ANALISIS TERHADAP KETERANGAN SAKSI KORBAN ANAK PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI AMLAPURA NOMOR 50/PID.SUS/2017/PN.AMP
on
ANALISIS TERHADAP KETERANGAN SAKSI KORBAN ANAK PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI AMLAPURA NOMOR 50/PID.SUS/2017/PN.AMP1 Oleh:
Ayu Mas Mega Jeni2 I Gusti Ketut Ariawan3
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekuatan keterangan saksi korban anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor 50/Pid.sus/2017/PN.Amp. serta apa dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku berupa produk prilaku hukum seperti undang-undang. Serta pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (The Statute Approach), pendekatan kasus (The Case Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterangan dari saksi korban anak pada tindak pidana pencabulan tidak memiliki kekuatan pembuktian, jadi keterangan anak sebagai saksi korban sifatnya hanya menjadi data pendukung atau sebagai keyakinan hakim dalam memutus perkara namun pada “Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor Nomor 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp.” keterangan saksi korban anak merupakan keterangan utama dan dapat dikatakan saksi korban anak sebagai saksi kunci yang sangat mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus perkara karena saksi-saksi yang disumpah merupakan orang tua kandung korban dan tidak melihat ataupun merasakan secara langsung kejadian tersebut melainkan menerima penjelasan dari saksi korban, maka keterangan saksi korban anak dianggap menjadi acuan atau dijadikan dasar alat bukti bagi keterangan saksi yang sah, karena pada “Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memperbolehkan hal tersebut namun ini bersinggungan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP”.
Kata Kunci : Saksi Korban Anak, Tindak Pidana Pencabulan
Abstract
This paper aims to find out the strength of the witness testimony of child victims in Amlapura District Court Decision Number 50 / Pid.sus / 2017 / PN.Amp. as well as what is the basis for the judge's judgment in imposing a crime. This research is a normative juridical study, which examines the applicable legal provisions in the form of legal behavior products such as the law. And the approach used in this research is the statute approach (The Statute Approach), the case approach (The Case Approach). The results of the study showed that the testimony of child victim witnesses in the crime of sexual abuse did not have the strength of proof, so the testimony of children as witnesses of victims was only a supporting data or as a judge's conviction in deciding a case but in "Amlapura District Court Decision Number 50 / Pid.Sus /2017/PN.Amp. "Child witness testimony is the main information and it can be said that child victim witness is a key witness that greatly influences the judge's conviction in deciding the case because the witnesses who are sworn are the biological parents of the victim and do not see or feel directly the incident but received an explanation from the victim witness, the witness testimony of a child victim is considered to be a reference or used as a basis for evidence for a valid witness statement, because in "Article 1 paragraph (5) of Law Number 11 Year 2012 concerning the Criminal Justice System for Children this however is tangent to Article 185 paragraph (7) Criminal Procedure Code ".
