PENANGANAN PERKARA PUNGLI DALAM JABATAN MELALUI PENDEKATAN KE-EKONOMIAN HUKUM (ECONOMIC APPROACH TO LAW)

Oleh :

I Made Aditya Sastra Nugraha∗∗

I Gede Yusa***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Masifnya paktik Pungli berpengaruh secara tidak langsung pada perekonomian Negara. Persoalan terjadi ketika dalam penanganan perkara pungli kita terhambat oleh penganggaran yang ada. Anggaran dalam system peradilan pidana memiliki peran dalam menunjang penegakan hukum. Oleh karenanya perlu pendekatan ekonomi dalam pemberantasan pungli guna mewujudkan penanganan perkara yang efesien. Adapun penulisan ini menggunakan metode penelitian empiris yuridis. Adapun hasil pembahasan yaitu Penanganan pungli dengan Economic Approach to Law dapat dilakukan dengan 2 (dua) solusi yaitu solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang. Solusi jangka pendek mempergunakan aturan pidana umum, dan melakukan koordinasi antar aparat penegak hukum. Untuk solusi jangka panjangnya berupa pengaturan khusus tentang penanganan pungli, pengefektivitasan pidana denda. Kendala yang dihadapi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara dalam jabatan dengan pendekatan ke-ekonomian hukum yaitu, secara intern paradigma aparat yang masih positivistik dan formil, masih ada disharmoni peraturan perundang-undangan, kurang pemahaman asas ultimum remedium. Ektern adanya mind set masyarakat bahwa pungli harus diproses secara hukuman badan.

Kata Kunci : Pungli, dalam jabatan, pendekatan ekonomi

Abstract

Massive the Pungli tactics have an indirect influence on the country's economy. Problems occur when in handling extortion cases we are hampered by existing budgeting. The budget in the criminal justice system has a role in supporting law enforcement. Therefore, an economic approach is needed in eradicating extortion in order to realize efficient case handling. The writing uses juridical empirical research methods. The results of the discussion namely The handling of extortion with the Economic Approach to Law can be done with 2 (two) solutions namely short-term solutions and longterm solutions . Short-term solutions for using general criminal rules, and coordinating between Law Enforcement Apparatus For longterm solutions in the form of special arrangements for handling extortion, criminal penalties. Constraints faced by law enforcers in handling cases in positions with a legal economic approach, namely, in the internal paradigm of officials who are still positivistic and formal, there is still disharmony in laws and regulations, lack of understanding of the principle of ultimum remedium. Ektern has a community mind set that extortion must be processed by corporal punishment.

Keyword : Extortion, in office, economic approach

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Definisi Pungutan Liar (Pungli) tidak ditemukan dalam regulasi di Indonesia. Kata Pungutan Liar tersusun atas 2 (dua) kata, yaitu : Pungutan dan Liar. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) Pungutan berarti “Nomina (kata benda) barang apa yang dipungut; pendapatan memungut: uang pungutan”. 1 Sedangkan “Liar” diartikan sebagai tidak teratur; tidak menurut aturan (hukum); tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang; tanpa izin resmi dari yang berwenang. 2 Sehingga Pungli dapat diartikan sebagai “suatu kegiatan untuk melakukan pemungutan (memungut uang) yang dilakukan tanpa aturan yang resmi”.

Masifnya praktik Pungli berpengaruh secara tidak langsung pada perekonomian Negara. Terhadap hal tersebut, Bagawan Ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikusumo berpendapat, bahwa pungli menimbulkan high cost economy yang menyebabkan kerugian bagi perekonomian Indonesia.3

