KEBIJAKAN SISTEM PENGURAI KEMACETAN LALU LINTAS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM GENAP-GANJIL DI PROVINSI BALI

Oleh:

Ayu Komang Yuliantari Candra Dewi*

I Gusti Ngurah Dharma Laksana** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Kemacetan merupakan sebuah persoalan yang hendak diselesaikan oleh pemerintah Provinsi Bali terlebih dalam upaya menjangkau lebih banyak wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Penerapan sistem Ganjil-Genap dipandang sebagai solusi berbasis kebijakan kondisional yang menarik untuk dianalisis. Rumusan masalah pada jurnal ini adalah pertama, apakah kebijakan Ganjil-Genap yang diterapkan di Provinsi Bali telah memenuhi asas-asas hukum lalu-lintas di Indonesia? Kedua, Bagaimana dampak yang ditimbulkan pelanggar terhadap sistem Ganjil-Genap dalam penyelenggaraan hukum lalu-lintas di Indonesia? Tujuannya adalah Untuk meninjau sejauh mana kebijakan Ganjil-Genap di Provinsi Bali tersebut telah memenuhi asas pemberlakuan hukum pidana atas integritas lalu-lintas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan; serta Untuk menelaah prinsip pemberian sanksi pidana terhadap pelanggar kebijakan Ganjil-Genap pada beberapa ruas jalan tersebut diatur secara khusus ataukah disamaratakan dengan kebijakan lalu-lintas pada umumnya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan analisis dan konseptual, pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Hasil penyusunan jurnal ini menunjukan bahwa pertama, kebijakan genap ganjil masih memiliki kelemahan pada aspek keberlanjutan manfaatnya; sedangkan kedua, kebijakan ganjil genap merupakan kebijakan kondisional yang belum memiliki pengaturan secara khusus.

Kata Kunci: Genap Ganjil, Lalu-Lintas, Kemacetan, Kondisional.

Abstract

Congestion is a problem that the provincial government of Bali wants to solve, especially in an effort to reach more local tourists and foreign tourists. The implementation of the Odd-Even system is seen as an attractive conditional policy-based solution for analysis. The formulation of the problem in this journal is first, is the Odd-Even policy applied in Bali Province fulfilling the principles of traffic law in Indonesia? Second, what is the impact on the violation of the OddEven system in the implementation of traffic laws in Indonesia? The aim is to review the extent to which the Odd-Even policy in Bali Province has fulfilled the principle of imposing criminal law on traffic integrity as regulated in Law Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation; and To examine the principle of granting criminal sanctions against violators of Odd-Even policies on some of these roads, it is specifically regulated or generalized to the traffic policy in general. The method used is a normative legal research method with an analytical and conceptual approach, an approach to facts and a legislative approach. The results of the compilation of this journal show that first, even odd policies still have weaknesses in the sustainability aspects of their benefits; while secondly, even odd policies are conditional policies that do not have specific arrangements.

Keywords: Even Odd, Traffic, Congestion, Conditional.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Kecelakaan lalu-lintas marak terjadi karena padatnya kendaraan bermotor dan kesabaran dari pengguna jalan dalam memanfaatkan alternatif transportasi yang disediakan oleh pemerintah menjadi sebuah persoalan mendasar yang belum dapat diselesaikan. Pemerintah melalui pihak Kepolisian di Provinsi Bali merumuskan kebijakan berupa tracking, survailance, controler sesuai dengan Peraturan kapolri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Penyidikan Tindak Pidana. Tetapi, penerapan kebijakan tersebut yang diimbangi dengan patroli dari pihak kepolisian juga tidak dapat menurunkan presentasi kecelakaan lalu-lintas dan kepatuhan terhadap kebijakan lalu-lintas yang ada. Dari persoalan tersebut menampilkan bahwa kepadatan lalu-lintas adalah indikator tingkat kecelakaan pada sebuah wilayah.

Kondisi tersebut yang pada akhirnya melandasi penetapan kawasan rawan kecelakaan pada sebuah wilayah tertentu di Provinsi Bali. Berdasarkan skripsi yang diungkapkan oleh Bayu Pramadya Kurniawan Sakti, penetapan kebijakan tersebut tidak lepas dari pertimbangan tingkat kecelakaan dibagikan dengan tingkat, frekuensi kecelakaan dan volume kepadatan lalu-lintas pada sebuah wilayah.1 Apabila ditelaah, tingkat kecelakaan yang signifikan di Provinsi Bali meningkat dari tahun ke tahun. Persoalan ini dibuktikan dengan presentasi kecelakaan lalu-lintas di Provinsi Bali pada tahun 2016 mencapai 1.580 kejadian yang dikelompokan menjadi tiga indikator yakni meninggal dunia

sebanyak 437 jiwa, luka ringan mencapai 1.938 jiwa dan luka berat sebesar 334 jiwa.2 Kecelakaan Lalu-lintas berdasarkan Nilai Kerugian Materil tertinggi di Provinsi Bali adalah Denpasar sebanyak 366 kejadian dan kerugian Rp771.550.000,00, diikuti oleh Gianyar yakni 309 Kejadian dan kerugian Rp516.850.00,00.3