Keywords : Witness Of Child Victims, Criminal Acts Of Molestation
Salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan terhadap anak ialah pencabulan yang diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menetapkan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”
Saksi memiliki peran yang sangat penting pada persidangan karena keterangan saksi dapat dijadikan dasar dan acuan dalam memperkuat keputusan hakim dipersidangan. “Hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum”.4
Keterangan saksi yang diberikan oleh orang yang sudah dewasa dan telah memenuhi syarat tidak akan menjadi perdebatan, hanya saja bagaimana apabila sebuah keterangan saksi diberikan oleh saksi anak. Kesaksian dari saksi anak tersebut dapat memiliki kekuatan pembuktian dan dapat dijadikan alat bukti yang sah atau tidak. Karena berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menetapkan bahwa “anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang disengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri”. Itu artinya keterangan dari anak yang menjadi saksi maupun korban keterangannya dapat dijadikan alat bukti yang sah tanpa diadakannya sumpah terlebih dahulu, namun dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP, suatu keterangan saksi dapat dianggap sah apabila telah memenuhi ketentuan yang berlaku yakni sebelum memberikan keterangan, seorang saksi harus terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji. Serta yang tercantum dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP “keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Dalam kasus pencabulan hakim harus mendengarkan semua keterangan saksi termasuk juga keterangan saksi korban. Semua saksi akan disumpah terlebih dahulu agar keterangannya dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, sedangkan keterangan saksi korban yang masih dibawah umur memberikan kesaksian tanpa diadakannya sumpah terlebih dahulu sehingga masih diragukan dan belum terbukti kebenarannya, akan tetapi kejadian pidana tersebut hanya diketahui oleh dirinya sendiri atau saksi korban anak dan tersangka saja, hal ini menjadi rancu ketika saksi korban yang menjadi korban harus disumpah tetapi ternyata keterangan tidak dibawah sumpah. Padahal keterangan saksi korban disini untuk memperberat suatu putusan pidana.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan karya ilmiah dengan judul “ANALISIS TERHADAP KETERANGAN SAKSI KORBAN ANAK PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI AMLAPURA NOMOR 50/PID.SUS/ 2017/PN.AMP”
-
1. Bagaimana kekuatan keterangan saksi korban anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor
50/Pid.sus/2017/PN.Amp.?
-
2. Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan keterangan saksi korban anak pada Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor 50/Pid.sus/2017/PN.Amp.?
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahani dan memberikan kontribusi keilmuan terkait kekuatan keterangan saksi korban anak dalam pembuktian perkara pidana pencabulan dalam studi kasus di Pengadilan Negeri Amlapura.
-
1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis kekuatan keterangan saksi korban anak dalam tindak pidana pencabulan yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Amlapura.
-
2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan keterangan saksi korban anak pada tindak pidana pencabulan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Amlapura.
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah “penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku berupa produk prilaku hukum seperti undang-undang.”5 Serta pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan undang-
undang (The Statute Approach), pendekatan kasus (The Case Approach).
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari proses penelitian dan wawancara di Pengadilan Negeri Amlapura, serta data sekunder dimana dengan diperoleh dari sumber bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya.6
-
2.2 Hasil Dan Pembahasan
-
2.2.1 Kekuatan Keterangan Saksi Korban Anak Dalam Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor 50/Pid.Sus/ 2017/PN.Amp.
-
Kekuatan pembuktian saksi korban anak.
-
a. Dilihat dari sah tidaknya keterangan saksi
-
1. Saksi menerangkan yang sebenarnya tanpa mengucapkan sumpah atau janji, karena saksi masih berumur dibawah 15 tahun dan saksi merupakan pengecualian terhadap kewajiban disumpah sebagaimana tertulis dalam Pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
-
2. Keterangan yang diberikan saksi mengenai peristiwa yang saksi dengar, lihat atau alami sendiri dengan menyebut secara jelas pengetahuannya. Saksi merupakan korban dari peristiwa pidana itu sendiri. Sehingga saksi memberikan keterangan mengenai peristiwa tersebut sebagaimana yang ia alami sendiri.
-
3. Keterangannya dinyatakan di sidang pengadilan tetapi tidak dihadapan terdakwa.
Karena syarat-syarat tersebut tidak semuanya dipenuhi, maka keterangan tersebut bukanlah merupakan alat bukti yang sah, dan keterangan saksi tersebut tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
-
b. Dilihat dari ada tidaknya penyesuaian
Mengenai kebenaran keterangan saksi, maka berdasar pada Pasal 186 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Hakim menilai bahwa keterangan saksi korban :
-
1. Adanya persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
-
2. Adanya persesuaian antara keterangan saksi denan alat bukti lain
Walaupun terdapat persesuaian, namun karena saksi tidak memenuhi syarat materiil, maka hakim dapat tidak mengenggap keterangan dari saksi korban anak sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.
