudi Tejocahyono juga diduga menerima gratifikasi seksual terungkap dari pemeriksaan terhadap pengusaha Toto Hutagalung (pelaku pemberi gratifikasi) Hakim Setyabudi selalu meminta disediakan layanan seksual setiap Jumat. Istilah hakim Setyabudi “sunah rasul”, kasus ini telah diputus tanggal 17 Desember 2013 lalu oleh hakim Pengadilan Tipikor Bandung dengan putusan 12 tahun pidana penjara dan denda 200 juta rupiah subsider 3 bulan penjara, sedikit menggelitik, dalam kasus ini ketika Jaksa Penuntut Umum mendakwa hakim Setyabudi dengan pasal suap dan pasal gratifikasi.7 Permasalahan yang timbul adalah dalam dakwaan Jaksa Penutut Umum tidak secara terang menyebut adanya penerimaan gratifikasi dalam bentuk layanan seksual padahal dalam fakta persidangan diketahui hakim setyabudi menerima dan meminta kepada pemberi gratifikasi untuk menyediakan layanan seksual setiap hari jumat.

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya Pasal 12B tentang gratifikasi belum secara tegas menyebutkan layanan seksual sebagai salah satu bentuk gratifikasi.

  • 1.2    RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dijumpai adanya permasalahan tentang bagaimana sebaiknya gratifikasi seksual diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

  • 1.3    TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk dapat mengetahui pengaturan gratifikasi yang berhubungan dengan seksual di masa yang akan datang.

  • II.    ISI MAKALAH

    2.1    METODE PENULISAN

Metode yuridis normative karena adanya norma kabur khususnya mengenai gratifikasi dalam bentuk layanan seksual yang seringkali terjadi namun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum menyebutkannya secara tegas sebagai salah satu bentuk gratifikasi.

  • 2.2    GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Dengan semakin majunya perkembangan zaman saat ini tidak hanya teknologi saja yang ikut berkembang tetapi gratifikasi pun juga ikut mengalami perkembangan. Dahulu yang meliputi gratifikasi adalah barang berharga dan hadiah berupa uang tunai tetapi pada zaman yang semakin maju ini munculah jenis gratifikasi seksual yang menjadi gratifikasi baru, yang disebut

sebagai gratifikasi seksual adalah perempuan sebagai obyek utama yang dapat dijadikan hadiah untuk maksud tertentu.

Ada beberapa kasus yang berkaitan dengan gratifikasi seksual diantaranya:

Kasus yang dituliskan dalam Suara.com

Direktur Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antarakomisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sujarnako menyebut jika seks sudah menjadi bagian dalam praktik korupsi. Dia pun menyebutkan siapa saja yang menggunakan jasa seks sebagai alat suap, hal ini dikatakan Sujarnako saat dirinya ditugaskan untuk menelusuri aliran dana pelaku korupsi, kata dia aparat penegak hukum di wilayah Indonesia timur pernah kedapatan melakukan gratifikasi seks. Statusnya PN (pengadilan negari) di daerah lah, yang saya cari 2-3 orang. Tapi itu kan fenomena gunung es saja, kata Sujarnako di Gedung Setneg, Jakarta, Rabu (26/8/2015). Dikatakan Sujarnako, oknum Pengadilan Negeri yang disebut melakukan gratifikasi seks telah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Meski tidak mau menyebutkan inisial dari oknum PN tersebut. Sujarnako mengatakan jika kasus tersebut terjadi sekitar tahun 2010-2011 silam.8

Pada masa sekarang ini suap atau gratifikasi dalam bentuk layanan seksual sangat hangat di bincangkan di masyarakat luas. Gratifikasi seksual dinilai menjadi salah satu modus baru yang diberikan dengan perempuan cantik sebagai obyek

utamanya untuk memperlancar suatu proyek atau suatu bisnis yang sedang dijalani oleh si pemberi gratifikasi seksual tersebut terhadap seseorang yang memiliki kuasa atau jabatan yang dimaksudnya. Mekanisme pertukaran hadiah menjadi unsur paling penting dalam sistem gratifikasi, maka dari itu muncul banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat umum dan penyelenggara negara seperti apakah pengertian dari gratifikasi dan apakah gratifikasi sama halnya dengan pemberian hadiah pada umumnya, atau apakah gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara berupa hadiah merupakan tindakan melawan hukum, apa saja bentuk gratifikasi yang dicegah dan diperbolehkan atau tidak melawan hukum. Semua pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sering didengar jika bersangkutan dengan hal gratifikasi.9

