PROBLEMATIKA MODEL PENYELESAIN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DESA

Oleh :

Sitari Candra Dewi*

Dewa Nyoman Rai Asmara Putra**

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universtas Udayana

Abstrak

Pemilihan kepala desa merupakan salah satu bentuk demokrasi yang memiliki tujuan untuk memilih pemimpin yang memiliki kewenangan mengatur pengelolaan desa dan masyarakat desa. Pada proses pemilihan kepala desa dimungkinkan terjadi konflik-konflik antar pasangan cakades yang penting untuk segera diselesaikan dan dapat didukung dengan cara menggunakan penyelesaian sengketa alternatif atau biasa disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Pemilihan kepala desa diselenggarakan oleh badan pemusyawarahan desa dan dipilih langsung oleh masyarakat desa. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala desa dan bagaimana pengaturan di masa yang akan datang. Riset ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan model penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala desa dilakukan dengan penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan dan yang memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa ini yaitu bupati/walikota setempat. Dilihat dari prespektif ius contituendum penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala desa ini perlu difasilitasi oleh pemerintah dengan membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara detail mengenai mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala desa dan perlu dibentuknya pengadilan ad hoc yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilihan kepala desa.

Kata Kunci : Model, Penyelesaian Sengketa, Pemilihan Kepala Desa

Abstract

The election of village heads is a form of democracy that has the purpose of electing leaders who have the authority to manage village management and village communities. Villages have their own government. Therefore, to run the administrative affairs there must be village officials to administer the village’s autonomy, and villahe head is one of those officials. A village head is selected by village consultative body after direct election by the people. This regulation is stated in Law no. 6 year 2014 about villages. The purpose of this study is to observe dispute solution mechanism of election results and how it will be

managed in the future. This research uses normative legal research method. The result of this study shows that the dispute solution model is done by alternative solution outside the court. The authorized officials to resolve this kind of dispute is the local regent or mayor. Seen from ius contituendum perspective, the dispute solution process needs to be facilitated by the government by designing laws and regulations that will regulate specifically how the mechanism should be conducted. An ad hoc court that has authority to resolve the dispute is also necessary to be formed.

Key Words : Model, Dispute, election of village head.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Pemilihan kepala desa (selanjutnya pilkades) salah satu bentuk demokrasi yang memiliki tujuan untuk memilih pemimpin yang memiliki kewenangan mengatur pengelolaan desa dan masyarakat desa. Dalam proses pemilihan kepala desa tentunya ada pihak yang kalah dan menang sebaimana pemilihan yang lain. Tentunya setiap pemilihan baik itu Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah, sampai Pemilihan Kepala Desa akan ada pihak yang tidak puas terhadap hasil pemilihan tersebut dan cenderung pihak yang tidak puas berada pada pihak yang kalah. Oleh karena pihak yang kalah tidak puas maka akan timbul alasan-alasan yang dirasa merugikan dari pihak yang kalah. Dari alasan-alasan tersebut dan perbedaan pendapat dari pihak kalah dan pihak yang menang maka akan timbul konflik hukum yang berujung dengan sengketa. Sengketa yang dimaksud yaitu sengketa pemilihan kepala desa. pada tulisan ini, sebelum masuk lebih jauh mengenai sengketa kepala desa, maka akan diuraikan mengenai desa dari prespektif yuridis.

Secara yuridis pengaturan mengenai desa ditentukan dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak tradisionalnya sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan prinsip atau aturan Negara Republik Indonesia. Aturan mengenai desa juga di atur dalam Undang-Undang Desa yang diundangkan pada tahun 2014, dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa desa merupakan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, dimana desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah dan memiliki wewenang untuk mengatur urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat desa.

