PEMBERLAKUAN SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK DALAM PERKARA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK*

Oleh:

Ida Bagus Gede Surya Khamajaya** I Gusti Agung Dike Widhiyastuti***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Jurnal ini secara umum memaparkan tentang implementasi sistem pemidanaan dalam perkara narkotika terhadap anak. Secara filosofis, anak adalah masa depan suatu bangsa, dan masalah yang dimiliki oleh anak adalah masalah dari bangsa itu sendiri maka di dalam penerapan suatu pemidanaan terhadap anak, terutama dalam kasus narkotika yang sering menimpa anak-anak, diperlukan perlakuan khusus sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemberlakuan sistem pemidanaan terhadap anak dalam kasus narkotika ditinjau dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan pemidanaan anak terhadap kasus narkotika menjadi permasalahan yang dibahas dalam jurnal ini. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji lebih jauh mengenai pemberlakuan sistem pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan narkotika. Metode penelitian hukum normatif menjadi metode yang dipergunakan dalam penulisan ini dan menjadikan Undang-Undang sebagai bahan hukum utamanya. Hasil dari tulisan ini adalah menjelaskan tentang sistem pemidanaan terhadap anak yang ditinjau dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan penerapan pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan narkotika.

Kata Kunci : Sistem Pemidanaan, Perkara Narkotika, Anak, Sanksi.

Abstract

The journal is generally explains about the implementation of child conviction system in narcotics case. Philosophically, children are the future generation of a nation, and the problem of the children is the problem faced by the nation itself, therefore in the implementation of children conviction, especially in narcotics case which often affects children, it needs a special treatment based on the law that exists. Enforcement of the conviction system to children in narcotics case reviewed from Children Criminal Justice System Act and child conviction to narcotics case become a problem that discussed in this journal. The purpose of this study is to examine more about the implementation of conviction system to children which conflicted with narcotics. The normative legal research method is used in this writing and makes the Act as its main legal material. The conclusions of this journal is an explanation about conviction system to children that reviewed from Children Criminal Justice System Act and the conviction implementation to children which conflicted with narcotics.

Keywords : Criminal Justice System, Narcotics Case, Children, Sanction.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Ketergantungan akan Narkotika disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf otak yang dapat menimbulkan perubahan perilaku, pikiran dan perasaan1. Seperti yang terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada Maret 2014 silam, bahwa penggunaan Narkotika dapat menyebabkan dampak berupa ketergantungan (addiction), terdapat pula beberapa efek lainnya. Sifat umum dari penggunaan narkotika (selain efek ketergantungan) pada dsarnya berupa Depresan, Stimulan, dan Halusinogen. Zat Depresan adalah zat yang sifatnya menekan syaraf pengguna, zat Stimulan yaitu zat yang bersifat memberi rangsangan pada sistem syaraf penggunanya, dan zat Halusinogen di mana ini merupakan sifat dari efek penggunaan Narkotika yang menyebabkan munculnya halusinasi berlebihan dan kerap merupakan bentuk distorsi persepsi otak pengguna atas realitas yang dihadapinya.

Penggunaan Narkotika juga akan menyebabkan kerusakan pada organ tubuh. Efek negatif dari penggunaan Narkotika terhadap fisik maupun psikologis penggunanya mengakibatkan diperlukannya penanggulangan peredaran dan penyalahgunaan yang ketat. Kejadian pada tahun 2012, pengguna Narkotika di Indonesia mencapai angka 5 juta orang. Mengacu pada laporan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia hingga bulan September 2013, penghuni dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan Negara (RTN) yang terlibat kasus narkotika adalah

sebanyak 55.650 orang.2 Lebih dari sekadar upaya pencegahan dan penanggulangan yang masif dan komprehensif dari berbagai sektor dalam menanggulangi hal ini. Kenyataan ini didukung bahwa peredaran gelap Narkotika selama ini kerap mengincar anak-anak muda dan remaja sebagai sasaran pengguna dan tidak sedikit pula yang melibatkan mereka sebagai bagian dari rantai produksi maupun distribusi (peredaran).

Persoalan ini menjadi jauh lebih kompleks terkait keikutsertaan anak muda dalam hal terjadinya kasus-kasus peredaran maupun penyalahgunaan Narkotika. Anak muda rentan terlibat dalam jaringan peredaran maupun penyalahgunaan Narkotika. Mereka belum memiliki kehendak yang bebas dan otonom ketika melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran terhadap hukum positif yang berlaku. Seorang anak meskipun telah dapat menentukan kehendak perbuatannya yang didasari pemikirannya sendiri serta perasaannya akan tetapi keadaan didalam lingkungan sekitarnya masih dominan dalam mempengaruhinya. Kondisi lingkungan yang buruk dapat mempengaruhi anak sehingga anak akan melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat oleh karena itu sangat penting bagi anak untuk terus mendapatkan bimbingan serta edukasi dari orangtuanya.