Menurut Bayu, tingkat kecelakaan juga mengakibatkan menurunnya anggaran daerah, sehingga untuk menyikapi persoalan tersebut, maka pemerintah Provinsi Bali melalui kerja sama dengan Dinas Perhubungan Provinsi Bali dan Kepolisian Daerah Provinsi Bali menyelenggarakan sistem ganjil-genap dalam hal untuk mengurai kecelakaan lalu-lintas. Sistem ini diadopsi dari kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Jakarta yang terbilang cukup efektif dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Kehadiran dari kebijakan ini mampu untuk mengurangi volume kendaraan bermotor pada sebuah titik jalan yang merupakan indikator kecelakaan lalu-lintas.4 Kebijakan ini kemudian mengakibatkan dilema dalam penegakan hukum lalu-lintas sebagai akibat dari pengguna kendaraan bermotor. Disamping itu, kehadiran dari kendaraan bermotor yang tidak mengikuti kebijakan yang telah ditentukan juga menyajikan tanda tanya apabila meninjau dari aspek penegakan hukum lalu-lintas yang ada.

Dalam persoalan ini, pemerintah perlu untuk mengambil kebijakan yang dapat diberlakukan secara matang. Tidak hanya pada aspek penerapannya akan tetapi sanksi seperti apakah yang

akan diberikan oleh pemerintah dalam konteks pemidanaan terhadap sang pelanggar? Mungkinkah sanksi atas tindakan tersebut disamaratakan dengan tindakan pelanggaran lalu-lintas konvensional ataukah memiliki spesifikasi yang berbeda dengan pelanggaran yang disebutkan diatas?

Diperkirakan penyebab kecelakaan salah satunya adalah kepadatan lalu lintas. Salah satu solusi yang dipakai adalah dengan menggunakan sistem genap-ganjil di Provinsi Bali, tetapi sistem genap-ganjil ini pernah diterapkan dan masih dalam tahap uji coba.

Jika diidentifikasi dari segi realisasi kebijakan, setidaknya terdapat beberapa ruas jalan yang diterapkan kebijakan tersebut yakni diawali dengan Jl. By Pass Ngurah Rai hingga Jl. Siligita. Berdasarkan identifikasi singkat yang dilakukan penulis, apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, kebijakan ini diberlakukan atas klasifikasi Jalan Bebas Hambatan dengan kecepatan 60 km/jam dan Jalan Ateri Primer dengan tingkat kecepatan yang sama. Pertimbangan tersebut yang kemudian menjadi latar-belakang penyusunan jurnal dengan judul “Kebijakan Sistem Pengurai Kemacetan Lalu Lintas Dengan Menggunakan Sistem Genap-Ganjil Di Provinsi Bali” untuk mengidentifikasi sejauh mana jerat hukum pidana atas tindakan yang dilakukan oleh para pelanggar di Provinsi Bali.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Penyusunan jurnal ini bertujuan untuk menjawab pokok pertanyaan berupa:

  • 1.    Apakah kebijakan Ganjil-Genap yang diterapkan di

Provinsi Bali telah memenuhi asas-asas hukum lalu-lintas di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana dampak yang ditimbulkan pelanggar terhadap sistem Ganjil-Genap dalam penyelenggaraan hukum lalu-lintas di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini mengacu pada rumusan masalah diatas dengan dikelompokan menjadi dua yakni:

  • 1.    Untuk meninjau sejauh mana kebijakan Ganjil-Genap di Provinsi Bali tersebut telah memenuhi asas pemberlakuan hukum pidana atas integritas lalu-lintas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan

  • 2.    Untuk menelaah prinsip pemberian sanksi pidana terhadap pelanggar kebijakan Ganjil-Genap pada beberapa ruas jalan tersebut diatur secara khusus ataukah disamaratakan dengan kebijakan lalu-lintas pada umumnya.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penulisan

Kajian terhadap konteks pemidanaan pelanggar kebijalan Ganjil-Genap di Provinsi Bali dirumuskan dalam sebuah bentuk metode penelitian hukum normatif atau doctrinal legal research.5 Lebih lanjut, Soerjono dan Sri cenderung menggunakan kata normatifwisenscaft untuk mengidentifikasi bentuk penelitian hukum normatif. Dalam kenaannya dengan