Terbentuknya Pemerintahan di Indonesia didasari dari adanya desa, dimana desa telah ada di Indonesia jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Indonesia1. Dalam membangun institusi sosial di kalangan warga desa komponen-komponen yang digunakan dalam pengembangannya terdiri dari hukum adat, masyarakat adat, struktur sosial, dan nilai-nilai lokal2. Bukti keberadaan desa yang sudah ada jauh sebelum negara Indonesia ini terbentuk dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen, dijelaskan bahwa wilayah teritorial Negara Indonesia terdiri dari desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut memiliki susunan yang orisinil oleh karena itu daerah tersebut bersifat istimewa.

Dengan adanya aturan hukum mengenai desa yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

(selanjutnya disebut UU Desa), maka desa secara otomatis memiliki perlindungan dan payung hukum dalam melakukan suatu hubungan hukum3. Di samping itu dengan ditetapkannya desa sebagai suatu badan hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka secara otomatis desa memiliki kewenangan untuk memanajemen dan bertanggunga jawab dalam hal kepentingan pemerintahan desa, walaupun kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa tidak seluas kewenangan pemerintahan daerah4.

Untuk menjalankan fungsi kewenangan desa dalam mengatur pemerintahannya, maka perlu adanya kepala desa yang dapat melaksanakan fungsi pemerintahan desa, hal ini ditegaskan di dalam UU Desa. Kepala desa memiliki peran yang signifikan dalam mengatur berjalannya sistem pemerintahan desa sesuai dengan aturan-atruan negara yang sudah di mandatkan kepada kepala desa agar terciptanya desa yang independen dan berkualitas tinggi5.

UU Desa menentukan mengenai tata cara pilkades serta hak dan kewajibannya serta pemberhentian kepala desa. Ketentuan Pasal 34 ditentukan bahwa pilkades dilakukan dengan pemilihan langsung oleh penduduk desa. Hal ini memperlihatkan bahwa pilkades merupakan suatu bentuk demokarasi.

Dari segi yuridis bahwa ketentuan mengenai kepala desa dari kewenangan, hak dan kewajiban, sampai dengan pilkades seharusnya bisa dilaksankan dengan baik. Namun secara

sosiologis terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaannya khususnya dalam pilkades. Pada tanggal 29 Juli 2009 telah terjadi sengketa hasil pemilihan kepala desa di Desa Karanggeneng, Kecamatan Boyolali. Dimana adaya selisih 4 suara yang dipermasalahkan oleh salah satu calon kepala desa (cakades) terhadap lawannya yang dianggap curang6. Pada tanggal 25 Juni 2019 juga terdapat penyelenggaraan pilkades di Kecamatan Kebumen yang berujung adanya pelaporan oleh warga desa yang mengganggap adanya pelanggaran dalam penyelenggaraan pilkades seperti politik uang, kampanye di hari tenang dan hari H, tidak masuk daftar pemilih akan tetapi dapat memberi suara7. Berita terkait permasalah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa ini masih banyak terjadi.

Sesungguhnya dalam UU Desa yang berlaku pada tahun 2014, sudah menentukan aturan dalam pencegahan saat terjadinya sengketa setelah dilaksanakan pemeilihan kepala desa. Dalam Pasal 59 dijelaskan bahwa saat salah satu cakades jika merasa dirugikan dapat melaporkan permasalahn tersebut kepada pihak panitia pilkades. Pelaporan harus disertakan bukti-bukti, pelaporan diberikan jangka waktu paling lambat satu jam setelah penghitungan suara selesai. Pihak panitia memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah dalam penyelesaian permasalah tersebut, dan keputusan panitia pilkades bersifat final. Lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 memang ada mengatur mengenai mekanisme lanjutan dalam pilkades, namun peraturan pemerintah tersebut juga dirasa masih belum lengkap karena terdapat ketidak jelasan dalam Pasal 46 yang menentukan aturan pilkades lebih lanjut diatur dalam peraturan menteri, hanya saja pertaturan menteri tersebut masih belum mengatur mengenai penyelesaian sengketa pilkades secara jelas.

