PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DAN PEREMPUAN

SELAKU KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL*

OLEH:

I Wayan Budiarta**

I Gusti Ngurah Parwata***

Fakultas Hukum

Universitas Udayana

Abstrak

Penyalahgunaan seksual merupakan suatu perbuatan yang berkaitan dengan seksualitas yang tidak tepat pada waktu dan tempatnya. Penyalahgunaan seksual terhadap anak dan perempuan mengarah kepada kekerasan seksual yang meliputi pelecehan seksual, kontrol seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang harus mendapatkan perlindungan. Penulisan ini merumuskan dua permasalahan, yakni bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual dan faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya kejahatan seksual. Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap anak selaku korban kejahatan seksual dan faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan seksual. Metode dalam penulisan ini adalah metode penulisan hukum normatif dengan pendekatan perundangan dan pendekatan konsep hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual dapat dilakukan dengan perlindungan hukum yang bersifat prefentif dan represif. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan seksual adalah, faktor ekonomi, faktor mentalitas dan moral, faktor korban, faktor lingkungan dan masyarakat.

Kata Kunci: Kejahatan, Seksual, Perlindungan Hukum

Abstract

Sexual abuse is an act related to sexuality that is not appropriate in the time and place. Sexual abuse of children and women leads to sexual violence which includes sexual harassment, sexual control, rape, sexual exploitation, sexual torture that is contrary to the principles of human rights that must be protected. This writing formulates two problems, namely how the legal protection of children and women who are victims of sexual crimes and what factors influence the occurrence of sexual crimes. The purpose of this paper is to determine the legal protection arrangements for children as victims of sexual crimes and factors that influence the occurrence of sexual crimes. The method in this paper is the method of writing normative law with the legislative approach and legal concept approach. The results showed that the legal protection of children and women who are victims of sexual crimes can be done with legal protection that is preventive and repressive. Factors that influence the occurrence of sexual crimes are economic factors, mentality and moral factors, victim factors, environmental and community factors.

Keywords: Crime, Sexual, Legal Protection

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Seks sebagai syarat dari suatu kehidupan merupakan fitrah biologis yang berlaku dalam peradaban manusia dari zaman ke zaman. Seluruh mahluk hidup mempertahankan kelangsungan kehidupannya dengan cara memproduksi diri dengan lawan jenis kelaminnya untuk menghindari kepunahan.

Seksualitas berdasarkan Pasal 1 angka 21 Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, diartikan sebagai unsur utama manusia untuk keberlangsungan seluruh hidupnya meliputi seks, identitas dan peran-peran gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan, keintiman dan reproduksi yang dialami dan diekspresikan dalam berbagai

pemikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, sikap, nilai, prilaku, praktek, peran, dan hubungan antar individu, yang dipengaruhi oleh intraksi dari faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, dan spiritualitas.1

Sebagai bagian penting dari perkembangan peradaban manusia, seksualitas telah dipandang sebagai hal yang suci dalam berbagai ajaran agama dan kepercayaan    masyarakat.     Seksualitas     dalam

perkembangan peradaban manusia tidak dapat teerpisahkan dari aspek negatif dalam kehidupan bermasyarakat.    Seksualitas    dalam    kehidupan

bermasyarakat dipandang sebagai penyimpangan sehingga tidak sejalan dengan fitrah atau makna hakiki dari seksualitas yang sejati.

Penyalahgunaan seksual dapat dimaknai sebagai kekerasan seksual.2 Bentuk-bentuk dari kekerasan seksual dapat berupa pelecehan seksual, kontrol seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perlakuan atau penghukuman lain yang tidak manusiawi terhadap tubuh serta seksualitas yang mengarah ke organ reproduksi.3 Permasalahan yang berkaitan dengan penyimpangan seksual di Indonesia meliputi permasalahan mengenai seks bebas, seks dibawah umur.4

Berdasarkan hasil survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada tahun 2017 yang diterbitkan pada bulan september 2018, remaja perempuan dengan rentan usia 15 sampai 19 tahun sebanyak 0,9 % atau setara dengan jumlam sampel sebanyak 6.750 menyatakan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual pra kawin. Sebanyak 2,6 % atau setara dengan jumlah sampel sebanyak 3.221 remaja perempuan dengan rentan umur 20 sampai dengan 24 tahun telah melakukan hubungan seksual pra kawin. Remaja laki-laki dengan rentan umur 15 sampai dengan 19 tahun, jumlah persentase 3,6 % atau dengan jumlah sampel sebanyak 7.713 telah melakukan hubungan seksual. Sebanyak 14,0 % atau 4.899 remaja laki-laki dengan rentan usia 20 sampai dengan 24 tahun telah melakukan hubungan seksual sebelum melakukan ikatan perkawinan.5

Berbagai macam alasan para remaja melakukan hubungan seksual sebelum adanya ikatan perkawinan, mulai dari rasa ingin tahu, karena saling menyayangi, berjalan begitu saja, faktor ekonomi, pengaruh pergaulan. Penyalahgunaan seksual telah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Penyalahgunaan seksual dikalangan remaja disebabkan oleh faktor peredaran gambar dan atau video porno, rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai keagamaan, kekeliruan dalam memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang seksualitas, serta

belum adanya pendidikan seks di sekolah.6 Jika pemahaman mengenai seksualitas rendah dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar maka akan berpengaruh terhadap pemaksaan yang berujung pada tindak pemerkosaan.

