KRIMINALISASI PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI

(EIGENRICHTING) DALAM HUKUM PIDANA DI
INDONESIA

I Gusti Agung Kiddy Krsna Zulkarnain

Ida Bagus Surya Dharma Jaya**

Program Kekhususan Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan perbuatan tercela dan juga menyimpang dari nilai-nilai moral manusia. Perbuatan main hakim sendiri tidak diatur secara khusus dalam peraturan hukum pidana di Indonesia, namun dengan maraknya kasus perbuatan main hakim sendiri tersebut, hal ini perlu diatur rumusannya di dalam aturan atau perundang-undangan yang berlaku di Indonesia kedepannya. Berdasarkan latar belakang tersebut diangkat suatu permasalahan terkait apakah pelaku perbuatan main hakim sendiri dapat dihukum dalam hukum pidana di Indonesia dan bagaimanakah sebaiknya pengaturan perbuatan main hakim sendiri dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang.

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif. Jenis Pendekatan yang digunakan meliputi Pendekatan Kasus, Pendekatan Perundang-undangan dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku perbuatan main hakim sendiri dapat dipidana. Pasal yang dapat digunakan untuk menghukum pelaku main hakim sendiri adalah Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, Pasal 170 KUHP yang mengatur mengenai kekerasan dengan tenaga bersama terhadap orang atau badan, Pasal 406 KUHP mengatur mengenai menghancurkan, merusakkan, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu milik orang lain, Pasal 338 KUHP mengatur mengenai kejahatan terhadap nyawa atau merampas nyawa orang lain dan 354 KUHP

mengatur mengenai penganiayaan berat. Dalam hal ini dibutuhkan aturan yang lebih khusus agar kedepannya orang maupun kelompok tidak melakukan perbuatan main hakim sendiri dan agar dapat memudahkan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku perbuatan tersebut.

Kata Kunci : Kriminalisasi, Main Hakim Sendiri, Hukum Pidana.

Abstract

Vigilante (eigenrichting) is a disgraceful act and also deviate from human moral values. Vigilante actions not specifically stipulated in the rules of criminal law in Indonesia, but with the rise of vigilante action cases such, it is necessary to regulate its formulation in the regulation or legislation in force in Indonesia in the future. Based on this background raised an issue related to whether the perpetrators of vigilante acts can be punished under criminal law in Indonesia and how should arrangements vigilante actions in the Indonesian criminal law in the future.

This type of research is Normative Legal Research. The approach used types include Case Approach, Approach Legislation and Legal Concepts Analysis Approach.

The results showed that the perpetrators of vigilante acts can be imprisoned. Article which can be used to punish perpetrators of vigilante is Article 351 of the Criminal Code on Torture, Article 170 of the Criminal Code concerning violence with force together against any person or entity, Article 406 of the Criminal Code governing destroy, damage, make unusable or eliminate items that belongs others, Article 338 of the Criminal Code regulates crimes against life or the lives of others rob and 354 of the Criminal Code regulating the severe persecution. In this case required more specific rules so that future people or groups are not committing vigilante and in order to facilitate law enforcement authorities in prosecuting such actions.

Keywords: Criminalization, Vigilante, Criminal Law.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Semenjak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya dalam wadah yang kita kenal sebagai masyarakat. Mula-mula ia berhubungan dengan orang tuanya dan setelah usianya meningkat dewasa ia hidup bermasyarakat, dalam masyarakat

tersebut manusia saling berhubungan dengan manusia lainnya, sehingga menimbulkan kesadaran pada diri manusia bahwa kehidupan dalam masyarakat berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian besar warga masyarakat tersebut ditaati. Hubungan antara manusia dengan manusia dan masyarakat diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang mana hal ini disebut dengan hukum.1