Permasalahannya apakah pihak cakades dapat menerima hasil keputusan dari panitia penyelenggara ? jawabannya bisa iya, bisa tidak. Permasalahan yang sering terjadi yaitu hasil keputusan panitia tidak diterima dan melanjutkan perkara tersebut pada tahap selanjutnya demi rasa keadilan yang dinginkan para pihak tercapai. Hal ini menjadi polemik hukum mengenai pihak atau lembaga apa yang memiliki kewenangan jika terjadinya sengketa dalam penyelenggaraan Pilkades.

Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “Problematika Model Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Desa”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan di atas, terlihat adanya permasalahan yang harus dipecahkan secara serius saat terjadinya sengketa dalam penyelenggaraan pilkades, seperti:

  • 1.    Bagaimana model penyelesaian sengketa hasil pilkades dan lembaga mana yang berhak menyelesaikannya ?

  • 2.    Bagaimana seharusnya dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa menurut prespektif ius contituendum ?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Penulisan karya ilmiah ini memiliki dua tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut :

  • 1.    Tujuan Umum

Tujuan umum dari Riset ini untuk memberikan solusi dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan sengketa hasil pemilihan kepala desa. Masih banyak masyarakat yang awam mengenai bagaimana model penyelesaian sengekta pemilihan kepala desa.

  • 2.    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah:

  • 1.    Dengan adanya UU Desa dan didukung dengan riset ini maka kedepannya jika terjadi sengketa hasil pemilihan kepala desa, penelitian ini dapat membantu memberikan refrensi dalam proses penyelesaiannya.

  • 2.    Untuk mengetahui aturan apa kedepannya yang dapat   digunakan   dalam   meneyelesaikan

perselisihan pilkades.

  • II.    Isi Makalah

    2.1.    Metode Penelitian

Riset ini dilakukan dengan menggunakan studi hukum normatif. Esensi dalam penelitian hukum normatif yaitu mengkaji suatu fenomena hukum berdasarkan aturan-aturan atau kaidah hukum yang berlaku pada saat ini di ruang lingkup masyarakat luas khususnya di Indonesia. Dimana dalam berprilaku secara umum masyarakat berpatokan pada norma atau kaidah hukum yang ada saat ini8.

  • 2.2.    Hasil Dan Pembahasan

    2.2.1.    Model Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Desa

Otonomi yang dimiliki oleh desa merupakan otonomi asli, mutlak dan seutuhnya dari jaman terbentuknya desa di Indonesia dan bukan pemberian dari penjajah ataupun pemerintah. Justru pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati orisinalitas otonomi dari suatu desa. Desa dapat melakukan suatu hubungan atau perbuatan hukum baik itu perdata maupun publik, dikarekan desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kekayaan, harta benda serta dapat menuntut dan dituntut di hadapan pengadilan9.

Berbicara dapat menuntut dan dituntut di hadapan pengadilan dikaitkan dengan permasalahan pilkades, maka permasalahan ini merupakan suatu yang penting untuk dijelaskan secara ilmiah letak dari pilkades apakah masuk dalam kategori pemilu atau bukan.

Penentuan status pemilihan kepala desa memiliki dampak pada penyelenggaraan pilkades dan pihak mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala desa. Pada bagian ketiga UU Desa memperlihatkan bentuk penyelenggaraan pilkades masuk dalam hukum desa dan bukan masuk dalam golongan hukum pemilu. Ketentuan ini ditegaskan pada Pasal 32 UU Desa dimana pada penyelenggaraan pilkades yang membentuk panitia pilkades adalah Badan Permusyawaratan Desa. Pada penyelesaian sengketa hasil pilkades tidak terlihat peran Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pilkades.

Selama ini aturan penyelesaian hasil pilkades di Indonesia masih belum jelas, undang-undang yang menentukan secara ekplisit mengenai model penyelesaian sengketa hasil pilkades. Namun setelah di bentuknya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lalu adanya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, maka terlihat titik temu mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pilkades ini diatur pada Peraturan Daerah Kabupaten/kota10.

