TINJAUAN TERHADAP KEKUASAAN RELATIF DAN ABSOLUT SERTA GANJALAN DALAM KEKUASAAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
on
TINJAUAN TERHADAP KEKUASAAN RELATIF DAN ABSOLUT SERTA GANJALAN DALAM KEKUASAAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Aji Surya
Nengah Suharta
Program Kekhususan hukum acara
Universitas Udayana
Abstrac
Title raised in this study is riview the powers of relative and absolute as well as an impediment to the judicial power of religion in Indonesia wich this study using research methods of normative law who did research on the principle of law and using a variety of secondary data in the form of legislation and the data contained in words. The objective of this study which provides clarity as to what are the relative and absolute power and what it has become an impediment to the judicial power of religion in Indonesia. As well as the conclusions that can be drawn from this study is that where in the power of the religious court in Indonesia has a wedge which is attached in law No.7 of 1989 On religious court itself
Keywords : Religious Courts, Relative Power, Absolute Power, Impdiment
ABSTRAK
Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah tinjauan terhadap kekuasaan relatif dan absolut serta ganjalan dalam kekuasaan dalam peradilan agama di Indonesia yang mana penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative yang melakukan penetlitian terhadap asas hukum serta menggunakan berbagai data sekunder berupa peratutan perundang-undangan serta pendapat para sarjana, penelitian jenis normative ini menggunakan analisis kulaitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata. Adapun tujuan dibuatnya penelitian ini dimana halnya untuk memberikan kejelasan apa-apa saja yang menjadi kekuasaan relative dan absolute serta apa saja yang menjadi ganjalan dalam kekuasaan peradilan agama di Indonesia. Serta kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah dimana didalam kekuasaan dari peradilan agaa di Indonesia ini memiliki ganjalan yang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama itu sendiri.
Kata Kunci : Peradilan Agama, Kekuasaan Relatif, Kekuasaan absolut, Ganjalan
Peradilan agama merupakan peradilan negara yang sah disamping sebagai peradilan khusus yang dijelaskan dala Pasal 10 ayat (1) UU Nomor Tahun 1999. Peradilan agama adalah peradilan islam di Indonesia yang diberi kekuasaan
oleh peraturan perundang-undangan negara di Indonesia untuk mewujudkan hukum material islam dalam batas-batas yang ada dalam kekuasaan, kata kekuasaan disini sering disebut juga dengan “Kompetensi”, yang berasal dari bahasa belanda Competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan arti “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dapat dianggap semakana. Peradilan agama memiliki kekuasaan yang bersifat relative dan absolut yng mana dalam kekuasaan terebut dijelaskan secara terperinci ruang lingkup dari peradiln agama itu sendiri untuk meneima, memutus dan mengadili kasus-kasus tertentu serta didalam kekuasaan relative dan absolut dari peradilan agama ini juga membagi kewenangan dari masing-masing pengadilan agama karena di dalam pengadilan agama itu sendiri masih terdapat ganjalan-ganjalan yang menimbulkan kebingungan, yang mana itu lebih berdasarka kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur peradilan agama tersebut yaitu UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Tujuan penulisan ini ialah agar dapat mengetahui apa saja yang menjadi kekuasaan relative dan absolut dari peradilan agama serta dapat mengetahui apa saja yang menjadi ganjalan di dalam kekuasaan relative dan absolut peradilan agama itu sendiri.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode penulisan hukum normative yang melakukan penelitian tehadap asas hukum serta menggunkan berbagai data sekunder berupa peraturan perundang-undangan serta pendapat para sarjana, penelitian jenis normative ini menggunakan analisis kualitatif yakni menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata.
berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang kekuasaan relative dan aboslut, sekaligus dibicarakan pula dia dalamnya tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan. Kekuasaan relative diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan. Kekuasaan relative dari peradilan agama ini tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang telah di amandemen dengan UU No.3 Tahun 2006, dan UU No.50 Tahun 2009 yang berbunyi:
“Peradilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.” Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi : “pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada di ibu kota/kabupaten, atau kota, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.”
Tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal in meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau Kepulauan terdapat empat buah pengadilan agama, karena kondisi transportasi sulit.1
Mrngenai kekuasaan absolut berkenaan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan peradilan, pengadilan dalam ruang lingkup peradilan agama memiliki kekuasaan memerikas, memutus dan menyelesaikan “perkara perdata” tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama islam. Kekuasaan peradilan agama ini mengalami perluasan terutama sejak berlakunya UU Nomor.1 Tahun 1974 kemudian mengalami penyeragaman sejak berlakunya UU Nomot 7 Tahun 1989.
