URGENSI ASAS PRESUMPTION OF GUILT DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh :

Keanu Putra Mentari*

Ida Bagus Surya Dharma Jaya*** I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti**** Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Praktik Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia adalah permasalahan bangsa yang belum terselesaikan, yang merupakan kejahatan dimana uang hasil dari transaksi gelap lalu di dulang kembali agar terlihat seperti hasil dari sesuatu yang sepenuhnya legal.

Pencucian uang tidak memiliki dampak langsung kepada masyarakat namun pada praktiknya kejahatan yang dilakukan selalu dalam nominal besar sehingga mempengaruhi ekonomi nasional.

Dengan menggunakan metode penulisan hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan maupun analitis dan juga kasus hukum terdahulu, penulis melalui jurnal ini akan membahas dua permasalahan hukum utama yakni: Urgensi diterapkannya Asas Presumption Of Guilt terkait penerapan Pembuktian Terbalik menurut UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan urgensi diterapkannya Pasal 69 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Melalui penelitian normatif jurnal ini, adapun kesimpulan yang dapat di tarik adalah sebagai berikut: 1) Beban pembuktian terbalik serta asas praduga bersalah tidaklah illegal untuk dilakukan dengan mendasar pada berbagai pertentangan dari pemikiran positifistik Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan sebuah terobosan besar yang revolusioner dan progresif terhadap pembaharuan hukum dalam memberantasan TPPU dengan kejahatan asalnya. 2) Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan sebuah metode baru dan baik untuk menjawab permasalahan kejahatan asal dalam TPPU di Indonesia. Adanya Asas praduga bersalah dan Sistem Pembuktian Terbalik sangat Urgent dan tepat di terapkan dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Urgensitas Pembuktian terbalik telah menjadi agenda besar dalam penanganan TPPU diberbagai kejahatan asal.

Kata kunci: Urgensi, asas Presumption of Guilt, Tindak Pidana Pencucian Uang.

ABSTRACT

The Practice of Money Laundering Crime in Indonesia is an unresolved issue of the nation, as a crime in which the proceeds involving an illicit transaction back in order to look like the result of something completely legal. Money laundering has no direct impact on society but in practice crimes committed always in large nominations affecting the national economy.

By using the method of normative legal writing and statutory and analytical approaches as well as previous legal cases, the author through this thesis will discuss two major legal issues namely: Urgency application of the Presumption Of Guilt Principles related to the application of Reversed Onus according to Law No. 8 of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime and the urgency of the implementation of Article 69 of Law No. 8 of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime.

Through the normative research of this thesis, as for the conclusions that can be drawn are as follows: 1) The burden of reverse proof and the presumption of guilt principle is not illegal to be done with the fundamental on the various contradictions of positive Law No. 8 of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime is a revolutionary and progressive breakthrough on legal reform in the elimination of the Money Laundering Crime with its predicate crime. 2) The burden of Proof Reversed in Money Laundering Crime is a new and applicable method to answer the problem of initial predicate crime in Money Laundering Crime in Indonesia. That the existence of the presumption Guilt and Reversed Evidence System is very Urgent and appropriately applied in the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime. Reversed Evidence Urgency has become a major agenda in handling Money Laundering Crime in various predicate crimes.

  • 1.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Tindak Pidana Pencucian Uang (disebut TPPU) atau money laundering di Indonesia menjadi salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang, pemutihan uang, pendulangan uang atau bisa juga pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (kotor) Diperlukannya good will dari pemangku kebijakan yang akan menjadi kekuatan untuk menanggapi hambatan

permasalahan money laundering dan juga seruan intenasional. Pada tahun 2001 FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering)1 telah memasukan Indonesia bersama 18 negara lainnya kedalam daftar NCCT’S (Non Cooperative Countries and Territories) yakni negara yang dianggap belum signifikan melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang. Tahun 2004 Indonesia masih menjadi penghuni daftar NCCT’S bersama tujuh negara lainnya.2

Tindak pidana pencucian uang sangat sulit pemberantasannya. Baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian yang sulit, juga tindak pidana ini biasanya dilakukan para profesional yang memliki pengetahuan dan kekuasaan yang memungkinkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut (white collar crime).3

Mengingat tindak pidana pencucian uang adalah terorganisir dan lintas batas teritorial, sulit pembuktiannya dan efek yang ditimbulkannya sangat besar karena menyangkut ekonomi negara. Penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa. Salah satunya adalah melalui pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian yang ada, yaitu dengan menggunakan pembuktian terbalik.