  • 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990. “Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”, UI Press, Jakarta, h. 3.

itu, pendekatan yang menunjang metode tersebut mencangkup pendekatan perundang-undangan melalui teknis snowball sampling, pendekatan analisis dan konseptual serta pendekatan fakta.6 Semua informasi tersebut didapatkan dengan teknik literaturisasi sebagai bahan hukum sekunder, analisis bahan hukum pada bentuk bahan hukum primer serta kajian informasi penunjang lainnya sebagai bahan hukum tersier.7 Penggunaan metode yang kompleks tersebut dalam kerangka penelitian monodisipliner sekiranya mampu menyajikan jawaban yang kredibel.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Asas Hukum Lalu-Lintas Dalam Penerapan Kebijakan

Ganjil-Genap

Keberlangsungan penyelenggaraan negara ditautkan pada sebuah asas yang bertujuan untuk memberikan kepastian esensial atas konsep yang dimaksudkan. Sama halnya dengan hukum, asas memegang peran penting dalam menstabilkan kondisi ataupun fenomena sosial yang terjadi dengan cara memberikan patokan atas apa yang baik ataupun tidak untuk dilakukan.8 Inilah alasan mengapa Umar Said Sugiarto menjelaskan bahwa hukum dari sifat mengikatnya dibagi menjadi dua yakni hukum formil dan materiil. Asas memegang kedudukan sebagai hukum materiil yang tidak memiliki kekuatan mengikat dari segi fisiologisnya, akan tetapi memiliki falsafah sosiologis dan historikal.9 Dalam kaitannya dengan persoalan tersebut, penerapan sistem Ganjil-Genap di Provinsi Bali merupakan

sebuah metode untuk melerai kemacetan yang terjadi dalam sebuah wilayah. Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Jakarta pada masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang dibentuk pada masa peralihan sebelum Electronic Road Pricing. Akan tetapi, oleh karena sistem ini menjanjikan adanya pengurangan volume kendaraan bermotor pada suatu titik, maka sistem ini mulai diadopsi pada beberapa wilayah di Indonesia termasuk di Provinsi Bali.

Dalam kerangka hukum lalu-lintas, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UULLAJ) pada Pasal 2 telah menjelaskan asas penyelenggaraan tertib lalu-lintas di Indonesia. Regulasi ini dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga negara sesuai amanah Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hak tersebut secara literal dapat diartikan sebagai hak konstitusional dari seorang manusia yang disajikan untuk dinikmati karena status kewarganegaraannya. Dalam Penjelasan Umum Pasal 2 UULLAJ telah dijelaskan bahwa maksud bermanfaat tersebut adalah untuk memberikan ataupun meningkatkan kesejahteraan dari masayrakat.

Sejalan dengan itu, meskipun hukum memiliki sanksi akan tetapi pemberlakuan sanksi tersebut diperuntukan agar dapat menjamin kesejahteraan dari masayakat yang merupakan rechide dari penyelenggaraan negara.10 Pemberlakuan kebijakan tersebut telah menjamin bahwa konsep pemidanaan di Indonesia tidak sepenuhnya ditekankan pada aspek sanksi akan tetapi untuk mewujudkan konsep the rule of law dalam pembaharuan hukum pidana.

Meskipun kebijakan tersebut dinilai sebagai kebijakan yang positif untuk diterapkan, sebab sesuai dengan efisiensi dan efektif yang menitikberatkan pada guna penerapan kebijakan, asas keseimbangan dengan melihat peran para pengguna jalan. Akan tetapi, masih terdapat kelemahan pada penerapan kebijakan hukum ini sebab meskipun dinilai dapat menyelesaikan masalah, kebijakan ini hanya diterapkan secara terbatas pada beberapa kesempatan tertentu. Sekalipun benar bahwa prinsip kausalitas dapat diterapkan dengan tujuan untuk mengurai kemacetan yang terjadi akan tetapi tidak semestinya dibatasi jangka waktu penerapannya jika terbukti efektif untuk diterapkan. Pemberlakuan kebijakan Ganjil-Genap ini sendiri dapat dimungkinkan untuk diterapkan pada beberapa ruas jalan seperti Jl. Teuku Umar, Jl. Raya Sesetan, dan beberapa titik yang lazimnya terjadi kemacetan.

