TATA CARA PEMANGGILAN SAKSI DAN KEWAJIBANNYA UNTUK HADIR DALAM PROSES PEMERIKSAAN ARBITRASE
on
TATA CARA PEMANGGILAN SAKSI DAN KEWAJIBANNYA UNTUK HADIR DALAM PROSES PEMERIKSAAN ARBITRASE∗
Kadek Dwika Tirta Kusuma∗∗ I Ketut Suardita∗∗∗
Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Hakim dalam proses penyelesaian sengketa secara litigasi memiliki kewenangan untuk memaksa saksi untuk hadir dalam persidangan apabila tidak disertai alasan yang sah. Tetapi dalam prosedur yang berlaku di arbitrase khususnya dalam pembuktian tidak ditemukan norma yang mengatur kewenangan bagi arbiter serta para pihak untuk memaksa seseorang hadir sebagai saksi. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maupun dalam peraturan BANI itu sendiri tidak diatur secara jelas mengenai tata cara pemanggilan saksi mempun kewajibannya untuk hadir dalam pemeriksaan sengketa arbitrase. Melainkan hal tersebut hanya diatur secara implisit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji mengenai tata cara pemanggilan saksi maupun kewajibannya untuk hadir dalam proses pemeriksaan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa mengenai tata cara pemanggilan saksi maupun kewajibannya untuk hadir dalam proses pemeriksaan dalam peraturan terkait tidak diatur secara jelas. Namun terdapat pendapat serta penafsiran pasal yang menjelaskan bahwa saksi
∗ Karya ilmiah ini merupakan ringkasan di luar skripsi
∗∗ Kadek Dwika Tirta Kusuma adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana korespondensi: [email protected]
∗∗∗ I Ketut Suardita merupakan dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
dapat dipanggil melalui mekanisme surat pemanggilan serta prosedur lainnya dapat ditentukan oleh Ketua Majelis Arbitrase. Namun tetap perlu adanya pengaturan yang lebih tegas terhadap mengenai tata cara pemanggilan saksi mempun kewajibannya untuk hadir dalam pemeriksaan sengketa arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maupun Peraturan dan Prosedur BANI.
Kata Kunci : Tata Cara, Pemanggilan, Kewajiban, Saksi, Arbitrase
Abstract
Judges in the litigation dispute resolution process have the authority to force witnesses to attend the trial if there is no valid reason. But in the procedures that apply in arbitration, especially in evidence, no norms that regulate the authority of the arbitrator and the parties are found to force someone to be present as a witness. Law No. 30 of 1999 as well as in the BANI regulation itself is not clearly regulated regarding the procedure for calling witnesses to their obligation to attend the examination of arbitration disputes. But it is only implicitly regulated. This study aims to find out and examine the procedures for summoning witnesses as well as their obligations to be present in the examination process. This research is a type of normative research with a legislative approach and a conceptual approach. Based on the results of the study it is known that regarding the procedure for summoning witnesses as well as their obligation to be present in the examination process in the relevant regulations is not clearly regulated. However, there are opinions and interpretations of the articles which explain that witnesses can be summoned through the mechanism of summons and other procedures can be determined by the Chair of the Arbitration Council. However, it is still necessary to have a more stringent arrangement regarding the procedure for summoning witnesses and their obligation to attend the examination of arbitration disputes in Law No. 30 of 1999 and BANI Regulations and Procedures.
Key Words: Procedure, Calling, Obligation, Witness,
Arbitration
PENDAHULUAN
Di Indonesia berlaku sistem hukum civil law yang diterapkan dalam masa penjajahan Belanda terdahulu dan masih diterapkan hingga saat ini. Dalam sistem ini memungkinkan adanya dua tahapan untuk menyelesaikan sengketa perdata yaitu pertama adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan secara litigasi, dan kedua ialah penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara non litigasi dimana salah satunya melalui arbitrase.
