PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME DI PROVINSI BALI
on
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME DI
PROVINSI BALI
Oleh :
Nyoman Ananda Try Saputra∗∗ Gde Made Swardhana∗∗∗
Anak Agung Ngurah Wirasila∗∗∗
Program Kekhususan Hukum Pidana Faklutas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Pulau Bali merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang terkena aksi terorisme terbesar yaitu bom Bali I dan II. Dibentuknya UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak membuat teroris jera, serta belum menjamin perlindungan terhadap masyarakat. Hal ini dilihat dari aksi terorisme yang selalu ada tiap tahun. Pada tahun 2018 meningkatnya aksi terorisme dimana terjadi 7 aksi terorisme dibandingkan tahun 2017 terjadi 5 aksi terorisme. Sehingga dalam penelitian ini ingin mengetahui apa motif-motif yang mendasari dilakukan tindak pidana terorisme dan bagaimana upaya penanaggulangan tindak pidana terorisme yang dilakukan di Provinsi di Provinsi Bali oleh Polda Bali, FKPT Provinsi Bali, Desa Adat Kuta dan Desa Adat Renon yang terkena dampak langsung dari bom Bali I dan II.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Menggunakan pendekatan secara kriminologi. Sifat penelitian bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data penelitian menggunakan teknik wawancara dan teknik studi dokumen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Motif-motif yang sering mendasari dilakukannya tindak pidana terorisme di Indonesia adalah radikalisme, dalam kasus bom Bali I dan II motif yang digunakan merupakan radikalisme yang dimana bersumber pada faktor agama dan sosial politik. Adapun upaya-upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yang dilakukan di Provinsi Bali oleh Polda Bali, FKPT Provinsi Bali, serta Desa Adat Kuta dan Desa Adat Renon yang terkena dampak langsung aksi terorisme bom Bali I dan II baik secara preventif maupun represif. Adapun faktor pendukung dan penghambat dari setiap instansi dalam melakukan upaya penanggulangan tindak pidana terorisme baik itu faktor sumber daya manusia, dana, aturan dan masyarakat.
Kata Kunci : Kriminologi, Radikalisme, Terorisme
∗ Makalah Ilmiah ini disarikan dan dikembangkan lebih lanjut dari skripsi yang ditulis oleh penulis atas bimbingan Pembimbing Skripsi I Gde Made Swardhana dan Pembimbing Skripsi II Anak Agung Ngurah Wirasila
∗∗ Nyoman Ananda Try Saputra adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespodensi : [email protected]
∗∗∗ Gde Made Swardhana adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
∗∗∗ Anak Agung Ngurah Wirasila adalah Dosen Fakultas Hukum Univertsitas Udayana
Abstract
The island of Bali is part of the territory of Indonesia that is hit by the biggest acts of terrorism, namely the Bali bombings I and II. The establishment of the Law on the Eradication of Terrorism does not deter terrorists, and does not guarantee the protection of society. This is seen from the acts of terrorism that always exist every year. In 2018 an increase in terrorist acts in which 7 acts of terrorism compared to 2017 occurred 5 acts of terrorism. So in this study, we want to find out what the underlying motives of the criminal act of terrorism are and how the efforts to counter terrorism crime carried out in the Province of Bali by the Bali Regional Police, FKPT Bali Province, Kuta Adat Village and Adat Renon Village are directly affected by Bali bombings I and II.
The research method used is empirical legal research. Using a criminological approach. The nature of the study is descriptive. Research data collection techniques using interview techniques and document study techniques. The data analysis technique used in this study is qualitative analysis.
The motives that often underlie the commission of terrorism in Indonesia are radicalism, in the case of the Bali bombings I and II, the motives used were radicalism which originated from religious and socio-political factors. The efforts to tackle terrorism criminal acts carried out in Bali Province by the Bali Regional Police, FKPT Bali Province, as well as the Kuta Traditional Village and the Renon Traditional Village were directly affected by the Bali I and II bomb terrorist acts both preventive and repressive. The supporting and inhibiting factors of each agency in carrying out efforts to tackle terrorism crime both human resources, funds, rules and society.