Penyalahgunaan seksual merupakan suatu perbuatan yang berkaitan dengan seksualitas yang tidak tepat pada waktu dan tempatnya. Seperti seorang remaja yang masih dibawah umur belum waktunya untuk melakukan hubungan seks, atau pasangan suami istri yang melakukan seks ditempat umum merupakan sebuah penyimpangan atau dapat diakatakan sebagai penayalahgunaan seksual. Penyalahgunaan seksual merupakan bentuk perbuatan yang berlawanan dengan nilai-nilai moral masyarakat yang merupakan sumber dari penyumbang peradaban dunia.7

Teori dominasi patriarki berfokus pada kejahatan seksual yang diarahkan kepada wanita dawasa ataupun anak-anak sebagai korban kejahatan seksual. Dominasi laki-laki pada masyarakat patriarkis berdampak terhadap kejahatan kepada wanita.8 Perbedaan kekuasaan antara laki-laki dengan wanita memposisikan wanita sebagai kaum yang lemah dan rentan trhadap terjadinya kejahatan kepada wanita, seperti dalam kasus prostitusi.

Pemerkosaan merupakan bentuk lain dari pelecehan seksual. Pelecehan seksual dapat berbentuk pemerkosaan dalam kencan dan pemerkosaan dalam rumah tangga hingga kekerasan dalam rumah tangga.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka terdapat dua permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak selaku korban kejahatan seksual?

  • 2.    Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan seksual?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan umum yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah untuk memahami perkembangan hukum pidana mengenai perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan terhadap kejahaatan seksual. Tujuan khusus dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi, mengedukasi masyarakat terutama anak-anak dan pada khususnya perempuan dalam melindungi hak-hak asasinya. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan seksual. Kepada pemerintah penulisan ini bertujuan sebagai bahan referensi dalam melakukan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak dari ancaman kejahatan seksual.

  • II.    ISI PENULISAN

    • 2.1    Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif.9 Metode penulisan hukum normatif digunakan karena untuk mengkaji mengenai beberapa pengaturan hukum terkait kejahatan seksual melalui jenis pendekatan perundangan dan pendekatan konsep hukum. Penulisan ini bersifat deskriptif analisis yang menggambarkan suatu bentuk permasalahan terhadap kejahatan seksual, serta dikaji sehingga menemukan jawaban yang tepat atas permasalahan yang dikemukakan diatas.

  • 2.2    Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Selaku Korban Kejahatan Seksual

Perlindungan hukum terhadap anak dalam kaitannya dengan fenomena kejahatan seksual adalah perlindungan yang dilakukan sebelum dan setelah anak menjadi korban kejahatan seksual. Perlindungan hukum yang dilakukan sebelum anak menjadi korban kejahatan seksual adalah perlindungan hukum yang bersifat preventif. Perlindungan hukum yang bersifat represif merupakan tindakan yang dilakukan setelah anak terlanjur menjadi korban kejahatan seksual.

Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dalam upaya perlindungan hak-hak anak. Perlindungan anak memiliki tujuan dalam terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak memiliki hak dalam mendapatkan perlindungan dari eksploitasi secara ekonomi maupun secara seksual, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi sesuai dengan Pasal 20 dan Pasal 13 Undang-Undang Perlindungan Anak.10

Perlindungan hukum bagi anak yang dilakukan secara represif diselenggarakan ketika anak menjadi korban, atau menjadi pelaku kejahatan seksual.11 Walaupun anak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan seksual, hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Perlindungan Anak tetap melekat padanya. Perlindungan yang bersifat preventif dalam pelaksanaan perlindungan anak dari kejahatan seksual tercermin dalam Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa anak wajib mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dalam lingkungan pendidikan.

Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak, pemerintah serta lembaga negara wajib memberikan perlindungan kepada anak yang dieksploitasi secara seksual, anak yang menjadi korban pornografi, anak yang menjadi korban kejahatan seksual.

Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara seksual dilakukan berdasarkan ketentuan pada Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu melakukan sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara seksual; pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi; melibatkan berbagai perusahaan, serkat perkerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk ikut serta dan berkontribusi dalam menghapus dan melawan segala bentuk eksploitasi seksual kepada anak.

