ANALISA YURIDIS TENTANG PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
on
ANALISA YURIDIS TENTANG PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001*
Oleh
Robertus Dicky Armando** Gde Made Swardana*** Sagung Putri M.E. Purwani****
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Penelitian mengenai tinjauan yuridis penyalahgunaan wewenang untuk menganalisis permasalahan korupsi yang dihadapi dalam pengaturan hukum dan proses pembuktian unsur-unsur melawan hukumnya. Perbuatan tindakan korupsi sering kerap kali terjadi disebabkan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan baik menggunakan wewenang yang tidak terikat ataupun menggunakan wewenang yang terikat. Berdasarkan hal tersebut timbulah permasalahan mengenai pengaturan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang pada jabatan dan unsur melawan hukumnya . Dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif karena adanya kekaburan norma hukum. Sehingga dipergunakan pendekatan analisa konsep, kasus dan perundang-undangan.
Kata kunci: Penyalahgunaan wewenang, Jabatan,
Pengaturan Hukum
Abstrack
Research on juridical review of abuse of authority in acts of corruption based on law number 20 of 2001 aims to analyze corruption problems faced in legal arrangements and the process of proving unlawful elements. One of the criminal acts of corruption that often occurs often is caused by the abuse of authority in office using authority that is not bound or uses bound authority. Based on this, problems arise regarding the regulation of criminal acts of corruption of office and juridical analysis proof of the element of abuse of authority in positions of criminal acts of corruption. In writing this scientific paper using normative research methods because it comes of legal norms. So that in this study a legislative approach, concept analysis approach and using a case approach were used.
Keywords: Abuse of authority, position, legal arrangement
Fenomena sosial sering terjadi setiap tahun dari generasi kepemimpinan yang selalu mengalami peningkatan dalam hal tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan suatu perbuatan yang sangat merugikan baik itu bagi masyarakat, individu, korporasi dan Negara. Tindak pidana korupsi jika ditafsirkan dari perspektif yuridis, sosiologis, kriminologis dan politis, maka akan memiliki pengertian yang berbeda-beda. Cara pandang itulah yang akan menghasilkan pemahaman yang tidak sesuai dengan makna dari korupsi itu sendiri.
Tindakan korupsi yang disebabkan karena penyalahgunaan wewenang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik. politk atupun pegawai negeri, yang dimana perbuatan tersebut dilakukan baik secara wajar dan legal untuk mendapatkan keuntungan sepihak dengan memanfaatkan jabatan atau wewenag yang dimiliknya.
Bertititk tolak dari hal itulah penyalahgunaan kewenangan sering terjadi dikarenakan adanya perbedaan penafsiran. Jika dilihat secara saksama, penyalahgunaan wewenang lebih menitik beratkan pada pejabatan publik yang memiliki atau memangku suatu jabatan. Sehingga dengan adanya jabatan tersebut maka dapatlah ini mengambil kekuasaan. 1
Rumusan pada Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 tahun 2001 menyebutkan “setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)’’. Jika dianalisis maka akan nampak adanya kekaburan norma hukum. Hal tersebut dikarenakan lebih cenderung fokus pada pembuktiannya melainkan pada merugikan keuangan negara.
Penafsiran Pasal 3 tersebut seharusnya unsur melawan hukum tidak dirumuskan dalam pasal, perbuatan yang dilakukan sudah dianggap melawan hukum. Jika unsur melawan hukum dirumuskan dalam pasal, perbuatannya harus ditemukan terlebih dahulu, baru dicari melawan hukum atau tidak.
Dampak dari kekaburan norma Pasal 3 tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut dikarenakan dalam pembuktian pasal tersebut penegak hukum lebih cenderung menekankan pada unsur kerugian Negara dari pada unsur memperkaya diri sendiri. Seharusnya, cara pembuktian terbalik, dengan membuktikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri terlebih dahulu, baru membuktikan unsur kerugian Negara.
Artinya unsur setiap orang adalah yang mempunyai kewenangan. Jadi perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tapi belum menyalahgunakan kewenangan. Jadi syarat untuk orang bisa dikenakan Pasal 3 adalah dia harus mempunyai kewenangan terlebih dahulu, kedudukan, jabatan, jadi jabatan itu memberikan kewenangan kepada dia yang kemudia disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri, korporasi dan orang lain.
-
1. Bagaimana ketentuan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan istilah penyalahgunaan wewenang dalam jabatan ?
-
2. Bagaimana sebaiknya pengaturan istilah penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi pada masa mendatang ?
