PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARTAI POLITIK SEBAGAI KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARTAI POLITIK SEBAGAI KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA∗
Oleh:
I Wayan Hendra∗∗
I Wayan Suardana∗∗∗
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Korupsi adalah merupakan masalah yang begitu serius yang terdapat di Indonesia. Korupsi ibarat suatu penyakit yang muncul secara silih berganti yang bisa membawa kehancuran pada segi perekonomian, politik, sosial budaya, maupun keamanan negara. Belakangan beberapa kasus menunjukkan bahwa korupsi melibatkan partai politik, namun belum ada partai politik yang disangkakan. Penulisan jurnal ilmiah ini memiliki tujuan untuk memberikan pengetahuan tentang bagaimana partai politik dapat dipersamakan dengan korporasi dan bagaimana
pertanggungjawabannya ketika terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Jurnal ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa partai politik sama dengan korporasi. Hal ini ditinjau dari aspek karakteristik dan konsep dari ketentuan perundang-undangan yang ada yakni undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang tentang partai politik. Mengenai pertanggungjawaban yang bisa dimintakan kepada korporasi yang terbukti melakukan tindakan korupsi adalah mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kecuali pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Selain itu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi juga mengatur untuk menjatuhkan denda maksimal ditambah dengan sepertiganya. Sehingga berdasarkan konsep pertanggungjawaban tersebut dapat dijadikan pedoman oleh penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban, Partai Politik, Korupsi.
∗ Karya Ilmiah ini merupakan karya ilmiah diluar ringkasan skripsi.
∗∗ I Wayan Hendra, adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, korespondensi: dhehendra10@yahoo.com.
∗∗∗ I Wayan Suardana adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Abstract
Corruption is one of the most serious problems that occur in Indonesia. Corruption is like a disease that emerges alternately as a scourge that can bring destruction to the economy, politics, socioculture, and national security. Later a number of cases showed that corruption involved political parties, but no political party was suspected. The purpose of writing this journal is to find out whether political parties can be equated with corporations and how they are accountable when they are proven to have committed corruption. The method used in writing this journal is a normative juridical research method with a statutory approuch.
The results of the analysis show that political parties are the same as corporations. This is viewed from the characteristic and concept aspects of the existing legislation, namely the Law on the Eradication of Corruption Crimes and the Law on Political Parties. Regarding the accountability that can be requested from corporations that have been proven to commit criminal acts of corruption is referring to the Criminal Code except for capital punishment, imprisonment and imprisonment. In addition, it is also regulated in the Law on the Eradication of Corruption Crime with a maximum fine added to one third. So that based on the theory and concept of accountability in becoming a reference for law enforcement in eradicating corruption in Indonesia.
Keywords: Accountability, Political Parties, Corruption.
Budaya hukum adalah elemen penting guna menentukan efektifitas hukum di masyarakat, selain substansi hukum dan penegak hukumnya. Budaya atau kebiasaan prilaku masyarakat akan mencerminkan sejauh mana masyarakat menerima suatu produk hukum yang diberlakukan kepadanya. Begitu pula dengan partai politik memiliki budaya tersendiri dalam hal cara memajukan partai/organisasinya. Namun ada indikasi untuk menempuhnya dengan cara yang tidak baik atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Oleh karenanya banyak dorongan untuk menindak partai politik untuk
mempertanggungjawabkan hasil perbuatan korupsi yang diduga menjeratnya.
Di indonesia pada tahun 1957 istilah yuridis untuk istilah korupsi dipakai, yaitu diberlakukannya Peraturan Penguasa Militer untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.1 Korupsi secara harfiah diibaratkan sesuatu yang kotor, merusak dan jahat. 2 Ketika memperbincangkan tentang korupsi maka akan kenyataan yang selalu akan ditemukan adalah seperti demikian, karena korupsi berkaitan dengan sudut pandang sifat, moral dan kenyataan yang busuk, jabatan di dalam sebuah instansi pemerintahan, penyalahgunaan wewenang pada jabatan akibat suatu hadiah, faktor politik, ekonomi serta menempatkan keluarga atau kerabat dekat di bawah kekuasaan atau jabatannya.