Kurangnya perhatian dan semakin meningkatnya gaya hidup anak-anak di era global seperti ini turut andil dalam mentransformasi pola kehidupan anak-anak ketika mereka berada di luar rumah atau di luar pengawasan keluarganya. Pergaulan bebas pun menjadi faktor bagi semakin dekatnya anak-anak dengan ancaman bahaya Narkotika. Ketidaktahuan akan informasi dan ajakan pergaulan dapat menyebabkan mereka terjerumus menjadi korban penyalahgunaan Narkotika. Kebutuhan akan

pengakuan dan gaya hidup yang hedonis bisa menjerat mereka ke dalam lingkaran peredaran Narkotika sebagai salah satu mata rantai distribusinya. Imbalan upah yang menggiurkan dapat mempengaruhi anak-anak sehingga bandar narkotika memperoleh jasa kurir dengan harga rendah.

Tidak menutup kemungkinan anak-anak akan menghadapi proses penegakan hukum hingga ke persidangan. Narkotika sebagai sebuah tindak pidana yang pengaturannya di atur khusus di luar KUHP, maka pemidanaan maupun sistemnya akan berbeda baik secara materiil maupun formil dengan penegakan kasus-kasus kejahatan lainnya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur beberapa sistem pemidanaan yang dikenal, yakni pidana minimum khusus, pidana maksimum umum dan pidana maksimum khusus. Tindak pidana khusus memiliki pengaturan yang berbeda baik pengaturan materiil maupun formilnya dibandingkan dengan tindak pidana lain (yang diatur dalam KUHP) dan hal ini tentu menjadi persoalan masalah pemidanaan seperti apa yang harus diputuskan bagi anak-anak karena pada hakekatnya anak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang utuh harus mendapat perlindungan hukum secara khusus berdasarkan atas pendekatan keadilan restoratif.

Mengenai pemidanaan terhadap anak, aparat penegak hukum sebelum periode Tahun 2000-an mengacu pada ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan kemudian berpatokan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut belum mengatur mengenai pemidanaan yang dapat dikenakan pada anak-anak terutama terkait dengan keikutsertaannya dalam suatu tindak pidana yang terhitung berat selain ketentuan yang diatur di dalam KUHP, oleh karena itulah maka dirasa perlu memberikan

gambaran terkait sistem pemidanaan dalam perkara Narkotika bagi anak-anak ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya ditulis UU SPPA) yang secara luas dianggap telah mampu mengakomodasi kepentingan anak-anak ketika dihadapkan dengan ancaman pemidanaan.

  • 1.2    RUMUSAN MASALAH

    • 1.2.1    Bagaimana pemberlakuan sistem pemidanaan terhadap anak berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak?

    • 1.2.2    Bagaimana pemidanaan terhadap anak dalam perkara Narkotika?

  • 1.3    TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari tulisan jurnal ini yakni untuk mencari tahu bagaimana sistem pemidanaan terhadap anak dalam perkara narkotika ditinjau dari perspektif UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak sehingga nantinya penerapan hukum dalam pemidanaan terhadap anak dalam perkara narkotika dapat berkesesuaian dengan aturan yang ada.

  • II.   ISI MAKALAH

    2.1  METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem moral3 dan menggunakan pendekatan Undang-Undang sebagai pengkajian serta penganalisisan peraturan perUndang-Undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan pidana terhadap anak yang berkonflik dengan narkotika dan menjadi referensi sebagai pengembangan argumentasi hukum untuk menemukan solusi yang terjadi pada masalah jurnal ini. Jurnal ini memakai sumber hukum primer, sekunder dan tersier.

  • 2.2    HASIL DAN ANALISIS

    • 2.2.1    Pemidanaan terhadap Anak Berdasarkan UU No. 11

      Tahun 2012

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan realisasi Pemerintah dalam menjalankan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang RPJPN 2005-2025. Penyusunan undang-undang ini juga merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana (penal reform) sebagai langkah korektif terhadap Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dimana peraturan tersebut dianggap tidak kompatibel dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea 4.