Pungli merupakan istilah yang dipergunakan untuk pungutan yang tidak dilalui prosedur yang ada. Melihat pada definisi tersebut bahwa pengaturan pungli diatur secara implisit dalam delik (tindak pidana) terkait pemerasan dalam pasal 368 KUHP dan Pasal 12 huruf 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) (pemerasan dalam jabatan sebagai penyelenggara Negara / Pegawai Negeri Sipil). Adapun Secara aksiologis delik-delik yang terkait pemerasan (pungli) itu diatur dalam suatu regulasi untuk memberikan manfaat bagi terciptanya ketertiban dan perlindungan terhadap hak asasi pribadi orang lain. Oleh karenanya secara filosofis terbentuknya delik-delik terkait pungli (pemerasan Pasal 368 KUHP / Pasal 12 huruf e UU PTPK) yaitu untuk melindungi kepentingan hak pribadi (harta benda) seseorang. Namun menjadi persoalan ketika dalam penanganan perkara pungli kita terhambat oleh penganggaran yang ada.

Anggaran dalam sistem peradilan pidana memiliki peran dalam menunjang penegakan hukum. Kita tidak dapat memungkiri bahwa hukum tidak dapat eksis, dan oleh karena itu tidak dapat dipelajari dalam ruang yang kosong. Hukum terletak

dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan diluar hukum. 4 Oleh sebab itu, hukum tidak mampu berdiri sendiri tanpa ditopang oleh ilmu lainnya. Salah satu ilmu bantu hukum adalah ilmu ekonomi. Melihat pada karakteristik pungli yang merupakan tindak pidana yang beraspek pada harta benda (ekonomi), maka tidak salah dalam penanganan perkara pungli perlu dilakukan analisa tidak hanya dalam konteks kepastian hukum (teknis yuridis) tentang benar atau salahnya suatu perkara namun juga perlu dilakukan analisa secara ekonomi. Hal senada disampaikan Romli Atmasasmita & Kodrat Wibowo :

Diperlukan paradigma hukum baru dalam memandang masalah hukum. Paradigma baru yang dimaksud adalah pergeseran dari paradigma hukum berbasis teori moral (moral theory) yaitu penilaian perilaku manusia atas dasar, “benar (right) atau salah (wrong), kepada paradigma hukum berbasis analisa ekonomi mikro “cost and benefit ratio”. Peniliaian moral harus dikombinasikan/dilengkapi dengan para meter, sejauh mana kebenaran dan kesalahan perilaku manusia dapat dicegah atau diatasi dengan mempertimbangkan implikasi atas dasar “cost and benefit ratio” didalam usaha pemerintah melindungi kepentingan masyarakat, korban, dan pelaku (tindak pidana) serta masyarakat luas.5

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dibahas permasalahan sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana Penanganan perkara pungli dalam jabatan

melalui pendekatan ke-ekonomian hukum ?

  • 2.    Apa saja Kendala-Kendala Yang Dihadapi Oleh Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Perkara Pungli Dalam

Jabatan Dengan Menerapkan Pendekatan Ke-Ekonomian Hukum ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari Penelitian ini adalah untuk memahami penanganan perkara pungli dalam jabatan melalui pendekatan ke-ekonomian hukum. Serta untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pungli dalam jabatan dengan menerapkan pendekatan Ke-Ekonomian Hukum.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. 6 Jenis penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode yuridis empiris.

Jurnal ini dalam penulisannya menggunakan metode pendekatan Ke-Ekonomian Hukum (Economic Approach To Law), pendekatan ini digunakan sebagai salah satu cara dan upaya untuk mencermati hukum dan memahami kompas hukum.7 Tidak semata-mata membedah untuk menemukan limitasi hukum, tetapi melihat dan mendudukan permasalahan hukum melalui dimensi hukum dan ekonomi dengan cara-cara dan pertimbangan ekonomis. Ekonomis bukan alasan menghilangkan atau mengesampingkan keberadaan dan fungsi Hukum, namun dilihat

dari pertimbangan efisiensi, nilai, efektif, dan lain sebagainya yang merupakan konsep-konsep fundamental Hukum dan Ekonomi.8