Dalam perkembangan gratifikasi pemberian hadiah tidak hanya berupa barang berharga atau uang tunai dapat juga disediakan dalam jenis layanan seksual. Berbicara mengenai gratifikasi dalam bentuk layanan seksual Indonesia belum mengaturnya secara tegas dalam Undang-undang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaku gratifikasi seksual sampai saat ini sulit terungkap, bahkan Mahkamah Konstitusi pun sudah banyak mengantongi laporan mengenai gratifikasi seksual yang sampai saat ini belum terpecahkan. KPK pun di desak agar segera membuat aturan khusus mengenai gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual. Sampai saat ini gratifikasi seksual pembuktiannya tergolong sulit karena melibatkan golongan elit dan bersifat tertutup.

Sebagaimana telah disebutkan pengaturan gratifikasi seksual memang belum diatur secara tegas dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejauh ini Undang– undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur tentang gratifikasi dan bentuk-bentuknya yang terbatas sebagaimana tertuang dalam Pasal 12B, hal mana dapat memberikan permasalahan secara yuridis dalam kasus korupsi yang ada gratifikasi seksualnya, maka dari itu diperlukannya suatu aturan khusus yang mampu mengatur secara menyeluruh dan terperinci serta mampu mengatur seluruh aspek dalam gratifikasi seksual, karena dianggap sangat perlu mengatur sanksi hukuman untuk pelaku gratifikasi seksual.

Dalam kasus yang telah disebutkan sebelumnya yaitu kasus Hakim Setyabudi, Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut pelaku dan penerima dalam konteks gratifikasi dan tidak jelas apakah gratifikasi yang dimaksud dalam tuntutan tersebut termasuk dalam gratifikasi seksual yang diterima oleh Hakim Setyabudi. Hal ini menimbulkan kekaburan pemahaman tentang layanan seksual yang diterima oleh hakim Setyabudi. Apakah layanan seksual tersebut termasuk dalam kontekstual gratifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi: a. pemberian hadiah berupa uang tunai

  • b.    pemberian hadiah berupa barang berharga

  • c.    berbagai macam diskon dari diskon tiket pesawat, belanja dan lainnya

  • d.    hadiah beruapa bonus

  • e.    pinjaman bunga 0%

  • f.    tiket gratis perjalanan wisata

  • g.    hadiah berupa fasilitas gratis berbagai macam penginapan dari hotel sampai villa

  • h.    berobat gratis dan fasilitas lainnya

Selain di Indonesia kasus pelayanan gratifikasi seksual juga gencar terjadi di beberapa negara bagian, maka dari itu Indonesia perlu melakukan perbandingan mengenai menjatuhkan sanksi bagi pelaku gratifikasi seksual contoh negara yang gencar memberantas gratifikasi seksual adalah Singapura dan Cina. Sudah banyak kasus gartifikasi yang terjadi di Singapura dan seluruh pelaku dalam kasus ini terjerat hukuman. Peraturan di Singapura yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Prevention of Corruption Act (chapter 241) menjelaskan gratifikasi sebagai berikut:

  • a.    Hadiah berupa uang seperti bantuan pinjaman bonus, kesejahteraan dalam bentuk appaun atau keperluan lainnya dalam berbagai bentuk appaun mau itu bergerak atau yang tidak bergerak.

  • b.    Setiap kontra, pekerjaan dan kantor.

  • c.    Debit dari tiap bantuan atau kewajiban atau komitmen baik dengan cara menyeluruh atau sebagian.

  • d.    Berbagai pelayanan lainnya yang mendukung dari deskripsi appaun dari sanksi atau cacat hukum yang terjadi.

  • e.    Dalam makna ayat (a), (b), (c) dan (d), melakukan tawaran atau janji gratifikasi apapun.