Langkah cepat telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang di sempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan saat ini diubah menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Beban pembuktian negatif dengan menganut asas beyond reasonable doubt yang menjadi roh dari sistem hukum di Indonesia, untuk mencari keadilan belumlah dapat menjawab kasus-kasus berat dan sensitif. TPPU ditempatkan sebagai delik yang cukup sulit pembuktiaanya, karena pemberantasannya juga berarti menanggulangi kejahatan yang melatarbelakanginya.4 Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terdapat 25 kategori kejahatan terhadap organized crimes. Banyak hal yang menarik untuk dikaji dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ini, dalam penerapannya selain perihal beban pembuktian terbalik dalam kaitannya Asas Presumption of Guilt, namun Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi; “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU dengan demikian memberikan

batasan yang lain yaitu tanpa membuktikan terlebih dahulu predikat crime-nya atau kejahatan asalnya, hal inilah yang ingin penulis ulas lebih dalam tepatkah hal tersebut.

Menjawab pertanyaan tersebut, oleh karena itu penulis membuat karya ilmiah ini. Dengan Judul “URGENSI ASAS PRESUMPTION OF GUILT DALAM UPAYA PENCEGAHAN dan PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”, yang mana penulisan ini bertujuan untuk mengetahui urgensi dari penerapan asas presumption of guilt terkait penerapan Pembuktian Terbalik, dan tepatkah penerapan Pasal 69 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

  • 1.2    Tujuan

    1.2.1    Tujuan umum

Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk Untuk menganalisis lebih mendalam mengenai urgensi diterapkannya asas Presumption of Guilt dalam kaitannya dengan teori pembuktian terbalik.

  • 1.2.2    Tujuan khusus

Untuk mengetahui bagaimana Presumption of Guilt dalam kaitannya dengan teori pembuktian terbalik dalam penerapannya.

  • 2.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan

peraturan perUndang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum5. Jenis pendekatan dipergunakan dalam penulisan jurnal ini adalah pendekatan perundang undangan (satutory approach), pendekatan kasus(case approach), dan pendekatan analitis (analitical approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.

  • 2.1    Hasil dan Analisis

  • A.    ASAS PRESUMPTION OF GUILT DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

  • 1.    Formulasi Asas Presumption of Guilt dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

Asas Presumption of Guilt (Asas Praduga Bersalah), erat kaitannya dengan beban pembuktian terbalik yang ada dalam Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menempatkan Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Asas Presumption Of Innocence sesungguhnya juga bukan hak

yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel.

Asas Presumption of Guilt atau praduga bersalah Pasal 35 UU No. 10 Tahun 2010 tentang TPPU, yaitu jika terdakwa tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat dipersalahkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang. Asas Pembuktian Terbalik Pasal 77 dan 78 ayat (1) dan (2) UU no 10 tahun 2010 tentang TPPU , yaitu terdakwa harus membuktikan asal usul dana atau harta kekayaan yang dimiliki untuk membuktikan kehalalan hartanya tersebut, tetapi melalui penetapan hakim. Jadi yang wajib membuktikan kebenaran asal usul dana tersebut bukan Jaksa Penuntut Umum tetapi terdakwa sendiri, hal ini dilakukan untuk mempermudah proses persidangan dan dikhawatirkan apabila JPU yang membuktikan dakwaan, alat bukti dihilangkan atau dirusak oleh terdakwa.

  • 2.    Asas Praduga Bersalah dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pembuktian terbalik termaktub di dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, aturan itulah yang memberi hak kepada terdakwa untuk menjelaskan tuduhan yang disematkan padanya. Undang-undang ini dikatakan bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP yang mengatur bahwa jaksa menjadi satu-satunya yang diberi kewaijban dalam pembuktian. Melalui penggalian lebih dalam, asas lex specialis derogate legi generalis dapat menjawab anggapan ini, bahwa Undang-undang TPPU adalah bersifat khusus yang akan mengesampingkan KUHAP yang bersifat umum.

