OKNUM APARATUR SIPIL NEGARA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PUNGUTAN LIAR DALAM PERSPEKTIF PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (Studi Kasus Putusan Nomor 65/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn Mdn)
on
OKNUM APARATUR SIPIL NEGARA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PUNGUTAN LIAR DALAM PERSPEKTIF PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
(Studi Kasus Putusan Nomor 65/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn Mdn)∗
Sagung Dewi Tarastya Yudhi Putri∗∗ I Made Arya Utama∗∗∗
Program Kekhususan Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Pungutan liar atau yang biasanya dikenal sebagai pungli merupakan suatu tindakan meminta pembayaran pada tempat yang tidak seharusnya dilakukan. Hal ini sering dijumpai di tempat pelayanan publik yang pelakunya adalah oknum-oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki kepentingan pribadi. Metode penelitian normatif yang bergerak dari kekosongan hukum karena belum adanya peraturan yang mengatur tindak pidana pungli digunakan dalam karya ilmiah ini. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana klasifikasi pungutan liar dalam perspektif pertanggungjawaban pidana serta bagaimana penerapan hukum oleh hakim berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 65/Pid.Sus-TPK/2018/PN Mdn. Tindak pidana pungli ini dapat diklasifikasikan sebagai korupsi bilamana memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif dari tindak pidana korupsi. Pungli kian lama kian menjadi budaya dalam hal pelayanan publik dan mulai meresahkan masyarakat. Banyak oknum ASN yang mengambil kesempatan melalui pungli ini untuk memperkaya diri sendiri. Berdasarkan urgensi tersebut diharapkan melalui penelitian ini terbentuk suatu peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri untuk menindak tegas tindak pidana pungli.
Kata kunci: Pungutan liar, Aparatur Sipil Negara,
Pertanggungjawaban Pidana
Abstract
Illegal levies or usually known as “pungli” is an act of impositionof fees in the placeswhere it should not. This act is easily found in public service places which is conducted by State Civil Apparatus based upon their personal interest. The research method being used in this writing is a normative research method which focused on the legal vacuum as the
∗ Karya ilmiah ini merupakan ringkasan di luar skripsi.
∗∗ Sagung Dewi Tarastya Yudhi Putri, adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: [email protected].
∗∗∗ I Made Arya Utama, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
consequence of an absence of legislation which concretely regulates the criminal offence of illegal levies. The problem being arose is concerning how the clasification of illegal levies in criminal liability perspectives and how the application of the law by the judges based on the Jurisprudence of Medan State Court Number 65/Pid.Sus-TPK/2018/PN Mdn. This illegal levies can be classified as a corruption if it fulfills a subjective element and an objective element of corruption itself. Illegal levies has become a culture in terms of public service and has started to trouble the society. Numerous State Civil Apparatus conduct illegal levies to enrich themselves. Based upon mentioned urgency, hopefully through this research, a legislation concerning criminal offence of illegal levies could be formed.
Key words: illegal levies, state civil apparatus, criminal liability
Pungli merupakan suatu tindakan meminta sejumlah uang sebagai pembayaran dengan cara yang tidak sesuai dengan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut yang mana perbuatan ini dilakukan oleh seseorang atau pegawai negeri atau pejabat Negara.1 Salah satu pelaku yang sering terlibat dalam pungli ini adalah oknum ASN. Apabila dilihat dari sudut hukum kepegawaian dalam UU. No. 5 Thn. 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), dalam Pasal 1 angka 1 menentukan bahwa: “Aparatur Sipil Negara adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekera pada instansi pemerintah.” Sedangkan dari sudut hukum pidana, seseorang dianggap sebagai pegawai negeri sipil harus memenuhi unsur; diangkat oleh penguasa umum, dalam suatu jabatan umum, dan melakukan sebagian dari tugas-tugas atau alat-alat perlengkapannya. Sebagai pejabat publik, tentunya terdapat batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh oknum ASN dan apabila batasan tersebut dilanggar, maka pelakunya dapat dijatuhi sanksi.