Dewasa ini, kita sering melihat banyaknya masyarakat yang melakukan perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum yang mengganggu ketenangan dan ketentraman. Salah satunya contohnya pelakunya sering melakukan suatu tindak pidana pencurian, pembunuhan, perampasan dan lain-lainnya yang haruslah diproses secara hukum, namun pada kenyataannya masyarakat terkadang melakukan perbuatan main hakim sendiri, misalnya terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang tertangkap tangan. Seperti yang dilakukan warga Cirebon, tepatnya di jalan raya dekat Balai Desa Grogol, Cirebon, Jawa Barat yaitu pada tanggal 22 Oktober 2015. Seorang penjambret bernama MD Suwadi tertangkap basah mengambil atau menjambret sebuah kalung pejalan kaki. Kejadian berawal, pelaku menggunakan motor Mio Merah memepet korban yang sedang berjalan kaki, seketika itu pelaku menjambret kalung emas korban seberat 10 gram. Pada saat yang bersamaan korban mencoba mengejar pelaku dan berteriak minta tolong. Setelah

tertangkap pelaku dihajar dan langsung dibakar oleh warga sekitar di pinggir jalan.2

Hal ini dapat dikatakan sebagai perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Tentu saja tindakan itu tidak memiliki legalitas dalam hukum positif kita. Namun sejatinya tindakan atau perbuatan main hakim sendiri dapat dikenakan hukuman. Tapi kenyataannya, aksi-aksi perbuatan main hakim sendiri masih terus terjadi dan kerap kita dengar. Kejadian serupa juga terjadi di kawasan Bekasi pada tahun 2017, yang mana terjadi kasus pembakaran hidup-hidup terhadap seorang terduga pelaku tindak pidana pencurian pengeras suara (amplifier), hingga menyebabkan meninggalnya terduga pelaku.3

Sangat disadari bahwa hukum pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang dan sangat dinamis serta tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana nasional menjadi sangat penting dan mendesak untuk dikedepankan.4

Kita ketahui pada kenyataannya hukum yang ada di Indonesia belum bisa memberikan hukuman yang tegas terhadap pelaku

perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting), hal ini terjadi dikarenakan adanya kekosongan hukum yang berakibat sulitnya melakukan penindakan terhadap pelaku main hakim sendiri (eigenrichting) tersebut karena tidak ada aturan tegas yang mengatur perbuatan tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas penulis mendapatkan beberapa pokok masalah dalam jurnal ilmiah ini yaitu :

  • a.    Apakah pelaku perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dapat dihukum dalam hukum pidana di Indonesia?

  • b.    Bagaimanakah pengaturan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk mengetahui pelaku perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dapat dihukum dalam hukum pidana di Indonesia dan untuk mengetahui pengaturan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

Perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan suatu tindakan yang mana tidak diatur secara khusus dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, hal tersebut merupakan kekosongan hukum sehingga metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal merupakan penelitian dari perspektif internal dengan obyek

penelitiannya adalah norma hukum. 5 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai acuan dasar dalam membentuk norma-norma hukum.6 Penelitian hukum normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book).7

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan.

    • 2.2.1    Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) dalam Hukum Pidana di Indonesia

Pengertian tindakan main hakim sendiri menurut Sudikno Mertokusumo adalah tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian.8

Perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dewasa ini, dipandang oleh sebagian besar masyarakat lndonesia sebagai perbuatan buruk atau tercela, namun dalam KUHP yang berlaku saat ini di Indonesia, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) zaman Hindia Belanda, perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting)

tidak dinyatakan/ tidak diatur secara khusus di dalamnya. 9 Indonesia sendiri menganut asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang mana memuat : “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Kasus perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan suatu bentuk reaksi masyarakat dikarenakan adanya pelanggaran norma yang berlaku di masyarakat. Reaksi masyarakat, ditinjau dari sudut sosiologis, dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. 10 Pada hakekatnya tindakan atau perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) ini merupakan pelaksanaan sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak terkendali.11

Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak terdapat pasal-pasal yang mengatur secara khusus mengenai perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Namun, ada beberapa pasal yang berkaitan halnya dengan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) tersebut yaitu: Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan dengan ancaman pidana penjara atau denda, yang berbunyi : Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya

dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-, Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, Jika perbuatan itu mengakibatkan mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja, Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di pidana. Selain itu juga Pasal 170 KUHP mengatur mengenai kekerasan dengan tenaga bersama terhadap orang atau badan dan diancam dengan pidana penjara, Pasal 406 KUHP mengatur mengenai menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu milik orang lain dan diancam dengan pidana penjara atau pidana denda, Pasal 338 KUHP mengatur mengenai kejahatan terhadap nyawa atau merampas nyawa orang lain dan 354 KUHP mengatur mengenai penganiayaan berat.

Dewasa ini kasus perbuatan main hakim sendiri semakin marak terjadi di dalam masyarakat dan beberapa dari kasus tersebut telah di proses secara hukum yang mana dibuktikan dengan putusan-putusan dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung tersebut, yang salah satu contohnya yaitu:

  • 1.    Putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor: 50/ PID.B/ 2015/ PN-Cjr, yang mana Menyatakan terdakwa “I. Boski Alias Nunuh Bin Muhamad Soleh dan terdakwa II. Kiki Supriadi Als Isul Bin Muhamad Soleh” tebukti secara sah dan  meyakinkan bersalah  melakukan tindak  pidana

“pengeroyokan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • 2.    Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 24/ PID.B/ 2016/ PN SDA, Menyatakan terdakwa Eko Suharyo Als Cuet tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ penganiayaan”.

  • 3.    Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2015 K/ Pid/ 2007 yang memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi yang mana memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 109/PID/2007/PT.Smg.  tanggal 29  Mei 2007,

sehingga berbunyi sebagai berikut: Menyatakan Terdakwa I Agus Santoso Bin Senen dan Terdakwa II Usroni Bin Daliman terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana “Di Muka Umum Bersama-Sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang”.

Jadi dapat dikatakan di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini tidak terdapat secara khusus pasal atau aturan yang mengatur mengenai perbuatan main hakim sendiri tersebut. Namun, pelaku perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya dan dijerat dengan pasal-pasal yang berkaitan halnya dengan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) tersebut.

  • 2.2.2    Pengaturan Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Dalam Hukum Pidana Indonesia di Masa Mendatang

Dalam hal ini di dalam KUHP di Indonesia belum ada secara khusus mengatur mengenai perbuatan main hakim sendiri atau (eigenrichting). Hal inilah yang menjadi alasan atau banyaknya tindakan main hakim sendiri semakin marak terjadi di Indonesia.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai negara

hukum, maka untuk menjalankan suatu negara dan perlindungan hak asasi manusia harus berdasarkan hukum. Hukum pidana di Indonesia tidak bisa diharapkan dengan baik dalam penegakan hukum sesuai hak asasi manusia karena Hukum Pidana Indonesia dibuat pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, dan setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 tentu sudah ketinggalan zaman atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Di samping tidak sesuai dengan perkembangan bangsa, Hukum Pidana Indonesia buatan penjajah juga tidak sesuai dengan situasi politik, filosofis, dan sosiologis. Hal tersebut merupakan alasan perlu dilakukannya pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Menurut Soedarto, tiga alasan pembaharuan hukum pidana di Indonesia, yaitu: alasan politik, sosiologis, dan praktis (kebutuhan dalam praktik). Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana tersebut sudah merupakan kewajiban dilakukan pembaharuan agar sesuai dengan perkembangan masyarakat.12

Dapat dikatakan banyak yang telah melakukan pembaharuan hukum pidananya, terutama setelah Perang Dunia II baik negara-negara, seperti Jerman, Polandia, Swedia, Jepang, Yugoslavia, maupun negara-negara yang baru tumbuh setelah Perang Dunia II, seperti Korea Selatan dan Mali. Korea Selatan misalnya, telah melakukan KUHP produk sendiri tahun 1953, sedangkan Mali mengesahkan KUHP sendiri pada tahun 1963. 13 Oleh karena itu, negara Indonesia sudah seharusnya melakukan pembaharuan

hukum pidana terkhususnya mengatur mengenai perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Saat ini, Indonesia baru membuat rancangan KUHP dan sudah ada di tangan DPR RI untuk di bahas.

