KAJIAN YURIDIS PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DI MEDIA ONLINE DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA INDONESIA
on
KAJIAN YURIDIS PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DI MEDIA ONLINE DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA INDONESIA
Oleh:
I Gusti Agung Kresna Pinatih*
I Wayan Suardana**
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, penggunaan internet khususnya media online sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, karena penggunaan media online lebih memudahkaan masyarakat untuk mencari informasi maupun berita dengan efektif dan efisien, tetapi tidak semua informasi atau berita yang terdapat dalam media online isinya benar atau dapat dipercaya, melainkan ada saja berita-berita bohong (hoax) yang tersebar didalamnya. Hoax adalah istilah untuk menggambarkan suatu berita bohong, fitnah, atau sejenisnya yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Pencegahan terhadap penyebaran berita bohong (hoax) di media online, diperlukan adanya sanksi pidana secara tegas yang dijatuhkan kepada pelaku. Ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyebar berita bohong (hoax) berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali mengacu pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) jis. Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam proses pembuktian tindak pidana penyebar berita bohong (hoax) di media online, terdapat penambahan alat bukti. Alat bukti yang dimaksud menurut Pasal 5 UU ITE yakni Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya.
Kata kunci: Penyebaran Berita bohong (Hoax), Media Online, Hukum pidana Indonesia.
Abstract
As advances in information and communication technology, the use of the internet particularly the online media is very loved by the people of Indonesia, as the use of online media make it easier for people to find information and news effectively and efficiently, but not all the information or news contained in the online media contents correctly or may to believe, but there are just untrue stories (hoax) dispersed therein. Hoax is a term used to describe a false news, defamation, or the like which may cause unrest in society. Prevention of the spread of false news (hoaxes) in online media, is necessary to explicitly criminal sanctions are imposed on perpetrators. Penal provisions against criminal spreader hoax is based on the principle of lex specialis derogat legi generali reference to the provisions of Article 28 paragraph (1) jis. Article 45A paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia Number 19 Year 2016 on the Amendment of Act No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (UU ITE). In the process of proving the crime of spreader hoax in online media, there is additional evidence. The evidence referred to in Article 5 of the ITE Law of Electronic Information and Electronic Documents and / or printout. In the process of proving the crime of spreader hoax in online media, there is additional evidence. The evidence referred to in Article 5 of the ITE Law of Electronic Information and Electronic Documents and / or printout. In the process of proving the crime of spreader hoax in online media, there is additional evidence. The evidence referred to in Article 5 of the ITE Law of Electronic Information and Electronic Documents and / or printout.
Keywords: Spreading false news (Hoax), Media Online, Indonesian criminal law.
Seiring berkembangnya zaman, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi lebih mudah karena kecanggihan dan daya kerjanya yang efektif dan efisien. Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi awalnya hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja, namun saat ini, hampir
seluruh lapisan masyarakat dapat menggunakannya. Salah satu contoh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah adanya media online.
Kemudahan yang dijanjikan dan disajikan oleh media online tidak hanya dimanfaatkan untuk mengelola data maupun transaksi penjualan saja, namun juga dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang bergerak di bidang penerbitan dan pemberitaan.1 Penyebaran informasi atau berita melalui media online tidak hanya dilakukan oleh situs berita yang sudah dikenal oleh masyarakat saja, melainkan siapa saja pengguna internet dapat menyebarkan informasi atau berita melalui media online. Hal ini mengakibatkan setiap orang dapat berekspresi dan bebas menyebarkan informasi atau berita melalui media online yang dimiliki. Penggunaan media online secara meluas ini memiliki dua sisi yakni di satu sisi dapat memberi dampak positif pada bidang pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Namun di sisi lain dapat menyebabkan munculnya jenis kejahatan baru.
Secara khusus, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan implikasi-implikasi yang signifikan terhadap pengaturan atau pembentukan regulasi dalam ruang siber dan hukum siber serta terhadap perkembangan kejahatan dalam dunia maya atau biasa disebut cybercrime.2 Salah satu dampak negatif yang sering terjadi dengan semakin mudahnya komunikasi dan bertukar informasi melalui media online antara sesama pengguna internet adalah informasi atau berita yang disebarkan secara individu atau kelompok
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau teindikasi hoax.