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Teknik Wawancara (interview) yaitu pertanyaan yang dirancang

untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah

penelitian kepada informan.9 2.2 Hasil dan Analisis

  • 2.2.1    Penanganan perkara Pungli dalam Jabatan melalui pendekatan ke-ekonomian Hukum

Perlu   Pendekatan   Ekonomi   untuk   memprediksi

kebermanfaatan atau efektifitas Penanganan perkara khususnya Tindak Pidana Korupsi. Keterbatasan sumber daya (scarcity) baik uang maupun orang selalu menjadi kambing hitam atas buruknya penegakan hukum. Minimnya pembiayaan untuk menindak suatu tindak pidana berakibat tidak efektifnya penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kasus terhenti dan tidak diproses karena kurang bahkan tidak ada anggarannya. Penegak hukum juga tidak sedikit yang terjebak dalam praktik korup semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biaya penegakan hukum. Penegak hukum juga tidak segan memeras para pihak untuk menambal kekurangan anggaran penanganan perkara. 10 Oleh karenanya diperlukan suatu terobosan-terobosan hukum secara Progresif dan Responsive dalam menghadapi persoalan penanganan perkara pungli, khususnya dalam penanganan perkara yang disesuaikan dengan pembiayaan (cost ) dan juga keadaan Geografis.

Terobosan hukum tersebut diharapkan mampu menciptakan penangan perkara pungli yang efesien dan efektif. Adapun

beberapa solusi yang dapat dipergunakan dalam menangani perkara pungli dalam jabatan dilihat dari aspek ke-ekonomian hukum yaitu : A) solusi jangka pendek, dan B) solusi jangka panjang.

  • A.    Solusi Jangka Pendek

Solusi jangka pendek adalah solusi yang dipergunakan sekarang  dalam  menghadapi permasalahan pungli.  Disini

diperlukan  suatu penafsiran  hukum yang progresif dalam

menghadapi persoalan pungli, khususnya yang berjumlah kecil. Adapun saran yang dapat ditawarkan adalah:11

  • 1.    Penerapan Pasal Tindak Pidana Umum terhadap Kasus Pungli

dalam jabatan.

Kasus pungli yang sering dihadapi dalam masyarakat adalah kasus pemerasan oleh Pegawai Negeri Sipil maupun Penyelenggara Negara, terhadap kasus-kasus demikian penyidik menerapkan Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Dalam Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi memiliki karakteristik kemiripan dengan Pasal 368 ayat

(1) KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan untuk menyerahkan sesuatu benda yang

seluruhnya atau sebagaian merupakan kepunyaan orang tersebut atau kepunyaan pihak ketiga atau untuk membuat orang tersebut berutang berutang atau meniadakan piutang, karena bersalah telah melakukan pemerasan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun”.12

Kedua pasal tersebut memiliki kemiripan dalam konteks adanya tindakan memaksa seseorang untuk menyerahkan sesuatu/memberi sesuatu. Bahwa perbedaan yang “khusus” dari kedua pasal ini adalah dalam Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan oleh “Penyelenggaran Negara atau Pegawai Negeri Sipil” sedangkan dalam KUHP dilakukan oleh “Barang siapa” dalam hal ini bisa siapa saja baik masyarakat biasa maupun seseorang yang berkedudukan sebagai Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya dapat dipikirkan untuk menerapkan Pasal 368 KUHP terhadap kasus pungli berupa pemaksaan menyerahkan sesuatu (dalam hal ini uang) terhadap seseorang karena jabatannya. Terhadap pasal suap yang lain dapat mempergunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Disini pemikiran seorang aparat penegak hukum, harus mampu berpikir responsive dan progresif (out of box) terhadap kasus-kasus yang terjadi. Disini tidak dilihat secara letterlijk suatu peraturan perundang-undangan namun juga harus melihat pada tujuan hukum itu sendiri khususnya “kemanfaatan” bagi masyarakat”.

