PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN*
Oleh:
Nindayani Ainan Nirmaya Bekti**
I Gede Artha***
Program Kekhususan Peradilan
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Penyandang disabilitas sudah memiliki perlindungan yang diatur dalam berbagai undang-undang. Namun terdapat norma konflik dalam memberikan tindakan untuk mewujudkan pemenuhan hak penyandang disabilitas antara KUHAP dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak Penyandang Disabilitas. Oleh karena itu, sistem proses peradilan terhadap saksi dan juga korban bagi penyandang disabilitas dirasa masih sangat minim.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang didukung dengan pendekatan perundang-undangan. Jenis data penelitian ini menggunakan data sekunder, yang kemudian pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemenuhan hak dalam proses peradilan terhadap penyandang disabilitas dan mengamati hal yang dapat diberikan demi memenuhi hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan untuk masa yang akan datang.
Berdasarkan hasil penelitian, ada faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas saksi dan korban yaitu, faktor hukumnya sendiri dan penegak hukum. Untuk mewujudkan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan adalah dengan memenuhi aksesbilitas prosedural beracara, melakukan profile assessment terhadap penyandang disabilitas dan merumuskan peraturan perundangan yang lebih khusus tentang kontruksi materi dan hukum acara pidana bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Kata kunci : Tindak Pidana, Disabilitas, Proses Peradilan, Saksi, Korban
Abstract
Persons with disabilities have protection provided for in various laws. But there are norms of conflict in providing actions to realize the fulfillment of the rights of persons with disabilities between the Criminal Code Procedures with Act number 19 of 2011 about Ratification Of Convention On The Rights Of Persons With Disabilites. Therefore, the judicial process system for witnesses as well as victims for persons with disabilities is still very minimal.
This research is a normative legal research supported by a statutory approach. This type of research data uses secondary data which is then collected by literature study. The purpose of this study is to examine the factors that cause ineffectiveness of the fulfillment of rights in the judicial process of persons with disabilities and observe what can be given to fulfill the rights of persons with disabilities in the judicial process in the future.
Based on the result, there are factors that cause ineffectiveness of the fulfillment of rights for persons with disabilities witnesses and victims that is, factor of its own law and law enforcement apparatus. Then action can be done to realize the fulfillment of the rights of persons with disabilities in the justice process is to meet the needs of accessibility procedural proceedings, do profile assessment against persons with disabilities and formulate legislation that is more specifically (lex) on construction material and criminal procedural law of persons with disabilities who are dealing with the law.
Key Word : Criminal act, Disabilities, Justice Process, Witnesses, Victim
-
I. Pendahulan
-
1.1 Latar Belakang
-
Manusia tentunya dilahirkan ke dunia ini dengan keadaan maupun kondisi yang berbeda-beda. Ada beberapa manusia yang dilahirkan memiliki keterbatasan maupun dilahirkan dalam keadaan normal. Manusia yang memiliki keterbatasan biasa disebut sebagai penyandang cacat, namun saat ini lebih dikenal dengan sebutan penyandang disabilitas. Yang dimaksud dengan penyandang disabilitas ini adalah orang-orang yang mempunyai hambatan fisik, intelektual, mental maupun sensorik. Dimana mereka memiliki kesulitan berinteraksi serta berpartisipasi dengan warga masyarakat lainnya. Orang-orang disabilitas dapat melakukan sesuatu seabagaimana yang dilakukan dengan orang normal biasanya, namun dengan cara yang