KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI MENANGANI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DI ATUR DALAM RUU KUHP

Oleh :

Riski Wulandari∗∗

Sagung Putri M. E. Purwani∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pasca dimasukkannya beberapa tindak pidana korupsi yang telah diatur di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) kedalam RUU KUHP, muncul perdebatan mengenai kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi yang diatur di dalam RUU KUHP tersebut. Ada pihak yang berpendapat bahwa KPK tidak berwenang menangani tindak pidana korupsi yang diatur di dalam RUU KUHP tersebut, lantaran kewenangan KPK dipandang terbatas pada memberantas tindak pidana korupsi yang diatur di dalam UU PTPK. Akan tetapi, ada pula pihak yang berpendapat bahwa KPK tetap memiliki kewenangan dalam menangani tindak pidana korupsi yang diatur di dalam RUU KUHP. Perdebatan ini mengemuka lantaran adanya perbedaan pandangan mengenai klasifikasi tindak pidana korupsi sebagai akibat kekaburan norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK mengenai definisi tindak pidana korupsi. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK dan untuk mengetahui apakah KPK berwenang menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam RUU KUHP. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi masih mungkin diatur di luar UU PTPK, sehingga manakala RUU KUHP yang mengatur perihal tindak pidana korupsi telah remsi diberlakukan (menjadi KUHP terbaru), KPK tetap memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang diatur di dalam KUHP yang baru tersebut.

Kata Kunci : Kewenangan, KPK, RUU KUHP.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Menangani Tindak Pidana Korupsi Yang Di Atur Dalam RUU KUHP merupakan makalah ilmiah di luar ringkasan skripsi.

∗∗ Riski Wulandari adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: [email protected].

∗∗∗ Sagung Putri M. E. Purwani adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: [email protected].

Abstract

Post the inclusion of several corruption acts which have been regulated in Law No. 31 of 1999 in conjunction with Law No. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crime (PTPK Law) into the Criminal Code Bill, there was a debate about the authority of the KPK in dealing with corruption that was regulated in the Criminal Code Bill. There are those who argue that the KPK is not authorized to deal with the criminal acts of corruption regulated in the Criminal Code Bill, because the KPK's authority is seen as limited to eradicating corruption in the PTPK Law. However, there are also those who argue that the KPK still has the authority to handle corruption that is regulated in the Criminal Code Bill. This debate arose because of differences in views regarding the classification of corruption as a result of the obscurity of norms in Article 1 number 1 of Law No. 30 of 2002 concerning KPK regarding the definition of criminal acts of corruption. The purpose of this study is to find out what actions are classified as criminal acts of corruption according to the KPK Law and to find out whether the KPK has the authority to deal with corruption in the KUHP Bill. This study uses normative legal research methods. The results of this study indicate that criminal acts of corruption are still possible to be regulated outside the PTPK Law, so that when the Criminal Code Bill regulates the criminal acts of corruption has been implemented (become the latest Criminal Code), the KPK still has the authority to conduct investigations, investigations and prosecutions of corruption which is regulated in the new Criminal Code.

Keywords : Authority, KPK, new Criminal Code.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu kala dan merupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia.1 Hal ini sesuai dengan ungkapan dari Norman Abjorensen yang menyatakan bahwa no society is without corruption.2 Semakin massif dan buruknya akibat dari korupsi, masyarakat dunia mulai melakukan internasionalisasi kejahatan korupsi karena korupsi dianggap dapat berdampak pada enam hal yakni ; 1) dapat merusak demokrasi; 2) dapat merusak aturan hukum; 3) dapat mengganggu pembangunan berkelanjutan; 4) dapat merusak pasar; 5) dapat merusak kualitas hidup; dan 6) korupsi dianggap melanggar hak-hak asasi manusia.3 Sedangkan di Indonesia, korupsi mulai dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU KPK).4

Di Indonesia, tindak pidana korupsi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU PTPK). Belakangan ini, muncul perdebatan sengit pasca beberapa tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK seperti tindak pidana korupsi yang menyangkut keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK) dan suap (Pasal 5 UU PTPK) dimasukkan kedalam RUU KUHP. Berkaitan dengan hal tersebut,

1 H. Juni Shafrien Jahja, 2012, Say No To Korupsi!, Visimedia, Jakarta, h. 7.

2 Norman Abjorensen, 2014, Combating Corruption : Implications of the G20 Action Plan for the Asia-Pacific Region, Konrad Adenauer Stiftung, Germany, h. 5.