-
1. Untuk mendeskripsikan mengenai ketentuan istilah yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan.
-
2. Untuk menemukan, mengakaji dan menganalisis mengenai pengaturan istilah penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi pada masa mendatang.
Jenis penulisan yang digunakan dalam penilitian ini adalah metode penelitan normatif atau kepustakaan dengan meneliti ketentuan dan unsur melawan hukum yang ada pada tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan analisis konsep hukum.
-
2.2. Hasil dan Analisis
-
2.3. Tindak Pidana Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang dalam Jabatan
-
2.3.1. Tindak Pidana Korupsi
-
Secara harfiah ‘’Tindak pidana korupsi’' berasal dari kata tindak pidana dan kata korupsi. Tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari bahasa belanda stafbaar geit atau delict
dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Sedangkan kata korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin yakni corruptio atau corrupus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya dalam bahasa inggris menjadi corruption atau corrupt dalam bahasa perancis menjadi coruption dan dalam bahasa belanda disalin menjadi istilah corruptie (korruptie). Agaknya dari bahasa belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa belanda. Corrupttie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.
Secara harfiah istiah kata tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti yang diakatakan Andi Hamzah sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah2
Tindak pidana korupsi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dimana kegiatan tersebut melanggar hukum karena telah merugikan bangsa dan negara. Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
-
1. Penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana
-
2. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
-
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jika dilihat dalam perspektif hukum yakni dalam hukum positif secara gamblang pada UU no.20 tahun 2001 bab II pasal 2 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000. (satu miliar rupiah).
Persoalan menyalahgunakan kewenangan atau wewenang dan korupsi sering kali menjadi suatu permasalahan dalam pemahaman apa yang sebenarnya dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang. Jika di telaah lebih spefisisk konsep penyalahgunaan wewenang haruslah dilihat dari apa yang diselewengkan atau disalahgunakan ketika yang bersangakutan memiliki jabatan. Dalam melakukan penyalahgunaan wewenang haruslah digunakan untuk kepentingan individu atau meraih kekuasaan untuk kepentingan sepihak.
Dalam hukum pidana, kewenangan yang berkaitan dengan pejabat public baik itu kewenangan terikat maupun kewenangan bebas bukanlah menjadi ranah hukum pidana. Hal tersebut masuk dalam hukum pidana apabilah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan sifatnya bukan administrasi akan tetapi menimbulkan kerugian bagi banyak orang, dalam hal ini yang sering terjadi adalah korupsi.
Ada beberapa ciri untuk menyatakan bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang antara lain: menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, menyimpang dari tujuan atau maksud
dalam kaitannya dengan asas legalitas, dan menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberi kewenangan.3
Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat public haruslah dilakukan dengan sadar. Artinya dia mengetahui apa yang telah dilakukannya itu sehingga dalam proses pembuktian perbuatan tersebut adanya niat atau mens rea. Disatu sisi proses mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang tersebut.
Dengan demikian, perbuatan tersebut harus dilakukan oleh orang yang memiliki suatu jabatan yang diangkat oleh pejabat yang berwenang. Sehingga dalam pembuktian unsur melawan hukumnya haruslah pejabat negeri bukan swasta.
Dalam menjalankan kewenangan ada kewajiban bagi pejabat public untuk mematuhi aturan hukum. Sebab, timbulnya korupsi tidak terlepas dari kekuasaan atau kewenangan yang tidak terkontrol atau terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, ada batasan-batasan yang patut dipatuhi oleh pemegang wewenang itu. Dalam uapaya mengatasi persoalan penyalahgunaan wewenang harus memberikan bahwa ada laranagan yang tidak boleh dilakukan, yaitu laranagan melampui wewenang, larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. Dengan demikian upaya yang dilakukan dengan beberapa hal, antara lain:
-
1. Apabila terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah maka harus dibuktikan terlebih dahulu pengujian mengenai kebenaran secara administrasi yang menyatakan bahwa yang melakukan tindak pidana korupsi adalah mereka
yang memiliki jabatan atau kekusaan untuk melakukan kewenangan tertentu. Dalam melakukan pengujian tersebut harusalah merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi Pemerintahan telah terjadi penambahan jalur birokrasi dalam pemberantasan korupsi.
-
2. Apabila hal tersebut telah dilakukan dan telah terbukti telah melakukan penyalahgunaan wewenang menurut administrasi pemerintahan dan telah dikaitkan dengan unsur pada pasal 3 penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka proses selanjutnya akan mengikuti ketentuan peraturan perundan-undangan tindak pidana korupsi. 4
Adapun solusi yang dapat diberikan dalam upaya mengatasi permasalah yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang diakibatkan karena penyalahgunaan wewenang.
