KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA*

Oleh :

Anak Agung Gede Triyatna** I Gusti Ngurah Parwata ***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Hukum pidana Indonesia sampai dengan saat ini masih menggunakan produk peninggalan Belanda yaitu KUHP, sehingga adanya perbuatan pidana yang belum diatur dalam KUHP, salah satunya dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP dalam hal ini mengatur mengenai perbuatan yang dilakukan oleh mucikari, sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh pekerja seks komersial tidak ada pengaturan yang jelas, sehingga kriminalisasi terhadap perbuatan pekerja seks komersial dalam hukum pidana Indonesia tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Dimasa mendatang pembaharuan hukum pidana terus dilakukan untuk mengatur secara jelas mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pekerja seks komersial. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaturan terhadap perbuatan pekerja seks komersial dalam hukum pidana Indonesia dan mengetahui pengaturan mengenai sanksi pidana yang dapat diberikan kepada pekerja seks komersial di masa mendatang. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu penelitian hukum normatif, karena terdapat kekosongan norma dalam KUHP. Kesimpulan dari penulisan ini yaitu pengaturan mengenai perbuatan pekerja seks komersial dalam hukum pidana Indonesia hingga saat ini belum ada pengaturan yang jelas sehingga menimbulkan kekosongan norma, hanya Perda tertentu yang mengatur mengenai hal tersebut dan dimasa mendatang dengan adanya pembaharuan hukum pidana yaitu dengan dibentuknya RUU KUHP 2015 telah terdapat pengaturan yang

jelas mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan pekerja seks komersial yaitu dikenakan sanksi pidana denda.

Kata Kunci: Kriminalisasi, Perbuatan, Pekerja Seks Komersial, Pembaharuan, Hukum Pidana.

Abstract

Indonesian criminal law up to now still uses Dutch heritage products, namely the Criminal Code, so that there is a criminal acts that have not been regulated in the Criminal Code, one of which is in criminal acts of decency. The Criminal Code in this case regulates the actions carried out by pimps, while the actions committed by prostitute have no clear regulation, so that the criminalization of acts of prostitute in Indonesian criminal law cannot be subject to criminal sanctions. In the future, criminal law renewal will continue to be carried out to clearly regulate the criminalization of acts committed by prostitute. The purpose of this paper is to find out the extent to which arrangements for the acts of prostitute in Indonesian criminal law and know the arrangements regarding criminal sanctions that can be given to prostitute in the future. The research method used in this paper is normative legal research, because there is a absence of a legal norm in the Criminal Code. The conclusion of this paper is the regulation of the acts of prostitute in Indonesian criminal law until now there is no clear regulation that gives rise to a vacuum of norms, only certain regulations that regulate this and in the future with the renewal of criminal law namely the establishment of the 2015 Criminal Code Bill there has been a clear regulation regarding the criminalization of acts of prostitute that is subject to criminal sanctions of fines.

Keywords: Criminalization, acts, prostitute, renewal, criminal law.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larang-larangan

tersebut.1 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mertokusumo bahwa hukum pidana tersebut dapat dikatakan sebagai ultimum remedium yang artinya sebagai obat terakhir.2 Di Indonesia, pengaturan terhadap hukum pidana yang sampai saat ini masih digunakan yaitu produk peninggalan Belanda, dimana produk tersebut yaitu wetboek van strafrecht atau disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHP).

Indonesia sampai dengan saat ini masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda, sedangkan Belanda sendiri telah melakukan perubahan mengenai hukum pidananya, sehingga banyak tindakan-tindakan yang tidak diatur di dalam KUHP, salah satunya yaitu terkait tindak pidana kesusilaan yang terkait dengan prostitusi, KUHP tidak memberikan aturan yang tegas mengenai prostitusi tersebut.3 Mengenai prostitusi sendiri tentu saja tidak terlepas dari keberadaan Pekerja Seks Komersial (selanjutnya disebut sebagai PSK). PSK atau wanita tuna susila yaitu para pekerja yang bertugas untuk melayani aktifitas seksual yang bertujuan untuk mendapatkan imbalan dari para pemakai jasa mereka.4 Di dalam KUHP saat ini hanya mengatur mengenai keberadaan para perantara PSK atau biasanya disebut sebagai mucikari sebagaimana yang telah diatur di dalam ketentuan Pasal 296 KUHP serta Pasal 506 KUHP, sedangkan bagi para PSK

tersebut tidak adanya pengaturan yang secara jelas, sehingga kriminalisasi terhadap perbuatan PSK saat ini hanya diatur di dalam peraturan perundang-undangan tingkat daerah tertentu saja.