3 Eddy O.S. Hiariej, 2012, “Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi” dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, (ed), Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar, h.193-194.

4 Ifrani, 2017, “Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa”, Neliti.com, volume IX nomor 3, h. 2.

ada pihak yang mempersoalkan ketika RKUHP disahkan menjadi undang-undang, apakah KPK tetap berwenang menyelidik, menyidik dan menuntut kasus-kasus korupsi yang diatur didalam KUHP yang baru.5 Hal itu dipersoalkan lantaran pihak tersebut beranggapan bahwa sesuai dengan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, kewenangan KPK hanya terbatas pada penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang di atur dalam UU PTPK6, oleh karena Pasal 1 angka 1 UU KPK menengaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang diatur di dalam UU PTPK, sehingga diluar UU PTPK bukan ranah kewenangan KPK dalam menanganinya. Bahkan ada pendapat pula yang menyatakan bahwa manakala tindak pidana korupsi diatur dalam RKUHP, maka hal itu akan menghilangkan sifat kekhususannya. Tindak pidana korupsi akan menjadi delik umum, sehingga keberadaan KPK pun menjadi terancam.7

Akan tetapi, dilain pihak ada pula yang tetap memandang bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang ada dalam RKUHP tersebut.8 Pada akhirnya, banyak kalangan termasuk KPK menyerukan agar Presiden Jokowi menolak RUU KUHP yang mengatur ulang tindak pidana korupsi yang sudah di atur dalam

5 Addi M Idhom, 2018, “Mengapa Pasal Tipikor di RKUHP Jadi Polemik dan Ditolak KPK?”    https://tirto.id/mengapa-pasal-tipikor-di-rkuhp-jadi-polemik-dan-ditolak-kpk-

cLSN, diakses tanggal 7 Juni 2019, pukul 12.04 WITA.

6Team   Viva,   2018,   “RUU   KUHP   Dinilai   Melemahkan   KPK”,

https://www.viva.co.id/berita/nasional/1041490-ruu-kuhp-dinilai-melemahkan-kpk, diakses tanggal 7 Juni 2019, pukul 12. 06 WITA.

7 Novrieza Rahmi, 2017, “Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP ; Perdebatan panjang mengenai keberadaan delik korupsi dalam KUHP segera berakhir. Beberapa catatan kritis pun masih dibahas. Akankah KPK di ujung tanduk?”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a468474748df/akhir-nasib-delik-korupsi-dalam-rkuhp/, diakses tanggal 7 Juni 2019, pukul 12. 20 WITA.

8 Bayu Septianto, 2018, “Wiranto: Tidak Benar RUU KUHP Lemahkan KPK”, https://news.okezone.com/read/2018/06/07/337/1907793/wiranto-tidak-benar-ruu-kuhp-lemahkan-kpk, diakses tanggal 7 Juni 2019, pukul 12.30 WITA.

UU PTPK, karena dianggap dapat melemahkan pemberantasan korupsi di masa mendatang.9 Perdebatan ini kiranya bermula dari perbedaan pandangan dalam mengklasifikasikan tindak pidana korupsi, yang disebabkan oleh kekaburan norma dalam Pasal 1 angka 1 UU KPK perihal definisi tindak pidana korupsi dan untuk itu topik yang akan dibatas dalam makalah ini berkenaan dengan “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI MENANGANI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DI ATUR DALAM RUU KUHP”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apa saja perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK?

  • 2.    Apakah KPK berwenang menangani tindak pidana korupsi yang di atur dalam RUU KUHP ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui apa saja perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK.