  • 2.    Berkoordinasi dengan pihak Mahkamah Agung membuat SEMA atau PERMA tentang Kewenangan Mengadili, Pengadilan Negeri Mengadili Perkara Pungli.

Mengenai perkembangan dan masalah hukum yang terjadi. Terhadap penangan perkara pungli khususnya yang kerugiannya kecil maka perlu suatu terobosan hukum yang mana dapat

dilakukan dengan koordinasi antar aparat penegak hukum. Terhadap persoalan ini, sebetulnya perlu dibuatkan surat petunjuk teknis penanganan perkara pungli tidak hanya Kepolisian dan Kejaksaan selaku penyidik dan penuntut umum, namun juga kepada Mahkamah Agung sebagai muara akhir dari sistem peradilan di Indonesia. Bahwa persoalan yang dihadapi oleh Kejaksaan dan Kepolisian adalah penerapan Pasal untuk perkara pungli adalah Pasal yang ada dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkorelasi pada penggunaan media Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang “hanya” ada di Ibu Kota Provinsi. Persoalan anggaran dan kondisi geografis (bagi wilayah kepulauan) sebetulnya dapat diberikan solusi dimana Mahkamah Agung menerbitkan SEMA ataupun PERMA mengenai pemberian kewenangan bagi Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara-perkara pungli khususnya yang nominal kerugiannya kecil.

Dengan adanya SEMA dan PERMA penangan perkara pungli kecil oleh Pengadilan Negeri membantu instansi penegak hukum lain khususnya Kejaksaan dalam hal penyerapan anggaran pada Bidang Tindak Pidana Khusus yang dapat dipergunakan untuk prioritas penangan perkara korupsi yang bersifat Big Fish dan Big Impact (berdampak besar) bagi masyarakat.

  • B.    Solusi Jangka Panjang

Solusi Jangka Panjang merupakan ius constituendum yang diperkirakan kedepan untuk menjawab persoalan terhadap permasalahan pungli yang dihadapi saat ini. Adapun beberapa solusi jangka panjang yang dapat ditawarkan dalam mengatasi masalah pungli adalah:13

  • 1.    Membuat regulasi khusus penangan perkara pungli.

Penerapan Pasal yang dipergunakan adalah Pasal-Pasal yang ada dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka pada institusi kejaksaan menjadi wewenang Bidang Tindak Pidana Khusus. Persoalan mengenai keterbatasan anggaran dan Kondisi Geografis menjadi hambatan apabil kita mempergunakan media UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Coba kita bayangkan bersama, apabila suatu pungli yang dilakukan PNS jumlahnya sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sedangkan pembiayaan penangan perkara menggunakan sarana Bidang Tindak Pidana Khusus, maka penangan perkara yang big fish atau perkara besar akan tidak terjamah, secara tidak langsung hal tersebut akan berdampak pada persepsi masyarakat kepada instansi Kejaksaan (timbul image Kejaksaaan tebang pilih perkara atau spesialis kasus-kasus kecil). Disamping juga terjadi “pemborosan dalam penangan perkara” dimana tujuan penangan perkara tidak mencapai tujuan yang dikehendaki dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (cost berbanding terbalik dengan benefit / manfaatnya). Menjadi hambatan apabila kondisi geografis antara Kejaksaan Negeri dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berbeda pulau, hal inilah yang menyebabkan menggelembungnya biaya penangan perkara. Melihat pada persoalan diatas maka sepatutnya dibuatkan regulasi khusus penangan perkara pungli baik aturan materiil maupun formilnya. Diharapkan penangan perkara pungli dimasukkan sebagai Tindak Pidana Umum yang penangannya dapat menggunakan sarana Pengadilan Negeri.