Kriminalisasi merupakan proses yang memperlihatkan perilaku yang sebelumnya tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana namun kemudian perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan pidana oleh masyarakat. Menurut Moeljatno, terdapat tiga sifat kriminalisasi dalam proses pembentukan hukum pidana, pertama yaitu penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup di masyarakat, kedua apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana merupakan jalan utama untuk mencegah dilanggarnya perbuatan tersebut dan ketiga apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan mampu untuk melaksanakan ancaman pidana jika ternyata ada yang melanggar.5 Berdasarkan uraian tersebut, maka diketahui bahwa perbuatan PSK tersebut telah sesuai dengan sifat kriminalisasi sehingga perlu untuk digolongkan sebagai perbuatan pidana.

Di masa mendatang, dengan adanya pembaharuan hukum pidana dengan dibentukannya Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2015 (selanjutnya disebut RUU KUHP 2015) diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan PSK tersebut karena dengan keberadaan PSK tentu saja telah melanggar norma-norma yang ada, seperti norma agama, kesusilaan,

serta norma hukum. Selain itu juga keberadaan para PSK ini juga dapat mengganggu ketertiban umum di masyarakat, karena keberadaan PSK ini bisa dikatakan sebagai penyakit masyarakat.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan terhadap perbuatan pekerja seks komersial dalam hukum pidana Indonesia?

  • 2.    Bagaimana pengaturan terhadap perbuatan pekerja seks komersial di masa mendatang?

  • 1.3    Tujuan

    1.3.    1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kriminalisasi terhadap perbuatan pekerja seks komersial di Indonesia.

  • 1.3.    2 Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan terhadap perbuatan pekerja seks komersial dalam Hukum Pidana Indonesia.

  • 2.    Untuk mengetahui pengaturan mengenai sanksi pidana yang dapat diberikan kepada pekerja seks komersial di masa mendatang.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini bahwa digunakan jenis penelitian hukum normatif atau bisa disebut sebagai penelitian hukum doktrinal.6 Pada penelititian ini, sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum

  • 6 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, 2016, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Prenadamedia Group, Depok, h. 124.

yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas.

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approve). Pendekatan Perundang-Undangan (The Statue Approach), merupakan penelitian dari berbagai aturan hukum yang menjadi fokus dan merupakan tema sentral suatu penelitian.7 Dalam pendekatan ini analisis hukum yang dihasilkannya akan lebih akurat bila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang cocok guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang dihadapi. Sedangkan Pendekatan Konseptual (conceptual approve) biasanya digunakan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan adanya kekosongan norma hukum.8

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

  • 2.2.    1 Pengaturan Terhadap Perbuatan Pekerja Seks Komersial Dalam Hukum Pidana Indonesia

Kemunculan para PSK atau biasa disebut sebagai wanita tuna susila sendiri di dalam lingkungan kita sering kali dikatakan sebagai penyakit masyarakat karena hal ini tentu saja merupakan salah satu bentuk dari pelacuran yang didalamnya termasuk salah satunya yaitu mucikari

sebagai perantara.9 Tindakan yang dilakukan oleh para PSK tersebut saat ini lebih dikenal dengan istilah prostitusi. Prostitusi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan khususnya oleh para wanita dengan cara menyerahkan dirinya kepada para lelaki dengan maksud untuk melayani hawa nafsu si lelaki tersebut dengan menerima sejumlah uang atau imbalan tertentu sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. Tindakan prostitusi saat ini tentu menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat, karena bukan hanya dilakukan oleh para masyarakat kelas kebawah yang tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, melainkan juga para masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi juga dapat terjerumus di dalam tindakan prostitusi tersebut. Menurut hukum pidana sendiri, tindakan prostitusi tersebut dapat digolongkan sebagai tindak pidana kesusilaan.