Kewenangan atau sering disebut authority gezag merupakan kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintah tertentu secara bulat. Kekuasaan tersebut dapat berasal dari kekuasaan legislative ataupun dari kekuasaan eksekutif, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu onderdil atau bidang tertentu saja. Dengan demikian kewenangan berarti kumpulan dari wewenang-wewenang. Dalam hal demikian menurut Prajudi Atmosudirdjo disebut delegasi wewenang. 5
Dalam Black’s Law Dictionary, kewenangan atau wewenang diartikan sebagai kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.6 Apabila dilihat dari sifatnya maka sifat wewenang pemerintah dapat dibedakan bersifat expressimplied, fakultatif dan vrijbestuur. Wewenang pemerintahan yang bersifat expressimpliedadalah wewenang yang jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak) dan bersifat individual-konkret. Wewenang pemerintahan bersifat fakultatif adalah wewenang yang peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana suatu wewenang dapat dipergunakan. Wewenang bersifat bebas adalah wewenang wewenang dimana peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar atau bebas kepada badan/pejabat tata usaha Negara untuk mempergunakan wewenang yang dimilikinya, dapat menolak atau mengabulkan suatu permohonan. 7
Penyalahgunaan wewenang/kewenangan dalam tindak pemerintah menurut konsep Hukum Tata Negara atau hukum Administrasi Negara selalu dipararrelkan dengan konsep de’tornement de pouvoir. Dalam Verklared Woordenboek Openbar Bestuur dirumuskan bahwa penggunaan wewenang untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang tersebut. Dengan demikian pejabat melanggar asas spesialis. Terjadinya Penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara
sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan dilakuakn atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.
Penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalan rumusan delik Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) dirumuskan bahwa terdapat unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatam atau saran yang ada, karena jabatan atau kedudukan. Kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi adalah serangkaian kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas atau pekerjaannya dapat dilaksanakan denagn baik. Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 3 UU PTPK tentunya dalah kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan yang dipangku oleh pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Jika diperhartikan rumusan delik Pasal 3 PTPK terdapat frase ‘’kesempatan” yaitu peluang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana peluang mana tercantum di dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi. Pada umumnya kesempatan ini diperoleh atau didapat dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja tersebut atau kesengajaan menafsirkan secara salah terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. 8
Frasa berikutnya adalah “menyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana
korupsi”. Sarana dapat diartikan sebagai syarat, media atau cara. Dalam kaitannya dengan ketentuan tentang tindak pidana korupsi, jabatan menurut Utrecht adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan Negara/kepentingan umum atau yang dihubungkan denagn organisasi sosial tertinggi yang diberi nama Negara. Sedangkan mengenai kedudukan menurut Soedarto, istilah kedudukan di samping kata jabatan adalah sangat meragukan. Kalau kedudukan ini diartikan sebagai fungsi pada umumnya, maka seorang direktur bank swasta juga mempunyai kedudukan. Maka kedudukan dalam perumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 dipergunakan untuk pelaku tindak pidana korupsi bagi pegawai negeri dan bukan pegawai negeri, yaitu sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang tidak memangku suatu jabatan tertentu, baik jabatan structural maupun jabatan fungsional.
-
1. Adanya penafsiran unsur yang berbeda-beda sekiranya dapat dilakukan revisi dengan memberikan penambahan pada pasal 3 mengenai unsur melawan hukumnya besertakan penjelasan tambahan yang lebih spefisik. Hal tersebut dilakukan dengan uapaya tidak adanya tafsiran yang berbeda-beda yang mengakbitkan kekaburan norma.
-
2. Selama pengaturan mengenai unsur melawan hukum pada pasal 3 masih belum jelas, sekiranya penegak hukum diharapkan memiliki sikap professional dalam melakukan penafsiran serta penemuan dan pembuktian unsur melawan hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA.
Hartanti, Evi, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta
Minarmo Nur, Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Mediatama, Palangkaraya.
Chazawi, Adami, 2014, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang.
Latief Abdul, 2014, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta.
Atmosudirdjo Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta
Marojahan JS Panjaitan, Penyelesaian Penyalahgunaan Wewenang yang Menimbulkan Kerugian Negara Menurut Hukum Administrasi Pemerintahan, Jurnal IUS, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Vol. 24, No. 3. Juli 2017.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
14
Discussion and feedback