Sanksi yang dimaksud yaitu sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana bilamana pelaku melakukan suatu perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana didasarkan pada adanya kesalahan dari pelaku. Sesuai dengan adagium sebagai berikut: Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali yang pada intinya berarti bahwa suatu perbuatan tidak dapat dihukum apabila belum ada pengaturannya, dalam hukum pidana dikenal sebagai asas legalitas. Asas ini merupakan ciri khas dari pertanggungjawaban pidana yang dijadikan tolak ukur seseorang untuk dapat dipidana. Disamping asas tersebut, perbuatan yang dilakukan haruslah mengandung unsur kesalahan. Adapun unsur-unsur dari kesalahan yaitu sebagai berikut:
-
1. Kemampuan bertanggungjawab si pelaku, yang berarti bahwa keadaan jiwa dari si pelaku saat melakukan perbuatan adalah sehat dan normal;
-
2. Terdapat hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik perbuatan tersebut karena kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa);
-
3. Tidak adanya alasan-alasan penghapus kesalahan.2
Kemampuan bertanggungjawab si pelaku merupakan unsur yang tidak dapat dilepas dari pertanggungjawaban pidana. Pasal 44 KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Simons juga mengatakan bahwa pelaku yang melakukan tindak pidana dikatakan mampu bertanggungjawab apabila:
-
1. Pelaku mengetahui atau menyadari perbuatan yang dilakukannya bertentangan dengan hukum;
-
2. Pelaku dapat menentukan bahwa kehendaknya sesuai dengan kesadarannya.3
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, unsur kesalahan merupakan unsur utama untuk dapat dipidana. Sebagaimana adagium hukum yang dikenal yaitu “geen straf zonder schuld” yang artinya adalah tiada pidana tanpa kesalahan. 4Unsur kesalahan merupakan unsur subjektif dalam penentuan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan mens rea atau sikap batin dari si pelaku sehingga dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan. Pun termasuk kesalahan oknum ASN baik dalam lingkup pekerjaannya atau tidak, yaitu tindak pidana pungli. Sebagaimana penjelasan tersebut diatas bahwa dibutuhkan suatu peraturan yang berdiri sendiri yang berkaitan dengan tindak pidana pungli. Apabila didasarkan pada Putusan No. 65/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Mdn, yang kemudian dikaitkan dengan pertanggungjawaban secara pidana ternyata pemidanaan dalam putusan tersebut masih mengacu pada UU. No. 31 Thn. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang kemudian menurut hemat penulis peraturan mengenai tindak pidana pungli sangat dibutuhkan.
-
1. Bagaimana klasifikasi pungutan liar dalam perspektif
pertanggungjawaban pidana?
-
2. Bagaimana penerapan hukum oleh hakim berdasarkan
Putusan No. 65/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn Mdn?
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pungutan liar di Indonesia serta pertanggungjawaban pidana dari oknum ASN yang terlibat tindak pidana pungutan liar.
Karya ilmiah ini dalam penulisannya menggunakan metode penelitian normatif, yaitu meneliti kaidah atau norma terkait.5
Pungli belum ada pengaturannya secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun saat ini pengaturan pungli secara tersirat maupun tersurat diatur dalam KUHP dan peraturan secara khusus. Tindak pidana korupsi memiliki hubungan paling erat dengan tindak pidana pungli.6 Pungli diklasifikasikan sebagai korupsi karena memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi, diantaranya adalah:
-
a. Unsur setiap orang termasuk korporasi;
-
b. Unsur melakukan suatu perbuatan secara melawan hukum;
-
c. Unsur perbuatan dilakukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri;
-
d. Unsur perbuatan yang dilakukan merugikan keuangan Negara.7
UU Tipikor menentukan pada intinya pungli merupakan suatu kejahatan yang dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Kemudian
pungli ini juga dapat juga digolongkan sebagai tindak pidana pemerasan. Dimana pemerasan merupakan kejahatan umum yang seringkali terjadi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat mengenai unsur-unsur pungli adalah sebagai berikut:
-
a. Unsur Objektif
-
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara atau seorang pejabat,
-
2) Menyalah gunakan kekuasaan,
-
3) Melakukan paksaan terhadap seseorang dengan; memberikan sesuatu, membayar, menerima, dan/atau mengerjakan sesuatu untuk dirinya.
-
b. Unsur Subjektif
-
1) Menguntungkan diri sendri atau orang lain, dan
-
2) Meguntungkan secara melawan hukum.
Tindak pidana pungli ini melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atau pegawai negeri. Ketika seorang pejabat atau pegawai negeri misalkan dalam hal mengeluarkan izin surat, perbuatan mengeluarkan surat izin itu merupakan fungsi dari jabatannya sekaligus kepentingan pribadinya. Oknum-oknum yang melakukan itu biasanya berusaha untuk merahasiakan perbuatannya. Pungli dilakukan secara sadar dan sengaja oleh pelakunya. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pungli kembali lagi kepada bagaimana masyarakat menyikapi pelayanan publik serta bagaimana oknum-oknum ASN yang terkait menyadari bahwa pekerjaan yang ia lakukan adalah untuk kepentingan bermasyarakat. 8 Selanjutnya Perpres No. 87 Thn. 2016
tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) pun menjadi salah satu legal standing bahwa pungli adalah suatu perbutan yang tergolong tindak pidana yang patut diberantas.
