PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA SEKS TANPA PENETRASI (DRY HUMPING) TERHADAP ANAK DI INDONESIA

Oleh:

I Dewa Gede Ananda Agishswara∗∗ Anak Agung Istri Ari Atu Dewi∗∗∗ Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Tulisan ini berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Seks Tanpa Penetrasi (Dry Humping) Terhadap Anak di Indonesia” akan membahas mengenai pengertian dry humping, pengaturan hukum pidana mengenai dry humping di Indonesia serta bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dry humping terhadap anak. Bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan pidana dry humping terhadap anak di Indonesia dan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif yakni, metode yang dipergunakan di dalam penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada dan mengkaji kekosongan norma yang ada mengenai dry humping ini. Hasil yang didapat adalah pengaturan mengenai dry humping terhadap anak diatur dalam 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta pasal 76E Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang kemudian saya singkat sebagai UU Perlindungan Anak. Pertanggungjawaban Pidana pelaku Dry Humping terhadap anak diatur pada pasal pasal 82 Peraturan Pemerintah Perlindungan Anak yang intinya menyatakan bahwa barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur di dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana yakni pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda maksimal 5 miliar rupiah.

Kata kunci: Pelecehan Seksual, Anak, Seks Tanpa Penetrasi

Penulisan karya ilmiah yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana (Dry Humping) Terhadap Anak Di Indonesia” adalah karya ilmiah diluar ringkasan skripsi.

∗∗ I Dewa Gede Ananda Agishswara merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi : ananda.agishwara@gmail.com

∗∗∗ Anak Agung Istri Ari Atu Dewi merupakan Dosen Fakultas Hukum UniversItas Udayana

Abstract

This paper entitled "Criminal Accountability For Perpetrators Of Criminal Acts Sex Without Penetration (Dry Humping) Against Children In Indonesia" will discuss about what is dry humping, how the criminal law setting regarding dry humping in Indonesia as well as how the criminal liability of the perpetrator dry humping against children. It aims to find out about the criminal setting dry humping against children in Indonesia and criminal being dropped to the perpetrators who commit such criminal acts. The research method used was the normative methods or ways used in legal research conducted by way of researching the existing library materials and reviewing existing norms regarding vacuum dry humping. The results obtained are setting about dry humping against children is regulated in article 292 of the book the laws of criminal law as well as article 76E Act No. 35 of the year 2014 about changes in the Law Number 23 of the year 2002 on the protection of the Child then I briefly as a child protection ACT. The criminal liability of the perpetrator Dry Humping against children is regulated in section of article 82 of regulation the Government Substitute law number 1 Year 2016 On the second amendment in the Law Number 23 of the year 2002 on the protection of the child's bottom line States that for every person who violates the provisions as referred to in article 76E are convicted with imprisonment the shortest 5 years and the longest 15 years and a maximum fine of 5 billion.

Keyword: Sexual harassment, Child, Dry Humping

1.PENDAHULUAN

  • 1.1    Latar Belakang

Anak adalah dasar yang menentukan kemajuan suatu bangsa dimasa yang akan datang. Ini karena anak iniliah yang nantinya akan menjadi penerus bangsa sehingga diperlukan persiapan kepada anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik dalam perkembangan moral, fisik/motorik, kognitif, bahasa, maupun dalam berinteraksi sosial dan control emosi.1 Semua anak memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan serta perlindungan yang layak, dan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Akhir-akhir ini banyak sekali kasus-kasus mengenai pelecehan seksual. Dan sering sekali yang menjadi korban dalam

kasus tersebut adalah anak. Ini terjadi karena anak belum dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga dianggap sebagai sasaran empuk bagi pelaku untuk melampiaskan nafsu bejatnya. KPAI sendiri telah mendata bahwa kasus pelecehan seksual terhadap anak sangat sering terjadi dari waktu ke waktu. Banyak bentuk-pelecehan seksual yang dilakukan pelaku kepada korban.