Arbitrase itu sendiri merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang didasari atas adanya perjanjian yang memuat klausula arbitrase secara tertulis dari para pihak yang bersengketa. Tahapan ini sering ditempuh dikarenakan faktor keunggulan yang lebih baik dari cara penyelesaian sengketa lainnya.1 Hal tersebut menyebabkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase mulai diminanti terutama dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
Proses beracara dalam arbitrase berdasarkan ketentuan pasal 31 UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya dalam karya ilmiah ini disebut dengan UUAPS) serta Peraturan dan Prosedur Peraturan BANI secara singkat menjelaskan adanya kebebasan dari para pihak dalam pemeriksaan sengketa arbitrase untuk menentukan prosedur beracara yang digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Namun jika dilihat lebih
seksama, sebagaimana yang dijelaskan pada tiap bagian pasal demi pasal yang ada. Pada hakikatnya proses beracara arbitrase memiliki beberapa persamaan dengan proses pemeriksaan sengketa perdata pada umumnya. Salah satu bagian yang pada prinsipnya dapat dipersamakan dengan proses beracara peradilan umum yaitu dalam proses pembuktian yaitu adanya pemeriksaan saksi/saksi ahli.
Walaupun proses penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui arbitrase memiliki beberapa keunggulan, namun dalam pelaksanaanya juga masih terdapat kelemahan dalam proses penyelesaian sengketa. Salah satu kelemahan yang menjadi hambatan dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini terdapat pada proses pembuktiannya, terutama pada bagian pemanggilan saksi-saksi.2 Seperti yang diketahui bahwa dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi Hakim mempunyai kewenangan untuk memaksa saksi agar hadir dipersidangan apabila apabila tidak disertai dengan alasan yang sah. Tetapi hal tersebut tidaklah diatur dalam prosedur arbitrase itu sendiri, sehingga dalam hal ini terjadilah kekosongan norma yang menyebabkan arbiter tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa seseorang hadir sebagai saksi. Maka dari itu diperlukanlah pengaturan yang berkaitan dengan hal tersebut sehingga hambatan-hambatan dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut dapat diatasi. Terutama hambatan tersebut terdapat pada proses pembuktian, yang mana telah diketahui bahwa proses pembuktian ini mempunyai
peranan yang penting dalam menyelesaikan sengketa baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi.
Tahap inilah yang paling menentukan bagaimana sebuah putusan akan dijatuhkan.3 Sehingga dalam hal ini perlu diberikan perhatian khususnya mengenai tata cara pemanggilan terhadap saksi atau saksi ahli itu sendiri serta mengatur lebih jelas mengenai kewajiban saksi tersebut untuk hadir di pengadilan dalam proses pembuktian di arbitrase agar segala hambatan serta permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan baik.
Permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut:
-
1.2.1 Bagaimana tata cara pemanggilan saksi dalam proses
pemeriksaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia ?
-
1.2.2 Bagaimana akibat hukum hakim dalam proses
pemeriksaan arbitrase BANI menghendaki saksi untuk wajib hadir?
Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan diatas adalah dalam rangka mengetahui dan menganalisis mengenai tata cara pemanggilan saksi dan kewajibannya untuk hadir dalam proses pemeriksaan arbitrase
-
II. ISI
-
2.2 Metode Penelitian
-
2.2.1 Penelitian yang digunakan untuk menjawab dari apa yang menjadi rumusan masalah ialah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.4 Penelitian hukum normatif bertujuan melakukan penelitian hukum dengan menelaah suatu perundang-undangan,5 yaitu Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Peraturan & Prosedur Arbitrase BANI 2018. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan dan menganalisis aspek yuridis6 mengenai tata cara pemanggilan saksi serta kewajiban untuk hadir dalam pemeriksaan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Sesuai dengan sifat keilmuan ilmu hukum
-
-
yang bersifat sui generis sehingga penelitian hukum mempunyai karakter yang khusus, dalam hal penulisan jurnal ini
menggunakan jenis penelitian hukum normatif dimana hukum jenis ini beranjak dari adanya kekosongan dalam norma atau asas hukum.7
Dalam UUAPS pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih dapat dipanggil untuk didengar keterangannya yang mana pemanggilan tersebut dilakukan atas perintah arbiter atau permintaan para pihak. Adanya frasa “Dapat” bisa diartikan bahwa jika memang para pihak menyetujui dan dipandang perlu maka arbiter dapat menghadirkan saksi serta saksi ahli tersebut. Mendengar saksi fakta atau saksi ahli adalah metode pembuktian yang sangat lazim dalam acara arbitrase, selain dari bukti surat. Saksi dalam arbitrase diakui sebagai salah satu alat bukti khususnya dalam proses pembuktian, selain daripada itu keterangan saksi ahli dalam kapasitasnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan majelis arbiter untuk menjatuhkan putusan.