Terkait penyelesaian sengketa hasil pilkades terdapat pada ketentuan Pasal 37 ayat (5) dan (6) UU Desa. Diketentuan tersebut mengatur bahwa jika terjadi perselisihan hasil pemilu maka Bupati/walikota memiliki kewajiban untuk menyelesaikan perselisihan tersebut dengan jangka waktu yang ditetapkan maksimal selama 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterimanya laporan hasil pemilihan dari panitia penyelenggara dalam bentuk surat keputusan Bupati/walikota. Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa pilkades ini juga ditentukan pada Peraturan pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, dimana peraturan ini lebih mempertegas mengenai pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa yaitu Bupati/Walikota dan jangka waktu penyelesaian sengketa selama 30 (tigapuluh) hari. Namun hal yang paling disayangkan dari peraturan pemerintah ini yaitu pada Pasal 46 menentukan bahwa aturan lebih lanjut mengenai pemilihan kepala desa diatur dengan Peraturan Menteri. Dalam Peraturan Menteri nomor 65 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Kepala Desa lebih berfokus pada ketentuan durasi masa jabatan kepala desa, aturan periode penyelenggaraan pemilihan kepala desa, dan

pemilihan desa antar waktu. Mengenai sengketa permasalahan pemilihan kepala desa tidak lepas dari ketentuan diselesaikan oleh badan permusyawarahan desa. Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf f tidak dijelaskan mekanisme mengenai bagaimana cara penyelesain sengketa pilkades secara detail.

Penjelesan di atas mengenai kewenangan dan model penyelesaian sengketa dalam ranah sengketa hasil pilkades, memperlihatkan bahwa upaya dalam penyelesaian sengketa pilkades cenderung dilakukan pada tahap di luar pengadilan atau non-litigasi. Dalam penyelesaian sengketa ini tentunya yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan adalah bupati/walikota, bukan hakim atau lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa di luar ranah peradilan ini sering dikenal dengan nama alternative dispute resolution11.

Istilah Alternative dispute resolution atau yang lebih dikenal dengan singkatan ADR, bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat Indonesia. ADR selama ini dikenal dengan penyelesaian secara musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian, dan lain-lain12

  • 2.2.2.    Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Desa dilihat dari perspektif ius contituendum

Perlu adanya relasi antara pemerintah dengan desa khususnya dalam menyelesaikan permasalahan-permaslahan di desa seperti sengketa pilkades, oleh karenanya pemerintah harus melakukan pendekatan terhadap desa13. Kehadiran pemerintah seharusnya tidak dalam bentuk intervensi atau

campur tangan yang berujung dengan melemahkan otonomi desa14. Namun kehadiran pemerintah dalam penyelesaian suatu permasalahan di ruang lingkup desa yaitu memberikan fasilitas seperti yang tertuang pada ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yaitu penghormatan dan pengakuan. Fasilitas yang dimaksud dalam hal ini yaitu melalui suatu pembentukan peraturan perundang-undangan, pemerintah memberikan fasilitas guna memperkuat otonomi asli desa.

Negara perlu mengambil suatu tindakan dalam menfasisilitasi institusi lokal dengan melakukan emansipasi lokal melalui pengakuan oleh negara15. Salah satu upaya pemerintah dalam menyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala desa yaitu dengan memberikan fasilitas berupa perundang-undangan yang dilengkapi dengan dasar hukum untuk mengakui dan mengatur sistem musyawarah desa sebagai suatu mekanisme pertama dan utama dalam upaya penyelesaian sengketa pilkades. Dengan demikian terciptanya suatu hubungan antar pemerintah dan desa, serta menguatkan demokrasi lokal yang ada di desa.