Perlu dibuatkan acuan mengenai jumlah nominal pungli yang dapat dikenakan pemidanaan badan. Bahwa pungli dengan kerugian kecil memberikan suatu persoalan bagi penegakan hukum, bahkan persoalan tersebut tidak hanya menjadi beban

Kejaksaan saja, namun juga instansi lainnya. Hal ini nampak dari pernyataan Wakapolres Bojonegoro Kompol Dodon Priyambodo yang menyatakan :

“kasus pungutan liar (pungli) itu tidak melulu harus berlanjut kepidana, jika jumlah kerugian tergolong lebih kecil daripada biaya perkara. Biaya perkara ini meliputi proses penyelidikan, penyidikan, hingga proses pengadilan, oleh karena itu penyelesaian kasus pungli bisa dilakukan dengan pengembaliaan hasil pungutan liar saja. Menurutnya kalau biaya perkara lebih besar daripada kerugiannya, negara bisa rugi”.14

Melihat pada problema tersebut maka “penting” dibuatkanya regulasi khusus penangan perkara pungli, khususnya mengenai batasan besaran kerugian yang ditimbulkan oleh pungli tersebut, jangan sampai penangan pungli dilakukan dengan tidak bijak ataupun tidak efesien.

  • 2.    Penguatan Pidana Denda.

Penggunaan media pidana badan baik penjara dan kurungan memberikan suatu persoalan bagi penegakan hukum. Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. 15 Dibeberapa daerah ditemukan Rumah Tahanan (RUTAN) maupun Lembaga Pemasyakatan (LAPAS) dalam keadaan Overcapacity (Kelebihan kapasitas). Kelebihan pada LAPAS atau RUTAN berpotensi terjadinya overcrowding atau krisis kepadatan dan akhirnya meledaknya kerusuhan. 16 Pada tahun 2016, kerusuhan terjadi di Lapas Banceuy (Bandung), Gorontalo, Kuala Simpang (Aceh), Kerobokan (Bali), dan Rutan Malebro. 17 Disamping berdampak pada terjadi kerusuhan, persoalan tentang

“pengutamaan” penggunaan upaya pemidanaan badan baik penjara maupun kurungan juga berdampak pada penggunaan anggaran negara untuk hal tersebut. Bahwa saat ini, negara menghabiskan sekitar Rp. 2,8 triliun per tahun untuk segala kebutuhan Rutan dan LAPAS yang dikelola Direktorat Jendral Pemasyarakatan.18

Tujuan penjeraan kepada masyarakat mengenai dampak penghukuman bagi koruptor tidak berdampak signifikan dimana korupsi tidak pernah berakhir dan indeks keberhasilan pemberantasan korupsi juga berjalan ditempat, oleh karenanya ada yang salah dengan sistem penegakan hukum korupsi kita. Salah satu konsep yang dapat dipergunakan adalah penerapan “Restoratif Justice” dalam penangan perkara korupsi. Restorative justice merupakan suatu konsep yang terbuka dalam bentuk implementasinya, artinya dalam pandangan cara bekerja konsep tersebut, sehingga akan lebih dapat dirasakan keadilannya. Sebagai alternatif, restorative justice dititik beratkan pada akibat dari tindak pidana korupsi, yaitu adanya kerugian negara. Akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara tersebut harus segera dipulihkan serta mengurangi kerugian di masa mendatang, sehingga dapat berfungsi juga sebagai pencegahan kejahatan.19 Ditambahkan Pendapat Dwidja Priyanto yang mengatakan “bahwa penjatuhan sanksi pidana sesungguhnya harus dilihat dari tujuannya, karena hal itu sangat dipengaruhi oleh filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidananya, mengingat penjatuhan pidana terhadap para pelaku koruptor tidak menjadikan jera baginya”. 20 Maka

diperlukan adanya upaya-upaya yang responsive dan prograsif dalam memberantas tindak pidana korupsi, salah satunya dengan menggunaan pendekatan Restorative Justice.