Adapun salah satu bentuk dari pelecehan seksual adalah dry humping. Dry humping dikenal dengan istilah frottage, adalah suatu perbuatan gerakan seks dengan cara saling bergesekan yang bertujuan mendapatkan kepuasan seks tanpa adanya penetrasi dan juga tanpa membuka pakaian. Bisa dikatakan bahwa seperti tindakan berpura-pura melakukan hubungan seks tetapi masih mengenakan pakaian masing masing. Hal ini lah yang menyebabkan dry humping ini susah dalam pertanggungjawabannya dan perlu peraturan yang mengatur mengenai dry humping ini.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut timbulah beberapa permasalahan yakni :

  • 1.    Bagaimana Pengaturan mengenai Dry Humping terhadap anak menurut hukum pidana di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Dry Humping terhadap anak

  • 1.3.    Tujuan

  • 1.    Untuk mengetahui Pengaturan mengenai Dry Humping menurut hukum pidana di Indonesia

  • 2.    Untuk mengetahui bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Dry Humping

  • II.    ISI

    • 2.1.    Metodologi

      • 2.1.1.    Jenis Penilitian

Metode penelitian normatif adalah jenis metode penelitian penilitian yang digunakan untuk mengolah tulisan ilmiah ini. Metode penelitian normatif adalah suatu metode atau teknik yang dipakai untuk melakukan suatu kajian hukum, teknik metode ini adalah dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka. Bahan pustaka tersebut dapat berupa bahan hukum primer seperti undang-undang, bahan hukum sekunder seperti jurnal-jurnal ilmiah, maupun bahan hukum tersier seperti ensiklopedia.

  • 2.1.2.    Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, yakni dilakukan dengan meneliti dan menelusuri semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti.

  • 2.1.3.    Sumber Data

Sumber data dan data-data yang digunakan menunjang pembahasan terhadap permasalahan yang dijadikan tersebut didapatkan atau bersumber dari :

  • 1.    Data sekunder

Data data ini didapatkan dengan cara meneliti dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan saling berkaitan, seperti KUHPidana, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan didukung dengan kepustakaan, jurnal hukum, buku buku dan internet.

  • 2.1.4    Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan teknik pengumpulan data ini, semua data tersebut didapatkan dengan teknik kepustakaan. Teknik Kepustakaan merupakan usaha-usaha dilakukan oleh para peneliti untuk mendapatkan segala informasi yang konkrit dan sesuai dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti.

  • 2.1.5    Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Ketika data-data yang dicari dan dibutuhkan telah dimiliki, lalu data tersebut diolah dan dianalisis dengan memakai teknik kualitatif. Teknik pengolahan data secara kualitatif adalah, suatu teknik yaitu dengan menggunakan data data yang memiliki kualitas baik yang bertujuan dapat menjawab permasalahan yang dipaparkan.

Analisa data dilakukan dengan cara deskritif analisis yang memiliki pengertian yakni suatu cara yang penyajiannya dilakukan dengan jalan menyusun secara sistemis hasil-hasil analisis sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang mendekati kebenaran ilmiah.

  • 2.2.1    Pengaturan mengenai Dry Humping Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana Di Indonesia

Pelecehan seksual adalah satu dari sekian kasus yang banyak menimpa anak-anak.2 Ini terjadi karena anak-anak belum bisa untuk melindungi dirinya sendiri. Rangsangan seksual yang ditujukan kepada anak yang dilakukan orang dewasa atau remaja yang lebih tua merupakan suatu pelecehan seksual.3 Pelecehan seksual pada anak mendapatkan perhatian dari berbegai elemen masyarakat ini disebabkan akibat dari kekerasan seksual pada anak adalah tingkat kekerasan paling tinggi dibandingkan dengan kekerasan yang dialami oleh orang dewasa.4 Istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya

mengenal istilah perbuatan cabul. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pelaku pelecehan seksual berarti orang yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara perse-tubuhan antara laki-laki dan perempuan.5

Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), Perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293).

Di Indonesia sendiri istilah dari Dry Humping ini masih terdengar asing di telinga masyarakat. Dry humping dikenal dengan istilah frottage, adalah suatu perbuatan gerakan seks dengan cara saling bergesekan yang bertujuan mendapatkan kepuasan seks tanpa adanya penetrasi dan juga tanpa membuka pakaian .