Keywords: Criminology, Radicalism, Terrorism
Kejahatan merupakan bagian kehidupan sosial dan tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari.1 Kejahatan selalu menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, dimana dalam menentukan sumbernya tidak juga terbatas pada daerah tinggal orang miskin di kota-kota atau kelompok-kelompok minoritas tertentu.2 Salah satu bentuk kejahatan yang manusia perbuat adalah tindak pidana terorisme. Bermacam-macam aksi terorisme telah dilakukan manusia sepanjang sejarah sehingga terdapat empat tipologi terorisme yang pertama aksi terorisme dalam konteks
perlawanan terhadap pemerintah, yang kedua kekerasan dan aksi terorisme yang didukung negara untuk menumpas lawan-lawan politik, yang ketiga aksi terorisme yang berkarakter gerakan ratu adil atau milenarianisme dan yang terahkir aksi terorisme atas nama agama.3 Adapun motif-motif yang mendasari dilakukannya tindak pidana terorisme seperti ideologi, politik, ekonomi, memperjuangkan kemerdekaan, serta radikalisme. Aksi terorisme juga terjadi di Indonesia, salah satu wilayah yang terkena serangan aksi terorisme terbesar di Indonesia adalah pulau Bali pada tanggal 12 Oktober tahun 2002 berupa ledakan bom yang terjadi di Paddy's Pub ,Sari Club (SC) di Kuta, dan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat di Denpasar. Insiden ini menyebabkan 202 orang meninggal dunia dan 209 orang luka-luka. Selang waktu 2 tahun tepatnya pada tanggal 1 Oktober tahun 2005 lagi-lagi pulau Bali menjadi sasaran terorisme bom Bali II, dimana 3 bom meledak di daerah wisata di Bali yaitu di Kafe Nyoman, Kafe Menega dan Restoran R.AJA’s di Kuta. Insiden ini menyebabkan 23 orang meninggal dunia dan 196 orang luka-luka.4
Negara Indonesia sebagai negara hukum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan revisi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) yang dimana dalam bagian menimbang UU Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme dijelaskan untuk memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin perlindungan masyarakat dan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Dibentuknya UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ternyata tidak membuat para teroris jera untuk melakukan aksi terorisme serta belum menjamin kehidupan yang aman dan damai di dalam masyarakat. Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mengatakan bahwa aksi terorisme di Indonesia pada tahun 2018 meningkat yang dimana pada tahun 2017 terdapat 5 aksi terorisme sendangkan tahun 2018 terdapat 7 aksi terorisme.5
Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia sendiri dilakukan baik oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Pemerintahan seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta masyarakat sipil, dan seluruh elemen masyarakat6 yang dilakukan secara berencana, kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, di Bali sendiri adapun upaya penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya aksi terorisme bom Bali I dan II baik dilakukan oleh Polisi Daerah Bali (Polda Bali), Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Bali (FKPT Provinsi Bali), Desa Adat Kuta, dan Desa Adat Renon yang terkena dampak langsung dari aksi terorisme bom Bali I dan II.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1.2.1. Apa motif-motif yang mendasari dilakukan tindak pidana terorisme?
-
1.2.2. Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yang dilakukan di Provinsi Bali?
