PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARA PIHAK YANG TERKAIT DALAM PROSTITUSI ONLINE*

Oleh :

Putu Ayu Gayatri**

I Wayan Novy Purwanto***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Manusia bekerja untuk memenuhi kehidupannya, namun ada beberapa orang yang melakukan pekerjaan yang dilarang untuk mendapat kehidupan mewah. Pekerjaan itu yakni prostitusi. Banyaknya praktik prostitusi yang kini berkembang menjadi prostitusi online maka perlu ditegakkannya hukum terhadap prostitusi. Pengaturan prostitusi online dan pertanggungjawaban pihak yang terkait dalam prostitusi online merupakan masalah yang perlu diteliti. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Hasil dari penelitian ini adalah aturan mengenai prostitusi online saat ini secara khusus belum diatur di dalam undang-undang namun dapat ditemukan aturannya di dalam Pasal 295, 296, 297, dan 506 KUHP dan di luar KUHP yang ditemukan dalam UU No. 21 Tahun 2007, UU No. 44 Tahun 2008, UU No.11 Tahun 2008 jo. UU. 19 Tahun 2016, serta Peraturan Daerah di beberapa daerah di Indonesia namun Perda ini tidak berlaku umum. Pihak yang terkait dalam prostitusi online yaitu muncikari, pekerja seks komersial (PSK), dan pelanggan. Pertanggungjawaban pidana pihak yang terlibat dalam prostitusi online apabila para pihak tersebut memenuhi unsur dalam aturan di KUHP ataupun diluar KUHP yang mengatur mengenai prostitusi online. Para pihak yang terlibat prostitusi dapat dikenakan sanksi apabila prostitusi dilakukan di daerah yang terdapat peraturan daerah mengenai prostitusi.

Kata Kunci : Prostitusi Online, Pengaturan Prostitusi Online, Pertanggungjawaban Pidana, Pihak Terkait Prostitusi

Abstract

Humans need to work to fulfill their lives, but there are some people who have forbidden job to get a luxurious life, which is prostitution. Many people do that prostitution, because of the technology development the prostitution become an online prostitution. It is necessary to examine regulations regarding online prostitution and the related parties’s responsibilities in online prostitution. The methos in this research is normative legal research. The results are online prostitution in Indonesia regulated in Article 295, 296, 297, and 506 Criminal Code; and the regulations outside of Criminal Code which is Act Number 21 of 2007; Act Number 44 of 2008; and Act Number 11 of 2008 jo. Act Number 19 of 2016, and also regulated in Regional Regulation in many provinces or cities in Indonesia but it’s not regulating general. The parties involved in online prostitution are pimps, Comercial Sex Workes (CSWs), and customers. Their responsibility in online prostitution if the parties fulfill the elements in the rules in the Criminal Code or the regulations outside of Criminal Code which regulate online prostitution. The parties involved in prostitution can be punish if it held in areas where there are regional regulations regarding prostitution.

Key words : Online Prostitution, Regulations of Online Prostitution, Responsibilities of The Parties, The Parties in Online Prostitution

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Dewasa ini banyak orang yang melakukan pekerjaan yang melanggar hukum demi terpenuhinya gaya hidup yang mewah. Segala macam cara digunakan untuk dapat memperoleh kehidupan yang mewah. Pekerjaan yang saat ini sedang hangat diperbincangkan yaitu prostitusi. Prostitusi merupakan suatu kejahatan seksual yang menurut teori umum kejahatan yang dikemukakan oleh Gottfredson dan Hirschi kejahatan disebabkan oleh “kontrol diri rendah” dalam mengejar “kepentingan pribadi”.1 Prostitusi merupakan pekerjaan menjual diri berupa jasa seksual kepada umum dan diberi upah sesuai yang diperjanjikan. Pekerja

dari prostitusi disebut pekerja seks komersial (PSK).2 Prostitusi merupakan hal yang dilarang karena selain melanggar norma yang ada di masyarakat, juga berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi. Seiring berkembangnya jaman, dengan didukung teknologi yang semakin pesat kini prostitusi dilakukan secara online. Praktik prostitusi online tersebut biasanya dilakukan dengan perekrutan pekerja seks melalui chatting dan sejenisnya dan mengiklankan praktik prostitusi dalam media internet.3