berbeda.1 Untuk berinterkasi Penyandang Disabilitas memiliki kesulitan yang dapat menghalangi mereka dalam berpartisipasi serta berbaur dengan masyarakat lainnya. Tapi tentunya penyandang disabilitas memiliki perlindungan hukum mengenai hak-hak maupun kebebasan sebagai tujuan dari hukum untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan maupun kepastian hukum, yang merupakan tujuan universal dari hukum itu sendiri.2 Pada tanggal 30 Mei 2008 , social approach dalam penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan yang sama seperti pendidikan, pekerjaan, serta peran dalam masyarakat, hal inilah yang menjadi alasan keluarnya konvensi PBB tentang persamaan hak bagi penyandang disabilitas.3
Kondisi Penyandang Disabilitas yang memiliki hambatan-hambatan dalam berinteraksi dan berpartisipasi dengan masyarakat, tidak
bisa menjadi alasan untuk membandingkan manusia satu dengan yang lainnya maupun hilangnya harkat martabat dari Penyandang Disabilitas. Secara kodrati, manusia dianugrahi HAM dengan melakukan perbedaan terhadap manusia lainnya.4 Hal ini sudah dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa setiap orang memiliki perlindungan dan perlakuan secara setara dalam hukum. Disini Perlindungan Hukum memiliki arti yaitu perlindungan terhadap harkat maupun martabat dan juga pengakuan hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan pengaturan hukum dari kesewenangan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak Penyandang Disabilitas) sudah diatur mengenai perlindungan hukum tentang hak penyandang disabilitas. Namun, dalam kenyataannya mereka tetap diremehkan oleh sebagian kelompok masyarakat.
Kasus-kasus tindak pidana yang berhubungan dengan kesaksianPenyandang Disabilitas itu sendiri semakin meningkat. Namun dukungan sistem peradilan terhadap kondisi penyandang disabilitas sangat minim. Bisa dikatakan dalam berhadapan dengan hukum, Penyandang Disabilitas menjadi terdiskriminasi. Penegak hukum dan pengaturan hukum masih beranggapan bahwa mereka merupakan sekolompok orang yang tidak normal, tidak mampu dan juga tidak cakap hukum dalam proses peradilan.
Dengan ini penulis mengangkat lebih dalam tentang perlindungan penyandang disabilitas sebagai saksi maupun korban tindak pidana di Indonesia dalam proses peradilan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut :
-
1.2.1 Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tidak efektifnya pemenuhan hak proses peradilan terhadap penyandang disabilitas dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas)?
-
1.2.2 Tindakan apa saja yang dapat dilakukan demi memenuhi hak Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan untuk masa yang akan datang?
Tujuan penelitian ini berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan adalah sebagai berikut :
-
1.3.1 Untuk mengkaji dan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemenuhan hak dalam proses peradilan terhadap penyandang disabilitas dalam perlindungan kepada saksi dan korban tindak pidana.
-
1.3.2 Untuk mengamati dan juga mengetahui hal yang dapat diberikan untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan di Indonesia untuk masa yang akan datang.
Metode dalam penulisan ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Objek kajiannya menggunakan data sekunder dari
dokumen peraturan hukum dan juga bahan pustaka suatu perundang-undangan tentang perlindungan hukum terhadap Penyandang Disabilitas sebagai saksi. Dalam penelitian hukum normatif, penelitian ini menggunakan pendeketan masalah berupa statute approach yaitu dengan cara menelaah perundang-undangan.5 Dengan ini penulis menelaah mengenai peraturan perlindungan hukum penyandang disabilitas sebagai saksi dalam sistem peradilan di Indonesia.
-
2.2 Hasil dan pembahasan
-
2.2.1 Faktor tidak efektifnya pemenuhan hak proses peradilan terhadap penyandang disabilitas dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) sebagai perlindungan hukum kepada saksi dan korban tindak pidana.