Metode pembuktian terbalik berpotensi melanggar hak asasi manusia sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 hasil rativikasi Konvensi PBB, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court/ICC), Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak.6 Amanah Undang-undang TPPU untuk melaksanakan pembuktian terbalik bukalah tanpa dasar, Pasal 28 D ayat (1), 28 G ayat (1) dan 28 H ayat (2), (4) Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar telah mensiratkan bahwa pembuktian terbalik melindungi setiap orang (terdakwa) atas harta benda dibawah kekuasaannya, mendapatkan keadilan dan penghormatan atas hak milik pribadi.

  • 3.    Asas Presumption of Guilt dalam sistem Pembuktian

Secara teoritis asas praduga tidak bersalah tersebut tidaklah bersifat mutlak dan boleh disimpangi, dengan ketentuan hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu atau kasus-kasus yang butuh penanganan luar biasa,7 seperti kasus korupsi atau pencucian uang.

Konkritnya, asas praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir sedangkan asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual sehingga terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tahap peradilan.8 Karena itu, proses

6

7

8


perkara pidana untuk kepentingan tegaknya hukum dapat diselenggarakan berdasarkan asas-asas baik praduga tidak bersalah maupun praduga bersalah. Menurut Bambang Poernomo, hal ini disebabkan karena semuanya mempunyai satu titik kesamaan menuju kepada tindakan preventif atau represif terhadap kejahatan.9

  • B.    PERAN ASAS PRESUMPTION OF GUILT DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

  • 1.    Peran Asas Presumption of Guilt dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang

Mengenai peran asas Presumption of Guilt dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Saat suatu tindak pidana dapat dideteksi, tantangan utama penegak hukum adalah aspek pembuktian, Asas Presumption of Guilt tidak dapat di benturkan dengan asas Presumption of Innocence, karena pada hakikatnya tidak benar-benar bertentangan10 pada praktis nya asas praduga tidak bersalah menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dijatuhi sanksi pidana, kecuali diberi kesempatan untuk membuktikan ketidakbersalahannya namun gagal membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Maka itu peran Asas Presumption Of Guilt dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan asas

Presumption of Innocence yang dimana menjamin HAM dari terdakwa untuk membuktikan ketidakbersalahannya dengan peluang yang dimana sama efektifnya untuk mengungkap suatu Tindak Pidana korupsi yang mengarah pada TPPU apabila terdakwa tidak dapat mengungkap asal-usul harta yang legal atas harta kekayaannya yang dinilai tidak wajar hubungan antara kedua asas ini mutlak ada pada sudut pandang hakim, dan dalam penerapannya UUTPPU ini bukan hanya terdakwa yang harus membuktikan atau dibebankan pembuktian melainkan jaksa penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya, olehkarena itu dalam hal sistem pembuktian kedua asas ini berkaitan.

Sehubungan dengan Peran serta bentuk dari asas praduga bersalah yakni terletak pada diterapkannya sistem pembuktian terbalik, yang mana pelaksanaan beban pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, melalui dasar Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dilematika dari kajian diatas cukup berdampak signifikan dalam penerapan metode pembuktian terbalik saat ini.

  • 2.    Perkembangan Asas Presumption of Guilt di Indonesia dan di Internasional serta Penerapannya di Masa yang Akan Datang

Sistem hukum dunia mengenal lebih dari satu hukum, bahkan Mark Ancel menyebut sebagai legal system family, 1) Common law; 2) Civil law; 3) Timur tengah; 4) Timur jauh; dan 5) Negara sosialis. Sistem hukum di Indonesia terpengaruh dari sistem hukum

Romawi-Jerman dengan bercorak Civil Law System atau sistem hukum sipil, yang menitikberatkan konsep tentang kaidah.11 Konsep ini yang menjadi ciri khas dari sistem hukum Civil Law dengan Common Law, dimana konsep kebiasaan atau tradisi menjadi khas dari sistem hukum Common Law. Dilihat secara komperhensif melalui pendekatan sejarah pembuktian terbalik sebetulnya tidak dikenal dalam negara yang menganut sistem hukum Civil Law maupun Common Law.