Maraknya perkembangan praktik prostitusi maka perlu ditegakkan hukum yang tegas untuk menghindari dampak negatif dari prostitusi. Penegakan hukum harus disesuaikan dengan aturan yang berlaku, namun saat ini aturan mengenai prostitusi di Indonesia belum diatur secara umum dalam undang-undang dengan kata lain norma kosong. Terdapat pula pandangan yang mengatakan norma prostitusi adalah norma konflik karena diatur dalam peraturan daerah di beberapa tempat saja sedangkan dalam undang-undang tidak diatur secara tegas sehingga menimbulkan pertentangan norma. Perlu dibahasnya mengenai pengaturan hukum prostitusi agar para pihak yang terkait dalam prostitusi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

  • 1.2    Permasalahan

Permasalahan yang penulis temukan berdasar dari uraian latar belakang tersebut yaitu :

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai prostitusi online menurut hukum yang berlaku di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana pertanggungjawaban pidana para pihak yang terkait dalam prostitusi online menurut hukum pidana ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan yang ingin dicapai antara lain :

  • 1.3.1    Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pihak yang terkait dalam prostitusi online di Indonesia.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengaturan mengenai prostitusi online menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

  • 2.    Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pertanggungjawaban pidana para pihak yang terkait dalam prostitusi online menurut hukum pidana.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Jenis penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan yang mengatur mengenai prostitusi online serta pendekatan analisis konsep hukum dengan menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana. Bahan hukum yang digunakan yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, berita, dan internet

dengan melihat nama situsnya.4 Data dikumpulkan dengan membaca literatur baik dalam buku, jurnal, dan internet kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Teknik yang digunakan untuk menganalisis bahan hukum tersebut menggunakan teknik deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Pengaturan Mengenai Prostitusi Online Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia

Prostitusi adalah pekerjaan menjual diri berupa jasa seksual kepada pelanggan atau masyarakat umum yang bersedia dan mendapatkan imbalan uang sesuai dengan nominal yang diperjanjikan. Pekerja prostitusi tersebut disebut Pekerja Seks Komersial (PSK).5 Yesmil Anwar dan Adang menggunakan istilah prostitusi sebagai kata ganti pelacuran dan istilah pelaku prostitusi sebagai kata ganti pelacur atau pekerja seks komersial (PSK). Dari segi bahasa, prostitusi berasal dari bahasa latin “protituo” yaitu perilaku secara terang-terangan menyerahkan diri kepada perzinahan. Jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisir, dan yang tidak terdaftar. Prostitusi yang terdaftar, pelakunya diawasi oleh aparat yang dibantu dan bekerja sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka yang dilokalisir dalam satu daerah tertentu, penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan sebagai tindakan dan keamanan umum. Prostitusi yang tidak terdaftar, termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang

melakukan prostitusi secara gelap – gelapan dan liar.6Pengaturan mengenai prostitusi tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia namun pengaturannya dapat ditemukann di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan peraturan di luar KUHP.

  • a . Pengaturan Prostitusi dalam KUHP

Aturan dalam KUHP mengenai prostitusi hanya mengatur perbuatan muncikari saja yaitu sebagai berikut :

  • 1.    Pasal 295 KUHP

Ayat (1) angka 1 mengenai barangsiapa yang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul terhadap anak baik anak tiri, angkat maupun anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa dipidana penjara paling lama 5 tahun. Ayat (2) mengenai perbuatan pada Ayat 1 merupakan kebiasaan dan dijadikan pencarian maka hukumannya ditambah 1/3 (sepertiga).

  • 2.    Pasal 296 KUHP

Pasal ini memuat tentang seseorang yang memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dari orang lain, dan perbuatan tersebut dijadikan pencaharian. Hukuman pidananya yaitu pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

  • 3.    Pasal 297 KUHP

Pasal ini memuat tentang perdagangan wanita dan anak yang belum dewasa.

  • 4.    Pasal 506 KUHP

Pasal ini mengatur mengenai orang yang mendapat keuntungan dari perbuatan cabul terhadap wanita, perbuatan tersebut dijadikan pencaharian.