Alat bukti yang diajukan jaksa penuntut umum adalah berupa alat bukti keterangan saksi dan alat bukti surat. Alat bukti keterangan saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum berjumlah 4 orang yaitu Saksi korban (tanpa disumpah), saksi kakak kandung korban (tanpa disumpah), saksi ibu kandung korban dan saksi ayah kandung korban.
Berdasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor 50/Pid.sus/2017/PN.Amp, jika disimpulkan keterangan saksi korban anak tidak memiliki kekuatan pembuktian melainkan keterangannya tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah mengingat saksi korban anak disini merupakan anak yang masih belum cukup umur atau dibawah umur, salah satu rumusan dalam Pasal 171 huruf a KUHAP yakni dijelaskan bahwa saksi yang diperbolehkan tidak di sumpah adalah anak yang masih berumur
dibawah lima belas tahun serta “Pasal 185 ayat (7) juga menjelaskan keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti” lalu apabila dihubungkan dengan teori dari Darwan Prints, bagaimana jika keterangan utama terletak pada saksi korban yang masih dibawah umur? Dan bagaimana jika saksi lainnya yang disumpah tidak melihat ataupun merasakan secara langsung kejadiannya dan keterangannya berasal dari saksi korban anak? Apakah saksi yang tidak melihat, mendengar dan merasakan secara langsung kejadian dari sebuah tindak pidana dapat dikategorikan sebagai seorang saksi?
Pada tanggal 25 Februari 2019 dalam sebuah wawancara bersama ibu Lia Puji Astuti, S.H, selaku Hakim Pengadilan Negeri Amlapura, beliau menjelaskan bahwa dalam Pasal 184 KUHAP terdapat 5 alat bukti yang sah salah satunya adalah petunjuk, maka dalam hal ini keterangan anak sebagai saksi korban itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena keterangan anak sebagai saksi korban sifatnya hanya menjadi data pendukung atau petunjuk. Dengan demikian data pendukung tersebut akan kembali dikaitkan dengan keterangan saksi dan bukti-bukti lainnya. Namun dalam Putusan Nomor 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp. ini posisi anak sebagai saksi korban adalah untuk memperberat putusan karena saksi korban anak merupakan saksi kunci dan keterangannya diangap penting tidak sekedar keterangan tambahan melainkan keteranan yang utama. Karena hanya saksi korbanlah yang melihat, mendengar dan merasaskan sendiri kejadian tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas jelaslah bahwa walaupun secara normatif keterangan anak bukanlah merupakan alat bukti
yang sah, tetapi sebelumnya dijelaskan bagaimana menilai kebenaran keterangan saksi dan menggunakan saksi yang tidak disumpah, dalam hal ini ternyata majelis hakim menilai bahwa keterangan anak sebagai korban memiliki nilai kekuatan pembuktian sehingga membentuk suatu keyakinan hakim yang memiliki peranan dalam putusan yang dijatuhkan. Dengan demikian sejauh mana keterangan saksi korban anak dapat digunakan sebagai alat bukti atau terpenuhinya syarat materiil dan formil keterangan keterangan saksi anak, ternyata dalam praktiknya hal itu semua tergantung pada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut apakah akan menggunakan atau mengenyampingkan keterangan saksi korban anak tersebut.
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan dari teori/doktrin dan juga dari peraturan perundang-undangan serta hasil wawancara sebagaimana keterangan saksi korban anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor: 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp jelas tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah karena keterangan saksi korban anak tidak memiliki kekuatan pembuktian, meski saksi korban anak memenuhi syarat materiil yang dijelaskan pada “Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu saksi korban tersebut melihat sendiri, mengalami sendiri dan mendengar sendiri serta keterangan tersebut diberikan dalam dipersidangan dan juga keterangananya bersesuaian dengan keterangan saksi lainya”, tetapi saksi korban anak tidak memenuhi syarat Formil sebagaimana disebutkan dalam “Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing” akan tetapi pasal tersebut dikecualikan oleh “Pasal 171 KUHAP yaitu salah satu rumusanya menyatakan bahwa saksi anak
yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin tidak disumpah”. Tetapi tetap saja keterangan saksi korban anak tidak bisa dijadikan suatu alat bukti yang sah untuk mengungkapkan kesalahan terdakwa di dalam putusan nomor 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp. namun kembali lagi dengan majelis hakim dapat dapat atau tidaknya menggunakan keterangan dari saksi korban anak tersebut.