Saat ini belum ada aturan yang tegas menyatakan partai politik itu sebagai korporasi yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana, baik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang partai politik, maupun undang-undang perseroan terbatas. Menurut Hassbulah F. Sjawie, dalam bukunya menyatakan bahwa permasalahan pertanggungjawaban suatu partai politik menjadi pelaku/subjek tindak pidana merupakan sesuatu yang tidak bisa dianggap mudah, mengingat partai politik adalah badan hukum dimana pangkal dari permasalahannya adalah tiada pidana tanpa kesalahan sebagai asas yang harus dipenuhi. Kesalahan yang dimaksud adalah sikap kalbu atau yang disebut dengan mens rea dimana secara alami hanya terdapat pada orang alamiah saja,
maka pertanggungjawaban pidana yang dapat diminta adalah hanya kepada manusia alamiah saja.3
Aziz Syamsuddin dalam bukunya mengatakan bahwa tindak pidana korupsi ciri-cirinya biasanya lebih dari satu orang yang terlibat, berbeda dengan kasus-kasus tindak pidana lain.4 Dengan demikian maka sebenarnya dapat menjerat orang-perorangan yang bekerja sama melakukan kasus korupsi, dan dengan teori identifikasi dapat pula menjerat partai politik dalam kasus korupsi ini. 5 Ada beberapa indikasi/dugaan kasus korupsi melibatkan anggota partai politik yang hasilnya mengalir ke partainya, namun belum ada partai politik yang diperiksa maupun dituntut oleh penegak hukum.
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumusakan suatu permasalahan yang akan dibahas dalam jurnal ini. Berikut adalah rumusan masalahnya:
-
1. Bagaimana partai politik diidentikkan sebagai korporasi?
-
2. Bagaimana pertanggungjawaban partai politik dalam tindak pidana korupsi?
Penulisan jurnal ilmiah ini memiliki tujuan untuk memberikan pengetahuan tentang bagaimana partai politik disamakan sebagai korporasi yang bisa mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana dan bagaimana pula pertanggungjawabannya ketika melakukan tindak pidana korupsi.
Sarana pokok dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni disebut dengan metode penelitian. Dengan demikian maka tujuan daripada penelitian adalah untuk mencari kebenaran yang sistematis, metodologis, dan konsisten. 6 Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang mengkaji dokumen dengan menggunakan pelbagai bahan hukum primer, sekunder, hingga bahan hukum tersier.
Beberapa abad yang lalu korporasi sudah dikenal keberadaannya sebagai pelaku bisnis. Dalam perkembangannya korporasi didorong oleh revolusi industri sebagai badan ekonomi sekaligus badan hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi merupakan badan yang diciptakan oleh hukum. Badan tersebut terdiri dari “corpus”, yang merupakan struktur fisiknya dan unsur yang dimasukkan ke dalam hukum adalah “animus” yang kemudian membuat kepribadian itu tercipta dari badan hukum. Dalam hal ini tercipta dan matinya badan hukum itu ditentukan oleh hukum.7
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), korporasi didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik itu badan hukum maupun
bukan badan hukum sekalipun. Senada dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi yang mendefinisikan korporasi sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan kedua definisi tersebut maka jelaslah apa yang disebut dengan korporasi.