Dry Humping adalah suatu tindak pidana yang termasuk ke dalam pelecehan seksual. Tindak pidana merupakan suatu proses perbuatan yang dilarang karena dilanggarnya aturan hukum dan memiliki ancaman sanksi terhadap orang yang melanggar aturan tersebut. Dry Humping dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana karena telah memenuhi unsur -unsur suatu tindak pidana. Menurut Prof. Simons Unsur - unsur tindak pidana adalah adanya suatu perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Ke empat nsur-unsur tindak pidana dry humping sebagai berikut :

  • 1.    Suatu perbuatan manusia

Unsur Perbuatan Manusia terpenuhi dalam dry humping. Perbuatan itu berupa melakukan gesekan di sekitar daerah genital tanpa melakukan penetrasi.

  • 2.    Diancam dengan pidana

Dry Humping ini dapat dipidana karena perbuatan tersebut berupa perbuatan asusila sehingga dapat diancam pidana tentang kejahatan terhadap kesusilaan.

  • 3.    Melawan hukum

Dry Humping merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum karena tidak sesuai dengan rasa keamanan dan norma-norma kesopanan yang ada dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.

  • 4.    Dilakukan dengan kesalahan

Menurut Prof.Simons kesalahan yakni adanya suatu keadaan mental pada pelaku yang melakukan suatu tindak pidana dan ada hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, dan akhirnya pelaku tersebut dapat dipidana karena melakukan tindak pidana tersebut.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau lebih dikenal dengan istilah KUHP, tidak tertulis secara jelas pengaturan mengenai dry humping ini. Hanya dituliskan secara umum dalam pasal 292 ayat (1) dengan formulasi; “barangsiapa yang melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawinkan.” Karena anak yang menjadi korban, maka otomatis lex specialis nya adalah Undang-Undang Perlindungan Anak.

Peraturan mengenai perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (yang selanjutnya di singkat sebagai UU Anak). Anak menurut UU tersebut, adalah ketika orang tersebut dibawah 18 tahun, yang masih dalam kandungan pun dapat dikatakan sebagai anak.6 Di dalam peraturan ini tidak diatur juga secara khusus mengenai dry humping. Hanya mengatur pencabulan secara umum seperti diatur dalam pasal 76E UU Anak yang intinya menyatakan bahwasannya setiap orang dilarang melakukan kekerasan ataupun ancaman untuk melakukan kekerasan. Memaksa, serta menipu dan berbohong kepada anak atau membujuk anak agar mau perbuatan cabul tersebut dilakukan.”

Berdasarkan kedua peraturan tersebut yakni KUHP dan UU Perlindungan Anak, menyatakan bahwa pasal tersebut mengatur mengenai perbuatan cabul. Apakah dry humping termasuk perbuatan cabul?. Agar kita tahu bahwa perbuatan dry humping dapat dimasukkan kedalam kategori “perbuatan cabul” yang dimaksud pada pasal tersebut, maka kita dapat mengacu pada bagian penjelasan R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” tentang pembahasan Pasal 289 KUHP.

Menurut Soesilo perbuatan cabul merupakan semua perbuatan yang ruang lingkup nya dilakukan disekitar lingkungan kelamin atau nafsu birahi dan bertujuan agar tercapainya kenikmatan seksual sehingga perbuatan tersebut melanggar kesusilaan (kesopanan). Dry Humping merupakan suatu perbuatan yang

mengekpresikan gerakan seks yang dilakukan dengan saling menggesek yang bertujuan untuk mencapai kepuasan seks tanpa sekalipun adanya suatu penetrasi. Berdasarkan pengertian tersebut di dapat unsur-unsur nya yakni:

  • 1.    Dengan cara menggesek.

  • 2.    Bertujuan untuk meraih kenikmatan seksual.

  • 3.    Tanpa melakukan penetrasi.

  • 4.    Masih mengenakan pakian.