-
2.2.2 Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana
Dengan Mempertimbangkan Keterangan Saksi Korban Anak.
Pertimbangan majelis hakim juga didasarkan pada fakta hukum saat persidangan apakah terdakwa benar melakukan apa yang didakwakan padanya, dengan mempertimbangka dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaannya “yang berbentuk Tunggal yaitu Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP yang memiliki unsur sebagai berikut” :
Unsur “setiap orang” dari fakta-fakta dipersidangan Terdakwa bernama I Nyoman Kardim, telah ditanyakan oleh Hakim identitas terdakwa yang tercanum didalam surat dakwaan dan dijawab oleh Terdakwa benar identitasnya. Dan setiap pertanyaan yang diajukan dimuka persidangan terhadapnya telah dijawab dengan baik sehingga Terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Unsur “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. Unsur ini bersifat alternatif yang artinya tidak perlu dibuktikan seluruhnya, dengan kata lain jika terpenuhi salah satunya saja maka dianggap sudah terbukti. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan bahwa Terdakwa telah melakukan pencabulan terhadap anak yakni Korban yang adalah anak dari keponakan Terdakwa yang masih berumur 10 tahun 8 bulan (sesuai dengan Kutipan Akte Kelahiran Nomor: 5107-LT-19062015-0033). Perbuatan Terdakwa mengakibatkan Korban mengalami luka di bagian vagina sebagaimana yang tercantum dalam pemeriksaan Visum Et Repertum Nomor: 370/011/III/2017, tanggal 24 Maret 2017 yang dikeluarkan di RSUD Karangasem yang dilakukan oleh dr. I Gusti Ayu Purjuniatni. unsur “jika beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”. Jika dilihat dari keterangan dari saksi dan diperkuat dengan adanya alat bukti yang diajukan disepan persidangan diperoleh fakta hukum bahwa pada hari dan tanggal yang tidak diingat Bulan Desember 2016 sekitar pukul 12.00 wita dimana kejadian pertama yang dilakukan oleh Terdakwa di rumah Terdakwa. Kejadian yang kedua yaitu di Bulan Januari 2017 sekitar jam 12.00 wita, lokasi kejadian sama dengan tempat kejadian pertama. Majelis Hakim menilai bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan cabul terhadap Korban secara berlanjut dan didasarkan dengan fakta-fakta dipersidangan dimana Terdakwa sudah dua kali melakukan perbuatan cabul tersebut.
Menurut Peraturan Perundang-Undangan dianut oleh KUHAP yang diperkuat dengan alat-alat bukti yang sah, keterangan terdakwa, dan saksi-saksi termasuk keterangan saksi korban anak serta keyakinan hakim maka hakim memberikan keputusan
terhadap terdakwa dengan “hukuman pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau diganti pidana kurungan selama 6 (enam) bulan karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang”.
Dalam sebuah wawancara dengan ibu I Gusti Ayu Kharina Y.A, SH yang merupakan salah satu Hakim Anggota yang turut serta dalam memutus putusan Nomor 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp. ini menjelaskan bahwa keyakinan hakim dalam memutus perkara ini yakni diperoleh dari bukti-bukti dan juga keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam proses pemeriksaan dan persidangan. Terdakwa juga telah mengakui perbuatannya serta saksi korban juga memberikan keterangan walaupun keterangan saksi korban merupkan keterangan tidak dibawah sumpah karena korban merupakan anak dibawah umur, akan tetapi jika dianalisis dalam putusan Nomor 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp posisi saksi korban memegang peran penting dalam menguatkan keyakinan hakim, dan keterangannya tidak dianggap sebagai petunjuk tambahan saja melainkan keterangan utama atau saksi korban anak adalah menjadi saksi kunci dari perkara pidana. Meskipun terdapat saksi-saksi lainnya namun saksi yang lain merupakan kedua orang tua korban yang mana tidak melihat secara langsung kejadiaannya, melainkan keterangan dari saksi-saksi lainnya adalah berasal dari saksi korban sendiri atau orang tua korban menerima keterangan dari sang anak.