Mengenai pengaturan tindak pidana di Indonesia saat ini, menggunakan baik itu aturan yang bersifat umum yaitu KUHP atau aturan yang bersifat khusus yaitu aturan diluar KUHP seperti contoh Undang-Undang Narkotika. Mengenai pengaturan terhadap tindak pidana kesusilaan saat ini, dalam hukum pidana Indonesia yaitu menurut ketentuan KUHP hanya memberikan pengaturan yang sangat sempit, dimana pengaturan terhadap tindakan prostitusi tersebut hanya berlaku kepada para perantara atau mucikari saja, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP.

Dalam pasal tersebut hanya menegaskan mengenai seseorang yang sebagai mucikari saja yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipidana, sedangkan bagi para PSK itu sendiri tidak terdapatnya pengaturan yang jelas dalam KUHP karena tidak adanya pasal yang mengatur kriminalisasi terhadap perbuatan PSK.

Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 284 KUHP yang mengatur mengenai perbuatan zina, bahwa zina tersebut merupakan semua hubungan seks di luar ikatan perkawinan.10 Hal ini tentu tidak tepat, karena para PSK tersebut melakukan hubungan seksual bukan atas rasa saling suka, melainkan dengan maksud mencari nafkah untuk mendapatkan sejumlah uang yang diberikan oleh penggunanya, dan mereka tidak mengetahui latar belakang dari pengguna jasa mereka karena apakah sudah menikah atau belum menikah. Selain itu pasal ini baru dapat digunakan apabila suami dari para PSK tersebut yang melaporkan kepada aparat kepolisian.

Ketidakjelasan pengaturan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh PSK ini tentu saja telah menimbulkan kekosongan norma dalam KUHP yang hal ini akan berpengaruh di dalam penegakan hukumnya, artinya secara nasional aparat penegak hukum yaitu kepolisian tidak dapat menindak perbuatan para PSK tersebut karena KUHP tidak memberikan ketentuan untuk itu, yang akibatnya tentu saja para PSK semakin bebas untuk melakukan perbuatannya yakni menawarkan jasanya kepada pria hidung belang.

Untuk mengatasi kekosongan norma tersebut, beberapa pemerintah daerah dalam hal ini telah membuat suatu produk perundangan-undangan daerah baik itu peraturan daerah provinsi maupun kabupaten/kota yang dapat mengatur mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan PSK tersebut, salah satunya yaitu pemerintah Provinsi Bali. Untuk dapat menjerat para PSK di Provinsi Bali khususnya di Kota Denpasar, maka pemerintah dalam hal ini dengan segera membentuk Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum, yang dalam ketentuan Pasal 39 tersebut telah jelas mengatur mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan para PSK tersebut, dimana dalam peraturan ini seseorang dilarang untuk melakukan perbuatan prostitusi dalam hal ini sebagai PSK, dan apabila para PSK tersebut tetap melakukan perbuatan yaitu menawarkan jasanya maka dalam hal ini aparat penegak hukum dapat menindak para PSK tersebut dengan diberikan sanksi berupa kurungan penjara selama enam bulan atau denda sebesar lima puluh juta rupiah. Penindakan terhadap kriminalisasi terkait perbuatan yang dilakukan oleh para PSK tersebut hanya dapat dilakukan di wilayah Kota Denpasar saja, sedangkan di daerah lainnya tidak dapat karena peraturan ini bersifat regional, yang artinya hanya berlaku di wilayah-wilayah yang telah ditentukan, dalam hal ini Kota Denpasar, sedangkan pada wilayah lainnya mengikuti peraturan daerahnya masing-masing.

