PENANGANAN KORBAN TINDAK PIDANA PENCULIKAN TERHADAP ANAK DI WILAYAH POLDA BALI
on
PENANGANAN KORBAN TINDAK PIDANA PENCULIKAN TERHADAP ANAK DI WILAYAH POLDA BALI*
Oleh
Ni Luh Ayu Manik**
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti ***
Program Kekhususan Pidana
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Sebagian besar kasus korban penculikan anak banyak ditemukan dalam keadaan sudah tidak berdaya dan mengalami trauma bahkan ada yang dipekerjakan secara paksa didalam negeri maupun diluar negeri. Upaya perlindungan hukum terhadap kebebasan dan hak-hak anak merupakan kepentingan bersama yang berhubungan dengan kesejahteraan anak, agar anak tidak menjadi korban penculikan. Penelitian ini dibuat kajian dengan merefleksikan pembahasan kasus penculikan anak yang terjadi di daerah Bali. Adapun masalah yang diangkat 1)Bagaimana bentuk penanganan yang dapat diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana penculikan? 2)Upaya apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak anak dalam menangani adanya korban tindak pidana penculikan anak? Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui bentuk penanganan yang dapat diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana penculikan serta mengetahui upaya yang telah dilakukan oleh penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum dan menanggulangi adanya korban dalam tindak pidana penculikan anak di Bali. Penulisan jurnal kali ini memakai hukum empiris, dengan metode pendekatan observasi, serta data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data hasil wawancara dan study kepustakaan. Hasil penulisan ini menunjukkan bentuk penanganan yang dapat diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana penculikan adalah bentuk penanganan atas bantuan dan bentuk penanganan atas restitusi. Serta upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
perlindungan terhadap hak-hak anak dalam menangani adanya korban tindak pidana penculikan adalah upaya rehabilitasi untuk korban, dan pemberian perlindungan prosedural dalam peradilan. Kata Kunci: Penculikan, Anak, Korban
Abstract
Most cases of child abduction victims are found to be in a state of helplessness and trauma and some are forced to work domestically or abroad. Legal safeguards against freedom and the rights of children are a common interest related to the welfare of children, so that children are not victims of abduction. This study was made a study by reflecting the discussion of child abduction cases that occurred in Bali. As for the issues raised 1) What forms of handling can be given to children who are victims of kidnapping crimes? 2) What efforts should be taken to improve the protection of children's rights in dealing with victims of child abduction? The purpose of writing this journal is to find out the forms of handling that can be given to children who are victims of criminal acts of kidnapping and to know the efforts that have been made by law enforcement in providing legal protection and overcoming victims of child kidnapping in Bali. Journal writing this time uses empirical law, with the method of observation approach, and the data collected in this study include data from interviews and literature studies. The results of this paper indicate that the form of handling that can be given to children who are victims of criminal acts of abduction is a form of handling assistance and forms of handling restitution. As well as efforts that need to be made to improve the protection of children's rights in dealing with victims of criminal acts of kidnapping are rehabilitation efforts for victims, and the provision of procedural protection in the judiciary.
