PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP IDENTITAS ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA DI MEDIA ELEKTRONIK
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP IDENTITAS ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA DI MEDIA ELEKTRONIK *
Oleh:
Ni Gusti Ayu Agung Novita Dhamayanti** Anak Agung Ngurah Wirasila***
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Udayana
ABSTRACT
Di dalam UU Informasi dan Teknologi Elektronik terdapat kekosongan norma dimana peraturan tersebut tidak mengatur mengenai ancaman hukuman bagi setiap orang yang melakukan tindakan penggunaan data pribadi seseorang tanpa ijin. UU Informasi dan Teknologi Elektronik hanya dapat menjadi dasar seseorang mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan. Adapun permasalahan yang dianalisis dalam jurnal ilmiah ini yaitu bagaimana pengaturan mengenai perlindungan identitas seseorang yang terkait dengan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta pengaturan terhadap sanksi penyebaran identitas anak sebagai korban di masa mendatang. Penulisan menggunakan jenis penelitian normatif.
Dalam hal terjadinya kekosongan norma, UU Sistem Peradilan Anak dapat dijadikan alternatif bagi aparat penegak hukum untuk menentukan sanksi dalam hal terjadinya pelanggaran publikasi terhadap identitas anak di media cetak maupun media elektronik. Di masa mendatang pemerintah harus mampu memberikan kepastian hukum, tidak hanya melalui UU Sistem Peradilan Anak saja akan tetapi juga di dalam peraturan – peraturan terkait lainnya agar tidak terjadi kekosongan norma.
Secara yuridis pengaturan mengenai informasi melalui media elektronik yang menyangkut identitas seseorang telah diatur di dalam UU Informasi dan Teknologi Elektronik meskipun belum ada pengaturan mengenai sanksi. Pemerintah diharapkan segera melakukan tinjauan kembali bagi UU Informasi dan
Transaksi Elektronik agar peraturan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak ada lagi kekosongan norma .
Kata kunci: perlindungan hukum, identitas anak, anak korban, informasi elektronik
ABSTRACT
In the Electronic Information and Technology Law there is a vacuum of norms where the regulation does not regulate the threat of punishment for anyone who takes action to use someone's personal data without permission. The Electronic Information and Technology Law can only be the basis for someone to file a lawsuit for losses caused. The problems analyzed in this scientific journal are how to regulate the protection of one's identity related to the Electronic Information and Transaction Law and the regulation of the future distribution of child identity as a victim. Writing uses a type of normative research.
In the event of a norm vacuum, the Juvenile Justice System Law can be used as an alternative for law enforcement officials to determine sanctions in the event of violations of the publication of children's identities in print and electronic media. In the future the government must be able to provide legal certainty, not only through the Juvenile Justice System Law but also in other related regulations so as not to result in a vacuum of norms.
Juridically, the regulation of information through electronic media concerning someone's identity has been regulated in the Information and Electronic Technology Law even though there are no regulations regarding sanctions. The government is expected to immediately conduct a review of the Electronic Information and Transaction Law so that the regulation can function properly and there will be no vacuum of norm.
Keywords: Legal Protection, Children’s Identity, Child Victims, Electronic Information
Perkembangan teknologi di masa sekarang ini tentunya membawa dampak postif dan dampak negatif bagi masyarakat luas. Berbagai penemuan – penemuan baru yang semakin mendukung kehidupan masyarakat di segala aspek semakin di kembangkan. Teknologi yang saat ini berkembang pesat adalah teknologi mengenai informasi elektronik melalui media elektronik. Melalui media elektronik, seseorang dapat mengakses dan memperoleh informasi seluas – luasnya. Akan tetapi, perkembangan teknologi yakni khususnya informasi elektronik tidak hanya memberikan dampak positif yang berupa informasi yang luas, akan tetapi terdapat pula dampak negarif yakni banyak terjadinya tindak kejahatan yang dilakukan melalui media elektronik.