Pengaturan dalam pasal tersebut menitikberatkan pada menyebabkan dan mempermudah perbuatan cabul dan menjadikannya sebagai mata pencaharian bahkan menarik keuntungan dari perbuatan tersebut. Rumusan pasal tersebut sudah berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan definisi prostitusi yaitu menjual jasa cabul dan mendapatkan upah dari hasil jasa tersebut. Terdapat persamaan pada bagian inti delik Pasal 295 dan 296 KUHP yaitu perbuatan tersebut adalah sengaja, memudahkan perbuatan cabul, namun yang membedakan adalah Pasal 295 perbuatan cabul terhadap anak (orang belum cukup umur), sedangkan Pasal 296 perbuatan cabul itu tidak spesifik dijelaskan usianya sehingga disimpulkan Pasal 296 perbuatan cabul itu terhadap usia dewasa.7 Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktekpraktek pelacuran. Ketidaktegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada pasal 296, 297 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya.8

  • b . Pengaturan Prostitusi di Luar KUHP

Saat ini belum ada undang-undang yang mengatur mengenai prostitusi, namun aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan prostitusi dapat ditemukan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto UU 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain dalam undang-undang, prostitusi juga diatur dalam peraturan daerah namun peraturan daerah hanya berlaku di daerah yang diatur saja tidak secara umum berlaku di Indonesia. Hal ini menimbulkan suatu konflik norma karena di dalam aturan yang lebih tinggi (undang-undang) tidak mengatur mengenai prostitusi sedangkan aturan di bawahnya (perda) mengatur hal tersebut.

  • -    UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO)

Perdagangan orang menurut UU TPPO tersebut yaitu perekrutan orang dengan ancaman, kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, jeratan utang, memberi bayaran agar memperoleh persetujuan untuk tujuan eksploitasi. Prostitusi dapat dikaitkan sebagai tindak pidana perdagangan orang harus memenuhi unsur si pekerja seks merupakan pekerja yang dipaksa oleh pihak lain untuk melakukan pekerjaan khususnya dalam hal ini yaitu pelacuran/prostitusi. Pekerja seks komersial yang melakukan prostitusi karena diperdagangkan maka ia merupakan korban dan tidak dapat dipidana justru harus dilindungi. Pekerja seks yang bekerja dengan sukarela atau atas kehendaknya sendiri tidak dapat dikatakan

sebagai korban perdagangan orang karena tidak adanya unsur pemaksaan.

  • -    UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi)

Prostitusi berbeda dengan pornografi, tidak semua prostitusi merupakan pornografi sepanjang kegiatan prostitusi tidak diiklankan atau tidak dipertunjukan di muka umum, dan tidak semua pornografi merupakan prostitusi. Prostitusi merupakan kegiatan memperdagangkan dirinya sebagai pelayan seksual, sedangkan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartu, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat (Pasal 1 angka 1 UU Pornografi). Prostitusi yang dijalankan dengan tidak diiklankan maka tidak dapat dijerat pidana karena tidak termasuk dalam pornografi, sedangkan prostitusi yang diiklankan termasuk dalam pornografi karena bermuatan asusila, hal tersebutlah yang dilarang dalam undang-undang.

Hubungan antara prostitusi dan pornografi tersebut diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf d UU Pornografi yaitu larangan untuk mengiklankan layanan seksual, salah satu layanan seksual tersebut yaitu prostitusi. Prostitusi dilarang untuk diiklankan jasa layanan seksualnya secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf UU Pornografi bahwa : setiap orang dilarang menawarkan atau mengiklankan baik secara langsung atau tidak mengenai layanan seksual. Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk menarik pelanggan baik muncikari

maupun si pekerja seks menawarkan kepada pelanggan untuk mendapatkan layanan seksual.

  • -    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto UU 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Berkembangnya prostitusi menjadi prostitusi online mengakibatkan dapat dipidananya seseorang apabila menyebarkan konten asusila dalam hal ini diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto UU 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Teknologi tersebut dijadikan sarana untuk menyebarluaskan layanan seksual yang berisikan konten asusila. Seseorang yang menggunakan teknologi sebagai alat untuk mendistribusikan konten kesusilaan maka dapat dijerat Pasal 27 Ayat (1) jo. Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Contoh dari penggunaan teknologi dalam kegiatan prostitusi yaitu pekerja seks mengirimkan konten seksual dapat berupa kata-kata, gambar, maupun video kepada pelanggannya.

  • -    Peraturan Daerah (Perda)

Beberapa perda yang mengatur mengenai prostitusi yakni Perda Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999, Perda Kota Kendari Nomor 9 Tahun 2017, Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007, dan masih banyak lainnya.

