KEKUATAN ALAT BUKTI DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM TINDAK PIDANA BERBASIS TEKNOLOGI DAN INFORMASI (CYBER CRIME)

Oleh :

I Gusti Ayu Shabaina Jayantari∗∗

I Dewa Gede Dana Sugama∗∗∗

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Berkembangnya teknologi membuat semakin merebaknya kejahatan terjadi, seperti kejahatan tindak pidana yang berbasis teknologi dan informasi yang dikenal dengan sebutan cyber crime. Pada proses peradilan tindak pidana cyber crime, pembuktian menjadi hal yang menentukan kebenaran tindak pidana cyber crime yang telah dilakukan. Dalam proses pembuktian, alat bukti menjadi hal yang berpengaruh, KUHAP menyatakan bahwa ada 5 alat bukti yang sah namun dalam tindak pidana cyber crime terdapat alat bukti yang tidak disebutkan sebagai alat bukti yang sah dalam KUHAP yaitu alat bukti dokumen elektronik yang membuat penulis tertarik untuk menulis jurnal ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan alat bukti dokumen elektronik dalam pembuktian tindak pidana cyber crime dan untuk mengetahui kekuatan alat bukti dokumen elektronik dalam pembuktian tindak pidana cyber crime.

Jurnal ini merupakan jurnal yang menggunakan metode penulisan normatif yaitu metode penulisan yang dilakukan dengan menginventarisasi norma-norma atau hukum positif yang berlaku, seperti menganalisis undang-undang, asas, teori, dan konsep yang terkait permasalahan.

Adapun hasil penelitian ini yaitu pada tindak pidana cyber crime dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah. Dasar hukumnya dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dokumen elektronik dalam pembuktian tindak pidana cyber crime akan

Kekuatan Alat Bukti Dokumen elektronik dalam Tindak Pidana Berbasis Teknologi dan informasi (Cyber Crime) merupakan makalah ilmiah diluar ringkasan skripsi.

∗∗ I Gusti Ayu Shabaina Jayantari adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi : [email protected].

∗∗∗ I Dewa Gede Dana Sugama adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana”.

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila dikuatkan dengan alat bukti lain yang dapat lebih meyakinkan hakim.

Kata kunci : Dokumen Elektronik, Alat Bukti, Kekuatan Pembuktian, Kejahatan Berbasis Teknologi Informasi.

Abstract

The development of technology makes a lot of crimes occur, such as technology-based crime such as what is known as cyber crime. In the justice process, proof becomes the thing that determines the truth of the cyber crime crime that has been done, where in the proof process, the evidence becomes an influential thing in the trial process. In the Criminal Procedure Code it is stated that there are 5 legal evidences but in the Cyber Crime there is evidence that is not mentioned as legal evidence in the Criminal Procedure Code, which is electronic document evidence that makes the writer interested in writing this journal. This journal aims to further to know the legal power of proof of electronic document evidence in the trial process in court. This journal is uses the normative writing method, which is method by inventorying the norms or rules or positive laws that apply

This journal discusses the legal basis that underlies the validity of electronic document evidence in proving cybercrimes and about the strength of proof of electronic document evidence in trials of perpetrators of cyber crime.

The results of this study are in the proof, evidence becomes important, in cyber crime electronic documents are evidences that are declared valid even though it is not specified in the Criminal Procedure Code, but the legal basis has been determined in Article 5 of Law concerning Information and Electronic Transactions", and regarding the legal power of the evidence depends on the belief of the judge.

Keywords: Electronic Documents, Evidences, Free Proof Of Power, cyber crime.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini mengakibatkan berbagai perubahan, baik itu perubahan yang berdampak positif dan sekaligus berdampak negatif, disebut memberikan dampak positif karena dengan berkembangnya teknologi memberikan banyak kemudahan untuk manusia seperti,