-
Keadilan dalam negara hukum adalah terciptanya nilai keadilan dalam hak asasi manusia dengan jaminan hukum penegakannya yang adil bagi warga negara nya dimana setiap warga negara memiliki persamaan kedudukan dan berhak atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Akses keadilan yang setara adalah bagian mendasar dari masyarakat kita. Bila para penyandang disabilitas dilibatkan dalam sistem peradilan, maka sangat penting bagi kita untuk mengambil langkah-langkah guna memastikan pandangan mereka dikomunikasikan didengar dan ditindaklanjuti.6 Namun dalam pemenuhan hak untuk penyandang disabilitas terdapat hambatan dalam melakukan proses peradilan
yang adil. Salah satu hambatan tersebut adalah pemenuhan hak yang belum efektif kepada penyandang disabilitas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemenuhan hak dari proses peradilan tersebut antara lain :
-
1. Faktor hukum (Peraturan hukum yang berlaku)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 sudah menetapkan perlindungan mengenai proses peradilan penyandang disabilitas, untuk mengakses keadilan7, namun dalam kenyataannya penyandang
disabilitas menjadi kelompok yang termarjinalkan dalam suatu masyarakat walaupun secara internasional maupun nasional hak asasi manusia maupun ekonomi sudah mengalami perbaikan tetapi tetap saja kelompok ini masih berada dalam posisi terakhir untuk menikmatinya.8 Padahal hal ini sudah diatur dalam Pasal 12 dalam Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas, bahwa :
“Negara pihak menegaskan mengenai hak atas pengakuan di hadapan hukum haruslah dimiliki penyandang disabilitas sebagai hak disabilitas dimana pun dia berada”
Dalam ini Pasal 12 mengatur mengenai kesetaraan hak dan pengakuan di mata hukum terhadap penyandang disabilitas itu sendiri. Bahkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sudah dijelaskan bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk menuntut, mendapatkan bantuan dan
memperoleh perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum.
Namun dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP dikatakan saksi ialah orang yang bisa memberikan keterangan untuk keperluan dalam penyidikian sampai proses pengadilan dalam sebuah kasus pidana yang dia lihat, dengar dan alami sendiri. Karena ini lah yang menjadi alasan keterangan korban maupun saksi disabilitas yang buta maupun tuli tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah, karena terdapat interpretasi di dalam peraturan hukum pidana Indonesia (KUHP).9 Hal inilah yang menjadi alasan terdapatnya norma konflik antara KUHAP dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011. Dalam aturan KUHAP masih memandang disabilitas sebagai orang yang tidak cakap hukum, hal itu juga membuat aturan dalam KUHAP yang membuat tidak mewajibkannya aparat penegak hukum untuk melakukan assessment terhadap kondisi disabilitas. Bahkan kewajiban memberikan bantuan hukum hanya diperuntukan bagi tersangka/terdakwa saja, sedangkan korban disabilitas belum mendapatkan jaminan bantuan secara cuma-cuma di dalam KUHAP.10 Seperti ketentuan Pasal 1 angka 16 KUHAP, penyandang disabilitas yang menjadi korban dalam kasus pidana tidak dapat memberi keterangan maupun kesaksian secara jelas dikarenakan mereka mempunyai keterbatasan dalam berkomunikasi, hal
ini menjadi diragukannya kesasksian Penyandang Disabilitas karena dinilai tidak bisa membuktikan kesaksian.
Dalam Pasal 168 KUHAP sudah diatur tentang seseorang yang secara khusus tidak dapat bersaksi, yaitu :
-
a. Keluarga sedarah (garis lurus ke atas atau kebawah) sampai dengan derajat ketiga dari terdakwa ataupun yang bersama sebagai terdakwa
-
b. Ibu, Bapak, Saudara dari terdakwa dan juga mereka yang memiliki hubungan perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
-
c. Suami atau pun istri dari terdakwa walaupun sudah melakukan perceraian atau yang bersama sebagai terdakwa
Kemudian Pasal 171 KUHAP juga menjelaskan bahwa : “Pengecualian dalam memberikan kesaksian di bawah sumpah atau yang boleh diperiksa dalam memberikan keterangan tanpa melakukan sumpah ialah :
-
a. Anak di bawah umur 15 tahun dan belum kawin
-
b. Orang yang mengalami sakit jiwa atau sakit ingatan (walaupun ingatannya kadang-kadang baik kembali)
Ketentuan yang dijelasakan diatas hal yang membuat seseorang tidak dapat memberikan keterangan kesaksian bukannlah Penyandang Disabilitas. Dan juga dalam Pasal 171 KUHAP dijelaskan bahwa Penyandang Disabilitas bukanlah kondisi seseorang dapat memberikan keterangan
kesaksian tanpa sumpah. Maka dapat disimpulkan Penyandang Disabilitas dapat memberikan kesaksian dibawah sumpah dalam proses peradilan.