Dewasa ini, sampai dengan bulan September 2019, RUU KUHP yang telah di bahas dan sudah ada ditangan DPR RI pun, tidak ada satu pasal pun yang mencantumkan aturan mengenai perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Namun, ada beberapa pasal yang berkaitan halnya dengan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) tersebut yaitu: Pasal 452 mengatur mengenai merampas kemerdekaan orang atau meneruskan perampasan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 464 mengatur mengenai merampas nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 472 mengatur mengenai melakukan penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III dan Pasal 597 mengatur mengenai melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.

Walaupun didalam KUHP dan RUU KUHP telah dicantumkan mengenai pasal-pasal yang berhubungan dengan perbuatan main hakim sendiri, Namun pasal-pasal tersebut belum dapat mengakomodir rumusan-rumusan prinsip atau unsur-unsur yang masuk kedalam perbuatan main hakim sendiri tersebut.

Pencantuman atau pengaturan secara khusus/ pasal tersendiri mengenai perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) di dalam RUU KUHP ini dapat dikatakan cukup penting yang mana dengan

beberapa pertimbangan maupun alasan-alasan yang mengacu kepada beberapa sumber, pendapat maupun pengertian ahli yaitu:

  • 1.    Seperti halnya arti dari main hakim sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Eigenrichting” yang berarti cara main hakim sendiri, mengambil hak tanpa mengindahkan hukum, tanpa sepengetahuan pemerintah dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah.14

  • 2.    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, main hakim sendiri adalah tindakan menghakimi orang lain tanpa memperdulikan hukum yang ada.15

  • 3.    Menurut Firganefi main hakim sendiri adalah tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, yang melanggar aturan hukum tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku.16

Jadi dapat disimpulkan bahwasanya perbuatan main hakim sendiri perlu diatur secara khusus/ pasal tersendiri di dalam RUU KUHP yang mana suatu perbuatan tersebut memenuhi beberapa unsur maupun prinsip yaitu dilakukan baik perseorangan maupun kelompok, adanya suatu tindakan menghakimi orang lain, didasarkan dengan emosi yang sengaja, dilakukan secara sewenang-wenang, perbuatan tersebut melanggar aturan hukum tanpa melalui

prosedur hukum yang berlaku dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah.

Hal ini diharapkan kedepannya agar dapat memudahkan aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi tegas terhadap pelaku perbuatan main hakim sendiri dikarenakan adanya suatu legalitas hukum tersebut, pelaku dari perbuatan tersebut dapat merasakan efek jera dari hukuman yang diterimanya berkaitan halnya dengan pidana pokok maupun pidana tambahan dan diharapkan kedepannya kasus perbuatan main hakim sendiri ini semakin berkurang di Indonesia dan hal ini dapat memunculkan sikap dewasa dalam masyarakat dan juga sikap percaya kepada aparat penegak hukum untuk melakukan suatu penindakan bilamana terjadi suatu permasalahan dalam masyarakat.

  • III.  PENUTUP

  • 3.1  Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) di dalam Hukum Pidana Indonesia belum diatur secara khusus di dalam KUHP, namun pelaku perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya dan dijerat dengan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP yaitu Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan secara bersama-sama, Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang Perusakan, Pasal 338 KUHP tentang merampas nyawa orang lain dengan sengaja dan Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat.