Pemberian perlindungan hukum juga dilakukan secara represif melalui ketentuan Pasal 69 A Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam ketentuan pasal tersebut, perlindungan yang dilakukan bagi anak yang menjadi korban kejahatan seksual, melalui upaya: edukasi mengenai kesehatan reproduksi, nilai agama dan nilai kessusilaan, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai dengan pemulihan, pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaaan pada sidang pengadilan.

Pemerintah telah berupaya secara represif dalam memberlakukan ketentuan hukum materiil yang bersifat larangan serta ketentuan pidana sebagaimana diatur pada Bab XI A dan Bab XII Undang-Undang Perlindungan Anak. Penerapan ketentuan hukum formil dalam hal melakukan perlindungan terhadap anak dilakukan melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara represif telah sesuai dengan prinsip keadila

restoratif dan diversi serta prinsip perlindungan hukum terhadap anak dam Konvensi Hak-Hak Anak yang diratifikasi kedalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child.

Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum yang berkedudukan sebagai pelaku tindak pidana akan mendapatkan sanksi berdasarkan penggolongan umur. Anak dengan kualifikasi umur kurang dari 12 tahun akan dikenakan sanksi tindakan, anak yang telah mencapai umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun dapat dijatuhkan pidana dan tindakan yang disidangkan melalui pengadilan pidana anak.12 Jika dimungkinkan upaya diversi kepada anak yang berhadapan dengan hukum, maka upaya tersebut akan lebih didahulukan.

Peraturan yang bersifat represif digunakan dalam menindak dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan seksual. Bagi korban yang masih berumur dibawah 18 tahun dan belum melakukan ikatan perkawinan. Peraturan yang bersifat represif beraitan dengan korban dan pelaku kejahata seksual dengan usia diatas 18 tahun atau sudah melakukan ikatan perkawinan berlaku ketntuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat mejerat

pelaku kejahatan seksual yang dapat dikatakan dewasa adalah Pasal 285, Pasal 286, Pasal 289, Pasal 290 ayat (1), Pasal 291, Pasal 294 ayat (2), Pasal 296.

Kejahatan seksual yang terjadi dengan korban dan pelaku yang telah dewasa atau dapat bertanggungjawab secara hukum yang dilakukan dalam ruang lingkup keluarga akan dijerat dengan Undang-Undang 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dirumuskan kedalam Pasal 46, dan Pasal 47. Salah satu upaya dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan atas kekerasan seksual adalah dengan mengesahkan dan mengundangkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Segala bentuk kekerasan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang merupakan bentuk dari diskriminasi yang harus dihindari dan dihapus oleh negara.

  • 2.3    Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Seksual

Perkembangan masyarakat serta kemajuan teknologi yang merubah struktur nilai-nilai kehidupan sosial budaya dimasyarakat mempengaruhi dan berdampak terhadap sifat dan bentuk, motif, intensitas serta modus operandi dalam kejahatan seksual.13 Penyebab terjadinya suatu tindakan kriminal berupa kejahatan seksual dipengaruhi oleh faktor internal setiap individu, seperti emosi kejiwaan dan mental para pelaku kejahatan, faktor usia dan jenis kelamin, tingkat pendidikan. Faktor ekstern yang mempengaruhi kejahatan seksual adalah faktor perekonomian, pemahaman ilmu

keagamaan yang rendah, referensi terhadap buku bacaan hingga pengaruh film.14

Seorang dapat melakukan kejahatan seksualitas disebabkan karena kondisi mental para pelaku yang mengarah kepada kepribadian negatif yang cenderung untuk melakukan kejahatan. Mental seseorang yang terganggu dipengaruhi oleh faktor pemahaman ilmu agama yang kurang sehingga tidak terbinanya moral serta mentalnya. Tinngkat pendidikan yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang tergesa-gesa tanpa memikirkan resiko dan akibat jika suatu perbuatan kejahatan dilakukan tidak dipikirkan mengenai pertanggungjawabannya. Pergaulan dalam kehidupan sehari-hari juga mempengaruhi moral, prilaku dan mental jika pergaulan tersebut mengarah kepada pergaulan bebas. Faktor ekonomi mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan seksual, seperti eksploitasi seksual dalam kasus prostitusi yang melibatkan anak.

Korban berperan dalam timbul dan terjadinya kejahatan seksual, seperti berpenampilan yang kurang pantas diruang publik dengan menggenakan busana ketat sehngga terlihat seksi yang dapat memicu terjadinya kejahatan seksual berupa pelecehan. Faktor korban ini identik dengan sebutan faktor kriminogen. Peran korban yang dengan sengaja ataupun dengan kealpaannya mendorong adanya tindakan kejahatan seksual (victim precipitation).