-
Tujuan penulisian jurnal ilmiah ini untuk mengetahui dan menganalisis apa saja motif-motif yang mendasari dilakukan tindak pidana terorisme, serta mengetahui bagaimana upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan di Provinsi Bali oleh Polda Bali, FKPT Provinsi Bali, Desa Adat Kuta dan Desa Adat Renon sebagai daerah yang terkena dampak langusung dari bom Bali I dan II.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang dimana hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata dengan menggunakan pendekatan secara kriminologi. Sifat penelitian dalam penulisan ini bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data penelitian menggunakan teknik wawancara dan tekni studi dokumen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan UU Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme bagian penjelasan pada ketentuan umum terdapat motif-motif dilakukannya tindak pidana terorisme yaitu: 1.Ideologi; 2.Politik; 3.Ekonomi; 4.Radikalisme yang membahayakan ideologi negara dan keamanan negara. Salah satu motif yang sering digunakan dalam melakukan kejahatan tindak pidana terorisme di Indonesia adalah radikalisme. Hal tersebut dapat dilihat dari tahun 2000 sampai
tahun 2018 terdapat 1490 orang pelaku tindak pidana terorisme dimana 906 orang lebih mantan narapidana tindak pidana terorisme mengulangi perbuatannya dikarenakan paham radikalisme tersebut masih ada.7 Radikalisme pada dasarnya merupakan suatu pemikiran yang didasarkan pada keyakinan tentang nilai, ide, dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang yang dinilainya sebagai yang paling benar dan menganggap yang lain salah.8 Istilah radikalisme berasal dari kata radical yang merupakan kata sifat dalam bahasa inggris. Kata itu sendiri berasal dari Bahasa latin yaitu radix yang berarti akar, sehingga radical pada dasarnya berarti mengakar atau hingga ke akar-akarnya. Oleh karenanya filsafat dipahami sebagai pikir radikal, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya.9
Pada kasus bom Bali I dan II motif yang digunakan dalam melakukan kejahatan tindak pidana terorisme adalah radikasime, dimana pelaku terorisme bom Bali I dan II yang menganggap bahwa Bali sebagai tempat pusat maksiat, pulau Bali merupakan lokasi yang dimana tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, serta pulau Bali sering dikunjungi oleh wisatawan asing yang dianggap layak untuk di binasakan serta pembalasan terhadap kaum-kaum mereka yang tertindas baik di dalam negeri atau di luar negeri.10
Adapun faktor-faktor penyebab radikalisme itu sendiri, berdasarkan hasil wawancara dengan I Gede Putu Jaya Suartama ketua FKPT Provinsi Bali yang dilakukan pada tanggal 8 April 2019
yang dimana dari hasil wawancara tersebut mendapatkan faktor-faktor penyebab radikalisme yang berujung kepada tindakan terorisme yaitu :1.Orang pintar yang tidak tersalurkan kepintarannya; 2.Ketidakpuasan baik segi politik atau ekonomi; 3.Orang yang mudah disanjung-sanjung sehingga melakukan tindakan radikalisme;4.Orang yang tidak pintar dan ingin melakukan sensasi sehingga berujung kepada radikalisme.
Disamping itu ada juga faktor-faktor penyebab radikalisme yang berujung kepada tindakan terorisme berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Komisiaris Besar Polisi Andi Fairan bagain Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali pada tanggal 23 Januari 2019 yaitu :1.Faktor Ekonomi; 2.Faktor Ideologis; 3.Faktor Sosial-politik; 4.Faktor Agama.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah dikemukakan diatas dapat dilihat bahwa pada kasus bom Bali I dan II yang bermotifkan radikalisme yang bersumber pada faktor agama dan sosial politik hal tersebut dapat dilihat dari pahaman radikal agama yang dimiliki oleh pelaku yang menganggap pulau Bali sebagai pulau maksiat serta tidak sesuai dengan ajaran agama, serta pembalasan terhadap kaum mereka yang tertindas di dalam negeri atau luar negeri.
Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia bisa dilakukan dengan dua pendekatan, yang pertama yakni pendekatan hard approach (pendekatan keras) berupa tindakan penegakan hukum yang dilakukan Polri, Jaksa Agung, Hakim dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pendekatan yang kedua yakni pendekatan soft approach (pendekatan lunak) berupa upaya pencegahan yang dilakukan secara terintergrasi dan komprehensif yang dilakukan dengan cara kontra radikalisasi terhadap
masyarakat yang belum terpapar pahaman radikalisme, ataupun deradikalisasi terhadap orang yang sudah terpapar paham radikalisme.
Penanggulangan tindak pidana terorisme yang pertama dilakukan oleh pihak Polda Bali. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kompol Tri Joko Widiyanto Kanit IV Subdit I Ditreskrimum yang dilakukan pada hari senin tanggal 22 April 2019, adapun upaya-upaya dalam melakukan penanggulangan tindak pidana terorisme yaitu secar, preventif dan represif. Upaya secara preventif yaitu: a. Melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang mencurigakan; b. Melakukan maping terhadap kota-kota dan di wilayah pelabuhan; c. Melakukan sosialisasi terkait bahaya tindak pidana terorisme yang bersumber pada radikalisme yang dilakukan kepada tokoh-tokoh agama, adat dan juga masyarakat; d. Melakukan pelatihan kepada pecalang adat serta security-security. Selanjutnya upaya secara represif yaitu: a. Pembentukan satuan khusus seperti Detasemen khusus 88; b. Melakukan penangkapan apabila terjadi aksi tindak pidana terorisme.