Dalam pasal 171 KUHAP dinyatakan bahwa “anak yang umurnya belum mencapai 15 (lima belas tahun) dan belum pernah
kawin boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah” dengan demikian memang saksi korban anak tidak dapat di sumpah tetapi tetap dapat memberi keterangan, namun berdasarkan Pasal 185 ayat 7 KUHAP “keterangan saksi yang tidak disumpah ini bukan merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah lain”. Maka suatu keterangan yang diberikan saksi korban anak tanpa disumpah bukan merupakan alat bukti yang sah akan tetapi keterangannya dapat memunculkan nilai bukti untuk mempengaruhi keyakinan hakim.
Akan tetapi dalam Putusan Nomor 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp keterangan dari saksi yang disumpah bermula atau berdasarkan dari keterangan saksi korban anak itu sendiri karena saksi yang di sumpah tidak melihat, mendengar maupun merasakan secara langsung kejadianya, serta mengingat bahwa saksi yang disumpah adalah anggota keluarga atau saudara dari ayah korban yang menjadi saksi. Maka keterangan dari saksi korban dalam Putusan Nomor 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp sangat mempengaruhi keyakinan hakim dalam menjatuhkan hukuman, dengan kata lain saksi korban merupakan saksi kunci melainkan memiliki peran penting yang mana keterangannya harus dipertimbangkan sebagai keterangan utama dalam perkara pidana ini.
Keterangan dari saksi korban anak tidak memiliki kekuatan pembuktian, jadi keterangan anak sebagai saksi korban sifatnya hanya menjadi data pendukung sebagai keyakinan hakim dalam memutus perkara. Akan tetapi karena pada kasus di dalam putusan 50/Pid.Sus/2017/PN.Amp saksi-saksi yang disumpah merupakan
orang tua kandung korban dan tidak melihat ataupun merasakan secara langsung kejadian tersebut melainkan menerima penjelasan dari saksi korban, maka keterangan saksi korban anak dianggap menjadi acuan atau dijadikan dasar alat bukti bagi keterangan saksi yang sah. Akan tetapi yang sangat mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus perkara adalah dengan adanya hasil Visum et Repertum serta pengakuan dari terdakwa yang dapat dijadikan pertimbangan kuat, oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara.
Maka saran yang dapat disampaikan melalui penelitian ditujukan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar lebih efektif dalam melindungi saksi terutama saksi korban anak agar hak sebagai seorang saksi dan juga seorang anak tetap terlindungi. Dan bagi pemerintah yaitu hendaknya sangat diharapkan dibuatnya peraturan baru untuk keadilan bagi saksi korban anak agar keterangan yang diberikan saksi korban anak dapat memiliki kekuatan pembuktian.
Arif Gosita, 2004, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Harahap, Yahya, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006,, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Salam, Moch. Faisal, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung.
Sudarto, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Waluyo ,Bambang, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta.
Ni Made Dwita Setyana Warapsari, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan/ Atau Saksi Korban Transnational Crime Dalam Proses Penegakan Hukum Pidana, Diakses Selasa, 17 Oktober 2019:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /15354
I Gusti Putu Ary Septiawan, 2019, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pecabulan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (Studi Di Kepolisian Resor Kota Denpasar), Diakses Selasa 17 Oktober 2019:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/vie w/20397
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606)
Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor
50/Pid.sus/2017/PN.Amp.
15
Discussion and feedback