PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI DI DESA SUDAJI KECAMATAN SAWAN BULELENG
on
PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI DI DESA SUDAJI KECAMATAN SAWAN BULELENG*1
Oleh:
Gede Rhama Sukmayoga Wiweka** Ida Bagus Surya Dharma Jaya *** I Wayan Suardana**** Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Kejahatan kekerasan seksual termasuk Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Terdapat berbagai Kekerasan dalam rumah tangga salah satunya adalah kekerasan seksual pada anak. Contoh yang dapat dilihat pada kasus pelecehan seksual terhadap anak di Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng. Kasus ini sudah di selesaikan secara adat oleh dadia Kubukili Desa Adat Sudaji. Namun kasus yang terjadi di desa Sudaji Kecamatan Sawan Buleleng hanya diselesaikan dengan hukum adat dan tidak diproses melalui hukum Nasional padahal kasus ini telah melanggar regulasi. Adapun permasalahan yang dibahas adalah Apakah penyelesaian kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan hukum adat Bali sesuai dengan hukum nasional dan Bagaimana sebaiknya kekerasan seksual terhadap anak di Bali agar memenuhi keadilan. Hasil dari penelitian ini adalah kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan
untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya.
Kata Kunci: Adat, Kekerasan, Anak
Abstract
Crimes of sexual violence including extraordinary crimes (extra ordinary crime). There are various domestic violence one of which is sexual violence against children. Examples can be seen in cases of child sexual abuse in Sudaji Village, Sawan District, Buleleng. This case has been settled traditionally by dadia Kubukili, Sudaji Village. However, the case that occurred in Sutaji Village, Sawan Buleleng Subdistrict was only resolved by customary law and was not processed through National law even though this case had violated regulations. The problem discussed is whether the resolution of sexual violence against children is based on Balinese customary law in accordance with national law and how should sexual violence against children in Bali meet justice. The results of this study are the presence of criminal law in the community is intended to provide a sense of security to individuals.
Keywords: Custom, Violence, Children
Istilah kekerasan muncul dalam beberapa peraturan, Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 1 ayat 1 di dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan 2
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Kekerasan rumah tangga tidak hanya dialami oleh perempuan saja tetapi kerap kali anak menjadi korban dari kekerasan rumah tangga.2
Selain itu Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010 menyatakan secara tegas bahwa “Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis,termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak”.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun 2010 Pasal 1 angka 2 menjelaskan bahwa “Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan
bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya
kemerdekaan seseorang”. Selanjutnya Pada Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010
menjelaskan “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi”.
Terdapat berbagai Kekerasan dalam rumah tangga salah satunya adalah kekerasan seksual pada anak. Contoh yang dapat dilihat pada kasus pelecehan seksual terhadap anak di Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng3. Dimana seorang ayah kandung yang menghamili anaknya dengan ancaman jika tidak dilayani maka diancam akan dihentikan sekolah, sang anak sempat menolak namun sang ayah terus memaksa dan mengancam sehingga sang anak tidak dapat menolak.
Kasus ini sudah di selesaikan secara adat oleh dadia Kubukili Desa Adat Sudaji. Penyelesaian di tandai dengan dilaksanakannya upacara balik sumpah sebagaimana adat yang berlaku di desa tersebut. Kasus ini oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Bali mendesak kepolisian segera memproses kasus tersebut. Karena walaupun sudah diselesaikan secara hukum adat oleh pihak dadia, perbuatan yang dilakukannya belum dipertanggung jawabkan didalam hukum positif .
Kasus seperti ini di atur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) mengenai pelecehan seksual terhadap anak, terutama dalam ketentuan Pasal 82 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Dalam hukum itu sudah diatur kalau hukum adat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang nasional. Oleh karena itu pada kasus yang terjadi di desa Sudaji Kecamatan Sawan Buleleng, dimana hanya diselesaikan dengan hukum adat dan tidak diproses melalui hukum Nasional yang dalam hal ini termasuk tindak pidana kekerasan seksual bukan merupakan delik aduan dan dikenakan sanksi sesuai dengan KUHP, namun keadilan akan sulit didapatkan jika hanya sampai pada hukum adat tanpa menggunakan hukum nasional.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas, maka didapat rumusan masalah yaitu apakah penyelesaian kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan hukum adat Bali sesuai dengan hukum nasional dan bagaimana sebaiknya kekerasan seksual terhadap anak di Bali agar memenuhi keadilan. 1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa pengaturan hukum kekerasan seksual pada anak, dan untuk mengetahui dan menganalisa lebih lanjut mengenai Penyelesaian Kekerasan Seksual Anak Berdasarkan Hukum Adat di Bali.