Adapun Upaya-upaya Restorative Justice yang dapat dipergunakan, mengoptimalkan pemberian sanksi denda dibandingkan dengan mempergunakan sanksi penjara (penghilangan kemerdekaan). Menurut Suhariyono, Pemberian sanksi denda maupun uang pengganti yang ditentukan dalam undang-undang lebih efektif diterapkan untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi dan akan memberikan efek pencegahan terhadap calon pelaku tindak pidana korupsi karena kemungkinan nanti mereka akan menjadi orang yang tidak mampu atau miskin, dan sebaliknya bagi negara memperoleh keuntungan dengan kembalinya uang negara kedalam kas keuangan negara.21 Untuk menekan penggunaan media penghukuman badan terhadap pungli yang dilakukan oleh penyelenggaran negara dan pegawai negeri sipil dengan keuntungan yang diperoleh masih dikategorikan kecil maka dapat diterapkan penggunaan media sanksi administratif.

Dalam konteks tersebut pelaku tindak pidana pungli selain dibebankan pengembalian keuntungan yang diperoleh kepada pihak yang seharusnya (korban baik pelaku ataupun negara) juga dikenakan sanksi administratif. Bahwa konsep ini menunjukan suatu konsep pemidanaan yang berbasis pendekatan “Restoratif” dan juga “pembalasan dalam konteks adminisratif”. Bahwa konsep ini responsive terhadap persoalan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menghadapi pungli dengan kerugian kecil.

Dalam analisis ekonomi terhadap pemidanaan, pidana denda menjadi pilihan utama. Becker berargumen bahwa kejahatan

dapat dikurangi jika hukuman, terutama denda, dibebankan setara atau lebih dengan keuntungan dan biaya dari kejahatan.22 Denda tidak akan menghabiskan banyak sumber daya sosial (social resource) dibanding penjara seperti penjaga, petugas rehabilitasi, atau bahkan terbuangnya waktu produktif narapidana.23 Menurut Sieberg, terhadap penerapan pidana denda agar memberikan efek jera, jumlah pidana denda bisa ditinggikan sehingga menutupi segala kerugian yang dikeluarkan korban dan masyarakat. Dengan demikian, kondisi optimal pemidanaan tercapai karena dapat mengganti kerugian nyata korban dan juga kerugian sosial yang membebani masyarakat.24 Hukuman denda yang tinggi juga didukung oleh Polinsky dan Shavell agar pelaku kejahatan tidak akan memperoleh keuntungan yang melebihi dari kerugian yang dideritanya. Jika asumsi ini terjadi di mana banyak calon penjahat memilih tidak melakukan kejahatan, masyarakat tidak perlu menghabiskan banyak biaya menghukum.25

Kejahatan Korupsi khususnya pungli adalah kejahatan yang terkait bidang ekonomi dimana adanya keuntungan yang diperoleh oleh pihak yang menerima suap atau yang melakukan pemerasan guna kepentingannya maka perlu dilakukan penerapan pidana yang berkaitan dengan “pembalasan bidang ekonomi” dimana si pelaku pungli dikenakan sanksi denda minimal seimbang dengan kejahatan yang dilakukan ataupun pemaksimalan pidana denda, dengan menerapkan pidana denda yang tinggi (tidak hanya pada perhitungan keuntungan yang secara faktual diterima oleh pelaku, namun juga diperhitungkan dampak ekonomi maupun sosial yang terjadi akibat pungli tersebut).

  • 2.2.2 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Oleh Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Perkara Pungli Dalam Jabatan Dengan Menerapkan Pendekatan Ke-Ekonomian Hukum

Dalam pelaksanaan penerapan pendekatan ke-ekonomian hukum dalam penanganan perkara pungli dalam jabatan, terdapat kendala yang berifat intern dan bersifat ekstern. Kendala bersifat intern yaitu yang berasal dari dalam institusi/kelembagaan aparat penegah hukum. Adapun kendalanya yaitu : (i) perspektif penegak hukum yang positivistic formil yang masih melihat/terpaku pada tataran tektual suatu peraturan perundang-undangan, belum mampu menilai dari maksud suatu peraturan perundang-undangan. Cara berfikir aparat penegak hukum masih formalitas (legisme) tidak berfikir secara progresif untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan secara luas. (ii) masih adanya disharmonisasi peraturan perundang-undangan yaitu antara aturan dalam UU dengan peraturan dibawah undang-undang. Contoh adanya pasal 4 UU PTPK dalam penyelesaian Tindak Pidana Korupsi diluar proses peradilan (out of settlement). (iii) belum memahami asas hukum pidana sebagai ultimum remedium. Sedangkan kendala dari luar (ekstern) yaitu : (i) masyarakat masih melihat pungli