mempercepat pekerjaan manusia, dan membuat segala sesuatu menjadi mudah untuk diselesaikan. Tidak dapat dihindari kemajuan teknologi yang semakin pesat juga mengakibatkan berbagai sektor kehidupan menggunakan teknologi, dan bahkan sekarang ini hubungan transaksional sudah banyak yang berbasis elektronik atau yang dilakukan secara elektronik begitupula dengan hubungan hukum keperdataan yang dahulunya dituangkan kedalam kertas saat ini telah menggunakan dokumen yang bersifat elektronik, namun dengan dampak positif ini secara tidak langsung juga memberikan dampak negatif terhadap manusia seperti timbulnya banyak tindak pidana yang dapat menimbulkan korban dan kerugian akibat dari adanya penyalahgunaan teknologi ini.1 Dengan demikian kemajuan teknologi ini dapat menjadi suatu alat yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana yang berbasis teknologi informasi atau yang biasanya disebut dengan tindak pidana cyber crime.

Mengingat locus delicty dari cyber crime ini di dunia maya atau ruang cyber, tentunya sangat berbeda dengan tindak pidana konvensional biasa yang ada di KUHAP dimana tempat terjadi tindak pidana umumnya adalah di dunia nyata,2 dengan demikian upaya pembuktiannya pun juga berbeda. Cyber Crime yang merupakan kejahatan di dunia digital atau elektronik otomatis akan meninggalkan jejak digital yaitu dokumen elektronik itu sendiri, yang bisa dipergunakan untuk alat bukti.

Pada proses pembuktian tindak pidana cyber crime, dokumen elektronik ini dapat dicetak dan dijadikan alat bukti, namun mengingat dokumen elektronik tidak dinyatakan dalam KUHAP sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana, maka dokumen elektronik dapat diragukan keabsahannya dan kekuatan pembuktiannya, maka dari itu penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hal tersebut dan menulis jurnal tentang “Kekuatan Alat Bukti Dokumen Elektronik Dalam Tindak Pidana Berbasis Teknologi Dan Informasi Cyber Crime”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah alat bukti dokumen elektronik dalam pembuktian tindak pidana cyber crime dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah ?

  • 2.    Bagaimana kekuatan alat bukti dokumen elektronik dalam pembuktian tindak pidana cyber crime?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulis menulis jurnal ini untuk mengetahui keabsahan alat bukti dokumen elektronik dalam tindak pidana cyber crime dan untuk mengetahui kekuatan alat bukti dokumen elektronik dalam pembuktian tindak pidana cyber crime.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Metode Penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif merupakan “penelitian hukum yang menginventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum”.3 Penilitian ini dilaksanakan dengan menganalisis undang-undang, asas, teori, dan konsep yang terkait permasalahan diatas. Penelitian hukum ini memakai sumber

bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan diantaranya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang tentang KUHAP. Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder diantaranya buku tentang hukum dan jurnal mengenai hukum yang memiliki hubungan dengan permasalahan tersebut diatas.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Kedudukan Alat Bukti Dokumen Elektronik Dalam

Pembuktian Tindak Pidana Cyber Crime

Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 atas Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka terdapat dasar hukum terkait dengan informasi, transaksi elektronik, dan tindakan yang dilarang dalam pemanfaatan teknologi dan informasi salah satunya yaitu tindakan yang berbasis teknologi dan informasi yaitu cyber crime.

Disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ini juga merupakan dasar hukum alat bukti yang baru yang dapat digunakan dalam pembuktian tindak pidana cyber crime, mengingat tindak pidana cyber crime merupakan tindak pidana yang berbasis teknologi dan informasi maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dijadikan pedoman dalam beracara pada tindak pidana cyber crime. Mengenai proses peradilan tindak pidana cyber crime maka alat bukti menjadi hal yang penting dan pada tindak pidana ini terdapat alat bukti baru yaitu alat bukti dokumen elektronik

sebagai tambahan dari alat bukti yang telah diatur dalam KUHAP.4 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa “dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat atau ditampilkan dan atau didengar melalui komputer atau alat elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.

Mengenai dasar hukum yang mendasari keabsahan alat bukti dokumen elektronik diatur pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ketentuan “Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya diakui sebagai alat bukti hukum yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik”. Berdasarkan ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa dokumen elektronik adalah tambahan alat bukti baru yang sah yang sesuai dengan ketentuan hukum acara yang diterapkan di Indonesia.