Meskipun UULLAJ tidak secara lugas memaktubkan konsep keberlanjutan sebagai materi muatannya, akan tetapi pada penjelasan umum bagian pertama telah menjelaskan maksud dari keberlanjutan itu sendiri sehingga tidak semata-mata dapat untuk dikesampingkan keberlakuannya sekalipun hanya ditempatkan pada penjelasan umum. Keberlanjutan penyelenggaraan kebijakan yang terbukti efektif penting untuk diterapkan dalam menjamin hak asasi manusia di Indonesia.11 Menarik untuk dicermati bahwa dengan diterapkannya kebijakan ini maka secara tidak langsung akan memberikan kedamaian secara psikal kepada seorang manusia dan dapat mengharmoniskan kehidupan antar manusia di Provinsi Bali. Kemacetan yang dapat diselesaikan akan mengurangi angka kecelakaan dan mewujudkan keharmonisan antara pengguna jalan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana yang

diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 2 sebagai falsafah pembangunan di Provinsi Bali. Dengan demikian, uraian ini bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa penerapan kebijakan Ganjil-Genap telah sesuai dengan asas hukum lalu-lintas akan tetapi perlu diperbaiki kembali karena pemberlakuannya yang terbatas sebagai kebijakan kondisional dengan kesesuaiannya dengan Prinsip Berkesinambungan dengan yang dijelaskan dalam UULLAJ.

  • 2.2.2    Konsekuensi Logis Atas Pelanggaran Kebijakan Ganjil-

    Genap di Provinsi Bali

Kebijakman Ganjil-Genap dinilai sebagai bentuk kebijakan kondisional oleh karena keterbatasan waktu pemberlakuan kebijakan tersebut. Hal ini dapat diidentifikasi pasca pemberlakuan kebijakan tersebut yang hanya berkisar pada tanggal 6 September – 16 Oktober 2018 di beberapa ruas jalan untuk menyelesaikan persoalan kemacetan lalu-lintas yang terjadi saat berlangsungnya kegiatan International Monetery Found (atau disingkat IMF). Tindakan berbasis diskresi ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan berkendara bagi para tamu negara. Meskipun hanyalah sebuah kebijakan berbatas waktu, akan tetapi penting untuk meninjau sejauh mana konsekuensi atas kebijakan tersebut. Pada umumnya, penyelenggaraan kebijakan lalu-lintas selalu diikuti dengan sebuah sanksi sebab statusnya yang berpotensi mengakibatkan kerugian cukup besar tidak hanya bagi pengendaranya sendiri akan tetapi juga turut dirasakan oleh para pengendara lainnya.

Atas tindakan pelanggaran lalu-lintas konvensional yang diterapkan sanksi berdasarkan bobot pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran ringan terhadap lalu-lintas kendaraan bermotor yang

mengganggu penggunaan jalan, para pengendara dapat mengakibatkan dijeratnya pelaku dengan denda; pelanggaran berat dapat diikuti dengan sanksi pidana berupa denda dan kurungan sedangkan pelanggaran lalu-lintas berat dapat dijerat dengan sanksi penjara. Meskipun pelanggaran lalu-lintas dikategorikan sebagai tindak pidana ringan akan tetapi pelaksanaannya yang cenderung mengesampingkan hak masyarakat umum jika mengacu pada prinsip Solibus Publica Suprima maka berdasarkan pertimbangan kepentingan umum, seorang manusia dapat dipidana dengan sanksi yang berat.

Lebih lanjut, keberadaan dari sistem ganjil genap mengakibatkan adanya ketidakpastian dalam hal sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadapnya. Firdaus menjelaskan bahwa tindakan pelanggaran ringan yang lazimnya diberikan dengan sanksi denda ditujukan untuk menjamin ketertiban sosial yang ada di masyarakat.12 Hal ini dikarenakan pelaksanaan kebijakana tersebut hanyalah sebuah kebijakan kondisional yang tentunya masih terbatas pengaturannya. Apabila dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran biasa, maka akibat hukum yang ditimbulkan dapat tidak pasti oleh karena keterbatasan pengaturan sanksinya. Meskipun sistem Ganjil-Genap adalah sebuah kebijakan percobaan akan tetapi sebagai upaya menjamin kepastian hukum maka perlu untuk dibarengi dengan sanksi. Penempatan sanksi yang sama pada umumnya dinilai kurang tepat dan membutuhkan adanya pengaturan secara khusus.