Dilihat dari sudut hukum administrasi, hukum administrasi sendiri dapat menjadi langkah preventif dan langkah represif dalam tindak pidana pungli ini. Dikatakan langkah preventif, karena hukum administrasi berkaitan dengan hukum pemerintahan terutama mengenai wewenang dari pemerintahan, baik itu hukum oleh tindak pemerintahan yang bersifat regulasi maupun yang bersifat konkrit, serta hukum terhadap perlindungan hukum bagi rakyat9. Sedangkan untuk langkah represif, hukum administrasi memiliki peran dominan dalam tindak pidana korupsi dikarenakan perbuatan tersebut timbul dari adanya penyalahgunaan wewenang yang berakibat merugikan keuangan Negara. 10 Prespektif hukum administrasi memberikan parameter dalam membatasi tindakan ASN yaitu penyalahgunaan wewenang (detournement de povoir) dan kesewenang-wenangan (abus de droit).11
Berkaitan dengan hal oknum ASN yang melakukan tindak pidana pungli, tentu dalam hukum materiilnya akan diberikan sanksi administrasi. Pasal 87 ayat (4) UU ASN pada intinya menentukan bahwa PNS dapat diberhentikan secara tidak hormat dikarenakan:
-
a. Melakukan perbuatan yang menyimpang dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
-
b. Dipidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum dikarenakan melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan lain yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum;
-
c. Merangkap menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
-
d. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum karena melakukan suatu tindak pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan rencana terlebih dahulu.
Pasal 5 UU Tipikor menyatakan bahwa: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.” Selanjutnya pada Pasal 11 UU Tipikor menentukan bahwa: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Berdasarkan unsur-unsur yang telah dijabarkan diatas, maka dari itu tindak pidana pungli dapat diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Namun, meskipun demikian suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus perlu dibentuk untuk menindak tegas tindak pidana pungli ini.
Teorekenbaardheid atau criminal responsibility merupakan istilah asing dari pertanggungjawaban pidana yang merujuk pada pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana dengan tujuan untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Kesalahan adalah unsur mendasar dalam hukum pidana, karena seseorang dapat dipertanggungjawabkan pidana apabila perbuatan orang yang bersangkutan memiliki kesalahan. 12 Menurut Moeljatno, pertanggungjawaban pidana tidak cukup hanya karena perbuatan pidana dilakukan, namun juga harus ada kesalahan yang melekat pada perbuatannya atau sikap batin yang dapat dicela yang mana hal ini sejalan dengan asas tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan. Kesalahan dalam hukum pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu:
-
1. Kemampuan bertanggungjawab si pelaku, yang berarti bahwa keadaan jiwa dari si pelaku saat melakukan perbuatan adalah sehat dan normal;
-
2. Terdapat hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik perbuatan tersebut karena kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa);
-
3. Tidak adanya alasan-alasan penghapus kesalahan
Pungli adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja dan dikehendaki untuk dilakukan. Sebagaimana terdapat dalam Memorie
van Toelicting Swb. yang menyatakan “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. 13 Apabila didasarkan pada ketentuan UU Tipikor, jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.14
-
a) Pidana mati;
-
b) Pidana penjara;
-
c) Pidana tambahan;
-
d) Gugatan perdata kepada ahli warisnya;
Terhadap tindak pidana yang pelakunya oleh atau atas nama suatu korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh oknum ASN diatur dalam KUHP. Kejahatan jabatan merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri/pejabat pada masa kerjanya baik didalam negeri ataupun diluar negeri yang mana kejahatan yang dilakukan telah diatur baik dalam KUHP atau peraturan lainnya. Pasal 418 KUHP menentukan bahwa:
Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Unsur-unsur yang ditarik berdasarkan rumusan pasal tersebut adalah: pegawai negeri atau pejabat yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang ada hubungannya dengan jabatan yang diembannya, dan menurut pemikiran orang yang memberikan hadiah atau janji ada hubungannya dengan jabatannya.15 Berikutnya rumusan Pasal 423 KUHP menyatakan bahwa “Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 65/Pid.Sus-TPK/2018/PN Mdn, fakta-fakta hukum yang menjadi benang merah pada pokoknya adalah sebagai berikut.