Sistem pembalikan beban pembuktian ini tidak pernah ada yang bersifat absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu terhadap delik yang berkenaan dengan gratification (pemberian) yang berkaitan dengan suap (bribery) sebagai hasil studi komparatif dari negara Anglo-saxon misalnya Malaysia maupun Singapura, sebagai cikal bakal sistem pembalikan beban pembuktian tetap mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang meliputi sistem pembalikan beban pembuktian ini. Money Laundering diperkenalkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak disahkannya konvensi Wina tentang Perdagangan Gelap Narkotika dan Psikotropika di tahun 1988. Dan Amerika telah memiliki Undang-undang pertama dalam pemberantasan TPPU “Money Laundering Control Act 1986”.12

  • 3.    PENUTUP

    A. KESIMPULAN

  • 1.    Asas hukum praduga bersalah sangat erat berkaitan dengan Beban pembuktian terbalik dalam TPPU, dan Beban Pembuktian Terbalik serta Asas Praduga Bersalah tidaklah illegal dilaksanakan dengan mendasar pada berbagai pertentangan dari pemikiran positifistik dan juga dengan pemahaman bahwa Asas Praduga Tak bersalah merupakan suatu prinsip dalam hukum beracara pidana yang selalu harus diterapkan guna menjaga hak-hak dari terdakwa, namun Asas Presumption of Guilt merupakan asas yang hanya berlaku secara praktis. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan sebuah terobosan besar yang revolusioner dan progresif terhadap pembaharuan hukum dalam memberantasan TPPU dengan kejahatan asalnya (Core Crime).

  • 2.    Bahwa Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan sebuah metode baru dan baik untuk menjawab permasalahan kejahatan asal dalam TPPU di Indonesia. bahwa adanya Asas praduga bersalah dan Sistem Pembuktian Terbalik sangat Urgen dan tepat di terapkan dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Urgensitas Pembuktian terbalik telah menjadi agenda besar dalam penanganan TPPU diberbagai kejahatan asal (Core Crime).

B. SARAN

  • 1.    Ditambahkannya sebuah peraturan pelaksanaan kepada penegak hukum baik kepada Hakim dalam sikap Objektifnya dan Jaksa Penuntut Umum dengan penjatuhan Beban Pembuktian Terbalik. terkait Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dukungan besar juga harus ditunjukan untuk memunculkan keberanian dari para aparat hukum guna menyelesaikan kasus TPPU menggunakan beban pembuktian terbalik.

  • 2.    Diperlukannya pendidikan khusus untuk membentuk penegak hukum terkait seperti jaksa dan hakim untuk melatih penerapan pelaksanaan pembuktian terbalik dalam TPPU.Dalam Proses peradilan Hakim pada hakikatnya harus tetap berpandangan objektif, perlunya pengertian bahwa beban pembuktian terbalik dilakukan tidak secara penuh, namun tetap mempertimbangkan keterangan Jaksa Penuntut Umum. Hal ini akan menunjang kekuatan besar para penegak hukum dalam menerapkan pembuktian terbalik namun dengan tetap

mempertimbangkan objektifitas hakim dalam membuat

keputusan tanpa menciderai hak-hak dari terdakwa.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ahmad Ali, 2004, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Jakarta, Agatama Press.

Bambang Poernomo, 2000, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Lilik Mulyadi, 2004, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung.

Munir Fuady, 2010, Hukum Perbankan , Bandung.

Satjipto Rahardjo,2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, UKI Press.

Soekanto Soerjono dan Mamuji Sri, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung

KARYA TULIS ILMIAH

R. Dea Rhinofa, dalam Jurnal ilmiah “Kewenangan Badan Narkotika Nasional dalam Pemberantasan Money Laundering Hasil Tindak Pidana Narkotika”, Tanpa tahun.

Yunus Husein, 2004, “Arti Penting Rezim Anti Pencucian Uang Bagi Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia”, Makalah pada program SESPIBI Angkatan XXVI, Jakarta, Tanggal 26 Maret.

UNDANG-UNDANG

TIM Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009, PENELITIAN

TENTANG EFEKTIFITAS UNDANG-UNDANG MONEY LAUNDERING.

14