Selain itu Pasal 13 dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas menjelaskan mengenai keadilan untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan memiliki kesetaraan termasuk aturan akomodasi yang prosedural sesuai usia, juga memberikan fasilitas terhadap peran aktif disabilits sebagai saksi dalam sebuah persidangan. Namun hal ini sangat kontardiktif dengan pengaturan dalam Pasal 178 ayat (1) KUHAP yang dijelaskan mengenai
“ Hak khusus penyediaan penerjemah yang pandai bergaul dengannya diperuntukkan bagi Disabilitas jenis tuna wicara (bisu) dan tuna rungu (tuli) yang tidak dapat menulis”
Maka dengan pengaturan pasal 178 ayat (1) KUHAP diatas diartikan sebagai mereka yang dapat menulis tidak disediakan akses penerjemah. Hal ini juga belum mengakomodir kepentingan disabilitas jenis lain seperti tuna netra, pengidap gangguan mental, tuna grahita untuk mendapatkan akses penerjemah
-
2. Faktor penegak hukum
Kasus penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum semakin meningkat. Beberapa tahun terakhir, kasus-kasusnya bahkan ramai diperbincangkan. Salah satu persoalannya adalah terletak pada cara pandang aparat penegak hukum. Saat penyandang disabilitas berstatus sebagai korban, saksi maupun pelaku. Hak-haknya
banyak tercabut. Dukungan sistem peradilan juga sangat minim.11
Faktor ini berkaitan dengan perilaku tidak adil, tidak sensitif atau tidak mensetarakan yang dilakukan penegak hukum kepada Penyandang Disabilitas. Ketika penyandang disabilitas menjadi korban perbuatan pidana, aparat penegak hukum terkesan malas dan kesulitan untuk merekonstruksi hukum untuk mengadili pelaku. Penegak hukum beralasan bahwa korban tidak dapat memberikan kesaksian yang memadai, sehingga proses peradilan tidak diteruskan.12 Padahal di Pasal 12 dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi :
“Penyandang disabilitas sebagai subjek hukum di semua aspek kehidupan dan negara pihak sudah seharusnya mensetarakan dan mengakui itu”
“Kebijakan untuk menyediakan akses demi memudahkan penyandang disabilitas dan kesejahteraan mereka sebagai subjek hukum terhadap hal-hal yang dibutuhkan penyandang disabilitas haruslah dilakukan oleh negara pihak”
Dengan ini sudah diatur mengenai hak dalam pengakuan dan kesetaraan di muka hukum kepada penyandang disabilitas dalam Pasal 12 diatas. Selain itu perlindungan hak ini juga sudah dijelaskan dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, yang berbunyi :
“Dalam segala hal aspek penghidupan maupun kehidupan, penyandang cacat sudah seharusnya mempunyai kesempatan yang sama”
Kesempatan yang sama ini merupakan peluang penyandang disabilitas untuk mendapatkan perlindungan hukum dan aksesbilitas proses peradilan. Tetapi ternyata peraturan perundang-undangan belum terealisasikan sepenuhnya. Karena mereka aparat hukum tidak mempunyai kemampuan dalam hal komunikasi dengan Penyandang Disabilitas. Pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum juga terbatas mengenai hal penyandang disabilitas sehingga kerap penegak hukum tidak dapat mensetarakan dengan alasan keterbatasan Penyandang Disabilitas, akhirnya hak-hak mereka terpinggirkan dan posisi mereka dihadapan hukum dimarginalkan oleh pihak kepolisan, kejaksaan, sampai pengadilan.13 Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penyandang disabilitas sulit untuk melakukan proses peradilan karena mereka tidak mendapatkan pelayanan maupun perlakuan yang adil.