Dalam upaya-upaya penanggulangan tindak pidana terorisme oleh Polda Bali adapun faktor pendukung dan penghambat, faktor pendukung yaitu adanya Pecalang Desa merupakan hal yang sangat membantu untuk melakukan pengamanan khususnya diwilayahnya masing-masing. Sedangkan faktor penghambat yaitu adanya keterbatasan jumlah anggota kepolisian dalam hal melakukan tugasnya untuk melakukan penanggulangan tindak pidana terorisme dan sifat masyarakat yang mulai acuh tidak acuh atau tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya.
Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme selanjutnya dilakukan oleh FKPT Provinsi Bali. Berdasarkah hasil wawancara dengan ketua FKPT I Gede Putu Jaya Suartama yang dilakukan
pada hari minggu tanggal 8 April 2019, adapun beberapa upaya dalam penanggulangan tindak pidana terorisme yaitu secara preventif dan represif. Upaya secara preventif yaitu: a. Mengundang tokoh-tokoh masyarakat, remaja, organisasi masyarakat, setiap tahun dengan menanamkan nilai-nilai nasionalis serta memberikan pemahaman akan bahaya radikalisme, yang dimana dibantu oleh bidang-bidang yang ada di FKPT itu sendiri; b. Memberikan pemahaman kepada kepala desa dalam menciptakan lingkungan yang aman diwilayah desa; c. Memberikan pemahaman bahwa untuk pencegahan terorisme sendiri selain aparat penegak hukum, masyarakat juga berperaan dalam pencegahan terorisme. Upaya secara represif yaitu: a. Merangkul dan melibatkan individu, keluarga, dan kelompok masyarakat pelaku teror dan pendukung serta simpatisannya dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan untuk resosialiasi dan reintegrasi agar tidak melakukan tindak pidana terorisme; b. Melakukan upaya deradikalisasi melalui komunikasi efektif.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh FKPT Provinsi Bali adapun faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung yaitu masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sekitar diakrenakan masyarakat memiliki peran penting dalam pencegahan terjadinya radikalisme dan tindak pidana terorisme secara dini. Sedangkan faktor penghambat yaitu yang pertama pendanaan, yang dimana disebabkan oleh keterbatasan uang negara. Hambatan yang kedua yaitu masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, dengan ketidak pekaan tersebut dapat menyebabkan radikalisme dan terorisme tumbuh subur.
Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme selanjutnya dilakukan oleh Desa Adat Kuta. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan dengan Bendesa Adat Kuta I Wayan Wasista yang dilakukan pada hari senin tanggal 3 Juni 2019, adapun upaya penanggulangan tindak pidana terorisme secara preventif dan represif. Upaya secara preventif yaitu: a. Melakukan himbauan terhadap masyarakat dan banjar-banjar terkait di wilayahnya yang terdapat kos-kosan untuk berhati-hati menerima orang dan harus selektif yang dimana harus memiliki identitas dan tujuan yang jelas; b. Dilakukannya apel oleh pihak Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) setiap pagi sebelum Jaga Baya, Satgas Pantai, Pecalang Desa dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) melakukan tugasnya; c. Dilakukannya pendataan penduduk yang dilakukan oleh setiap Banjar Adat di Desa Adat Kuta guna mengetahui jumlah masuk keluar penduduk wilayah Desa Adat Kuta; d. Dilakukannya patroli setiap hari oleh Jaga Baya, Satgas Pantai dan Pecalang Desa. Upaya secara represif yaitu: a. Apabila terjadi suatu kejahatan di wilayah Desa Adat Kuta maka pihak Desa Adat melapor kepada pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Desa Adat Kuta adapun faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung yaitu adanya bantuan dari Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan Linmas baik pemberian skill, materi dan bantuan tenaga dalam melakukan pengamanan di wilayah Desa Adat Kuta. Sedangkan faktor penghambat yaitu dihapusnya Kartu Identitas Penduduk Musiman (Kipem) sehingga tidak bisa leluasa dalam melakukan pengawasan terutama dalam hal mengecek identitas warga baik di perumahan ataupun kos-kosan dikarenakan tidak ada aturan yang jelas.
Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yang terahkir dilakukan oleh Desa Adat Renon, berdasarkan hasil wawancara
dengan Bendesa Adat Renon I Made Sutama yang dilakukan pada hari kamis tanggal 29 Mei 2019, adapun upaya yang dilakukan dalam melakukan penanggulangan tindak pidana terorisme secara preventif dan represif. Upaya secara preventif yaitu: a. Menerapkan program “Ilikita Krama” (Surat Tanda Lapor Diri/STLD) yang dimana dicetuskan oleh Majelis Madya Desa Pekarman Denpasar melalui Surat Edaran No 362/08.Org/SE/MMDP/Dps/I/2017 ilikita karma ini merupakan upaya dari pendataan penduduk non permanen guna mencapai ketertiban sosial serta keamanan di wilayah Desa Adat; b. Menerbitkan Pararem tentang Ketertiban Masyarakat guna menjaga ketertiban sosial dan keamanan wilayah Desa Adat Renon; c. Dilakukannya patroli dan sidak dari tiap-tiap Banjar Desa Adat Renon secara rutin yang dilakukan oleh Tim Sidak Desa Adat Renon dan dibantu oleh Babinsa, Bhabinkamtibmas,Linmas, dan Tim Sidak Desa Adat Renon. Upaya secara represif yaitu: a. Apabila terjadi suatu kejahatan di wilayah Desa Adat Renon pihak Desa Adat melapor kepada pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan; b. Tim Sidak Desa Adat Renon dapat melakukan penangkapan apabila dalam melakukan sidak diikuti oleh pihak yang berkaitan seperti kepolisian.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Desa Adat Kuta adapun faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung yaitu Kesigapan para Tim Sidak Desa Adat Renon dalam melakukan tugasnya yang diakibatkan status Tim Sidak sendiri sudah diatur jelas seperti gaji dan dasar dari dibentuknya Tim Sidak Adat Renon didalam Pararem dan adanya bantuan pengamana dari pihak Babinsa dan Bhabinkamtibmas dan Linmas. Sedangkan faktor penghambat yaitu kebanyakan tuan rumah pemilik kos sering tidak ada dikarenakan bukan dimiliki oleh penduduk asli Renon sehingga
menghambat dalam pendataan dan pengecekan identitas penduduk pendatang yang berpengaruh terhadap kemanan wilayah Desa Adat Renon.
Berdasarkan upaya-upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yang dilakukan di Provinsi Bali oleh Polda Bali, FKPT Provinsi Bali serta Desa Adat Kuta dan Renon sebagai wilayah yang terkena dampak langsung dari aksi terorisme bom Bali I dan II sesuai dengan teori penanggulangan kejahatan baik secara preventif ataupun represif. Adapun upaya preventif yaitu: a.Melakukan pemantauan serta maping terhadap kota-kota dan wilayah pelabuhan yang dilakukan oleh Polda Bali; b. Dilakukannya sosialisasi oleh Polda Bali dan FKPT Provinsi Bali terkait bahaya tindak pidana terorisme yang bersumber pada radikalisme yang dilakukan kepada tokoh-tokoh agama, adat, dan juga masyarakat; c. Melakukan pelatihan kepada pecalang adat serta security oleh Polda Bali, Babinsar, dan Bhabinkamtibnas; d. Dilakukannya pendataan penduduk serta patroli setiap hari oleh Desa Adat Kuta dan Desa Adat Renon; e Menerapkan program Ilikita Krama dan Pararaem tentang Ketertiban Masyarakat oleh Desa Adat Renon. Adapun Upaya Represif yaitu: a. Dibentuknya Detasemen Khusus 88 serta melakukan penangkapan apabila terjadi tindak pidana terorisme oleh Polda Bali; b. Dilakukan penangkapan apabila terjadi tindak pidana terorisme di wilayah Desa Adat Kuta dan Desa Adat Renon oleh pihak kemanan desa yang diikuti oleh pihak berwajib; c. Merangkul dan melibatkan individu, keluarga, dan kelompok masyarakat pelaku teror dalam kegiatan sosial untuk resosialisasi agar tidak melakukan tindak pidana terorisme serta melakukan upaya deradikalisasi oleh FKPT Provinsi Bali.