Belakangan beberapa dugaan kasus hasil korupsi mengalir ke partai politik, yang kemudian memunculkan pertanyaan apakah partai politik merupakan korporasi untuk bisa dan mampu dimintai pertanggungjawaban pidana. Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik (UU Parpol), menyebutkan mengenai partai politik sebagai badan hukum dilihat dari keberadaan dan statusnya, yaitu berdasarkan rumusan pasal 3 undang-undang tersebut yang menunjukkan parpol lahir sebagai badan yang tercipta oleh hukum (rechtspersoon, legal entity), dengan kata lain bahwa partai politik ada merupakan sesuatu yang created by legal process atau melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.8 Oleh karena itu berdasarkan pada teori kenyataan hukum yang memberikan pemahaman kapasitas dan keberadaan dari badan hukum menjadi sebuah subjek hukum yang diciptakan berdasarkan hukum maka partai politik kemudian disebut sebagai korporasi, dimana korporasi bisa melakukan perbuatan hukum karena ketentuan yang ada menyatakannya sebagai subjek hukum serta membebankan sebuah kewajiban yang kemudian
diikuti dengan pemberian hak kepada badan hukum, sehingga ia kemudian menjadi subjek hukum yang mandiri/dikenal dengan person standi in judicio.9
Untuk melihat dan mengetahui keabsahan partai politik dalam hukum pidana sebagai suatu korporasi dapat dilihat pada ketentuan yang menjadikannya subjek tindak pidana pada perbuatan pidana. Dalam menelaah ini dapat menggunakan justifikasi yuridis, yaitu suatu sudut pandang hukum yang ditelaah dari pelbagai aturan hukum pidana yang berkaitan dengan keberadaan partai politik serta korporasi sebagai elemen yang diberikan kehendak oleh hukum. Pondasi yuridis untuk melihat pandangan terhadap partai politik diidentikkan dengan korporasi setidaknya adalah dengan peraturan hukum yang memberikan pengaturan tentang partai politik menjadi subjek delik, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemahaman tentang subjek delik yang disandang oleh korporasi dapat dilihat melalui pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU PTPK yang memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Kemudian berdasarkan pasal 1 angka 1 undang-undang partai politik, bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pada definisi tersebut, menunjukkan adanya karakteristik yang sama antara partai politik dan konsep korporasi seperti dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni diibaratkan menjadi organisasi atau perkumpulan orang. Karakteristik tersebut secara tidak langsung memberikan penjelasan bahwa partai politik adalah bagian tersendiri dari adanya suatu bentuk perkumpulan oleh beberapa orang sebagaimana subjek hukum.
Menurut Donal Fariz sebagai peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW), partai politik yang terbukti terjerat kasus korupsi bisa dijerat oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan dikualifikasi sebagai korporasi. 10 Hal ini merujuk pada definisi korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta definisi dari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi.
Penjelasan diatas telah menguraikan bahwa korporasi dengan partai poliik memiliki kesamaan makna sebagai subjek hukum yang bisa disangkakan melakukan perbuatan korupsi. Jika dilihat unsur “perkumpulan orang” telah secara jelas merupakan unsur atau karakteristik partai poitik yang merupakan bagian dari perkumpulan orang/organisasi atau penyelenggara
partai politik, partai politik memiliki keuangan tersendiri merupakan bagian dari “perkumpulan kekayaan yang terorganisasi”, dan “berbadan hukum” untuk dapat melakukan perbuatan hukum untuk/atas nama sendiri, memberikan penegasan bahwa keberadaan partai politik sesungguhnya mempunyai makna sama dan mempunyai kesesuian dengan korporasi seperti yang ada pada tindak pidana korupsi.
Sebagaimana definisinya konsep pidana akan memberikan pemaparan tentang sanksi-sanksi (dalam hal ini merupakan bentuk kenestapaan) yang diberikan kepada subjek delik oleh negara akibat melanggar suatu ketentuan hukum pidana atas ketentuan terkait yang mengaturnya, oleh karena itu dikatakan sebagai suatu reaksi terhadap pembuat delik. Sedangkan dalam hukum pidana pemidanaan adalah pemberian hukuman atas pidana yang sudah ditetapkan atau secara sederhana dapat disebut juga sebagai suatu proses memberikan pidana kepada subjek delik yang terbukti telah melanggar aturan hukum yang ada.11
Selama perjalanan sejarah bangsa ini, dalam menghadapi masalah korupsi telah melakukan langkah-langkah pembentukan hukum positif yang terlihat pada adanya perubahan pada aspek peraturan perundang-undangan. 12 Pemerintah sudah mengatur formulasi norma pertanggungjawaban terhadap badan hukum (korporasi) yang melakukan tindak pidana korupsi, yang dituangkan dalam UU PTPK. Untuk mengatasi keraguan
mekanisme dalam penegakan pertanggungjawaban badan hukum, Mahkamah Agung kemudian menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. 13 Adanya pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum merupakan langkah-langkah dalam penegakan hukum yang dapat diberlakukan terhadap partai politik, sebagai konsekuensi yuridis yang telah disetujui bersama dan diyakini bersifat netral, tidak berpihak dan objektif sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) serta ayat (2) dalam Perma tersebut.
Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkannya secara pidana sudah tentu akan menimbulkan konsekuensi lain dalam penerapannya. 14Terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi seyogyanya penegak hukum menggunakan pertanggungjawaban sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999.15 Dalam UU PTPK beberapa bagiannya telah memberikan pengaturan hukum secara khusus bagi tindak pidana korporasi. Kedua ayat pertama dari Pasal 20 UU PTPK bisa dikatakan mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi (dalam hal ini termasuk partai politik).16 Pada
ayat (1) UU PTPK menyatakan tentang tanggungjawab yang dapat diminta terhadap korporasi dan/atau pengurusnya, apabila untuk kepentingan korporasinya melakukan suatu perbuatan korupsi. Selanjutnya pada ayat (2) UU PTPK memberikan pengertian dari suatu korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-perorangan, baik atas dasar hubungan tertentu (hubungan kerja atau hubungan lain) melakukan tindakan dalam lingkup korporasinya, baik secara bersama-sama maupun sendiri.17
Dalam pasal 20 ayat (1) UU PTPK memberikan peluang diajukannya suatu korporasi ke meja hijau akibat perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama dengan pengurusnya. Ukuran unsur kesalahan suatu korporasi dapat dilihat seperti yang tercantum pada ayat (2) dari ketentuan peraturan tersebut, memberikan penegaskan bahwa dapat dimintakannya pertanggungjawaban secara pidana kepada korporasi sebagai subjek delik ketika berdasarkan hubungan tertentu penyelenggaranya bertindak pada lingkungan korporasi baik secara bersama-sama maupun sendiri melakukan suatu perbutan korupsi. Sehingga dapat memberikan pilihan kepada penuntut umum dalam rangka menuntut hanya pengurus, atau hanya korporasi saja, atau bahkan keduanya.
Ayat (2) dari pasal 20 UU PTPK mengikuti teori fungsional dan ajaran identikisasi. Korporasi dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-perorangan pada korporasi yang bersangkutan memiliki hubungan yang sangat erat. 18 Kemudian terhadap sanksi yang bisa diberikan kepada korporasi (termasuk juga partai politik)
adalah mengacu pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berisi dua jenis yaitu berupa pidana pokok dan pidana tambahan. 19 Ketika telah terbukti bahwa perbuatan korupsi dilakukan oleh partai politik, maka sanksi yang dapat dijatuhkan adalah semua jenis sanksi pidana kecuali pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, selain daripada itu sanksi tersebut hanya dapat dijatuhkan kepada pengurus atau organ dari partai politik yang bersangkutan.
Jika dilihat dari ketentuan Pasal 20 Ayat (7) UU PTPK, sanksi yang dapat dibebankan adalah pidana denda sebagai pidana pokok dengan ditambah sepertiga dari ketentuan maksimum pidananya. 20 Selain itu pernyataan juga diberikan Iwan Setiawan dimana selain sanksi denda maka sanksi lain yang dapat dijatuhkan adalah pembubaran, likuidasi dan sebagainya.21
III PENUTUP
-
1. Partai politik dalam undang-undang tentang partai politik berdasarkan karakteristiknya sama dengan konsep korporasi yang ada dalam UU PTPK. Unsur “perkumpulan orang” telah secara jelas merupakan unsur atau karakteristik partai poitik yang merupakan entitas dari perkumpulan orang/organisasi atau penyelenggara partai politik, partai politik memiliki keuangan tersendiri merupakan bagian dari “perkumpulan kekayaan yang terorganisasi”, dan “berbadan hukum” untuk dapat
melakukan perbuatan hukum untuk/atas nama sendiri, memberikan penegasan bahwa pada dasarnya keberadaan partai politik mempunyai makna yang sama dengan korporasi seperti yang ada pada tindak pidana korupsi.