  • 2.    Untuk mengetahui apakah KPK berwenang menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam RUU KUHP.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan konseptual (conceptual approach). Penelitian normatif dalam tulisan ini digunakan untuk mengkaji kekaburan norma mengenai definisi tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KPK. Adapun metode penafsiran yang

9 Fabian Januarius Kuwado, 2018, “Minta Pasal Korupsi Dikeluarkan dari RKUHP, KPK              Lima              Kali              Surati              Presiden”,

https://nasional.kompas.com/read/2018/06/04/12454961/minta-pasal-korupsi-dikeluarkan-dari-rkuhp-kpk-lima-kali-surati-presiden, diakses tanggal 8 Juni 2019, pukul 08.00 WITA.

digunakan dalam menyelesaikan kekaburan norma dalam tulisan ini adalah metode penafsiran sistematis.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Klasifikasi tindak pidana korupsi menurut UU KPK

Pengaturan tindak pidana korupsi menurut UU KPK mengacu pada ketentuan-ketentuan pidana di dalam UU PTPK. Hal tersebut sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 1 UU KPK yang menegaskan bahwa tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU PTPK. Secara eksplisit dalam Bab II UU PTPK diatur tentang tindak pidana korupsi yakni dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, sedangkan Bab III UU PTPK mengatur tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yakni dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK. Menurut Widyo Pramono, tindak pidana korupsi yang tersebar di dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 UU PTPK tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa rumusan delik, antara lain sebagai berikut:10

  • 1.    Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

  • 2.    Kelompok delik penyuapan, baik active omkomping (yang menyuap) maupun passive omkomping (yang disuap), termasuk gratifikasi, vide Pasal 5, 6, 11, 12b, 12c;

  • 3.    Kelompok delik penggelapan dalam jabatan, vide Pasal 8, 9, dan 10;

  • 4.    Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion), vide Pasal 12;

10 Pramono, Widyo, 2016, Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya; Sebuah Perspektif Jaksa dan Guru Besar, Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 43.

  • 5.    Kelompok delik yang berkaitan delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan, Pasal 12 i.

Kemudian, Luhut M.P. Pangaribuan mengelompokkan 30 jenis tindak pidana korupsi yang tersebar dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 UU PTPK dengan 7 kategori yang terdiri dari: 11

  • 1.    Tindakan yang berhubungan dengan keuangan negara;

  • 2.    Tentang suap menyuap;

  • 3.    Tentang penggelapan dalam jabatan;

  • 4.    Tentang pemerasan;

  • 5.    Tentang perbuatan curang;

  • 6.    Tentang benturan kepentingan dalam pengaduan;

  • 7.    Tentang gratifikasi;

Adapun menurut KPK, tindak pidana korupsi dalam UU PTPK terdiri atas 30 jenis tindak pidana, yang dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok yakni :12

  • 1.    Korupsi kerugian keuangan negara yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3;

  • 2.    Suap menyuap yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan Pasal 12 huruf d;

  • 3.    Penggelapan dalam jabatan yang termuat dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, c;

  • 4.    Pemerasan yang termuat dalam Pasal 12 huruf e, g, h;

  • 5.    Perbuatan curang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;

11 Luhut M.P. Pangaribuan, 2015, Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset, Pustaka Kemang, Jakarta, h.162.

12 Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, h.15-17.

  • 6.    Benturan kepentingan dalam pengadaan yang termuat dalam Pasal 12 huruf i;

  • 7.    Gratifikasi yang termuat dalam Pasal 12 B jo. Pasal 12C.

Selain tindak pidana korupsi yang diklasifikasikan oleh para ahli dan KPK diatas, yang pada pokoknya diatur dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 UU PTPK, terdapat juga ahli yang menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur didalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK yang termasuk ke dalam Bab III UU PTPK perihal tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, sebagai tindak pidana korupsi. Ahli tersebut adalah Ermansjah Djaja yang secara tegas berpendapat bahwa tindak pidana korupsi adalah semua ketentuan hukum materiil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang diatur di dalam Pasal-Pasal 2, 3, 4, 5, 6,7,8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 13,14, 15, 16, 21, 22, 23, dan 24.13 Pendapat serupa dengan Ermansjah Djaja adalah Lilik Mulyadi yang mengklasifikasikan tindak pidana korupsi menjadi beberapa tipe antara lain:14

  • 1.    Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama terdapat dalam Pasal 2 UU PTPK;

  • 2.    Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua terdapat dalam Pasal 3 UU PTPK;

  • 3.    Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga terdapat dalam Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, yang terdiri atas perbuatan penyuapan (Pasal 5, 6, 11, 12 dan 13), penggelapan (Pasal 8, 9 dan 10), kerakusan (Pasal 12), perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leverensir dan rekanan (Pasal 7 dan Pasal 12)

13 Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Sinar Grafika, Jakarta, h. 25

14 Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, PT. Alumni, Bandung, h. 322 – 338.