Disamping adanya peraturan daerah tertentu untuk mengatur kriminalisasi terhadap perbuatan PSK, bahwa

para PSK tersebut juga dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) apabila para PSK tersebut menggunakan media online untuk menawarkan jasanya tersebut, atau tindakan ini dikenal dengan istilah prostitusi online. Namun UU ITE ini dapat diterapkan apabila para PSK tersebut terbukti menawarkan jasanya melalui media online seperti contoh melalui facebook, instagram, atau media sosial lainnya.

  • 2.2.    2 Pengaturan Terhadap Perbuatan Pekerja Seks Komersial Di Masa Mendatang

Mengingat hukum pidana kita sampai saat ini masih terdapat tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana namun tidak adanya pengaturannya di dalam KUHP maka pembaharuan hukum pidana di Indonesia dirasakan perlu untuk dilakukan segera. Terlebih mengingat KUHP yang masih berlaku sampai saat ini merupakan produk peninggalan pada jaman penjajahan Belanda yaitu wetboek van strafrecht atau biasa disingkat WvS, yang dinyatakan sebagai hukum positif di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Latar belakang diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat kita tinjau dari aspek sosio-politik, sosio-kultural, atau dari aspek kebijakan lainnya seperti kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan

pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang lainnya, dengan demikian pembaharuan ini mengandung makna suatu upaya untuk reformasi hukum pidana dengan pendekatan kebijakan dan berorientasi pada nilai.11

Pemerintah Indonesia dalam hal ini telah berupaya untuk melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana kita, tindakan tersebut yaitu dengan membentuknya suatu Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2015 (selanjutnya disebut RUU KUHP 2015), yang sampai dengan saat ini masih dilakukan penyempurnaan terhadap RUU KUHP sebelum nantinya RUU KUHP tersebut disahkan dan diundangkan ke dalam lembaran negara oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagaimana mestinya serta RUU KUHP 2015 dapat menggantikan KUHP kita yang sudah lama usianya dan tidak pernah dilakukannya perubahan.

Dengan adanya pembaharuan hukum pidana, diharapkan dapat memberikan pengaturan yang jelas di masa mendatang, khususnya mengenai tindak pidana kesusilaan, yaitu terkait kriminalisasi terhadap perbuatan PSK. Di dalam RUU KUHP tersebut, terdapat perubahan terkait tindak pidana kesusilaan dibandingkan dengan KUHP yang kita pergunakan saat ini, dimana dalam RUU KUHP telah memberikan pengaturan yang lebih jelas mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan PSK tersebut. Mengenai tindak pidana kesusilaan saat ini dalam KUHP hanya memberikan pertanggungjawaban pidana terhadap para mucikari sebagai perantara. Pertanggungjawaban

pidana dapat terjadi jika seseorang tersebut melakukan perbuatan pidana, yang hal ini sejalan dengan pendapat Moeljatno yang mengatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan jika tidak melakukan tindak pidana.12 Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang menentukan apakah terdapat tindak pidana atau tidak. Ketentuan KUHP kita saat ini hanya memberikan pertanggungjawaban terhadap para mucikari sebagaimana dalam Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP, yang artinya dalam hal ini perbuatan yang dilakukan oleh para PSK tersebut secara universal tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidananya karena hal ini tidak diatur di dalam ketentuan KUHP saat ini.

Untuk memberikan pengaturan terhadap kriminalisasi terkait perbuatan para PSK secara universal, maka saat ini di dalam RUU KUHP 2015 telah memberikan ruang yang lebih luas mengenai tindakan prostitusi tersebut, dalam hal ini perbuatan yang dilakukan oleh PSK tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena telah diatur di dalam ketentuan RUU KUHP 2015. Dalam ketentuan RUU KUHP 2015 secara tegas telah mengatur mengenai keberadaan para PSK tersebut, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 489 RUU KUHP 2015 yang pada intinya memberikan larangan bagi setiap orang untuk menjadi PSK, dan terdapatnya sanksi kepada para PSK apabila masih melakukan perbuatannya yaitu pidana denda sebesar Katagori I (enam juta rupiah). Pasal tersebut dapat dijadikan landasan atau acuan oleh aparat

penegak hukum di dalam melakukan penindakan terhadap para PSK apabila telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Dimana kriminalisasi terhadap perbuatan PSK tersebut telah diatur di negara-negara lain, seperti contoh di Iran, dimana di negara tersebut telah diatur mengenai setiap orang yang melakukan perbuatan yang menjual seks yaitu PSK akan mendapatkan hukuman, dimana hukuman tersebut antara lain berupa hukuman cambuk, hukuman penjara hingga hukuman dirajam (dilempari batu hingga tewas).