Faktor penderita eksibisionisme atau gemar menunjukan alat kelamin yang pada umumnya diderti sebagian besar oleh laki-laki, juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan seksual. Faktor dibawah pengaruh alkohol serta narkotika juga mempengaruhi terjadinya suatu kejahatan seksual.

Kejahatan seksual dipengaruhi oleh hubungan antara pelaku dan korban, seperti hubungan keluarga, pertemanan, dan hubungan kekasih yang telah mengetahui kepribadian dan kebiasan dari korban. Depresi juga menjadi faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan seksual dengan melampiaskan kepada orang lain mengenai masalah seksualitasnya dengan pasangannya sendiri atau mendapat penolakan oleh orang terdekatnya untuk melakukan hubungan seksual. Konten pornografi mempengaruhi pelaku kejahatan dalam memenuhi fantasi, birahi serta hasrat seksualnya dengan tidak wajar.

Penanggulangan kejahatan seksualitas dapat dilakukan dengan pendidikan hukum untuk tidak mengulangi perbuatannya dikemudian hari, serta mencegah terjadinya perbuatan serupa oleh individu lainnya. Sanksi ultimum remedium yaitu pengenaan sanksi lainnya jika sanksi-sanksi yang telah diberlakukan tidak dapat menghentikan perbuatan kejahatan terhadap seksualitas.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan perlindungan hukum terhadap kejahatan seksualitas terhadap anak dan perempuan tercermin dalam pasal-pasal pada Undang-Undang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child.  Pengaturan perlindungan hukum tercermin

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

  • 2.    Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan seksual adalah faktor mentalitas dan moral, pemahaman nilai keagamaan, faktor lingkungan dan masyarakat, faktor korban itu sendiri, faktor ekonomi, faktor gangguan seksual seperti penderita eksibisionisme.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Disarankan kepada pemerintah khususnya lembaga legislatif untuk   segera   mengesahkan    dan

mengundangkan    Rancangan    Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Seksual karena urgensi dari pengaturan tersebut sangat diperlukan dalam mencegah dan menindak para pelaku kejahatan seksualitas.

  • 2.    Disarankan kepada masyarakat dan lembaga terkait khususnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Perempuan, untuk melakukan giat upaya pencegahan seperti sosialisasi dan edukasi pemahaman seksual pada usia dini dan pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Irwanto, 2008, Menetang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak, ECPAT, Jakarta.

Malarek, Victor, 2008, Menyibak Perdagangan Seks Dunia, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.

Saraswati, Rika, 2009, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT. Refika Aditama, Bandung.

Wijaya, Andika dan Wida Peace Ananta, 2016, Darurat Kejahatan Seksual, Sinar Graafika, Jakarta.

Jurnal:

I Gusti Ayu Kade Sri Marlina, I Gusti Ketut Ariawan, dan A.A. Ngurah Wirasila, 2018, Perlindungan Hukum Bagi Aanak Sebagai Korban Kekerasan Seksual, Jurnal Kertha Wicara Vol. 07 No. 05 November 2018, Fakultas Hukum Universitas Udayana,                Denpasar,                URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /43872 diunduh pada 11 Juli 2019.

I Gusti Ngurah Bima Prastama, I Gusti Ketut Ariawan, A.A. Ngurah Wirasila, 2016, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Seksual Setelh Berlakunya Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Jurnal Kertha Wicara Vol.05 No.05 Juli 2016, akultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,      URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /22804 diakses pada 11 Juli 2019.

Liliana Listiawatie dan I Dewa Made Suartha, 2017, Penjatuhan Hukuman Kebiri Kepada Para Pelaku Kejahatan Seksul Terhadap Anak Dibawah Umur, Jurnal Kertha Wicara Vol.06 No.04 Oktober 2017, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,                                        URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /22804 diakses pada 11 Juli 2019.

Internet:

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Kesehatan, 2018, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017, hlm. 130. URL: https://e-koren.bkkbn.go.id/wp-content/uploads/2018/10/Laporan-SDKI-2017-Remaja.pdf Diakses pada tanggal 11 Mei 2019.

Boyke Dian Nugraha, Bahaya Seks Bebas Pada Remaja, URL: https://staff.uny.ac.id/sites/defult/files/tmp/BAHAYA%20S EKS%20BEBAS%20PADA%20REMAJA.pdf diakses pada 11 Mei 2019.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan, 2015, Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan    Seksual,    URL:    http://www.komnas-

perempuan.go.id/draft-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-progres-kemajuan-sampai-01-september-2015/ diakses pada 11 Mei 2019.

Peraturan-Perundangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 109

Undang-Undang Republik Indonesia Nomr 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 95

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5332

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child.

17