Secara ius contituendum, perlu adanya ketentuan baru dalam penyelesaian sengketa hasil pilkades, diharapkan adanya sistem kesepakatan para pihak untuk menentukan pihak ketiga mediator yang independen. Dalam kesepakatan tersebut para pihak menyetujui pemilihan pihak ketiga yang terlepas dari keberpihakan dalam negosiasi penyelesaian sengketa. Proses penyelesaian perlu dibatasi yakni maksimal

diselesaikan selama 7 (tujuh) hari, guna menghindari potensi tidak tercapainya kesepakatan.

Kedepannya juga perlu dibentuk lembaga peradilan khusus yang memiliki kewenangan dalam penyelesaian sengketa hasil pilkades, yang memiliki kepastian hukum mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan. Tentunya lembaga ini harus memiliki tujuan yaitu mampu memberikan kepastian dan keadilan di mata masyarakat dan juga dalam proses demokrasi yang ada di desa.

Tentunya sifat peradilan ini bukanlah permanen atau tetep. Peradilan dalam ranah penyelesaian sengketa pilkades ini hanya bersifat ad hoc dan khusus. Ketentuan yang bersifat ad hoc ini dikarenakan peradilan ini ada hanya saat diselenggarakannya pilkades serentak. Saat berakhirnya pemilihan kepala desa, maka masa kerja peradilan khusus penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa juga berakhir. Kekhususan peradilan ini disoroti dari bagaimana sifat peradilan ini hanya berwenang dalam peenyelesaian sengketa hasil pilkades. Dengan tujuan menghindari kesan penambahan lembaga baru dan bertambahnya biaya yang tidak sedikit, konsep pengadilan ad hoc dan khusus ini cocok diterapkan dalam mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala desa16.

Kedudukan pengadilan khusus mengenai penyelesaian sengketa hasil pilkades pada tatanan Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya berada di kabupaten/kota banyaknya jumlah desa di Indonesia, dirasa cukup memudahkan para pihak yang berkepentingan dalam perselisihan sengketa pilkades ini untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil

pilkades di pengadilan khusus pilkades dikarenakan letak pengadilan khusus ini berada di daerah hukum Pengadilan Negeri yang bertempat di setiap kebupaten/kota.

Adanya daluarsa atau tenggang waktu dalam gagasan skema penyelesaian sengketa pilkades melalui pengadilan khusus ini. Tenggang waktu yang dimaksud yaitu batasan waktu dari pengajuan permohonan sampai penjatuhan putusan dari hakim ad hoc. Pengajuan permohonan perselisihan hasil pilkades yaitu 3 (tiga) hari sejak tanggal diselesaikan sengketa hasil pilkades melalui jalan ADR atau 17 (tujuh belas) hari sejak pengesahan kepala desa terpilih dari panitia pilkades. Batas waktu pemberian putusan oleh hakim ad hoc yaitu maksimal 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya permohonan.

Sifat putusan sengketa pilkades yang dikeluarkan oleh pengadilan khusus sengketa pemilihan kepala desa ini final dan mengikat. Pengadilan khusus ini merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam memutus suatu sengketa hasil pilkades. Dengan tidak adanya upaya hukum lagi, maka putusan pengadilan khusus mengenai perselisihan pilkades ini mempunyai kekuatan hukum tetap sejak putusan dibaca dalam persidangan.

  • III.    Penutup

    3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa dan penyelesaiaannya di masa yang akan datang, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Problematika dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa dapat digunakan jalan musyawarah dengan bupati/walikota yang memiliki wewenang menyelesaikan dan harus berpedoman dengan asas otonomi asli desa. Ketentuan ini diatur pada Pasal 37 ayat (5) dan (6). Model lain dalam penyelesaian sengketa pilkades ini yaitu dengan pemilihan pihak ketiga yang tidak ada keberpihakan pada kedua kubu dan pihak ketiga ini sudah disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dilihat dari prespektif ius contituendum dalam penyelesaian sengketa hasil pilkades pemerintah membentuk peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkades agar keputusan penyelesaian sengketa ini memiliki kekuatan hukum tetap.