Pelanggaran terhadap kebijakan kondisional tersebut penting untuk dipahami sebagai tindakan khusus yang

memerlukan tindakan hukum khusus. Pelanggaran tersebut mencerminkan adanya sifat melawan hukum dan oleh karena pengaturannya masih kosong dalam UULLAJ maka pemerintah perlu untuk mencermati kekosongan hukum ini dengan memanfaatkan diskresinya dalam hal memenuhi konsep rechtstaat di Indonesia. Terlepas dari itu, pengaturan tindakan Ganjil-Genap sesuai peruntukan jenis jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (dalam tabel disebut dengan UULLAJ) Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan yang masih kosong memberikan sebuah fakta bahwa penting untuk dirumuskan kebijakan pembaharuan hukum lalu-lintas yang ada.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi logis atas pelanggaran yang dilakukan terhadap kebijakan Ganjil-Genap masih kosong dan ditempatkan pada posisi yang sama dengan pelanggaran lalu-lintas pada umumnya sehingga penting untuk diperhatikan dengan merumuskan kebijakan khusus di bidang pelanggaran kebijakan ganjil genap itu sendiri.

  • III.    Penutup

    3.1    Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Kebijakan Ganjil-Genap yang diterapkan di Provinsi Bali sudah memenuhi kebutuhan hukum atas kesesuaiannya dengan asas UULLAJ yang disebutkan pada Pasal 2 peraturan a quo. Meskipun demikian, masih perlu diperhatikan kesesuaiannya dengan prinsip berkelanjutan dalam UULLAJ, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pembatasan penerapan kebijakan dapat berimplikasi pada prinsip berkelanjutan yang memungkinkan adanya kemacetan yang kembali terjadi pada beberapa ruas jalan yang diberlakukan kebijakan tersebut.

  • 2.    Dampak yang ditimbulkan terhadap pelanggaran sistem ganjil-genap di Indonesia disetarakan dengan tindakan pelanggaran pada umumnya. Namun penting untuk diperhatikan bahwa kebijakan Ganjil-Genap merupakan kebijakan kondisional yang tidak dapat disetarakan dengan kebijakan tetap pada ruas jalan tetap di Provinsi Bali. Konteks mengapa disebut sebagai kebijakan kondisional disebabkan karena penerapannya yang tidak menentu dan menyesuaikan dengan kebutuhan dari pihak-pihak tertentu. Uraian ini memberikan pencerahan bahwa tidak dapat ditempatkan pada posisi yang sama dengan kebijakan tetap yang dilihat dari segi pelanggaran, penerapan dan pembatasannya di jalan raya.

  • 3.2 Saran

  • 1.    Pemerintah perlu untuk memanfaatkan diskresinya dengan tepat yakni menempatkan sebuah kebijakan sesuai dengan kebutuhan hukum dan persyaratan baku atas pemberlakuan kebijakan tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa penting bagi pemerintah untuk memperhatikan prinsip berkelanjutan yang dicitakan dalam setiap pembentukan hukum di Indonesia.

  • 2.    Penting untuk merumuskan sebuah kebijakan baru yang membedakan antara sanksi yang diberlakukan atas kebijakan tetap dan kondisional.

Daftar Pustaka

Buku

Ali, Zainuddin. 2009. “Penelitian Hukum”. Sinar Grafika. Palu.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. ‘Perihal Undang-Undang”. Rajawali Pers. Jakarta.

Bali, BPS. 2017. “Presentasi Banyaknya Kecelakaan Lalu-Lintas Menurut Akibat Kecelakaan dan Nilai Kerugian Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2018 dalam Badan Pusat Statistik Provinsi Bali”. BPS Provinsi Bali. Denpasar.

Muladi. 2004. “Hak Asasi manusia, Hakekat, Konsep, dan Implikainya dalam Perspektfi Hukum dan Masyarakat”. Rafika Aditama. Semarang.

Soekanto, Soerjono. Dan Mamudji, Sri. 1990. “Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”. UI Press. Jakarta.

Sugiarto, Umar Said. 2012. “Pengantar Hukum Indonesia”. Sinar Grafika. Malang.

Jurnal dan Skripsi

Sakti, Bayu Pramadya Kurniawan. 2012. “Analisis Penentuan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu-Lintas di Jalan Utama Kabupaten Jember, Metode Pencacahan Indikator Kerawanan”. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Jember.

Firdaus. Dan Muklis. “Penerapan Sanksi Denda Tilang Bagi Pelanggar Lalu-Lintas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Pekanbaru. Jurnal OM. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. Volume 1. Nomor 1. Tahun 2015

Internet

Bali, Badan Pusat Statistik Provinsi. 2017. “Tingkat kecelakaan lalu-lintas berdasarkan akibat di Provinsi Bali”. Diakses dari https://bali.bps.go.id, Pada hari Jumat, 20 Juli 2018, Pukul 21.47 WITA.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96).

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Bali 2009 – 2029.

Peraturan kapolri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Penyidikan Tindak Pidana.

16