Guna mewujudkan dibentuknya hak-hak disabilitas dalam proses peradilan, hal yang dapat mengatasi hambatan adalah dengan tindakan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Yaitu :
-
a. Bantuan hukum terhadap penyandang disabilitas
-
b. Sidang terhadap penyandang disabilitas sudah seharusnya tidak disamakan dengan sidang acara biasa.
-
c. Menyediakan penerjemaah Bahasa isyarat dalam persidangan maupun pemeriksaan.
-
d. Aspek disabilitas haruslah menjadi pertimbangan dalam keputusan oleh hakim.
-
e. Proses peradilan terhadap Penyandang Disabilitas haruslah dilakukan oleh penegak hukum yang memiliki pengetahuan atau isu disabilitas. Begitu juga dengan proses persidangan hakim juga harus memiliki pengetahuan mengenai hal isu disabilitas.
Selain hal di atas hal-hal yang tidak kalah penting yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengadakan pelatihan untuk aparat penegak hukum terkait isu disabilitas. Hal ini sudah diperjelas di Pasal 13 ayat (2) dalam konvensi Hak Penyandang Disabilitas tentang terjaminnya keadilan penyandang disabilitas yang efektif, negara seharusnya melakukan peningkatan terhadap pelatihan untuk mereka yang bekerja dibidang hukum seperti polisi dan sipir.
Selain itu sudah diatur perlindungan terhadap Penyandang Disabilitas dalam Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dengan memperlihatkan keseriusan dari Pemerintah agar hak untuk penyandang disabilitas terjamin14, bahwa penyandang Disabilitas memiliki hak perlakuan yang setara dan diakui di muka hukum untuk memperoleh aksesbilitas pelayanan peradilan. Namun ada baiknya pemerintah perlu tindakan lain yang dapat dilakukan adalah membuat peraturan pelaksanaan perundangan yang lebih khusus tentang konstruksi materi dan hukum acara bagi
penyandang disabilitas. Seperti yang disebutkan diatas peraturan pidana Indonesia masih belum mampu mengakomodasi keterangan alat bukti yang sah, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan dalam proses peradilan. Sehingga perlu adanya peraturan yang secara jelas mengubah pemahaman dan sensitifitas penegak hukum dalam memeriksa penyandang disabilitas.15 Karena penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan dan memiliki hambatan khusus maupun kebutuhan khusus yang harus dipahami dalam bangunan sistem hukum.
-
III. Penutup
-
3.1 Kesimpulan
-
Dari pemaparan urian diatas menyangkut masalah yang disajikan, bisa disimpulkan sebagai berikut :
-
3.1.1 Adapun faktor-faktor dari ketidak efektifannya terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan adalah :
-
a. Faktor hukumnnya sendiri, dalam hal ini perundangan yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan sangat kontradiktif satu sama lain. Peraturan perundang-undangan pun belum
mengakomodir kebutuhan para penyandang disabilitas dalam proses peradilan secara keseluruhan.
-
b. Faktor penegak hukumnya. Berkaitan dengan penegak hukum, seringkali penegak hukum tidak adil, tidak proposional, tidak menstarakan penyandang
disabilitas. Dan juga pengetahuan maupun
pemahaman penegak hukum terkait isu disabilitas masih sangat kurang dan lemah
-
3.1.2 Terkait tindakan yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak penyandang disabilitas adalah mengenai aksesibilitas procedural, memberikan bantuan hukum yaitu perluasan alat bukti dan pemeriksaan yang lebih fleksibel, profile assessment terhadap penyandang disabilitas pada tahap penyidikan. Ada baiknya juga tindakan lain yang dapat dilakukan adalah merumuskan peraturan
perundangan yang lebih khusus tentang konstruksi materi dan hukum acara bagi penyandang disabilitas. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan dalam proses peradilan.