Dalam hal pemberian informasi elektronik di media elektronik, kerap kali kita temukan adanya pelanggaran – pelanggaran terhadap peraturan yang tanpa kita sadari dapat merugikan seseorang. Salah satu pelanggaran yang sering kita jumpai adalah dimana beberapa informasi di media elektronik maupun media cetak yang tersebar di masyarakat kerap kali memuat identitas seseorang tanpa adanya persetujuan dari orang yang bersangkutan. Dalam hal terjadinya tindak pidana anak, kita mengenal beberapa istilah, salah satunya yakni anak korban. Dilihat pada Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Anak korban adalah anak yang telah menjadi korban tindak pidana sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan baik itu penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Dalam hal pemberitaan suatu perkara tindak pidana anak yang tersebar di media massa, anak yang menjadi korban dari suatu tindak pidana berhak atas perahasiaan identitas selama proses peradilan berlangsung maupun pasca proses peradilan berlangsung.
Berdasarkan hukum pidana saat ini di Indonesia, tindakan perlindungan terhadap identitas anak terdapat dalam Undang – Undang Sistem Peradilan Anak. Selain itu juga, pengaturan mengenai perlindungan terhadap informasi yang menyangkut data pribadi seseorang di media massa juga telah diatur di dalam Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang – undang tersebut juga telah mengatur mengenai segala informasi yang menyangkut identitas seseorang haruslah mendapatkan persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Sehingga, tidak setiap individu dapat dengan leluasa memuat informasi mengenai data pribadi seseorang yang kemudian di publikasikan menjadi informasi elektronik yang dapat di akses oleh setiap orang melalui media elektronik. Meskipun telah adanya pengaturan mengenai informasi yang menyangkut data pribadi seseorang baik di dalam ketentuan Undang – undang Informasi dan Transaksi Elektronik maupun Undang – undang Sistem Peradilan Anak, pelanggaran terhadap penyebaran informasi pribadi seseorang baik melalui media cetak maupun media elektronik yang mengungkap identitas dari anak yang menjadi korban tindak pidana tersebut dalam hal terjadinya suatu tindak pidana anak masih kerap kali kita temukan. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap anak merupakan perlindungan hukum yang
meliputi berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.1
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka penulis akan mengkaji analisa yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Identitas Anak Sebagai Korban Tindak Pidana di Media Elektronik”.
-
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat adalah :
-
1. Bagaimana pengaturan mengenai perlindungan identitas seseorang yang terkait dengan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik?
-
2. Apa sanksi terhadap pelaku penyebaran identitas anak sebagai korban di masa mendatang?
Tujuan dari penulisan jurnal ilmiah ini yaitu untuk memahami pengaturan mengenai perlindungan anak sebagai korban tindak pidana di media elektronik dalam hal terjadinya tindak pidana anak.
-
II. Isi Makalah
-
2.1. Metode Penelitian
-
2.1.1. Jenis Penelitian
-
-
Jenis penelitian yang dipergunakan di dalam penulisan jurnal ilmiah ini yaitu jenis penelitian hukum normatif. Dimana penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian hukum
yang didasarkan atas kepustakaan atau penelitian hukum yang yang diperoleh dari data sekunder.2
Pendekatan yang dipergunakan di dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah pendekatan perundang – undangan. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) merupakan pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi3 yang dalam hal ini penulis menelaah isi dari undang – undang.
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini yaitu:
-
1. Bahan hukum primer yang berasal dari peraturan perundang – undangan yang dalam hal ini menggunakan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE), Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (selanjutnya disebut UU Sistem Peradilan Anak), Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), dan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU Perlindungan Saksi dan Korban).
-
2. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memiliki keterkaitan dengan bahan hukum primer yang dapat membantu dalam menganalisis permasalahan.
-
3. Bahan hukum tensier yakni bahan hukum yang dapat menginformasikan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Jurnal ini menggunakan jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber bahan hukum sekunder di bidang hukum yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, kemudian mengkaji dan selanjutnya melakukan penafsiran hukum terhadap peraturan perundang – undangan. Dengan mengumpulkan pembahasan yang terdapat di dalam buku – buku yang berkaitan dengan permasalahan yang sudah diteliti untuk kemudian dikutip bagian – bagian yang penting, serta menyusunnya secara sistematis.