Keywords: Kidnapping, Children, Victim
PENDAHULUAN
Anak merupakan bagian dari keluarga yang tidak dapat di pisahkan karena sejak anak masih berada di dalam kandunganpun anak telah memiliki hak-haknya sebagai seorang manusia. Di era sekarang ini, anak sering kali menjadi korban dalam suatu tindak pidana, salah satunya menjadi korban tindak pidana penculikan.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang mengakibatkan anak mengalami trauma fisik, mental maupun sosialnya.1 Perlindungan pada anak merupakan suatu usaha untuk mengadakan kondisi dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif.2 Menurut Sarasita Kismadewi dalam jurnalnya, Tujuan perlindungan hukum terhadap anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.3
Kasus penculikan terhadap anak mengundang perhatian masyarakat, khususnya para orang tua dan keluarga terdekat dari sang anak. Seperti contoh kasus penculikan yang ada di Antara News, hal tersebut terjadi bahkan terhadap anak di usia 17 tahun dengan gangguan mental yang dilakukan oleh Terdakwa Hasan Al Hadat di Sesetan, Denpasar pada 22 Oktober 2018. Jaksa Penuntut
Umum, Ari Suparmi dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim I Wayan Kawisada di PN Denpasar, Senin, menilai perbuatan terdakwa bersalah melanggar Pasal 76F jounto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.4 Kasus kedua datang dari Karangasem, Bali. Pelaku penculikan bocah perempuan berusia enam tahun di Banjar Dinas Darmawinangun, Desa Tianyar Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, tersangka KRY (42), yang diduga mengalami kejiwaan masih menjalani proses pemeriksaan lanjutan. 5
Berbagai ketentuan hukum yang mengatur pentingnya perlindungan terhadap anak yang menjadi korban penculikan, berbagai aturan tersebut belum sepenuhnya mengurangi terjadinya kejahatan penculikan terhadap anak. Berdasarkan uraian di atas, adanya berbagai bentuk masalah terhadap anak mendorong keingintahuan penulis untuk mengkaji lebih lanjut tentang “PENANGANAN KORBAN TINDAK PIDANA PENCULIKAN TERHADAP ANAK DI WILAYAH POLDA BALI”.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang ada sebagai berikut:
-
1. Bagaimana bentuk penanganan yang dapat diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana penculikan ?
-
2. Upaya apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak anak dalam menangani adanya korban tindak pidana penculikan anak ?
Jenis penulisan yang digunakan adalah penulisan hukum empiris yang merupakan suatu istilah dalam filsafat untuk menjelaskan teori epistemologi yang menganggap bahwa pengalaman sebagai sumber pengetahuan.6 Yang menggunakan socio-legal research, dimana hukum sebagai objek penulisannya, meneliti bagaimana hukum dan penerapannya di masyarakat, serta komparasi kenyataan yang terjadi pada masyarakat sesuai dengan aturan yang ada. Penulisan ini mengambil wawancara terhadap kantor kepolisian dan lembaga perlindungan anak.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Bentuk Penanganan Yang Dapat Diberikan Terhadap Anak
-
Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Penculikan
-
a. Bentuk Penanganan Hak Atas Bantuan Terhadap Anak Sebagai Korban Penculikan
Pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UUPSK) dijelaskan bahwa bantuan merupakan layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pemberian bantuan tersebut dianggap sebagai hak yang melekat pada korban dan layanan korban yang paling mudah diakses korban, karena proses penetapan dan pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), tanpa melibatkan instansi lainnya.7 Bantuan diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus kepada LPSK. Pengajuan permohonan ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai. Permohonan Bantuan memuat sekurang-
kurangnya identitas pemohon uraian tentang peristiwa dan bentuk bantuan yang diminta.
Pelaksanaan pemberian bantuan LPSK bekerja sama dengan unit kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta. LPSK juga berwenang untuk memperpanjang atau menghentikan pemberian Bantuan. Kewenangan LPSK ini dilakukan setelah mendengarkan keterangan dokter, psikiater, atau psikolog. Penghentian pemberian Bantuan juga dapat dilakukan atas permintaan Korban.
Namun, dalam penerapannya di lapangan, berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 7 Februari 2019 menurut Ibu Sang Ayu Putu Alit Saparini Kasubit IV di Polda Bali menyatakan bahwa bantuan hukum terhadap korban sesungguhnya sama pentingnya dengan bantuan hukum yang diberikan kepada anak yang menjadi korban tindak pidana penculikan. Kurangnya penyuluhan dan bimbingan serta informasi masyarakat menjadi kurang paham tentang hal ini. Sehingga terjadi pembiaran terhadap korban, padahal pemerintah telah menyediakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK) untuk mempermudah akses informasi dan bantuan untuk masyarakat.
Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 menyebutkan mengenai pengertian restitusi, “restitusi adalah ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu”. Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. LPSK dapat memanggil korban, keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk memberi keterangan dalam rangka keperluan pemeriksaan permohonan pada restitusi. Dalam hal pembayaran restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK wajib menghadirkan pihak ketiga atersebut. Sesuai pada Pasal 7A UUPSK, pengajuan permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima. Berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan tersebut, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima, pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan tersebut. Pelaku tindak pidana
dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan restitusi kepada pengadilan dan LPSK. Apabila pemberian restitusi dilakukan secara bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan harus di laporkan korban, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang menetapkan atau memutuskan permohonan restitusi.
Hak atas ganti rugi mempunyai peran yang sangat penting dalam memulihkan korban, setidaknya dapat di identifikasi ada empat hal yang dapat dicapai melalui ganti rugi: ganti rugi membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, sebagai bentuk balasan terhadap yang tidak bersalah, sebagai bentuk tanggung jawab, dan sebagai pemulihan keseimbangan.8
Kenyataan yang terjadi di lapangan menurut penulis, restutisi itu sendiri dalam sebagian besar kasus penculikan anak yang ada di Bali belum berjalan cukup baik, dikarenakan ketidaktahuan korban dan masyarakat, kurangnya kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam mensosialisasikan hak anak sebagai korban penculikan, prosedur yang menyulitkan dalam syarat administratif bagi permohonan restitusi anak korban, serta tidak adanya jaminan
bahwa restitusi bisa segera dibayarkan kepada korban dikarenakan
pelaku tidak mau membayar dan atau tidak sanggup membayar.
-
2.2.2 Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Meningkatkan Perlindungan Terhadap Hak – Hak Anak Dalam Menangani Adanya Korban Tindak Pidana Penculikan
-
a. Rehabilitasi Untuk Anak sebagai Korban Penculikan Dikaitkan dengan Undang-Undang Yang Berlaku
Terkait upaya mengembalikan nilai-nilai serta citra kehormatan pada diri secara individu agar dapat diterima kembali ditengah masyarakat dan melupakan segala yang pernah terjadi serta tidak terulang kembali peristiwa penculikan maka di butuhkan rehabilitasi bagi korban penculikan.9 Rehabilitasi untuk anak sebagai korban penculikan dapat ditemukan dalam Pasal 68 Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak dan juga UUPSK Pasal 6 Ayat (1) Huruf b, yang sekaligus merinci bentuk rehabilitasi yang diberikan meliputi rehabilitasi psikososial, dan rehabilitasi psikologis. Yang mana rehabilitasi psikososial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan
memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual Korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar, sedangkan rehabilitasi psikologis adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban penculikan anak.
Hak prosedural sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat luas, ini merupakan hak bagi seseorang untuk mengetahui dan memperolehnya dalam rangka mendapatkan hak substantif (substantivexrights). Menurut Ibu Ni Luh Putu Nariasih di dalam hasil wawancara pada tanggal 7 Februari 2019 yang di lakukan di Polda Bali menjelaskan bahwa jaminan hak-hak prosedural, dalam hukum pidana, masuk dalam pengaturan criminal procedural law (hukum acara pidana) yang mengatur berjalannya proses peradilan pidana yang adil (fair trial) termasuk hak-hak para pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Meski demikian, hak-hak prosedural bisa dimaknai secara luas, bukan semata-mata hak-hak sebagaimana yang di cantumkan dalam hukum acara pidana, tetapi hak-hak yang terkait dengan akses kepada keadilan dan hak atas pemulihan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa hak ini meliputi
berbagai perlindungan anak korban dan saksi dalam proses peradilan pidana. Hak-hak tersebut disampaikan oleh Ibu Sang Ayu Putu Alit Saparini, dalam hasil wawancara pada 7 Februari 2019 meliputi:
-
• Hak untuk didampingi oleh orang tua atau orang yang dipercaya dalam setiap tingkat pemeriksaan.