-
3.2 Saran
-
3.2.1 Diharapkan kepada aparat penegak hukum (khususnya Hakim) dalam peradilan adanya peningkatan dalam pelayanan terhadap penyandang disabilitas sebagai saksi maupun korban agar penyandang disabilitas dapat mengikuti seluruh proses yang ada.
-
3.2.2 Diharapkan kepada legislatif untuk memformulasikan pengaturan perundangan yang lebih khusus tentang konstruksi materi dan hukum acara bagi penyandang disabilitas. Karena penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan yang memiliki hambatan khusus dan kebutuhan khusus yang harus dipahami dalam bangunan sistem hukum.
-
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Hukum, Rajawali Pres, Mataram
Nasution, Bahdar Johan, 2014, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung
Sudiman, 2014, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum
Demokrasi (Human Rights in Democratiche Rechtsstaat), Sinar Grafika
Jurnal
Achmad Soleh, Jurnal Perlindungan, LPSK, Volume 5, Nomor 1 Tahun 2015
Asyhabuddin, Difabilitas dan Inklusif: Kemungkinannya di STAIN Purwekerto, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan Insania, Vol. 13, No. 3 Tahun 2008
Ismail Saleh, “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas Ketenagakerjaan di Semarang”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Volume 2, Nomor 1 Tahun 2018
Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Right Of Persons With Disabilities (DPRD), Jurnal Inovatif, Vol. 8, Nomor. 1 Tahun 2015
Siti Nurhayanti, “Kesetaraan Di Muka Hukum Bagi Penyandang Disabilitas”, Jurnal Hukum Syari’ah STAIN Kediri, Vol. 14, No. 1 Tahun 2016
Sudjito Soeparman, Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Studi Mahasiswa Penyandang Disabilitas, Indonesian Journal of Disability Studies, Vol. 1, No. 1 Tahun 2014
Website
Abba Gabrillin, 2015, “KY Dorong Kesetaraan dalam Sistem Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas”, URL : https://nasional.kompas.com/read/2015/08/13/11013711 /KY.Dorong.Kesetaraan.dalam.sistem.peradilan.bagi.penyan dang.disabilitas diakses tanggal 29 Juli 2019
ABC News, 2017, “Membantu Kaum Difabel Pahami Sistem Peradilan”,URL:https://www.tempo.co/abc/490/membantu-kaum-difabel-pahami-sistem-peradilan diakses tanggal 29 Juli 2019
Dio Ashar Wicaksana, 2016, “Peradilan yang Adil Bagi Penyandang Difabel”,URL:https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt58 5296132b040/peradilan-yang-adil-bagi-penyandang-difabel-oleh--dio-ashar-wicaksana/ diakses tanggal 30 Juli 2019
Dio Ashar Wicaksana, 2017, “Aksesbilitas Difabel Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”,
URL:https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt59dde0c8a c758/aksesibilitas-difabel-dalam-sistem-peradilan-pidana-indonesia-oleh--dio-ashar-wicaksana/ diakses tanggal 30
Juli 2019
Dio Ashar Wicaksana, 2017, “Peradilan yang Adil Bagi Penyandang Difabel”,URL: http://mappifhui.org/2017/02/28/peradilan-yang-adil-bagi-penyandang-difabel-oleh-dio-ashar-wicaksana/ diakses 29 Juli 2019
Komnas HAM, 2017, “Aksesbilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas”,URL:https://perpustakaan.komnasham.go.id/op ackomnas/index.php?p=show_detail&id=110848&keywords= diakses tanggal 29 Juli 2019
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas),
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886
Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 70, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 3754
KUHAP
17
Discussion and feedback