Walaupun dalam KUHAP sebagai lex generalis tidak diatur, namun untuk tercapainya kebenaran materiil alat bukti dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana cyber crime sesuai dengan yang dinyatakan dalam lex specialis yaitu Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan tidak saja dapat digunakan sebagai alat bukti pada tindak pidana cyber saja namun juga seluruh jenis tindak pidana.5

Pada sistem pembuktian Indonesia, dalam hal menentukan kebenaran dari kesalahan atau ketidaksalahan terdakwa diperlukan alat bukti yang sah yang telah ditentukan oleh aturan yang berlaku sehingga hakim memperoleh keyakinan dalam menentukan putusannya.6 Sah atau tidaknya alat bukti atau keabsahannya dapat ditentukan apabila memenuhi syarat yang telah ditetapkan baik itu syarat formil ataupun syarat materiil.7 KUHAP belum mengatur secara spesifik mengenai tindak pidana cyber mengingat tindak pidana ini baru-baru muncul bersamaan dengan perkembangan teknologi, maka dari itu mengenai tindak pidana cyber ini diatur dalam peraturan yang lebih spesifik yaitu dalam Undang-Undang ITE namun dengan tetap juga mengacu pada KUHAP dan Undang-Undang lain yang lebih spesifik. Mengenai persyaratan materiil pada tindak pidana cyber contohnya seperti dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa “informasi atau dokumen elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan sistem elektronik sesuai yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang ITE”, selain itu pada Pasal 6 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan tentang syarat materiil mengenai keabsahan alat bukti dokumen elektronik, dalam pasal 6 tersebut dinyatakan bahwa “informasi atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan data dapat dipertanggung jawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”.8 Mengenai syarat formilnya dinyatakan dalam Pasal 43 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa pada intinya pada proses penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penyadapan dan proses peradilan lainnya termasuk pembuktian dalam tindak pidana yang berbasis teknologi dan transaksi elektronik dalam hal ini cyber crime dilaksanakan atau diterapkan berdasarkan atas Hukum Acara Pidana, yang didasari dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan peraturan khusus yang lebih spesifik.

Mengenai tidak dinyatakannya bukti elektronik atau dalam hal ini dokumen elektronik pada Pasal 184 KUHAP terdapat beberapa pertentangan pendapat, diantaranya pendapat yang menyatakan bahwa alat bukti dokumen eletronik merupakan perluasan alat bukti surat dan petunjuk dan yang menyatakan bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti baru yang merupakan tambahan dari lima alat bukti yang sah. Pendapat dari seorang ahli hukum pidana Eddy O.S Hiariej menyatakan alat bukti dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan tambahan alat bukti baru selain yang dinyatakan dalam KUHAP dan merupakan alat bukti yang sah, dan bukan merupakan

perluasan alat bukti surat maupun alat bukti petunjuk hal ini merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.9 mengenai hal tersebut penulis berpendapat bahwa dokumen digital atau elektronik tidak merupakan perluasan alat bukti surat ataupun petunjuk, karena alat bukti dokumen elektronik berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dokumen elektronik tidak berbentuk tulisan saja halmana surat pada umumnya, namun termasuk juga foto, video, peta, rekaman dan sebagainya.

Hasil pembahasan tersebut diatas dapat dianalisa bahwa kedudukan alat bukti dokumen elektronik adalah sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti utama pada tindak pidana yang berbasis teknologi dan informasi atau cyber crime dimana ketentuan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

  • 2.2.2    Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Dokumen Elektronik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Cyber crime

Tahap pembuktian adalah tahap yang paling penting dalam proses persidangan di Pengadilan, karena hasil dari proses pembuktian akan menentukan benar atau tidaknya tindakan atau peristiwa yang terjadi.10 Pada tahap pembuktian di persidangan umumnya berdasarkan KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah yang dinyatakan dalam “Pasal 184 ayat (1)” yang mengatur lima

alat bukti yang telah ditetapkan dan dijadikan pedoman yang sah dalam hukum acara pidana diantaranya ; “ a. Keterangan saksi, b. Keterangan ahli, c. Surat, d. Petunjuk, dan e. Keterangan terdakwa”.