Hoax merupakan informasi atau berita yang berisi hal-hal yang belum pasti atau yang benar-benar bukan merupakan fakta yang terjadi. Hoax dalam kamus Oxford (2017) diartikan sebagai suatu bentuk penipuan yang tujuannya untuk membuat kelucuan atau membawa bahaya. Hoax dalam Bahasa Indonesia berarti berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris, hoax artinya olok-olok, cerita bohong, dan memperdayakan alias menipu.3 Pengaturan hukum mengenai tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax) di Indonesia, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (selanjutnya disingkat menjadi UU ITE).
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, permasalahan yang penulis temukan, sebagai berikut:
-
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebar berita bohong (hoax) di media online?
-
2. Bagaimana pembuktian dalam tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax) di media online?
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban pidana serta pembuktian dalam tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax) yang dilakukan di media online.
Jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian yang bertujuan meneliti kaidah atau norma. Metode ini menggunakan dua sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang meliputi buku-buku hukum, jurnal hukum, dan internet guna mendapatkan jawaban dari permasalahan hukum tersebut.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebar berita
-
bohong (hoax) di media online
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai criminal liability. Definisi pertanggungjawaban pidana yaitu dapat dipersalahkan seseorang karena perbuatan melawan hukum yang dilakukannya, sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan pidana (verwijbaarheid).4 Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana selalu
diterapkan kepada seseorang yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seorang pelaku tindak pidana, tetapi harus memenuhi 4 (empat) unsur persyaratan sebagai berikut:5
-
1. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku;
-
2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undang-undang;
-
3. Tindakan itu bersifat melawan hukum;
-
4. Pelakunya harus bisa dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyebar berita bohong (hoax) di media online, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
-
1. Terdapat dalam KUHP, yaitu diatur dalam Pasal 390 KUHP, yang esensinya hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, menyebabkan turun atau naiknya harga barang dagangan, fonds, dan surat berharga dari kabar bohong tersebut, maka dihukum paling lama dua tahun delapan bulan.
Agar pelaku dapat dituntut menurut pasal 390 KUHP ini maka, kabar yang disiarkan harus merupakan kabar bohong atau merupakan kabar yang kosong, serta akibat dari penyebaran berita bohong tersebut harus menimbulkan kenaikan dan penurunan harga barang, dana (fonds), surat berharga, dan sebagainya yang dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
-
2. Terdapat dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, yaitu diatur dalam Pasal 14 ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 15 UU No. 1 Th 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Esensi dari ketentuan Pasal 14 ayat (1) yaitu akibat dari penyebaran berita bohong menyebabkan terjadinya keresahan di kalangan rakyat, maka akan dihukum penjara paling lama sepuluh tahun penjara. Esensi dari Pasal 14 ayat (2) yaitu menyebarkan berita yang dapat menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, dan pelaku tidak menyadari bahwa berita tersebut adalah bohong maka dihukum paling lama tiga tahun penjara. Esensi dari Pasal 15 yaitu menyiarkan berita yang tidak pasti, dan pelaku menyadari bahwa berita tersebut akan mudah menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, maka dihukum paling lama dua tahun penjara.
-
3. Terdapat dalam UU ITE, yaitu diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU
ITE, yang esensinya adalah pelaku dengan sengaja melawan
hukum menyebarkan berita bohong (hoax) yang mengakibatkan kerugian dalam transaksi elektronik.
Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali yang berarti aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebar berita bohong (hoax) di media online mengacu pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) jis. Pasal 45A ayat (1) UU ITE. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE yaitu:
-
1. Setiap orang, yaitu pelaku penyebar berita bohong (hoax);
-
2. Kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, yaitu kesengajaan dan tanpa hak menyebarkan berita bohong (hoax);
-
3. Tanpa hak atau Melawan hukum, yaitu dalam penyebaran berita bohong (hoax) merupakan tindakan yang melawan hukum dan bertentangan dengan hak seseorang;
-
4. Perbuatan, yaitu seseorang telah menyebarkan berita tidak sesuai dengan fakta;
-
5. Objek, yaitu berita bohong (hoax);
-
6. Akibat konstitutif, yaitu mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU ITE maka dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun penjara dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
Pembuktian adalah suatu ketentuan dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Menurut Riduan Syahrani yang dimaksud dengan pembuktian adalah memberikan kepastian tentang peristiwa yang dikemukakan dalam persidangan yang dilakukan dengan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum.6 Berdasarkan jenisnya ajaran pembuktian dapat dibagi menjadi empat yaitu ajaran pembuktian positif, pembuktian atas keyakinan hakim melulu, pembuktian dengan penalaran hakim, dan teori pembuktian secara negatif. Dari ajaran pembuktian yang ada, menurut pasal 183 KUHAP, Indonesia menganut ajaran pembuktian negatif.7
Keberadaan alat bukti sangat penting, terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Menurut PAF Lamintang, orang dapat mengetahui adanya dua alat bukti yang sah tetapi belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang. Berdasarkan alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi. Adanya alat bukti yang sah sangat penting bagi hakim dalam meyakinkan dirinya untuk membuat putusan atas suatu perkara.8 Berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan terdapat lima alat bukti yang sah yaitu:
-
1. Keterangan saksi;
-
2. Keterangan ahli;
-
3. Surat;
-
4. Petunjuk;
-
5. Keterangan terdakwa.
Berkaitan dengan kasus-kasus kejahatan di media online (cybercrime), UU ITE mengatur tentang alat bukti selain yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang dimaksud ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE adalah:
-
1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik;
-
2. Hasil cetak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE diatur bahwa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dari ketentuan Pasal 5 ayat (2) ini diketahui bahwa alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik bukanlah alat bukti yang lain dan terpisah dengan alat-alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP akan tetapi UU ITE tidak menjelaskan perluasan dari alat bukti yang mana diantara 5 (lima) alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.
Alat bukti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE, memiliki sifat yang sama dengan alat bukti surat yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Sifat yang sama tersebut terletak pada tulisan dan/atau gambar yang dapat dilihat dan dibaca serta mengandung makna tertentu, jika dilihat dari frasa “merupakan perluasan” dalam kalimat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE, merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum
Acara yang berlaku di Indonesia, harus diartikan sebagai perluasan alat bukti surat.9
Berkaitan dengan perluasan alat bukti yang sah, maka alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai perluasan alat bukti surat, atau berkedudukan dan memiliki fungsi yang sama dengan alat bukti surat dalam hal digunakan sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk. Meskipun berkedudukan dan memiliki fungsi yang sama, alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik sama dengan alat bukti surat namun ada batasan-batasan dalam pemberlakuannya. Pembatasan
pemberlakuan tersebut tercantum dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE ditentukan bahwa mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
-
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
-
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notarial atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Berdasarkan hal tersebut pembuktian perkara pidana penyebaran berita bohong (hoax) yang merupakan alat bukti yang dapat digunakan
secara sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan hasil cetak informasi elektronik. Namun ada bebrapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik di persidangan, yaitu:
-
1. Keaslian atau keotentikan alat bukti;
-
2. Isi atau substansi alat bukti;
-
3. Kesesuain antara alat bukti yang satu dengan yang lain.
III PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dari permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
-
1. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali, pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebar berita bohong (hoax) di media online mengacu pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) jis. Pasal 45A ayat (1) UU ITE berupa pidana penjara paling lama enam tahun penjara dan/ atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
-
2. Pembuktian dalam tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax), tidak hanya menerapkan alat bukti yang tercantum dalam Pasal
184 KUHAP, melainkan dalam Pasal 5 UU ITE menyebutkan bahwa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya juga merupakan alat bukti yang sah. Alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut berkedudukan dan berfungsi sama dengan alat bukti surat sekaligus dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk.
-
1. Mengingat perkembangan teknologi yang semakin maju, jenis-jenis kejahatan dalam media online semakin berkembang, diharapkan pemerintah dapat menciptakan aturan yang lebih khusus untuk penanganan cybercrime agar tidak terjadi multitafsir dalam penegakan hukumnya.
-
2. Pembuktian yang terdapat dalam KUHAP dan UU ITE kurang optimal untuk menjadi landasan hukum pembuktian dalam perkara cybercrime di masa sekarang, sehingga perlu adanya optimalisasi terhadap peraturan yang mengatur pembuktian terhadap kejahatan teknologi informasi serta kesiapan aparat penegak hukum dalam menghadapi kejahatan di media online.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, Banyumedia Publishing, Malang.
Asril Sitompul, 2004, Hukum Internet: Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
I Gede Arta et. al., 2017, Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Swasta Nulus, Denpasar.
I Ketut Mertha et. al., 2016, Buku Ajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Josua Sitompul, 2012, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta.
Riduan Syahrani, 2000, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Romli Atmasasmita, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Jurnal:
Christiany Juditha, Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya, Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, Tahun 2018.
Peraturan perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5952).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
15
Discussion and feedback