  • 3.2.    Saran-Saran

  • 1.    Bagi panitia pilkades dalam hal ini yang di tunjuk oleh badan pemusyawaratan desa agar dalam penyelenggaraan pilkades dapat memonitoring proses pemilihan kepala desa secara seksama dan teliti dalam memutuskan hasil pilkades, hal ini bertujuan agar menghindari terjadinya perselisihan antara para calon kepala desa dan pihak-pihak yang berkaitan.

  • 2.    Bagi pemerintah, agar membuatkan peraturan mengenai mekanisme pilkades secara detail dari proses pencalonan sampai proses penyelesaian sengketa. Selain itu dibuatkan aturan yang pasti mengenai pembentukan peradilan khusus yang memiliki kewenagan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkades.

Daftar Pustaka

Buku

Ananto Basuki dan Shofwan, 2006, Penguatan Pemerintahan Desa Berbasis Good Govermance,  Sekretariat Otonomi Desa

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang.

Ishaaq, 2017, Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Desertasi, Alfabeta, Bandung.

Sophar Maru Hutagalung, 2012, Praktit Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta.

Jurnal

Astuti, T. P., & Yulianto, Y. Good Governance Pengelolaan

Keuangan Desa Menyongsong Berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Berkala Akuntansi dan Keuangan Indonesia,  vol.1 no.1, edisi Maret 2016, https://e-

journal.unair.ac.id/index.php/BAKI/article/view/1694, diakses tanggal 25 April 2019.

1Hasjimzoem, Y. (2014). Dinamika Hukum Pemerintahan Desa. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, edisi vol.8 no.3, Juli -September                                       2014,

https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/31 2, diakses tanggal 26 April 2019.

Putra, B. A. Model Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Desa. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, edisi Maret 2015, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/ index.php/hukum/article/view/1015, diakses tanggal 23 April 2019.

Ridlwan, Z. (2015). Payung hukum pembentukan BUMDes. Fiat Justisia, vol.7 no.3, edisi September – Desember 2013, https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/39 6, diakses tanggal 26 April 2019.

Roza, D., & Arliman, L. (2017). Peran Badan Permusyawaratan Desa di Dalam Pembangunan Desa dan Pengawasan Keuangan Desa. Padjadjaran Journal of Law, edisi vol.4 no.3, edisi April 2017, http://journal.unpad.ac.id/pjih/ article/view/13854/7215, diakses tanggal 26 April 2019.

Saraswati, R. Arah Politik Hukum Pengaturan Desa Ke Depan (Ius Constituendum). Masalah-Masalah Hukum, vol.43 no.3, edisi Juli 2014, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/ article/view/8941/7262, diakses tanggal 25 April 2019.

Sunu, I. G. K. A. (2014). Harmonisasi, Integrasi Desa Pakraman dengan Desa Dinas yang Multietnik dan Multiagama Menghadapi Pergeseran, Pelestarian, dan Konflik di Bali. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, vol.3 no.3, edisi Oktober 2014, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/ JISH/article/view/4469, diakses tanggal 26 April 2019.

Internet

Akhmad Ludiyanto, Bukan Hanya Karena Selisih 4 Suara, Ini Pemicu Sengketa di Pilkades Karanggeneng Boyolali, https://soloraya.solopos.com/read/20190704/492/100300 7/bukan-hanya-karena-selisih-4-suara-ini-pemicu-sengketa-di-pilkades-karanggeneng-boyolali,  Diakses pada

tanggal 29 Agustus 2019.

Rinto Heksantoro, Belasan Kasus Dugaan Pelanggaran Pilkades Kebumen dilaporkan, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4617925/belasan-kasus-dugaan-pelanggaran-pilkades-kebumen-dilaporkan, Diakses pada tanggal 29 Agustus 2019.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495).

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2005, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587).

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539).

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peratruan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2019, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6321).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 2029 Tahun 2014).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1221 Tahun 2017).

18