Berkaitan dengan hal tersebut, secara lebih mengkhusus dalam Peraturan & Prosedur Arbitrase BANI 2018 yaitu Pasal 24 ayat (4) yang menyatakan bahwa Jika dianggap perlu maka para pihak serta arbiter dapat memanggil saksi atau ahli dimana hal tersebut dilakukan sebelum sidang pemeriksaan saksi yang diawali dengan pengajuan informasi serta identitas para saksi kepada majelis arbitrase serta kesaksian yang akan disampaikan secara tertulis. Selanjutnya majelis arbiter akan menentukan berdasarkan pertimbangannya atau atas pertimbangan dari pihak yang bersengeketa mengenai perlu atau tidaknya mengadirkan saksi tersebut dalam persidangan
Dari penjelasan ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa dalam menghadirkan saksi tersebut dilakukan sebelum persidangan pembuktian, tetapi mengenai mekanisme pemanggilannya tidak dijelaskan secara jelas. Mengenai hal
tersebut, mengutip pendapat Priyatna Abdurrasyid selaku mantan Ketua BANI yang dalam bukunya menjelaskan Bahwa surat pemanggilan secara langsung dapat digunakan dalam memanggil saksi oleh arbiter berdasarkan bantuan para pihak yang mengajukan tuntutan. Surat pemanggilan ini tidak hanya digunakan untuk menghadirkan tetapi sebagai kewajiban untuk memaksa hadirnya saksi di persidangan. Sehingga dapat diartikan apabila saksi yang telah dipanggil sengaja untuk tidak hadir dalam persidangan dapat dianggap sebagai sebuah pelecehan terhadap yurisdiksi arbitrase.8
Akan tetapi disini permasalahan yang timbul yang pertama adalah pengaturan mengenai surat pemanggilan dan bagaimana prosedur serta mekanisme pemanggilan belum diatur secara jelas baik dalam UUAPS maupun dalam Peraturan dan Prosedur Aribtrase BANI. Hanya terdapat pengaturan kehadiran saksi dalam pemeriksaan di arbitrase secara umum. Masalah kedua yaitu berkaitan dengan kewajiban seseorang apabila dalam proses pemeriksaan arbitrase dipanggil menjadi saksi pun masih belum jelas. Berbeda halnya dengan pengaturan dalam Pasal 139-143 HIR (Pasal 165-167 RBg) yang mengatur secara tegas kewajiban menjadi saksi dimana aturan terkait menganut prinsip bahwa wajib hukumnya untuk menjadi saksi. Dilain sisi dalam ketentuan UUAPS maupun Peraturan dan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia pengaturan mengenai mekanisme pemanggilan saksi serta kewajiban menjadi saksi tidak diatur dengan jelas baik secara tertulis maupun implisit.
Timbul masalah kemudian, dalam hal ini saksi serta saksi ahli yang berkaitan dengan sengketa yang sedang diperiksa tidak hadir untuk didengar kesaksiannya dalam proses pemeriksaan.
Maka timbul pertanyaan dalam konteks apakah arbiter dapat memaksa saksi terkait untuk hadir di persidangan seperti dalam proses penyelesaian perkara perdata melalui litigasi, serta dapatkah arbiter menyatakan bahwa saksi tersebut melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi berupa pembayaran biaya dan ganti rugi seperti yang diatur dalam Pasal 140 dan Pasal 141 HIR (Pasal 166-167 RBg). Hal ini tentu menjadi problema yan perlu dikaji lebih lanjut, apalagi ketentuan UUAPS dan Peraturan & Prosedur Arbitrase BANI 2018 tidak memberikan solusi bagi arbiter untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hanya terdapat beberapa pasal yang dianggap perlu penafsiran lebih jauh lagi agar dianggap bisa menyelesaikan permasalahan ini. Sehingga permasalahan tersebut tetaplah menjadi dilema perdebatan terutama dalam menentukan bagaimana kedudukan saksi serta saksi ahli dalam penyelesaian sengketa arbitrase ini.