RUU KUHP 2015 di masa mendatang terkait dengan kriminalisasi terhadap perbuatan PSK diharapkan dapat mengurangi atau bahkan dapat menghilangkan para PSK tersebut, selain keberadaan para PSK merupakan salah satu penyakit masyarakat, keberdaaan mereka juga dikhawatirkan dapat mengancam generasi muda penerus bangsa Indonesia, karena mungkin saja mereka dapat terpengaruh oleh lingkungan sekitar yang terdapat praktek-praktek prostitusi terselubung yang dilakukan oleh para PSK tersebut demi mencari nafkah dan menghidupi keluarganya dengan cara yang tidak semestinya untuk dilakukan.

Selain itu juga, mengingat RUU KUHP yang sampai saat ini belum juga disahkan, maka sanksi yang dapat diberikan kepada PSK dapat diperbandingkan dengan Peraturan Daerah yang telah telah mengatur tentang perbuatan PSK tersebut serta juga dapat membandingkan peraturan-peraturan dari negara lainnya yang dapat dijadikan perbandingan di dalam menentukan sanksi

  • III. Penutup

    3.1    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan mengenai perbuatan PSK dalam hukum pidana Indonesia hingga saat ini belum ada pengaturan yang jelas sehingga menimbulkan kekosongan norma, namun dalam Peraturan Daerah tertentu telah terdapatnya pengaturan mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan PSK.

  • 2.    Di masa mendatang dengan adanya pembaharuan hukum pidana tentu saja memiliki dampak yang signifikan di dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, salah satunya yaitu di dalam RUU KUHP 2015 telah mengatur lebih luas mengenai tindak pidana kesusilaan, dimana perbuatan yang dilakukan oleh para PSK yang dalam RUU KUHP 2015 dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat dipidana dengan pidana denda Kategori I.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Aparat penegak hukum seharusnya dapat menggunakan Peraturan Daerah tertentu yang mengatur mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan PSK sebagai aturan hukum di wilayah tertentu.

  • 2.    Badan legislatif dalam hal ini sudah seharusnya mempercepat proses pengesahan RUU KUHP 2015 karena dengan disahkannya RUU KUHP 2015 tersebut dapat memberikan dampak positif demi kemajuan

penegakan hukum pidana khususnya di Indonesia,

khususnya mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan PSK.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim, 2016, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Prenadamedia Group, Depok.

Huda, Chairul, 2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Koentjoro, 2004, Tutur Dari Sarang Pelacur, Tirta, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2006, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Moejatno, 1983, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT. Bina Aksara,

Jakarta.

Pasek Diantha, I Made, 2017, Metodologi Penelitian Hukum

Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Jurnal:

Abdullah, R. H, “Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Nasional”, Fiat Justisia, Vol. 09, No. 02, 2015.

Anindia, I. A., & Sularto, R. B, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Prostitusi Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 01, No. 01, 2019.

Bayu Praadiva, I Gusti Ngurah, Pemidanaan Terhadap Pengguna Jasa Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam Tindak Pidana

Prostitusi Ditinjau Dari Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana 2015 (RUU KUHP 2015), Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, Vol. 06, No. 01, 2017.

Mahardika Wijaya, I Komang, “Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Penggunaan Jasa Prostitusi Di Indonesia”, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, Vol. 08, No. 01, 2019.

Pradana, A. M., “Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak Yang Terlibat Dalam Prostitusi”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 45, No. 02, 2015.

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952).

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2015 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2015 Nomor 1).

16