  • 2.2.2    Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak yang Terkait Dalam Prostitusi Online Menurut Hukum Pidana

Seseorang dapat dijatuhi pidana tergantung apakah seseorang tersebut memiliki kesalahan. Pertanggungjawaban pidana sangat berkaitan dengan perbuatan pidana seseorang, sebab harus ada

perbuatan pidana baru dapat dimintai pertanggungjawaban.9 Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana hanya jika mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan tersebut, maka pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang yang melakukan tindak pidana.10 Dalam hal bertanggungjawab secara pidana harus melihat apakah mampu bertanggungjawab atau tidak. Menurut ketentuan Pasal 40 KUHP bahwa sesorang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana apabila menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa tetapi dapat dikenakan tindakan. Menurut ketentuan Pasal 44 KUHP Ayat (1) bahwa seseorang yang pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pihak yang terlibat prostitusi online, bahwa pihak yang terlibat dalam prostitusi ini terdiri dari pekerja seks komersial, muncikari, dan pelanggan. Pertanggungjawaban masing-masing pihak tersebut dijabarkan sebagai berikut :

  • a.    Muncikari

Muncikari adalah pemilik dari pekerja seks komersial, dapat juga berperan sebagai pengasuh dan perantara dari pekerja ke pelanggan. PSK dapat tidak tinggal dengan muncikari namun apabila diperlukan akan dihubungkan. Muncikari dapat pula berperan dalam memberi perlindungan kepada PSK dari pelanggan yang merugikan.11 Muncikari merupakan pekerjaan yang

menyediakan jasa layanan seksual dan pekerja seks kepada pelanggan. Muncikari yang menyediakan jasa layanan seksual dari anak yang belum dewasa, berdasarkan ketentuan dalam KUHP muncikari dapat dijerat Pasal 295 dan 297 KUHP, sedangkan dalam kategori umum (dewasa) muncikari dapat dijerat Pasal 296 juncto Pasal 506 KUHP.

Muncikari yang menyediakan layanan seksual dengan memperdagangkan orang untuk dijadikan pekerja seksual dengan cara paksaan, kekerasan, jeratan utang dan memenuhi unsur dalam tindak pidana perdagangan orang maka secara khusus perbuatan muncikari dijerat berdasarkan Pasal 2 UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Ancaman pidana apabila muncikari memperdagangkan orang yakni pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Perbuatan muncikari yang juga dilarang oleh undang-undang yakni mengiklankan jasa layanan seksual baik secara langsung maupun tidak langsung diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (2) jo. Pasal 30 UU Pornografi dengan ancaman pidana pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Muncikari yang melakukan kegiatan pengiklanan prostitusi dengan sarana teknologi yaitu mendistribusikan konten kesusilaan melalui teknologi informasi maka ia telah melanggar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) jo. Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dengan ancaman pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

  • b.    Pekerja Seks Komersial (PSK)

Pekerja seks komersial merupakan pelaku utama dalam terjadinya prostitusi online karena tanpa adanya pekerja maka tidak ada prostitusi, namun dapat dipidana atau tidaknya seorang PSK tidak serta merta karena perbuatannya yang meyimpang, harus ada ketentuan hukum yang dapat menjeratnya. PSK terlebih dahulu harus dilihat apakah merupakan korban atau tidak karena apabila PSK tersebut merupakan korban atau diperdagangkan oleh muncikari atas dasar paksaan maka PSK tersebut tidak dapat dipidana, justru sebaliknya PSK tersebut akan dilindungi.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking (perdagangan orang) sebagai perektrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, dengan kekerasan, atau pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan agar mendapat manfaat untuk dari orang yang berwenang atas orang tersebut, untuk tujuan eksploitasi.12 PSK yang merupakan korban dari perdagangan orang harus dilindungi dan tidak dapat dipidana, namun PSK tetap memiliki peran serta dalam pemeriksaan kasus prostitusi online yaitu dengan berperan sebagai saksi korban.

PSK yang bekerja atas kehendaknya sendiri menjajakan atau menawarkan dirinya dapat apabila melakukan pengiklanan layanan seksual baik melalui langsung maupun melalui sarana teknologi informasi misalnya melalui website, chatting, dan sejenisnya dengan tujuan untuk mencari pelanggan sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 4 Ayat (2) huruf d UU Pornografi dan Pasal 27 Ayat (1) jo. Pasal 45 UU ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. PSK dalam hal melakukan prostitusi tidak dapat dipidana apabila tidak ada layanan seksual yang diiklankan dikarenakan belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai prostitusi, namun apabila suatu daerah memiliki peraturan daerah mengenai larangan prostitusi maka segala kegiatan prostitusi dapat dijerat pidana sesuai ketentuan perda tersebut.