-
III. PENUTUP
-
3.1 Kesimpulan
-
Berdasarkan pembahasan terhadap permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
-
1. Motif-motif yang mendasari dilakukannya tindak pidana terorisme dalam kasus bom Bali I dan II adalah radikalisme yang dimana bersumber pada faktor agama dan sosial politik hal tersebut dapat dilihat dari pahaman radikal agama yang dimiliki oleh pelaku yang menganggap pulau Bali sebagai pulau maksiat serta tidak sesuai dengan ajaran agama, serta pembalasan terhadap kaum mereka yang tertindas di dalam negeri atau luat negeri.
-
2. Dalam Penanggulangan tindak pidana terorisme baik dari pihak Polda Bali, FKPT Provinsi Bali, dan Desa Adat Kuta dan Desa Adat Renon memiliki upaya-upaya masing-masing baik secara preventif dan represif. Terdapat juga bermacam-macam faktor pendukung maupun penghambat dari setiap instansi tersebut dalam melakukan upaya penanggulangan tindak pidana terorisme baik itu faktor sumber daya manusia, dana, aturan dan masyarakat
-
1. Kepada Polda Bali, FKPT Provinsi Bali, Desa Adat Kuta dan Desa Adat Renon diharapkan dapat berkerja lebih ekstra dalam upaya preventif seperti penyuluhan terkait bahaya radikalisme dan terorisme ataupun penyuluhan terkait penanaman nilai-nilai nasionalisme guna mencegah radikalisme sejak dini. Perlunya dibentuk sekretariat dari FKPT Provinsi Bali agar memudahkan masyarakat dalam hal mencari atau memberikan informasi terkait radikalisme dan bagaimana upaya penanggulangannya.
-
2. Kepada pemerintah diharapkan dapat menambah sumber daya manusia dan anggaran kepada setiap instansi agar tidak menjadi faktor penghambat lagi dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme. Kepada Desa Adat diharapkan dapat segera menerbitkan pararem yang benar-benar mengatur tentang kejahatan terorisme, dan juga perlunya memberi ruang ekstra kepada Pecalang dan sistem keamanan tradisional yang ada di Desa Adat untuk melakukan penangkapan disaat terjadi kejahatan dan dalam tahap mencurigai yang dimana didampingi oleh pihak yang berwenang seperti Babinsr atau Bhabinkamtibmas. Serta kepada masyarakat juga harus berpikiran bahwa tugas mencegah terjadinya radikalisme dan terorisme merupakan tugas bersama sebagai warga negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad Jainuri, 2016, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, Intrans Publishing, Malang
Jajang Jahroni, 2016, Memahami Terorisme : Sejarah, Konsep, dan Model, PT Balebat Dedikasi Prima, Jakarta
MD Shodiq, 2018, Paradigma Deradikalisasi Dalam Perspektif Hukum, Pustaka Harakatuna, Jakarta
Mien Rukmini, 2006, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung
Soedjono, 1973, Doktrin-Doktrin Kriminologi, Alumni, Bandung
Syahrin Harahap, 2017,Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan Terorisme, Siraja, Depok
JURNAL
Debora Sanur L, 2018, Terorisme Pola Aksi dan Antisipasinya Vol. X, No. 10/II/Puslit/Mei/2018 , Puslit Bkd, Jakarta
INTERNET
Hari Widowati, 2018, “Kapolri: Aksi Terorisme Meningkat Selama 2018”,URL: https://katadata.co.id/berita/2018/12/27/kapolri-aksi-terorisme-meningkat-selama-2018
Puput Purwanti, 2018, Penyebab Peristiwa Bom Bali, URL : https://hukamnas.com/penyebab-peristiwa-bom-bali
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Rebuplik Indonesia Tahun 2018 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6216)
15
Discussion and feedback