Metode Jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin4.
Penelitian ini dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada seperti peraturan perundang-undangan kemudian mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.5 2.2 Hasil dan pembahasan
Semakin dalam hukum adat di Indonesia dikenal banyak lembaga adat yang menjadi simbol budaya lokal, yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa, baik perdata maupun pidana. Secara lebih konkrit, penyelesaian perkara melalui lembaga adat dilakukan dengan asas musyawarah/ kekeluargaan untuk, di satu sisi menegakkan hukum, dan di sisi lain menghilangkan sama
sekali akibat lanjut dari suatu perkara. Tujuan tertinggi yang ingin dicapai adalah keseimbangan yang terwujud dalam kerukunan masyarakat.
Bagi orang yang melanggar hukum, hukuman yang dijatuhkan oleh desa, baik oleh kepala desa sendiri atas nama desa, oleh prajuru (alat pelengkap) desa secara bersamaan, maupun oleh rapat warga desa seluruhnya akan dirasa sangat berat dan yang bersangkutan akam di cap sebagai orang yang melanggar ketertiban umum. Pengadilan desa ini oleh orang Belanda disebut pegadilan Ketertiban (disciplinaire rechtspraak).
Dengan demikian, peradilan desa mendapat kesempatan untuk menggunakan hukum adat sebagai dasar pemeriksaan perkara. Hanya saja, hakim-hakim desa tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pidana seperti pasal 10 KUHP, kecuali pidana denda. Ini berarti hakim-hakim desa itu tidak diberi wewenang untuk menjatuhkan pidana badan (pencabutan kemerdekaan). Disamping itu, para pihak masih juga diberikan kebebasan untuk menggunakan bentuk-bentuk peradilan yang diakui oleh R.O. (Rechterlijik Organisatie) sebagai badan peradilan sehingga para pihak mempunyai beberapa alternatif dalam menyelesaikan permasalahan hukumnya.
Dalam Penyelesainnya hukum adat juga bisa di selesaikan atau diadili oleh Pengadilan adat, seperti yang tertulis pada Undang-undang darurat Republik Indonesia (UUDRT) Nomor 1 Tahun 1951 (1/1951) tentang tindakan-tindakan sementara kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, Pasal 5 (3) huruf b yang berbunyi : Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai
kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu. Dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara.
Dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu. Dalam penyelesaian hukum adat di dalam hukum pidana nasional, kedepanya terdapat di dalam RUU KUHP yang di atur dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi : “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan’’. Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu hidup’’. Dalam RUU KUHP baru ini diakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, Hal ini mengandung arti standar, nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam KUHP.Jadi penyelesaian delik adat tidak semunya dapat diselesaikan secara adat atau diselesaikan dengan menggunakan ketentuan adat tetapi harus juga berlandaskan dengan Hukum Pidana Nasional Indonesia.
Peradilan adat adalah suatu fakta empiris, yang nyata-nyata ada, hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Kelembagaan yang melaksanakan fungsi peradilan adat di desa pakraman adalah Prajuru, yang dilakukan melalui suatu forum musyawarah (Paruman Prajuru) dihadiri elemen kelembagaan lain yang ada di desa pakraman, yaitu Paduluan (untuk desa
baliage/desa tua) dan atau pejabat pemerintahan desa dinas (Kepala Dusun/Kepala Desa) yang mewilayahi atau berada di wilayah desa pakraman yang bersangkutan. Mengingat Paruman Prajuru, sesungguhnya mempunyai fungsi lain selain fungsi peradilan, maka istilah lokal yang tepat digunakan untuk menyebut paruman prajuru dalam fungsinya menyelenggarakan peradilan di desa pakraman adalah Kertha Desa, yang artinya pengadilan atau hakim desa.6
Dalam kasus kekerasan seksual di Desa Sawan ini jika berdasarkan Perda Bali no 4 tahun 2019 Pada BAB VI tentang Tata Pemerintahan Desa Adat pasal 28 ayat (3) Lembaga pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Paruman Desa Adat; dan b. Pasangkepan Desa Adat; juga sudah di jelaskan pada BAB XI tentang Majelis Desa Adat Bagian ketiga Tugas dan wewenang pasal 76 ayat 1 huruf b yang menegaskan tugas MDA salah satunya adalah “memberikan saran, usul, dan pendapat/pertimbangan mengenai masalah-masalah adat dan kearifan local kepada pemerintah daerah serta berbagai pihak, baik perseorangan, kelompok, maupun lembaga”. Akan memenuhi keadilan berdasarkan hukum adat.