  • c.    Pelanggan

Pelanggan dalam arti disini merupakan orang yang menggunakan jasa pekerja seks komersial. Ketentuan Pasal 295, 296, 297, dan 506 KUHP tidak ada ketentuan yang menjelaskan mengenai pemidanaan terhadap pelanggan seks komersial. Pelanggan yang merupakan seseorang yang sudah berumah tangga atau terikat perkawinan, dapat dipidana karena telah melakukan zinah dengan PSK. Suami atau istri yang dirugikan dari pelanggan tersebut dapat mengadukan perbuatan pasangannya karena telah melakukan zinah sesuai dengan ketentuan Pasal 284 KUHP. Zinah ini haruslah terdapat hubungan badan antara pelanggan dengan pekerja seks komersial dan dapat dibuktikan dengan alat bukti keterangan saksi maupun visum. Pasal 284 KUHP dapat terbukti harus dengan adanya bukti melakukan persetubuhan dan dengan rasa suka sama suka, serta tidak ada pemaksaan.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Prostitusi online belum diatur secara mengkhusus namun dapat ditemukan di dalam KUHP dan di luar KUHP. Pengaturan

prostitusi dalam KUHP terdapat dalam Pasal 295, 296, 297, dan Pasal 506. Aturan mengenai prostitusi online di luar KUHP ditemukan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta peraturan daerah di berbagai provinsi maupun kota di Indonesia namun perda tersebut tidak berlaku secara umum.

  • 2.    Pihak yang terkait prostitusi online yaitu muncikari, pekerja seks komersial, dan pelanggan. Muncikari dapat dijerat oleh Pasal 295, 296, 297, dan 506 KUHP, sevara khusus apabila

memperdangkan orang untuk bekerja sebagai pekerja seks dengan paksaan dan ancaman diancam pidana sesuai dalam UU TPPO. Pekerja Seks Komersial (PSK) tidak dapat dijerat apabila merupakan korban dari perdagangan orang, namun apabila bekerja atas kehendak sendiri dan terlibat dalam penawaran jasa seksual menggunakan teknologi informasi maka dapat dijerat UU Pornografi dan UU ITE. Pelanggan tidak dapat dapat pidana apabila pelanggan tersebut tidak terikat dalam ikatan perkawinan, namun apabila sedang dalam ikatan perkawinan maka dapat dijerat oleh Pasal 284 KUHP tentang zina yang diadukan oleh suami atau istri yang dirugikannya. Para pihak yang melakukan prostitusi dapat diberi sanksi apabila prostitusi dilakukan di daerah yang terdapat perda mengenai prostitusi.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Belum terbentuknya peraturan khusus mengenai prostitusi maka diharapkan bagi pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) membuatnya aturan mengenai prostitusi

demi tercapainya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

  • 2.    Penegakan hukum terhadap prostitusi harus memberikan keadilan agar semua pihak dapat dimintai keterangan dalam pemeriksaan kasus prostitusi khusunya prostitusi online.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Mahrus, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Efendi, Jonaedi dan Johny Ibrahim, 2018, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Prenandamedia Group Kencana, Depok.

Hagan, Frank E., 2013, Pengantar Kriminologi (Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal) Edisi Ketujuh, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2016, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Rahmah, Andi dan Amirudin Prabbu, 2015, Kapita Selekta Hukum Pidana, Edisi 2, Mitra Wacana Media, Jakarta.

Siregar, Kondar, 2015, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra Handalan, Medan.

Jurnal

Kristiyanto, Eko Noer, Jangkauan Hukum Nasional Terhadap Prostitusi Daring (States Law Coverage on Online Prostitution), Jurnal Penelitian Hukum De Jure Volume 19 Nomor 1 Tahun 2019.

Rumadi, Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Dengan Menggunakan Sarana Media Online, Jurnal Ilmiah Hukum Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana, Volume 11 Nomor 1 Periode Mei 2017.

Sari, Hervina Puspito, Upaya Penanggulangan Prostitusi Online Internet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 1 Januari 2010.

Internet

Anonim, 2019, Muncikari, URL : https://id.wikipedia.org/wiki/ Muncikari diakses pada 29 Januari 2019.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928)

17