  • 2.    Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia yang dalam hal ini RUU KUHP, belum mengatur secara khusus mengenai perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Bahwasanya perbuatan main hakim sendiri perlu diatur secara khusus/ tersendiri di dalam RUU KUHP. Perbuatan tersebut harus memenuhi beberapa unsur maupun prinsip yaitu dilakukan baik perseorangan maupun kelompok, adanya suatu tindakan menghakimi orang lain, didasarkan dengan emosi yang sengaja, dilakukan secara sewenang-wenang, perbuatan tersebut melanggar aturan hukum tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Bagi Lembaga Legislatif Indonesia sebaiknya merumuskan suatu aturan yang mengatur secara khusus tentang perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) tersebut dan terkhususnya dimasukkannya kedalam RUU KUHP, hal ini dimaksudkan agar adanya suatu legalitas hukum dan dapat memudahkan aparat penegak hukum untuk menindak dan memberikan sanksi terhadap pelaku perbuatan tersebut.

  • 2.    Bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Aparat Penegak Hukum yang berwenang dapat melakukan suatu tindakan preventif yaitu penyuluhan hukum secara berkala untuk membangun dan meningkatkan kesadaran hukum ditengah kehidupan bermasyarakat sehingga masyarakat tidak melakukan suatu tindakan yang melawan hukum terkhususnya perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam

Perspektif Kajian  Perbandingan,  PT Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia,

Liberty, Yogyakarta.

Siahaan, Monang, 2016, Pembaruan Hukum Pidana Indonesia,

Grasindo, Jakarta.

Jurnal Ilmiah

Anak Agung Gede Triyatna, I Gusti Ngurah Parwata, 2019, “Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Pekerja Seks Komersial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana”, Jurnal Kertha Wicara Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 08, No. 04, Juni 2019.

I Komang Mahardika Wijaya, I Gede Yusa, 2019, “Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Penggunaan Jasa Prostitusi di Indonesia”, Jurnal Kertha Wicara Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 08, No. 01, Maret 2019.

Ni Putu Maitri Suastini, I Gusti Ngurah Parwata, 2019, “Pemidanaan Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Dalam Kaitannya Dengan Kontrol Sosial (Social Controlling)”, Jurnal Kertha Wicara Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 08, No. 02, Mei 2019.

Agusta Ridha Minin, 2018, “Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Intimidasi di Internet (cyberbullying) Sebagai Kejahatan

Mayantara (cybercrime)”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Samudra-Langsa Aceh, Aceh, Vol. 02, No. 02, Februari 2018.

I Wayan Agus Harry Saputra,  I Made Arya Utama, 2018,

“Kriminalisasi Terhadap Perilaku Cabul Antar Orang Dewasa Sesama Jenis (Lesbian dan Gay)”, Jurnal Kertha Wicara

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 07, No. 02, Maret 2018.

Riva Cahya Limba, 2018, “Peranan Penyidik Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) (Studi Pada Polresta Bandar Lampung)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

I Made Ardian Prima Putra, Marwanto, 2017, “Pidana Pengawasan Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia”, Jurnal Kertha Wicara Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 06, No. 04, Oktober 2017.

Maruli, 2017, “Pemidanaan Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Amin Waliyudin, 2016, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Massa Yang Melakukan Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Eli Supianto, 2014, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Yang dilakukan Oleh Massa Terhadap Pelaku Tindak Pidana (Studi Kasus di Kota Makassar

Tahun 2009 s/d 2012)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

Julian Sidiq, 2014, “Persepsi Aparat Penegak Hukum Mengenai Pertanggungjawaban Masyarakat Yang Main Hakim Sendiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Meninggal Dunia di Kota Bengkulu”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Muhammad Randi Ramli, 2014, “Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Kejahatan Imigran di Makassar (Tahun 20122013)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

Internet

Baban Gandapurnama, 2015, “Main Hakim Sendiri, Penjambret Kalung Emas di Cirebon Dibakar Massa”, URL : http://news.detik.com/berita/3051250/main-hakim-sendiri-penjambret-kalung-emas-di-cirebon-dibakar-massa,    diakses

tanggal 20 Mei 2017.

Peraturan Perundang – undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

17