-
2.2. Hasil dan Analisa
-
2.2.1. Pengaturan mengenai perlindungan identitas seseorang yang terkait dengan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
-
Secara yuridis pengaturan mengenai pemberian informasi yang dilakukan di media elektronik yang menyangkut identitas seseorang telah diatur di dalam UU ITE. Pengaturan mengenai informasi yang menyangkut data pribadi seseorang tersebut tentu bertujuan untuk melindungi dan menjamin kepastian hukum bagi kerahasiaan data pribadi seseorang. Dimana, di dalam terjadinya penggunaan teknologi informasi, perlindungan terhadap data pribadi seseorang adalah hak pribadi seseorang (privacy rights). Hak tersebut memiliki arti bahwa hak tersebut merupakan hak
seseorang untuk mengurus kehidupan pribadinya tanpa adanya gangguan apapun. Selain itu pula hak tersebut merupakan hak seseorang untuk dapat berinteraksi secara leluasa dengan individu lainnya tanpa adanya penyadapan dari pihak manapun dan juga termasuk di dalamnya hak untuk memantau akses informasi mengenai kehidupan dan data pribadinya.
Pengaturan mengenai penggunaan informasi yang menyangkut identitas seseorang diatur di dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Informasi dan Teknologi Elektronik yang menyatakan bahwa “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang – undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”. Rumusan pasal tersebut mengandung arti bahwa setiap orang yang menggunakan setiap informasi yang dimana di dalamnya menyangkut data pribadi seseorang haruslah di dasarkan kepada persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Setiap orang yang dimaksud yaitu seseorang secara perseorangan, warga negara Indonesia (WNI), warga negara asing (WNA), maupun badan hukum. Rumusan pasal ini menentang adanya penggunaan informasi atas data pribadi seseorang secara illegal atau tanpa adanya persetujuan dari orang yang bersangkutan. Jika penggunaan data pribadi yang tidak disertai dengan ijin dari orang yang bersangkutan tersebut dikemudian hari menimbulkan kerugian sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan pasal 26 ayat (1) UU ITE, maka seseorang yang mengalami kerugian tersebut dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas kerugian yang dialami berdasarkan Undang – undang tersebut. Dalam hal perlindungan terhadap identitas seseorang, pada hakikatnya secara umum telah diatur di dalam KUHP, yakni di dalam ketentuan pasal 310 ayat
(1) KUHP yang dimana pasal tersebut mengatur mengenai penyerangan kehormatan atau nama orang baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum dapat diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Akan tetapi, jika kita melihat dari segi sanksi yang diberikan bagi orang yang menggunakan setiap informasi yang dimana di dalamnya menyangkut data pribadi seseorang, bahwa di dalam UU Informasi dan Teknologi Elektronik terdapat kekosongan norma yakni dimana UU tersebut tidak mengatur mengenai ancaman hukuman apabila seseorang melakukan tindakan penggunaan data pribadi tersebut. Sehingga dengan demikian UU Informasi dan Teknologi Elektronik ini belum dapat memberikan kepastian hukum secara jelas mengenai tindakan penggunaan data pribadi tersebut. UU Informasi dan Teknologi Elektronik hanya dapat menjadi dasar seseorang mengajukan gugatan ganti rugi atas kerugian yang dialami dalam hal terjadinya penyebaran informasi melalui media massa yang menyangkut data pribadi seseorang yang dilakukan tanpa adanya ijin dari seseorang yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, seseorang tidak dapat dipidana secara langsung dengan menggunakan UU ITE tersebut.
Hukum tidak hanya dapat digunakan dalam mewujudkan adanya suatu kepastian, akan tetapi, hukum juga harus dapat menjadi jaminan perlindungan serta keseimbangan yang bukan hanya sekedar adaptif dan fleksibel, akan tetapi juga predektif dan antisipatif.4 Dalam hal perlindungan terhadap identitas anak sebagai korban tindak pidana di media elektronik, UU ITE dapat
digunakan sebagai lex generalis karena memuat mengenai penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data seseorang yang dalam hal ini anak termasuk di dalamnya. Penggunaan KUHP sebagai lex generalis tentu harus disertai dengan pengaturan yang lebih spesifik (lex specialist) dari pengaturan mengenai perlindungan identitas anak sebagai korban yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam UU ITE.