Berdasarkan hal tersebu dry humping merupakan tindakan yang melanggar kesusilaan, dan bisa disebut dengan perbuatan cabul. Berdasarkan hal tersebu dry humping merupakan tindakan yang melanggar kesusilaan, dan bisa disebut dengan perbuatan cabul bukan persetubuhan atau perkosaan. Karens pengertian persetubuhsn atau perkosaan rumusan KUHP adalah sesuai Arrest Hoge Raad disebutkan :7

Tindakan memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan. Oleh karena itu, apabila dalam peristiwa perkosaan walaupun alat kelamin pria telah lama dimasukkan ke dalam kemaluan perempuan, air mani laki-laki belum keluar hal itu belum bisa disebut sebagai perkosaan, tetapi bisa disebut sebagai percobaan perkosaan.

Pengertian persetubuhan tersebut masih pengertian dari aliran klasik dan Menurut teori modern tanpa mengeluarkan air mani pun maka hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai persetu-buhan. Bedasarkan hal tersebut baik teori klasik maupun modern menyatakan persetubuhan atau perkosaan harus dilakukan

dengan memasukkan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita. Ini tidak sesuai dengan dry humping karena alat kelamin pria hanya digesekkan ke alat kelamin wanita dan tidak sampai dimasukkan.

Sehingga pasal 292 KUHP dan Pasal 76E UU Anak dapat diterapkan. Namun pengaturan dalam pasal tersebut kurang tegas mengatur mengenai dry humping ini. Dan juga pembuktian dry humping ini susah dilakukan karena tidak adanya penetrasi. Sehingga perlu dibuatkan aturan khusus mengenai dry humping ini dan pelaku dapat dihukum seadil adilnya. Karena pasal ini bisa menjadi pasal karet.

  • 2.2.2    Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana DryHumping Terhadap Anak Dibawah Umur

Hukum pidana merupakan suatu aturan yang berisi pidana - pidana yang dikenakan kepada seseorang yang terbukti melakukan suatu tindak pidana. Untuk dapat dipidananya seseorang hal yang dilihat adalah orang tersebut telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, orang tersebut telah terbukti bersalah, serta dapat mempertanggungkan perbuatannya. Di dalam hukum pidana dapat mempertanggungkan jawab atas perbuatannya disebut dengan istilah pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana memiliki beberapa istilah. Seperti dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah teorekenbaard-heid dan bahasa Inggris nya dikenal dengan sebutan criminal responsibility. Pertanggungjawaban pidana memiliki pengertian yakni suatu tindakan yang dilarang oleh masyarakat dan harus dipertanggungjawabkan pada orang yang melakukan perbuatan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilarang tersebut pada orang melakukan perbuatan itu. Pertanggungjawaban

pidana didefinisikan oleh Simon sebagai suatu keadaan kejiwaan sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik yang ditinjau dari perspektif umum maupun dari perspektif orangnya dapat dibenarkan.8 Dengan kata lain seseorang pelaku tindak pidana dianggap mampu bertanggung jawab hanya jika keadaan kejiwaannya sehat, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

  • 1)    mempunyai kemampuan untuk menyadari atau mengetahui bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan hukum dan

  • 2)    mempunyai kemampuan di dalam menentukan kehendaknya sendiri sesuai dengan kesadarannya tersebu

Untuk menilai seseorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana atau tidak harus memperhatikan syarat-syarat terse-but.Cara mempertanggung jawabkan perbuatannya adalah dengan cara dijatuhkan pidana.

Bagian terpenting dalam hukum pidana adalah penjatuhan pidana atau sering disebut dengan pemidanaan, karena pemidanaan ini adalah puncak atau klimaks dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana.9A criminal law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal qonsequences following form that guilt”.10 Dapat diterjemahkan sebagai hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Karena itulah orang yang melakukan tindak pidana harus dipidana agar ada efek jera dari pelaku.