Dalam arbitrase pada dasarnya juga menggunakan ketentuan-ketentuan proses beracara yang terdapat dalam hukum acara perdata, maka sekalipun dalam UUAPS tidak diatur begitu juga dalam Peraturan dan Prosedur BANI, maka dapat
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang lebih umum, dalam hal ini mengacu pada ketentuan di dalam RV, BW, HIR serta RBg sebagai lex generalis dari UUAPS ini.9 Hal tersebut karena pada dasarnya terdapat kesamaan bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata sehingga penerapan BW dan HIR serta RBg
dapat dimungkinkan.10 Walaupun menurut pasal 81 UUAPS menyatakan bahwa RV ,HIR dan RBg tidak berlaku. Tetapi ketidakpemberlakuan tersebut hanya sebatas pada pasal pasal tertentu
Kemudian berkaitan dengan proses pemeriksaan pembuktian tentu akan ditentukan berdasarkan hukum acara yang digunakan. Akan tetapi UUAPS serta Peraturan dan Prosedur BANI tidak mengatur secara khusus mengenai acara yang berlaku di hadapan arbiter atau majelis arbitrase. Dapat dilihat pada Peraturan dan Prosedur BANI yaitu pasal 16 bahwa para pihak disini bebas menentukan hukum yang berlaku atas dasar kesepakatan bersama jika dalam perjanjian mereka tidak mencantumkan mengenai hukum yang mengatur. Tetapi jika kesepakatan tersebut tidak tercapai maka majelis arbitrase berwenang menerapkan ketentuan hukum tertentu dengan pertimbangan yang ada.
Oleh karena itu terkadang majelis arbiter mengadopsi hukum acara yang diterapkan dalam litigasi karena hal tersebut menyebabkan lebih mudahnya proses pemeriksaan yang akan dilakukan oleh arbiter. Alasan serta dasar dari digunakannya proses beracara litigasi dalam penyelesaian sengeketa arbitrase yang notabene merupakan penyelesaian sengketa secara non litigasi oleh majelis arbiter dikarenakan penyelesaian sengketa arbitrase didasarkan pada adanya perjanjian atau klausula arbitrase. Dimana sebagai The Foundation Stone, perjanjian arbitrase tidak hanya menentukan keabsahan penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetapi juga menentukan bagaimana
proses arbitrase tersebut akan dilangsungkan.11 Hal lain yang dijadikan dasar penerapan proses beracara litigasi adalah substansi terkait klausula arbitrase itu sendiri yang sebagaimana telah dijelaskan diawal pada hakikatnya merupakan perjanjian perdata yang secara umum diselesaikan secara litigasi. Tetapi dikarenakan adanya klausula arbitrase maka diselesaikanlah melalui jalur penyelesaian sengketa arbitrase. Jadi majelis arbiter juga berpandangan bahwa proses beracara secara litigasi dapat diterapkan sehingga majelis arbiter sering mengadopsi hukum acara litigasi khususnya hukum acara perdata. Contoh dari penerapan proses beracara litigasi misalnya keterangan saksi fakta atau saksi ahli dapat dilakukan di arbitrase atas inisiatif atau atas permintaan dari salah satu hal: atas perintah dari arbiter atau majelis arbitrase atau, atas permintaan dari salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa.12 Melihat dalam perspektif hukum acara perdata peran hakim bersifat pasif dan hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan oleh penggugat dan tergugat, maka tidak salah jika dikatakan bahwa seharusnya tugas dan peran arbiter juga pasif merujuk dari sifat hakim dalam proses litigasi. Namun jika melihat ketentuan yang ada dalam UUAPS cenderung mengarah pada peran arbiter yang bersifat aktif. Ketentuan dalam UUAPS lebih condong pada penerapan prinsip discovery yang sebenarnya dikenal dalam proses pembuktian dalam sistem hukum common
law. Prinsip tersebut menunjukkan bahwa hakim atau majelis arbitrase disini lebih bersifat aktif.13
Hal tersebut senada dengan Peraturan dan Prosedur BANI Pasal 29 yang menjelaskan bahwa Penetapan-penetapan Prosedural untuk hal-hal yang bersifat prosedural, apabila tidak terdapat kesepakatan mayoritas, dan apabila Majelis Arbitrase menguasakan untuk hal tersebut, Ketua Majelis Arbitrase dapat memutuskan atas pertimbangan sendiri. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat penulis tafsirkan bahwa dalam hal hakim atau majelis arbiter menghendaki saksi untuk hadir di persidangan maka wajib hukumnya saksi tersebut untuk hadir. Mengenai mekanisme dan prosedur pemanggilan serta sanksi dapat ditentukan oleh Ketua Majelis Arbitrase berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Dalam hal ini juga dapat penulis simpulkan bahwa pada akhirnya ketika majelis arbiter menghendaki saksi untuk hadir dalam persidangan pemeriksaan arbitrase maka akibat hukum yang timbul adalah saksi yang bersangkutan wajib untuk hadir dalam persidangan arbitrase yang apabila saksi tidak datang maka saksi dianggap telah melakukan suatu pelecehan terhadap yurisdiksi arbitrase serta dianggap telah melanggar ketentuan proses beracara yang telah ditentukan oleh majelis arbiter. Sehingga saksi tersebut dapat dikenakan sanksi apabila hal tersebut telah diatur oleh majleis arbiter serta telah disetujui oleh para pihak.