Selain pengaturan mengenai kewajiban atas perahasiaan identitas anak sebagai korban tersebut, UU Sistem Peradilan Anak tersebut juga memberikan perlindungan hukum berupa kepastian hukum bagi anak, anak korban dan/atau anak saksi yang dilanggar haknya dengan memberikan sanksi bagi siapa saja yang melanggar kewajibannya untuk merahasiakan identitas anak yakni sanksi pidana yang berupa pidana penjara dan sanksi administratif yang berupa denda bagi siapa saja yang mempublikasikan identitas anak, anak korban dan/atau anak saksi dalam hal adanya pemberitaan terjadinya suatu tindak pidana yang dimuat di dalam media cetak maupun media elektronik. Pidana penjara yang dijatuhkan bagi seseorang yang melanggar untuk merahasiakan identitas anak, anak korban dan/atau anak saksi adalah paling lama 5 (lima) tahun, dan denda yang dikenakan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Selain di atur di dalam UU ITE, pengaturan mengenai perlindungan terhadap identitas anak juga diatur di dalam UU Perlindungan anak yakni di dalam ketentuan Pasal 64 huruf i dimana salah satu bentuk perlindungan yang secara khusus diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum adalah melalui penghindaran dari publikasi atas identitasnya. Akan tetapi, serupa dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU
Perlindungan anak juga tidak mengatur secara khusus mengenai sanksi yang diberikan kepada seseorang apabila melanggar ketentuan tersebut. Selain itu juga UU Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur mengenai perahasiaan identitas seseorang dimana hal tersebut diatur di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf i yang dimana saksi dan korban berhak atas perhasiaan identitasnya.
Dengan demikian, maka seharusnya sudah tidak ada lagi pelanggaran – pelanggaran terhadap publikasi identitas seseorang terutama anak jika terjadinya suatu tindak pidana. UU Sistem Peradilan Anak dapat dijadikan alternatif bagi aparat penegak hukum untuk menentukan sanksi dalam hal terjadinya pelanggaran publikasi terhadap identitas anak di media cetak maupun media elektronik yang dimana masih terdapat kekosongan norma mengenai sanksi di dalam UU ITE.
Anak merupakan tunas, potensi, serta generasi muda yang menjadi penerus cita – cita perjuangan bangsa yang berperan strategis serta memiliki ciri yang bersifat khusus yang berpengaruh terhadap eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang.5 Pengaturan mengenai perahasiaan identitas anak korban apabila terjadinya suatu tindak pidana tentu menjadi hal yang perlu untuk diperhatikan. Hal ini memiliki maksud dan tujuan diantaranya adalah melindungi hak anak tersebut, menghindari terjadinya pengulangan tindak pidana serta menghindari rasa trauma yang dialami baik secara fisik maupun mental bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Hal yang
harus diperhatikan dalam hal perlindungan anak adalah prinsip dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang meliputi prinsip nondiskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak, prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta prinsip menghargai pandangan anak.6
Secara khusus, perlindungan mengenai perahasiaan identitas anak yang menjadi korban suatu tindak pidana diatur di dalam UU Sistem Peradilan Anak. Sistem Peradilan Anak merupakan terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System yang merupakan istilah yang dipergunakan untuk mendefiniskan sejumlah institusi yang menjadi kesatuan di dalam suatu pengadilan yang dalam hal ini yaitu polisi, jaksa penuntut umum, penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat penahanan anak, serta fasilitas – fasilitas pembinaan anak.7 Perahasiaan identitas anak yang menjadi korban suatu tindak pidana di dalam UU Sistem Peradilan Anak diatur di dalam ketentuan Pasal 19 Undang – Undang Sistem Peradilan Anak. Ketentuan tersebut mengatur bahwa anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib untuk dirahasiakan identitasnya dalam hal adanya pemberitaan terjadinya suatu tindak pidana yang dimuat di dalam media cetak maupun media elektronik. Identitas yang diwajibkan kerahasiaannya tersebut meliputi nama, nama orang tua, alamat, wajah, maupun hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, baik itu anak sebagai pelaku, anak korban, dan/atau anak saksi.