  • 4.    Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat yang merupakan tipe korupsi percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang diluar wilayah Indonesia, yang terdapat dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK.

Selain Ermansjah Djaja dan Lilik Mulyadi, masih ada satu ahli lagi yang berpandangan bahwa tindak pidana korupsi dalam UU PTPK tidak hanya terbatas diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 20. Ahli tersebut adalah Yudi Kristiana yang mengklasifikasikan Tindak Pidana Korupsi dalam Ketentuan UU PTPK menjadi 8 (delapan jenis) yakni :

  • 1.    Korupsi terkait dengan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3;

  • 2.    Korupsi penyuapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan Pasal 12 huruf d;

  • 3.    Korupsi penggelapan dalam jabatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d;

  • 4.    Korupsi pemerasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g dan Pasal 12 huruf f;

  • 5.    Korupsi perbuatan curang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h;

  • 6.    Korupsi benturan kepentingan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf i;

  • 7.    Korupsi gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B jo. Pasal 12 C;

  • 8.    Korupsi tindak pidana lain terkait dengan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 22 jo Pasal 29, Pasal 22 jo Pasal 35, Pasal 22 jo Pasal 36, Pasal 24 jo. Pasal 31.

Terlepas dari perbedaan pengklasifikasian tindak pidana korupsi menurut para ahli diatas, menarik untuk diperhatikan Pasal 14 UU PTPK yang menentukan bahwa : setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Apabila diperhatikan ketentuan Pasal 14 ini, sangat mungkin pengaturan tindak pidana korupsi diatur diluar UU PTPK itu sendiri.

  • 2.2.2 Kewenangan KPK menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam RUU KUHP.

KPK merupakan salah satu institusi yang bertugas memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Berbeda dengan institusi negara lainnya yang bertugas memberantas korupsi in casu kepolisian dan kejaksaan, KPK yang pembentukannya diamatkan oleh Pasal 43 UU PTPK dibekali dengan sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan yang luar biasa (extra ordinary power).15 Kewenangan yang luar biasa tersebut diberikan seiring korupsi bukan lagi hanya sekedar kejahatan biasa melainkan sudah merupakan extra ordinary crime, mengingat sifat dan akibatnya yang begitu besar, menggerogoti kekayaan negara, menguras sumber-sumber ekonomi dan sosial rakyat dan oleh

15 Indriyanto Seno Adji, 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi & Penegak Hukum, Diadit Media, Jakarta, h. 1.

karena itu korupsi dipandang sebagai pelanggaran HAM yakni hak sosial ekonomi rakyat Indonesia.16

Secara eksplisit, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjut disingkat UU KPK) menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas antara lain :

  • a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

  • b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

  • c.    melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

  • d.    melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

  • e.    melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berkaitan dengan tugas dalam Pasal 6 huruf c UU KPK diatas, Pasal 11 UU KPK menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

  • a.    Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

  • b.    Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;

dan/atau

16 Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002, Mewujudkan Supremasi Hukum Di Indonesia : Catatan dan Gagasan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta, h. 32.

  • c.    Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Kemudian, Pasal 1 angka 1 UU KPK menegaskan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Seperti yang sudah di uraikan dalam poin 2.2.1 diatas perihal klasifikasi tindak pidana korupsi menurut UU KPK, bahwa Pasal 14 UU PTPK masih memungkinkan undang-undang lainnya mengatur perihal tindak pidana korupsi asalkan ditentukan secara tegas akan hal itu. RUU KUHP manakala telah disahkan nantinya, merupakan salah satu undang-undang yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 14 UU PTPK, sebab didalam RUU KUHP tersebut telah mengatur beberapa tindak pidana korupsi dari Pasal 687 sampai dengan Pasal 706, sehingga manakala dilakukan penafsiran secara sistematis, tentu KPK memiliki kewenangan dalam menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam RUU KUHP.

Kemudian, terkait dengan adanya pendapat yang menyatakan bahwa apabila tindak pidana korupsi diatur didalam RUU KUHP, KPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk menangani tindak pidana tersebut karena sudah menjadi tindak pidana umum dan bukan lagi sebagai tindak pidana khusus. Menurut penulis hal tersebut tidaklah berasalan menurut hukum, sebab bukan persoalan tindak pidana korupsi itu menjadi tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus, tetapi apakah suatu perbuatan itu ditentukan secara tegas oleh undang-undang sebagai tindak pidana korupsi atau tidak. Singkatnya, asalkan suatu perbuatan itu

ditentukan secara tegas oleh undang-undang sebagai tindak pidana korupsi, maka sepanjang sesuai dengan Pasal 11 UU KPK, KPK tetap memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadapnya.