Namun terdapat Pengecualian Bersaksi di Persidangan Arbitrase sebagaimana tercantum dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2)
bahwa seseorang yang memiliki jabatan dalam BANI termasuk Arbiter BANI tidak dapat diajukan sebagai saksi atau ahli dalam persidangan arbitrase BANI atau yang menggunakan peraturan BANI dalam persidangan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan yaitu :
-
1. Tata cara pemanggilan saksi baik dalam UUAPS maupun dalam Peraturan BANI tidak diatur secara jelas namun menurut pendapat ahli dapat dilakukan dengan surat pemanggilan secara sah. Dalam hal ini UUAPS serta Peraturan BANI juga tidak mengatur secara jelas pengaturan mengenai tata cara pemanggilan saksi dan kewajibannya untuk hadir dalam pemeriksaan baik secara eksplisit tertulis dalam pasal-pasalnya maupun secara implisit.
-
2. Pada dasarnya terdapat kesamaan bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata sehingga penerapan BW dan HIR dapat dimungkinkan. Kemudian ketentuan dalam UUAPS menunjukkan adanya kemungkinan diterapkannya prinsip discovery dimana prinsip tersebut menunjukkan bahwa hakim bersifat aktif yang lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan dan Prosedur BANI yaitu Pasal 29 yang dapat ditafsirkan bahwa dalam hal hakim atau majelis arbiter menghendaki saksi untuk hadir di persidangan maka wajib hukumnya saksi tersebut untuk hadir.
3.3
SARAN
-
1. Kepada pemerintah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
selaku legislator bahwa perlu melakukan perubahan dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terutama untuk mempertegas mengenai tata cara pemanggilan saksi dan kewajibannya untuk hadir dalam proses pemeriksaan arbitrase.
-
2. Kepada Badan Arbitrase Nasional agar membuat sebuah peraturan pelaksanaan daripada UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur secara tegas mengenai mengenai tata cara pemanggilan saksi dan kewajibannya untuk hadir dalam proses pemeriksaan arbitrase.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdurrasyid, Priyatna, 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS): Suatu Pengantar (Edisi Ke-2 Revisi), Fikahati Aneska, Jakarta.
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Amiruddin, Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Diantha, I Made Pasek, 2017, Metode Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Kencana, Jakarta, h.152
Harahap, M. Yahya, 2009, Hukum Acara Perdata tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
Safa’at, Rachmad, 2011, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Latar Belakang, Konsep, dan Implementasinya, Surya Pena Gemilang, Malang.
Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Cet.I, Grafindo Persada, Jakarta.
JURNAL ILMIAH
Pramudya, Putu Kharisa, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra dan Nyoman A. Martana, Pengaturan Arbitrase Online Sebagai Upaya Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa E-Commerce, Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 7 No. 3, 2018, URL :
http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/ 40472.
Syita, Kunti Kalma, “Penerapan Prinsip Pembuktian Hukum Perdata Formil Dalam Arbitrasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Vol.29 No.1, 2014, URL : https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/viewfile/356/190.
Gideon Hendrik Sulat, Tata Cara Pemeriksaan Sengketa Arbitrase Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Lex Crimen, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, Vol. V No. 7, 2016, URL :
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/v iewFile/13499/13082.
Tektona, R. I, Arbitrase Sebagai Alternatif Solusi Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan. Pandecta: Research Law Journal, Vol. 6 No. 1, 2011, URL:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article /view/2327.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872)
Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI 2018 tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI ARBITRATION CENTER)
Reglemen Indonesia Yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement) tentang Melakukan Tugas Kepolisian, Mengadili Perkara Perdata Dan Penuntutan Hukuman Bagi Bangsa Indonesia dan Bangsa Timur Asing Di Jawa Dan Madura
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa Dan Madura (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura)
16
Discussion and feedback