Di masa mendatang pemerintah harus mampu memberikan kepastian hukum bagi para korban, tidak hanya melalui UU
Sistem Peradilan Anak saja akan tetapi juga di dalam peraturan – peraturan terkait lainnya agar tidak terjadi kekosongan norma. Selain itu, pengaturan terkait lainnya harus disesuaikan dengan prinsip dalam memberikan perlindungan terhadap anak dan disertai dengan ketentuan pidana bagi setiap orang yang melanggar hak tersebut. UU ITE hendaknya juga segera di perbaharui agar di masa mendatang peraturan tersebut dapat memberikan sanksi terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU ITE. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif.
Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larang-larangan tersebut.8 Sehingga sebagaimana yang diungkapkan oleh Mertokosumo bahwa hukum pidana tersebut dapat dikatakan sebagai ultimum remedium yang artinya sebagai alat terakhir.9 Dalam merumuskan sanksi pidana didalam KUHP dikenal dengan sistem dua jalur (double track system) yaitu sebuah stelsel pemidanaan disamping penjatuhan sanksi pidana dikenal juga tindakan yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda, dan pidana Tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari
Pencabutan Hak-Hak Tertentu, Perampasan Barang-Barang Tertentu, dan Pengumuman Keputusan Hakim.
Jeremy Bentham, mengemukakan bahwa sanksi pidana tidak dapat digunakan apabila groundless (tanpa dasar), needless (tidak berguna), unprofitable (tidak mendatangkan keuntungan), dan ineffective (tidak efektif).10 Sehingga dengan diaturnya mengenai sanksi pidana tersebut, maka diharapkan dapat memberikan rasa takut dan efek jera bagi setiap orang yang melanggar kewajiban untuk tidak mempublikasikan identitas anak yang terlibat di dalam terjadinya suatu tindak pidana baik sebagai pelaku, korban dan/atau saksi.
-
1. Dalam hal terjadinya penyebaran identitas seseorang di media elektronik tanpa adanya persetujuan dari orang yang bersangkutan maka pelaku penyebaran tersebut dapat dikenakan pidana pencemaran nama baik sebagaimana di atur di dalam Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 315 KUHP.
-
2. Sanksi yang dapat diberikan bagi pelaku penyebaran identitas seseorang tanpa adanya persetujuan dari orang yang bersangkutan dapat berupa sanksi pidana penjara maupun pidana denda sebagimana diatur di dalam ketentuan Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 315 KUHP. Sedangkan dalam hal penyebaran identitas anak, pelaku dapat dikenakan ancaman hukuman yakni pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.00,00 (lima ratus juta
rupiah) sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 97
Undang – Undang Sistem Peradilan Anak.
-
1. Pemerintah agar melakukan tinjauan kembali bagi UU Informasi dan Transaksi Elektronik agar UU tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak ada lagi kekosongan norma yang terdapat di dalam UU tersebut.
-
2. Pemerintah agar membentuk suatu peraturan yang mengatur secara jelas mengenai perahasiaan identitas seseorang termasuk anak dalam hal terjadinya tindak pidana di media elektronik termasuk sanksi apabila terjadi pelanggaran untuk memberikan kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode dan Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung
Djamil, M.Nasir, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan Undang – Undang Sistem Peradilan Anak (UU – SPPA), Sinar Grafika, Jakarta
I.B. Wiyasa Putra, Lili Rasjidi, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung
Marzuki, Petter Mahmud, 2015, Penelitian Hukum, Prenamedia Group, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 2006, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta
Moejatno, 1983, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta
Setiyono, H. 2003, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Banymedia Publishing, Malang
Wahyudi,Setya, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta
JURNAL ILMIAH
Pulonggono, Wigati, Kebijakan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Kontribusi Upaya Pembaharuan Hukm Pidana Nasional, URL:https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/dow nload/1866/1410
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5952)
Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5332)
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5606)
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4635)
17
Discussion and feedback