Sistem pembuktian pada tindak pidana cyber crime ini alat bukti dokumen elektronik merupakan alat bukti utama yang dapat diajukan langsung menjadi alat bukti di persidangan, mengingat tindak pidana cyber crime yang berbasis teknologi sudah tentu meninggalkan jejak digital atau dokumen elektronik ataupun hasil cetaknya sehingga dapat dijadikan sebagai bukti utama dan alat bukti yang kuat.11 Mengingat dalam persidangan minimal harus ada dua alat bukti maka diperlukan alat bukti petunjuk lain untuk meyakinkan hakim sesuai dengan Pasal 188 KUHAP menyatakan membatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi, b. surat., dan c. keterangan terdakwa.

Pada dasarnya semua alat bukti mempunyai pengaruh dan kekuatan pembuktian yang setara atau sama12, hal ini maksudnya kekuatan pembuktian pada setiap alat bukti sama tergantung pada penililaian dari hakim, yangmana harus sesuai dengan syarat agar dapat ditentukan kekuatan pembuktiannya. Pada pembuktian minimal memerlukan dua alat bukti, dalam hal ini kekuatan hukum pembuktian dokumen elektronik dapat sempurna apabila ada alat bukti lain yang mendukung.13 M Yahya Harahap seorang ahli hukum dalam bukunya menyatakan bahwa

pada dasarnya kekuatan pembuktian pada semua alat bukti sifatnya dibagi menjadi dua yaitu14 : “Mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim”. Alat bukti yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) tersebut dikatakan memiliki kekuatan pembuktian bebas karena kekuatan pembuktiannya sifatnya tidak sempurna, tidak menentukan atau tidak mengikat. Selain itu kekuatan pembuktian alat bukti juga tergantung pada penilaian hakim, dalam hal ini hakim memiliki hak atau kewenangan bebas untuk menilai sendiri kekuatan dari setiap alat bukti, yangmana nantinya hakim akan menentukan sendiri alat bukti tersebut sempurna atau tidak. dengan demikian dapat dinyatakan bahwa apabila suatu alat bukti tidak dinyatakan dalam KUHAP, tidak akan menghalangi hakim dalam memeriksa atau mengadili suatu tindak pidana asalkan alat bukti tersebut dapat meyakinkan hakim mengenai kebenaran suatu peristiwa. Begitupula dengan alat bukti dokumen elektronik yang tidak diatur dalam KUHAP namun diatur secara khusus dalam suatu aturan yang lebih spesifik. Dalam proses pembuktian minimal ada lebih dari satu bukti, dimana dari masing-masing bukti hakim akan menilai sendiri dan memeperoleh keyakinan dari tindak pidana yang terjadi.15

Untuk kesempurnaan kekuatan hukum pembuktian alat bukti dokumen elektronik maka hakim memerlukan bukti lain selain dokumen elektronik agar lebih meyakinkan untuk menentukan kebenaran suatu tindak pidana cyber dan menentukan pelakunya agar tidak terjadi suatu kesalahan dalam

menentukan putusan, maka hakim dapat meminta bantuan ahli dengan memperoleh keterangan dari para ahli cyber khususnya yang sudah pasti ahli tersebut mengetahui dan memahami mengenai kejahatan di dunia maya. Selain dapat meminta bantuan kepada ahli, hakim juga dapat meminta bukti tambahan yang kiranya dianggap perlu dan menguatkan pendapat hakim, kesempurnaan pembuktian tersebut telah dinyatakan pada “Pasal 183 KUHAP”. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana memang benar–benar telah terjadi dan bahwa pelakulah yang salah dalam melakukan tindakannya".16 Jadi kekuatan pembuktian dokumen elektronik dalam persidangan akan sempurna apabila dilengkapi dengan bukti penunjang lain yang dapat meyakinkan hakim.