Tindak Pidana berupa Dry Humping terhadap anak ini diatur dalam pasal 76E UU Anak. Pelaku yang melaukukan tindak pidana tersebut akan dijatuhkan pidana sesuai dengan pasal 82 Peraturan Pemerintah Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat sebagai PP anak) yang intinya menyatakan bahwa bagi semua orang yang melanggar Pasal 76E dipidana dengan pidana yakni pidana penjara minimal 5 tahun serta maksimal 15 tahun dan denda maksimal 5 miliar rupiah. Pidana penjara dapat ditambah 1/3 jika pelaku adalah keluarga, sanak keluarga, wali, babysitter, yang berprofesi di bidang pendidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau pelaku yang melakukan dari satu orang dan dilakukan secara bersama-sama, maka dari ancaman pidana. Jika pelaku merupakan residivis dari kejahatan yang sama maka pidana yang diancamkannya akan ditambah 1/3. Jika dalam tindak pidana tersebut korban dari pelaku ada lebih dari satu orang serta mengakibatkan luka berat, gangguan dalam mentalnya, tidak berfungsinya organ reproduksi, dan/atau hilangnya nyawa maka pidana yang diancamkannya akan ditambah 1/3.

Selain pidana tersebut pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa identitas dirinya akan diumumkan. Pelaku juga dapat dikenakan tindakan yakni pemberian rehabilitasi dan pemasangan alat deteksi elektronik. Pidana tambahan tidak dikenakan jika pelaku masih anak anak.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, secara garis besar dapat ditarik menjadi dua kesimpulan yakni,

  • 1.    Dry humping dikenal dengan istilah frottage, adalah suatu perbuatan gerakan seks dengan cara saling bergesekan yang

bertujuan mendapatkan kepuasan seks tanpa adanya penetrasi dan juga tanpa membuka pakaian. Bisa dikatakan sebagai perbuatan pura pura melakukan hubungan seks sehingga tetap memakai pakiannya. Dasar hukum mengenai dry humping terhadap anak diatur dalam Pasal 292 KUHP dan Pasal 76E UU Anak walaupun pengaturan mengenai dry humping ini belum tegas diatur.

  • 2.    Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dry humping terhadap anak ini diatur dalam pasal 82 PP anak. Intinya menyatakan bahwa pelaku dipidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda paling banyak 5 miliar rupiah dan dapat diberikan tindakan berupa pemberian rehabilitasi dan dipasang alat deteksi elektronik.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Agar pengaturan mengenai dry humping dipertegas lagi karena pengaturan nya yang mengatur belum secara rinci mengatur mengenai sehingga nantinya pidana yang dijatuhkan kepada pelaku setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Sehingga nantinya tindak pidana ini tidak dijadikan pasal karet oleh pelaku.

  • 2.    Pidana yang dijatuhkan kepada pelaku diperberat sehingga orang-orang akan berpikir ulang untuk melakukan perbuatan tersebut. Selain itu juga agar pelaku dan korban mendapatkan keadilan yang layak.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Andrew Ashworth, 1991, Principle of Criminal Law,

Oxford Clarendon Press.

Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa

Kesalahan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Jurnal Ilmiah :

Ermaya Sari Bayu Ningsih, Sri Hennyati, Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kabupaten Karawang, Jurnal Bidan “Midwife Journal”, Vol. 4 No. 2, 2018.

Febrio junus Petrobas Abia, A.A. Ngurah Wirasila, Pengaturan Hak Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perundang-Undangan, Maret 2018, Kertha Wicara, Vol.7 No.2, 2018.

Khairida Khairida, Syahrizal Syahrizal, dan Mohd. Din, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual Pada Anak Dalam Sistem Peradilan Jinayat, Syiah Kuala Law Jurnal, Vol.1 No.1, 2018.

Komang Alit Antara, I Gede Artha, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pencucian Uang Melalui Transaksi Game Online, Kertha Wicara, Vol.8 No.1, 2019.

Marcheyla Sumera, Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan, Lex et Societatis, Vol.1 No.2, 2013.

Ni Made Ayu Dewi Mahayanti, Putu Tuni Cakabawa Landra, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual, Maret 2019, Kertha Wicara, Vol. 8 No. 1, 2019.

Supanto, Pelecehan Seksual Sebagai Kekerasan Gender: Antisipasi Hukum Pidana, Mimbar Jurnal

Sosial dan Pembangunan, Vol. 20 No. 4, 2004.

Wira Pratiwi, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Secara Keberlanjutan, Hasanudin Law Review, Vol.8 No.1, 2019.

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

15