  • III. Penutup

    3.1    Kesimpulan

  • 1.    Tindak pidana korupsi menurut UU KPK merujuk pada tindak pidana yang diatur dalam UU PTPK. Ketentuan Pasal 14 UU PTPK masih memungkinkan tindak pidana korupsi di atur di luar UU PTPK, sepanjang pengaturannya melalui undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.

  • 2.    RUU KUHP mengatur tindak pidana korupsi dari Pasal 687 sampai dengan Pasal 706. Manakala RUU KUHP yang mengatur perihal tindak pidana korupsi tersebut nantinya telah disahkan menjadi undang-undang, maka tindak pidana tersebut tetap merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud oleh UU PTPK (Pasal 14) dan karena itu berdasarkan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, KPK berwenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadapnya.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi patut kedepannya diatur di dalam satu undang-undang, guna menghindari perbedaan pandangan dalam mengklasifikasikan tindak pidana korupsi atau jika tidak pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi patut memberikan sosialisasi kepada aparat penegak hukum dan masyarakat agar mengetahui yang mana saja perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

  • 2.    Pasca RUU KUHP diberlakukan, pembentuk RUU KUHP patut juga memberikan sosialisasi mengenai eksistensi kewenangan lembaga-lembaga penegak hukum tindak pidana korupsi yang telah ada seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, untuk menghindari perbedaan pandangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi khususnya yang baru diatur dalam RUU KUHP tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

  • (1)    BUKU

Abjorensen, Norman, 2014, Combating Corruption : Implications of the G20 Action Plan for the Asia-Pacific Region, Konrad Adenauer Stiftung, Germany.

Adji, Indriyanto Seno, 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi & Penegak Hukum, Diadit Media, Jakarta.

Djaja, Ermansjah, 2010, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Sinar Grafika, Jakarta.

Hiariej, Eddy O.S.,  2012, “Pembuktian Terbalik Dalam

Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi” dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, (ed), Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar.

Jahja, H. Juni Shafrien, 2012, Say No To Korupsi!, Visimedia, Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, PT. Alumni, Bandung.

Pangaribuan, Luhut M.P., 2015, Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset, Pustaka Kemang, Jakarta.

Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002, Mewujudkan Supremasi Hukum Di Indonesia : Catatan dan Gagasan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta.

Widyo, Pramono, 2016, Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya; Sebuah Perspektif Jaksa dan Guru Besar, Kompas Media Nusantara, Jakarta.

  • (2)    JURNAL

Ifrani, 2017, “Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa”, Neliti.com, volume IX nomor 3.

  • (3)    SURAT KABAR

Addi M Idhom, 2018, “Mengapa Pasal Tipikor di RKUHP Jadi Polemik dan Ditolak KPK?” https://tirto.id/mengapa-pasal-tipikor-di-rkuhp-jadi-polemik-dan-ditolak-kpk-cLSN

Bayu Septianto, 2018, “Wiranto: Tidak Benar RUU KUHP Lemahkan KPK”, https://news.okezone.com/read/2018/06/07/337/1907793/ wiranto-tidak-benar-ruu-kuhp-lemahkan-kpk

Fabian Januarius Kuwado, 2018, “Minta Pasal Korupsi Dikeluarkan dari RKUHP, KPK Lima Kali Surati Presiden”, https://nasional.kompas.com/read/2018/06/04/12454961/ minta-pasal-korupsi-dikeluarkan-dari-rkuhp-kpk-lima-kali-surati-presiden

Novrieza Rahmi, 2017, “Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP ; Perdebatan panjang mengenai keberadaan delik korupsi dalam

KUHP segera berakhir. Beberapa catatan kritis pun masih dibahas.    Akankah    KPK    di    ujung    tanduk?”,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a468474748d f/akhir-nasib-delik-korupsi-dalam-rkuhp/

Team Viva, 2018, “RUU KUHP Dinilai Melemahkan KPK”, https://www.viva.co.id/berita/nasional/1041490-ruu-kuhp-dinilai-melemahkan-kpk

16