sebagai kejahatan korupsi yang harus diberantas dengan penghukuman badan (retirbutif) tanpa melihat pada aspek kemanfaatan secara ekonomi makro. (ii) tidak berintegritasnya aparat penegak hukum, pengembalian diluar pengadilan melahirkan celah korupsi bagi aparat penegak hukum.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

Dari penjelasan diatas diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

  • 1.    Penanganan pungli dengan Economic Approach to Law dapat dilakukan dengan 2 (dua) solusi yaitu solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang. Solusi jangka pendek pengefektivitasan manajemen   penanganan perkara,

mempergunakan aturan pidana umum, dan melakukan koordinasi     antara     aparat     penegak     hukum

(MAHKEJAPOL/DILJAPOL). Untuk solusi jangka panjangnya berupa pengaturan khusus tentang penanganan pungli, pengefektivitasan pidana denda.

  • 2.    Kendala yang dihadapi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara dalam jabatan dengan pendekatan ke-ekonomian hukum yaitu, secara intern paradigma aparat yang masih positivistik dan formil, masih ada disharmoni peraturan perundang-undangan, kurang pemahaman asas ultimum remedium. Ektern adanya mind set masyarakat bahwa pungli harus diproses secara hukuman badan.

  • 3.2    Saran

Adapun saran yang dapat di sampaikan yaitu :

  • 1.    Diharapkan penanganan perkara pungli dalam jabatan yang nilainya kecil dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum administratif sebagai bentuk trobosan hukum.

  • 2.    Diharapkan dalam UU PTPK terbaru aspek pengembalian kerugian keuangan negara dan nilai kerugian keuangan Negara dapat diselesaikan diluar proses peradilan dengan penguatan fungsi pidana denda.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

AR Suhariyono, 2012, Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif, Papas Sinar Sinanti, Depok.

Atmasasmita Romly & Kodrat Wibowo, 2016, Analisis Ekonomi Mikro Tentang Hukum Pidana Indonesia, Prenadamedia, Jakarta.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Hamzah Andi, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana edisi revisi 2008, Rineka Cipta, Jakarta.

Lamintang P.A.F & Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta.

Sugianto Fajar, 2013, Economic Approach To Law, Prenada Media, Surabaya.

Waluyo Bambang, 2016 Pemberantasan Tindak Pidana Korupso (Strategi dan Optimalisasi), Sinar Grafika, Jakarta.

Tesis/Jurnal ilmiah

Agus Mahendra Iswara I Made, 2013, Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Tesis Program Studi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Achmad Aang, Kajian Kasus BLBI : Pergeseran Hukum Publik Ke dalam Lapangan Hukum Privat, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, 2011.

Priyatno Dwidja, Sekali Lagi Tentang Restorative Justice, Jurnal Lembaga Perlindungan Hak Anak Restorosi, Edisi VIII, Volume III, Agustus 2007.

Internet

http://kbbi.kata.web.id/?s=liar, diakses pada tanggal 30 Juli 2017.

http://kbbi.kata.web.id/pungutan/, diakses pada Tanggal 30 Juli 2017.

https://beritabojonegoro.com/read/11731-kasus-pungli-tidak-harus-dilanjutkan-pidana-jika-kerugiannya-kecil.html.

Diakses pada tanggal 25 Juni 2017.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980

Tentang Tindak Pidana Suap; Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1980 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3178.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150.

18