Dalam penjabaran diatas menyatakan jika Singapura belum membuat sanksi secara akurat tentang jasa pelayanan seksual dalam bagian tindak pidana gratifikasi tapi faktanya penegak hukum disana mampu memberikan hukuman kepada pelaku gratifikasi seksual yang terdapat di dalam Prevention of Corruption Act (chapter 241) dengan mengembangkan arti gratifikasi yang terdapat didalamnya. “dalam bentuk apa pun, baik bergerak maupun tidak bergerak” kalimat tersebutlah yang menjadi patokan hakim dalam menjalankan tugasnya. Sehingga gratifikasi seksual termasuk dalam bentuk gratifikasi.

Di Singapura hakim menganut sistem hukum common law, dimana sistem hukum common law berasal pada adat istiadat atau kebiasaan masyarakat yang diperluas didasarkan pada keputusan pengadilan.10 Dalam menyelesaikan suatu perkara atau kasus yang berasal dari hukum tidak tertulis yang diperluas dan dipersatukan dalam putusan-putusan pengadilan.11

Bercermin dari sistem hukum di Singapura yang berkaitan dengan gratifikasi seksual maka aparat penegak hukum di Indonesia dapat melaksanakan penafsiran komparatif, karena Singapura mampu mempidanakan pelaku gratifikasi seksual. Dari penafsiran komparatif yang dilakukan oleh negara Singapura seharusnya penyelenggara negara di Indonesia mendapatkan tanggapan yang akurat menyinggung perbuatan yang semestinya dilakukan pada pengaturan, pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana gratifikasi seksual di masa yang akan datang.

  • III. PENUTUP.

    3.1    KESIMPULAN.

Kesimpulan yang didapat dari pembahasan diatas adaah perbuatan seseorang dalam memberikan hadiah tetapi untuk niat tertentu yang tidak diketahui oleh si penerima. Maksud tersebut sangatlah tidak baik jika pemberian hadiah kepada pejabat negara mendapatkan hadiah dari teman atau kerabat untuk niat tertentu seperti untuk memperlancar bisnis atau usaha yang dilakukan si pemberi. Pada perkembangan zaman yang semakin maju ini gratifikasi juga mengalami perkembangan yaitu munculnya gratifikasi seksual. Di Indonesia gratifikasi seksual belum diatur secara khusus. Sehubung dengan itu untuk mengatasi kekaburan norma dalam hal gratifikasi seksual, pemerintah Indonesia perlu melakukan perbandingan hukum dengan negara Singapura. Meskipun Singapura tidak memiliki aturan khusus mengenai gratifikasi seksual namun Singapura tetap bisa memidanakan pelaku gratifikasi seksual.

  • 3.2    SARAN.

Di masa mendatang, pembentukan undang-undang perlu mempertimbangkan untuk memasukkan layanan seksual sebagai salah satu bentuk gratifikasi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    BUKU.

Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 175-176

Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 33.

Doni Muhardiansyah et al, 2010, Buku Saku: Memahami Gratifikasi, Cet. Ke-1, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Hlm. 1.

Evi Hartanti, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.1.

  • B.    JURNAL dan KARYA ILMIAH.

Saiful Akbar, Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Vol. IV, Nomor 3, (diakses Senin 19 Agustus 2019).

Dewi Novita Sari, Tindak Pidana Korupsi Dalam Bentuk Gratifikasi Seksual, Vol. II, Nomor 3, (diakses Rabu 21 Agustus 2019).

Amirotul Azizah, 2003, Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Gartifikasi Seksual, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 01, Nomor 4, (diakses Selasa 24 September 2019)

I Gusti Agung Satria Wedantha, Penyuapan Sebagai Bentuk Grtaifikasi Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 04, Nomor 3, (diakses Jumat 15 November 2019)

  • C.    INTERNET

Edi Boni Mantolas, 2017, Gratifikasi Seksual antara Ada dan Tiada (Sebuah Refleksi Hukum), URL:

https://www.kompasiana.com/ediboni/598de76ed2808b112800cf

93/gratifikasi-seksual-antara-ada-dan-tiada-sebuah-refleksi-hukum?page=all, (diaksek tanggal 24 September 2019).

Agung Sandy Lesmana, 2015, Ini Dia Aparatur Negara yang

Menikmati Gratifikasi Seks,

URL:https://www.suara.com/news/2015/08/26/135840/ini-dia-aparatur-negara-yang-menikmati-gratifikasi-seks, diakses tanggal 4 Oktober 2019.

  • D.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

15