-
2. Mengenai pertanggungjawaban, partai politik dapat dijatuhi sanksi ketika telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan mengacu pada pasal 10 KUHP kecuali pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Selain itu ketentuan Pasal 20 Ayat (7) Undang-Undang PTPK juga menjadi dasar menjatuhkan pidana denda sebagai pidana pokok dengan ditambah sepertiga dari ketentuan maksimum pidananya. Pertanggugjawaban ini didasarkan pada peluang yang diberikan oleh Pasal 20 UU PTPK. Pada ayat (1) UU PTPK menyatakan tentang tanggungjawab yang dapat
dimintakan kepada korporasi dan/atau pengurusnya, apabila untuk kepentingan korporasinya melakukan suatu tindak pidana korupsi. Kemudian pada ayat (2) UU PTPK memberikan pengertian dari suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, yaitu apabila tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan tertentu (hubungan kerja maupun hubungan lain) bertindak dalam lingkup korporasi tersebut, baik secara bersama-sama maupun sendiri. Dalam ayat (2) UU PTPK mengikuti ajaran identikisasi dan teori fungsional. Dianggap dilakukannya tindak pidana korupsi oleh korporasi apabila tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang hubungannya erat dengan korporasi yang bersangkutan.
-
1. Mengenai konsep yang telah ada dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang ada, seharusnya penegak hukum
tidak lagi ragu untuk menjerat partai politik dalam kasus korupsi. Disamping itu perlu adanya penegasan mengenai kualifikasi korporasi yang dibuat oleh legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terhadap apa yg termasuk korporasi itu sendiri.
-
2. Mengacu kepada ketentuan peraturan yang telah ada, penegak hukum harus konsekuen dalam menegakkan aturan. Sehingga produk hukum sebagai legal substance dapat maksimal karena mendapat dukungan dari penegak hukum (legal structure).
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Cet Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2008, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Rajawali Press, Jakarta.
Hassbulah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi, Cet.I, Prenada Media Group, Jakarta.
Hartanti, Evi, 2014, Tindak Pidana Korupsi, Cet Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, h. 22.
Setiady, Tholib, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung.
Suartha, I Dewa Made, 2015, Hukum Pidana Korporasi: Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Setara Press, Malang.
Syamsyuddin, Aziz, 2013, Tindak Pidana Khusus, Cet ketiga, Sinar Grafika, Jakarta.
Jurnal Ilmiah:
Wahyu, 2014, Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Yang Melakukan Tindak Pidana, Jurnal Arena Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Volume 7, Nomor 02 Agustus 2014.
Maria Silvya E. Wangga, 2018, Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik sebagai Badan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Integritas, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Volume 4, Nomor 2 Desember 2018.
Butarbutar, Russel, 2016, Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Dalam Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Unviersitas Padjadjaran, Bandung, Volume 3, Nomor 2 Tahun 2016.
Rifai, Eddy, 2014, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Mimbar Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Volume 26, Nomor 1 Tahun 2014.
Kristian. 2014, Jenis-Jenis Sanksi Pidana Yang Dapat Diterapkan Terhadap Korporasi, Jurnal Hukum&Pembangunan, Universitas Indonesia, Jakarta, Volume 44, Nomor 1 Tahun 2014.
Indra Nugraha, I Putu Agus, 2013, Indikasi Tindak Pidana Korporasi Di Wilayah Hukum Polda Bali (Studi Kasus Penyidikan Pt. Balicon), Jurnal Kertha Semaya, Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 1, No. 3 Mei 2013.
Adriano, 2013, Menguji Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jurnal Yuridika, Universitas Airlanga, Surabaya, Vol. 28, No. 3 Tahun 2013.
RB. Soemanto, Sudarto, Sudarsana, Pemahaman Masyarakat Tentang Korupsi, Jurnal Yustisia, Universitas Sebelas Maret, Solo, Vol. 3 No. 1 Januari-April 2014.
Internet:
Fitri N. Heriani, 2018, Mungkinkah Partai Politik Diperlakukan Sebagai Korporasi dalam Kasus Tipikor?, Hukum Online,
diakses tanggal 4 Mei 2019.
Kompas TV, 2017, Jerat Pidana Korupsi Bagi Korporasi, Serial Televisi Juli, dilihat tanggal 7 Mei 2019.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2058)
15
Discussion and feedback