-
- Bahwa terdakwa Namo Ginting,S.E. (Kepala Kelurahan Padang Bulan Selayang II yang didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 821.2/509.K tanggal 18 Oktober 2018) bersama-sama dengan saksi Suriyono Wijaya selaku Kepala Lingkungan VI (berkas perkara terpisah) pada Kamis, 15 Maret 2018 sekitar pukul 15.00 WIB melakukan tindak pidana sebagai berikut;
-
- Bahwa berdasarkan informasi dari masyarakat yang dapat dipercaya tentang Suriyono Wijaya dan Namo Ginting, S.E. melakukan pemaksaan kepada masyarakat terkait dengan pengurusan surat tanah.
-
- Bahwa setelah dilakukan penyelidikan oleh saksi Tonny Purba dan saksi Zulhijri yang menyamar sebagai masyarakat masuk kedalam kantor kelurahan, dapat diketahui bahwa terhadap masyarakat yang melakukan pengurusan surat tanah akan dikenakan biaya, padahal pengurusan surat tanah tersebut tidak ada dikenakan biaya.
Kemudian Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternative yaitu dakwaan pertama sebagaimana yang telah diatur dan diancam dengan pidana pada Pasal 12 huruf e UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana atau Kedua Pasal 11 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Kemudian Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa atas nama Namo Ginting S.E. yang merupakan ASN yaitu sebagai Lurah Padang Bulan Selayang II terbukti melakukan tindak pidana pungli sebagaimana yang tertuang dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu dakwaan kedua dengan ancaman pidana sesuai dengan Pasal 11 UU TipikorJo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sebagaimana bunyi Pasal 11 UU Tipikoryang menyebutkan: “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).”
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu pidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan ditambah dengan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Penerapan hukum oleh hakim yang dijatuhkan terhadap pelaku telah sesuai dengan Pasal 11 UU Tipikor.
-
III. PENUTUP
-
1. Pungli merupakan kejahatan yang tergolong tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan sengaja dan dikehendaki. Pungli sendiri merupakan “budaya” bangsa Indonesia yang sampai sekarang belum bisa teratasi. Di Indonesia pengaturan pungli belum diatur secara
khusus namun sudah diatur secara tersirat dalam KUHP dan UU, seperti UU Tipikor.
-
2. Pungli seringkali dilakukan oleh pegawai negeri sipil bahkan pejabat pemerintahan. Pungli yang dilakukan oknum ASN dalam pelayanan publik, dapat mencerminkan bahwa sumber daya manusia, para pegawai pemerintahan melakukan tindak pidana demi keuntungan pribadi. Kenyataannya oknum ASN membantu masyarakat dalam pelayanan publik dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri melalui pungli tersebut. Namun kini pungli semakin meresahkan masyarakat. Sudah diatur pula mengenai oknum ASN yang terlibat pungli beserta dengan sanksinya.
-
1. Untuk Pemerintah
Sebagai pembuat suatu legislasi atau peraturan perundang-undangan, pemerintah seharusnya berperan aktif dalam mensosialisasikan sanksi pidana terhadap pelaku pungli. Disamping itu pemerintah harus mengubah sistem pelayanan publik berbasis teknologi informasi serta memberikan akses untuk masyarakat untuk mengadukan terjadinya pungli. Hal ini merupakan bentuk upaya preventif dalam menanggulangi tindak pidana pungli.
-
2. Untuk Masyarakat
Sebagai masyarakat yang cerdas dan mandiri, masyarakat harus mendukung pemerintah dalam menanggulangi pungli. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak memberikan kesempatan untuk dilakukannya pungli serta berani mengadukan kepada pihak terkait apabila terjadi pungli.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aziz Syamsuddin, 2014, Tindak Pidana Khusus, cet. IV, Sinar Grafika, Jakarta.
Evi Hartanti, 2016, Tindak Pidana Korupsi, cet. VI, Sinar Grafika, Jakarta.
Lijan Poltak Sinambela, 2006, Reformasi Pelayanan Publik: Teori Kebijakan dan Implementasi, Sinar Grafika Offset, Jakarta.
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma,
Pustaka, Yogyakarta.
Teguh Prasetyo, 2014, Hukum Pidana, cet. V, Rajawali Pers, Jakarta
Jurnal/Karya Ilmiah:
Benny Irawan, Diskresi Sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum Terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Vol. XXVII, No. 2, 2011.
Debby Dianita Jaya, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pungutan Liar Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil di Kota Pekanbaru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal
Universitas Riau, Vol. V, No. 1, 2018.
Wahyu Ramadhani, Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap Pelayanan Publik, Jurnal Hukum Samudra
Keadilan, Vol. 12, No. 2, 2017.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Reuplik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5494.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
15
Discussion and feedback