Pada cyber crime yang merupakan tindak pidana yang memanfaatkan teknologi informasi, menurut Andi Hamzah dalam bukunya menyatakan bahwa tindak pidana cyber crime merupakan kejahatan dibidang komputer.17 Sesuai dengan pengertian tersebut penulis berpendapat bahwa tindak pidana cyber crime didasari atas aktifitas elektronik yang tentunya dapat meninggalkan jejak digital atau dokumen elektronik itu sendiri yang bisa dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas dapat dianalisis bahwa dalam proses pembuktian tindak pidana cyber crime, dokumen elektronik memiliki kekuatan pembuktian yang kuat

karena dokumen elektronik merupakan bukti utama yang dapat ditunjukan di Pengadilan, namun mengenai kebenaran dari setiap bukti elektronik harus sesuai dengan syarat yang diatur dan agar kekekuatan hukum pembuktian alat bukti bukti dokumen elektronik dapat sempurna dan akan lebih meyakinkan hakim maka diperlukan alat bukti lain yang dianggap perlu dalam persidangan oleh hakim.

  • III.    PENUTUP

    3.1.    KESIMPULAN

Alat bukti dokumen elektronik dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti pada tindak pidana yang berbasis teknologi dan informasi atau cyber crime karena dokumen elektronik telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016.

Dokumen elektronik dalam tindak pidana cyber crime akan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila dikuatkan dengan alat bukti lain yang dapat lebih meyakinkan hakim.

  • 3.2.    SARAN

Hendaknya pemerintah dalam hal ini legislator memperbaharui KUHAP khususnya Pasal 184 tentang alat bukti yang sah, dan menambahkan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat mengenai alat bukti yang sah dalam pembuktian di pengadilan.

Penegak hukum hendaknya melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dalam penegakan perkara tindak pidana cyber crime dan hakim hendaknya dapat menyelesaikan setiap perkara cyber crime secara tepat dan benar sesuai dengan hukum dan

peraturan yang berlaku sehingga alat bukti dokumen elektronik dapat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Muhamad Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet1. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

M Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali- Edisi Kedua, Sinar grafika, Jakarta.

Tolib Efendi, 2014, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Setara Press, Malang.

Jurnal

Ni Ketut Winda Puspita, Kekuatan Pembuktian Sebuah Fotokopi Alta Bukti Tertulis, Jurnal Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 5 No.1 Tahun 2017.

I Nyoman Wahyu Ariartha, Kekuatan Alat Bukti Closed Circuit Television (CCTV) Dalam Pembuktian Tindak Pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume .08

No.02, Mei 2019.

M Yustia A, Pembuktian Dalam Hukum Pidana Indonesia Terhadap Cyber Crime, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Volume 5 Tahun 2010.

Johan Wahyudi, Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian Di Pengadilan, Jurnal Fakultas Hukum

Universitas Airlangga, Volume XVII No.2 Edisi Mei Tahun 2012

Hamdi Syaibatul, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala” Volume 1 No.4 Tahun 2013.

Nur Laili Isma,Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik Pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya Dalam Pembuktian Tindak Pidana, Jurnal Penelitian

Hukum Volume 1, Nomor 2 Tahun 2014.

Mardiansyah Alfian, Mekanisme Pembuktian Dalam Perkara Tindak Pidana Siber, Jurnal Kementrian Hukum Dan HAM, November Tahun 2015.

Susanti Ante, Pembuktian Dan Putusan Pengadilan Dalam Acara Pidana, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, Lex Crimen Vol.II/No.2, Tahun 2013.

Website

Syang Dewi Sasekti, 2018, Penegakan Hukum Tindak Pidana Cyberporn Melalui Media Sosial Berbasis Live Streaming Video (Studi di Polres  Salatiga),  website http://

eprints.ums.ac.id/61633/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf

Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, SH, 2012, Eksistensi Dokumen Elektronik Di   Persidangan,   website www.dilmil-

jakarta.go.id/?p=3119

Radian Adi, SH, 2012, “ Cara Pembuktian Cyber Crime Menurut Hukum Indonesia” Article https://m.hukumonline.com/ klinik/detail/pembuktian-cyber-crime-dalam-hukum-pidana

NFM Ramiyanto, 2017, Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Hukum Acara Pidana,   article

https://www.researchgate.321370703_bukti_elektroniks ebagai_alat_bukti_yang_sah_dalam_hukum_acara_pidana

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843.

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Nomor 251 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952.

16