-
• Hak untuk diperiksa dengan tanpa menggunakan atribut kedinasan.
-
• Hak untuk diperiksa dalam sidang tertutup bagi anak korban dan anak saksi.
-
• Hak anak korban dan anak saksi untuk menghindari pertemuan dengan pelaku di sejumlah Negara.
Pengadilan dapat menerapkan upaya-upaya khusus sepanjang pemberian kesaksian untuk memastikan bahwa saksi memberikan keterangannya bebas dari intimidasi dan rasa takut terhadap nyawanya. Upaya-upaya tersebut juga dapat dilakukan dalam perkara sensitif (antara lain perdagangan orang, kejahatan seksual, saksi anak dan kejahatan keluarga) untuk mencegah viktimisasi ulang korban atau saksi dengan membatasi keterbukaannya terhadap publik dan media sepanjang persidangan.
-
III. PENUTUP
-
3.1 Simpulan
-
1. Bentuk penanganan yang dapat diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana penculikan adalah hak atas bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial dan hak restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
-
2. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak anak dalam menangani adanya korban tindak pidana penculikan adalah upaya rehabilitasi untuk korban, dan pemberian perlindungan prosedural dalam peradilan. Bentuk rehabilitasi yang diberikan meliputi rehabilitasi medis dan sosial.
-
1. Kepada para penegak hukum, dalam tindak penculikan anak baik dalam hal penanganan hak atas bantuan dan atau hak atas restitusi agar dapat berjalan sesuai dengan kenyataan hendaknya agar menjatuhkan sanksi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
2. Kepada para orang tua, pihak sekolah serta lingkungan yang ada di sekitar anak, perlu mendukung anak denganmembawanya ke pakar psikolog dan memberikan
tindakan konseling. Orang tua juga harus membantu dengan memberikan dukungan rasa aman dan baik agar memberikan rasa tenang terhadap anak. Hal tersebut juga merupakan salah satu upaya agar perlindungan terhadap hak-hak anak sebagai korban terlindungi, untuk menjaga agar anak terhindar dari perasaan traumatis berlebih.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmasasmita, Romli, 1997, Peradilan Anak di Indonesia. Mandar
Maju, Bandung.
Gosita, Arif, 1992, Masalah Perlindungan Anak, Sinar Grafika Jakarta.
Saraswati, Rika, 2009, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Arief, Barda Nawawi, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Susan, Sharpe, 2007 ”The Idea of Reparation” dalam “Handbook of Restorative Justice”, Willan Publishing, United Kingdom.
Jurnal Ilmiah
Putu Sarasita Kismadewi, A.A. Ngurah Yusa Darmadi. 2017, Pertanggungjawaban Pidana Orang tua yang menelantarkan anaknya ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Kertha Wicara, Universitas Udayana, Denpasar, Vol 6, No. 05, Desember 2017.
Media Elektronik
Antaranews. 2019. Penculik Anak Di Denpasar Dituntut lima tahun.
Diunduh di https://bali.antaranews.com/berita/137654/ penculik-anak-di-denpasar-dituntut-lima-tahun diakses pada tanggal 1 Agustus 2019
Antaranews. 2018. Pelaku Penculikan Anak di Karangasem Jalani
Pemeriksaan. Diunduh di https://bali.antaranews.com/ berita/133456/pelaku-penculikan-anak-di-karangsem-jalani-pemeriksaan diakses pada tanggal 1 Agustus 2019
RACH MODEL, 2017,”Riset Kuantitatif”, Available clik https:// deceng3 .wordpress.com/2013/07/28/ penelitian-empiris/. Diakses pada tanggal 6 September 2018.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
Undang - Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).
Undang - Undang Nomor 31 Tahun 20l4 tentang perubahan atas Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602).
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindu Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 297).
15
Discussion and feedback