Kekuasaan ini diatur dalam Bab III Pasal 49 samapai dengan Pasal 53 UU Nomor 7 Tahun 1989. Ketentuan Pasal 49 ayat (1) persis sama maksudnya dengan penjelasan umum butir 2 alenia ketiga. Dalam ketentuan-ketentuan itu menunjukan bahwa cakupan kekuasaan absolut peradilan agama secara garis besar meliputi perkara-perkara perdata tertentu dalam kalangan orang yang beragama islam. Perkara-perkara perdata itu adalah di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Dalam ketentuan Pasal 50, dalam hal terjadi sengketa menangani hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dala ruang lingkup peradilan umum.2
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi ganjalan dalam pelaksanaan kekuasaan peradilan agama, tiga hal itu adalah Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana diketahui bahwa hapir
seartus persen perkara kewarisan menyangkut langsung perihal sengketa harta benda baik antara pihak-pihak itu sendiri bahkan kemungkinan menyangkut pihak lain yang interveniren atau sebagai vrijwaring. Jarang sekali orang perkara kewarisan hanya sekedar meminta ditetapkan sebagai ahli waris saja, yang egunaannya hanya untuk membayar hutang-hutang si mayit atau untuk keperluan balik nama benda tetap dari atas nama si mayit kepada atau nama ahli waris. Apa gunanya Pasal 49 ayat (3) yang menyatakan “penentuan mangenai harta peninggalan dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut”. Adilkah bila pengadilan agama salah dalam mebagikan harta peninggalan tersebut karena memikul kesalahan yang disebabkan oleh pengadilan umum. Seperti yang dikemukakan dalam Pasal 50 itu kalaupun karena alasan untuk menghindari sengketa kewenangan dan harus dipaksakan dimasukkan dalam UU No.7 Tahun 1989.3 Yang menjadi ganjalan kedua ialah penjelasan umum UU No.7 Tahun 1989 angka 2 yang mengatakan bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum islam, sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian warisan.
Jika penjelasan ini dibaca secara harfiah maka akan menbuat keburnya permasalahan serta akan menimbulkan serba ketidakpastian hukum. Kiranya tepatlah kalau kita berpegangan kepada patokan “apa agama si mayit” ketika wafatnya dan hal ini sejalan betul dengan hasil seminar nasional I dan II Hukum waris islam.4 Adapun ganjalan terakhir yang terdapat pada pelaksanaan kekuasaaan peradilan agama yaitu ada pada Pasal 86 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989, yang berbunyi “Jika ada tututan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan engadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap tentang hal itu.” Apa pengertian pihak ketiga disini, apakah selain suami istri yang bersangkutan, misalnya anak kandung mereka, orang tua kandung mereka, orang lain sama sekali, atau siapa. Mengapa harta bersama sebagai akibat dari cerai talak seperti dijumpai dalam Pasal 66 ayat (5) tidak memuat ketentuan seperti dijumpai dalam Pasal 86 ayat (2) ini, apakah harta bersama karena cerai talak berlainan dengan harta bersama karena cerai gugat, selanjutnya apakahharta
bersama perkawinan, bila menyangkut pihak ketiga dianggap terlepas dari perkawa perkawinan bagi orang islam.5
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan ini adalah dimana peradilan agama yang memiliki kekuasaan yang bersifat relative dan aboslut masih memiliki ganjalan-ganjalan yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan agama itu sendiri. Hal-hal tersebut juga dapat mempengaruhi eksistensi dari proses yang terjai dalam peradilan agama yang sedang berkembang sekarang dan dapat menimbulkan pertanyaan besar masyarakat terhadap kinerja dan profesionalisme dari peradilan agama di Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku
-
- H.A.Basiq Djalil, 2006, Peradilan agama di Indonesia: Gemuruhnya politik hukum (Hukum Islam, Hukum barat, dan Hukum Adat) dalam rentang sejarah bersama pasang surut lembaga peradilan agama hingga lahirnya peradilan syariat islam aceh, cet.II, Kencana predana media group, Jakarta
-
- Cik Hasan Basri, 2003, Peradilan Agama di Indonesia, cet IV, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
-
- Rasyid A Roihan, 2005, Hukum Acara Peadilan Agama, Cet.II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
-
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
5 Rasyid A Roihan, Op Cit. H. 46
5
Discussion and feedback