Penyelesaian Dari kasus Ayah Hamili Anak Kandung di Desa Sawan bisa di jabarkan menjadi dua pendekatan keadilan, yaitu sanksi pidana pendekatan pembalasan (retributive) atau sanksi pidana pendekatan pemulihan (restoratif). Teori retributive dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena
pelaku kejahatan dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.
Sedangkan Konsep sanksi pemidanaan dalam pendekatan restoratif tidak mengenal metode pembalasan tetapi lebih kepada konsep pemulihan untuk tujuan membuat segala sesuatunya menjadi benar. Istilah umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Albert Eglash dengan menyebutkan istilah restorative justice. Dalam tulisannya yang mengulas tentang reparation, Albert mengatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitative.7
Jadi dari dua prospektif penyelesaian kasus ayah hamili anak kandung di desa Sawan lebih memenuhi rasa keadilan menggunakan pendekatan keadilan restributif karena sudah jelas bagaimana rasa efek jera dan memuaskan si korban. Dan jika dalam penyelesaian masalah ini melalui pendekatan restoratif, hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan (hukum) dalam proses penyelesaiannya. Namun, pada sistem
peradilan pidana pada umumnya, ditengarai bahwa korban tidak menerima pelindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.8
Dari hasil wawancara dengan kanit PPA Polres Buleleng beserta anggotanya menyatakan hasil penyidikan polisi ke kejaksaan sudah sampai p19 dan tiga kali gelar kasus, karena kurangnya alat bukti serta saksi dan seiring berjalannya kasus ini pihak desa adat tidak menuntut kembali proses kasus ini karena pihak desa adat sebelumnya sudah memberi sanksi adat dan dari hasil rembug warga menyepakati tidak melanjutkan kasus tersebut. Akhirnya pihak kepolisian bersama kejaksaan sepakat menghentikan kasus ini.
Dari Study Kasus di atas kasus ini hanya sampai penyidikan kepolisian yang dimana seharusnya dapat di pertanggung jawabkan secara moral dan kesalahan hukum si pelaku, Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas
dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan dan memberi rasa adil bagi korban. Dan dalam Penyelesaianya dapat di selesaikan atau di putus oleh Majelis Desa Adat (MDA) agar memberikan keadilan dan legitimasi yang kuat sebagai dasar kewenangan desa adat dalam penyelesaian kasus adat.
Pendekatan dalam penanganan masalah Kekerasan seksual anak mesti bersifat terpadu, di mana selain pendekatan hukum, dalam peradilan adat juga perlu memperhatikan perlindungan korban sebagai akibat dari kekerasan seksual itu dan dalam penyelesaianya di selesaikan dulu dengan mengacu pada perda BALI no 4 tahun 2019 BAB XI tentang Majelis Desa Adat Bagian ketiga Tugas dan Wewenang pasal 76 ayat 1 huruf b yang menegaskan tugas MDA salah satunya adalah “memberikan saran, usul, dan pendapat/pertimbangan mengenai masalah-masalah adat dan kearifan local kepada pemerintah daerah serta berbagai pihak, baik perseorangan, kelompok, maupun lembaga”. Disini di tegaskan peran Majelis desa adat dalam memberi saran dan usulan untuk masalah-masalah adat.
Dari Penyelesaian kekerasan seksual di Desa Sawan Buleleng dapat memberi keadilan dan legitimasi yang kuat harus di putus oleh Majelis Desa Adat karena kewenangan desa adat dalam penyelesaian kasus adat, sebagaimana di atur dalam Perda Bali no 4 tahun 2019 BAB XI tentang Majelis Desa Adat bagian ketiga Tugas dan Wewenang pasal 76 ayat 1 huruf b, yang kemudian
keputusannya di dasarkan oleh pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUUKUHP).
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2017, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Purnadi Purbacaraka dalam A. Ridwan Halim, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II).
Jurnal:
I Gede Made Bima Oktafian, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Pencabulan Yang Disertai Kekerasan (Penelitian di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Tabanan), Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Vol 8 No 6, Tahun 2019
Internet:
Lugas wicaksono, 2015, Bejat, Ayah Hamili Putri Kandungnya di Buleleng Terbongkar karena Ini, tribun-bali.com , URL : https://bali.tribunnews.com/2015/09/19/bejat-ayah-hamili-putri-kandungnya-di-buleleng-terbongkar-karena-ini?page=3. Di akses tanggal 19 September 2015
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun 2010
15
Discussion and feedback