Kondisi kepribadian anak yang masih sangat labil menjadi inti dari tingkah laku menyimpang yang dialami oleh anak. Begitu pula faktor eksternal berupa lingkungan keluarga maupun pertemanan yang tidak kondusif cenderung dapat mengarahkan anak pada lingkup pergaulan negatif hingga tidak jarang terjerat tindak penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika. Seseorang dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika apabila dianggap melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan-tujuan yang ada di dalam Undang-Undang Narkotika yang secara spesifik memiliki tujuan-tujuan, antara lain adalah :

  • 1.    Menjamin ketersediaan Narkotika dimana Narkotika tersebut selanjutnya akan digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

  • 2.    Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika.

  • 3.    Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

  • 4.    Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu Narkotika.4

Setiap anak yang memiliki berkonflik dengan hukum sudah sepantasnya dilindungi haknya agar hak-hak mereka sebagai anak tetap terpenuhi. Menurut Irwanto menyebutkan terdapat 4 (empat) prinsip perlindungan anak yaitu : (a) Negara harus ikut campur dalam urusan perlindungan anak karena anak tidak dapat berjuang sendiri; (b) setiap keputusan mengenai anak harus selalu mengarah pada asas kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) perlindungan anak harus dilakukan sejak dini secara terus menerus; dan (d) perlindungan terhadap anak membutuhkan sumbangan dari berbagai sektor kehidupan dan dari seluruh tingkatan masyarakat.5

Konsep keadilan dapat dimaknai sebagai sistem pemidanaan ideal dalam kerangka penjatuhan pidana terhadap anak wajib menerapkan konsep restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif merupakan tuntutan masyarakat global atas sistem peradilan pidana yang masih bercirikan tradisional dalam pelaksanaannya. Visi keadilan restoratif ini didasari dengan nilai-nilai yang beresonansi dengan banyak factor yang berpengaruh luas pada individu maupun komunitas atau kelompok yang ada di seluruh dunia, sehingga banyak memunculkan berbagai peluang untuk tercapainya suatu keadilan. B.E. Morrison dalam karyanya The School Sistem : Developing its Capacity in the Regulation of a Civil Society, menyebutkan bahwa keadilan restoratif merupakan “a form of conflict resolution and seeks to make it clear to the offender that the behavior is not condoned, at the same time as

being supportive and respectful of the individual”. Pihak yang memperoleh keadilan adalah pelaku dan korban.

UU SPPA mengatur mengenai pidana (hukuman) dan tindakan tertuang di dalam BAB V dimana BAB tersebut terdiri atas 15 pasal (Pasal 69 sampai Pasal 83). Undang-Undang ini mengatur 2 (dua) jenis pidana yang dimana pidana ini dapat diberikan kepada anak-anak yang memiliki konflik dengan hukum yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pasal 71 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA membagi pidana pokok menjadi:

  • a.    Pidana peringatan;

  • b.    Pidana dengan syarat :

  • (1)    Pembinaan di luar lembaga;

  • (2)    Pelayanan masyarakat; atau

  • (3)    Pengawasan.

  • c.    Pelatihan kerja;

  • d.    Pembinaan dalam lembaga; dan

  • e.    Penjara

Sedangkan pidana tambahan diatur dalam Pasal 71 Ayat (2) yang terdiri dari :

  • a.    Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

  • b.    Pemenuhan kewajiban adat.

Dalam ketentuan UU SPPA tidak diketemukan adanya pidana denda sebagai jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Sebagai gantinya, pada Pasal 71 Ayat (3) mengatur jika di dalam hukum materil terdapat ancaman hukuman akumulatif berupa pidana penjara dan denda. Oleh karena itu, pidana denda tersebut diganti dengan pelatihan kerja.

Apabila hakim hendak menjatuhkan pidana pokok kepada anak berupa pidana penjara, maka harus diperhatikan beberapa hal berikut :

  • 1.    Pidana penjara merupakan hanya dapat dijatuhkan sebagai upaya terakhir atau jalan terakhir.

  • 2.    Pidana penjara diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat, tindak pidana yang disertai kekerasan atau   perbuatannya   dikategorikan   membahayakan

masyarakat.

  • 3.    Pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

  • 4.    Pidana minimum khusus tidak berlaku bagi anak.

  • 5.    Jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang memiliki konflik dengan hukum adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana penjara seumur hidup atau hukuman mati, maka pidana maksimal yang dapat dijatuhkan oleh hakim yakni pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun.

Sementara mengenai tindakan yang dapat dikenakan kepada anak diatur dalam Pasal 82 ayat (1) yang meliputi :

  • a.    Pengembalian kepada orang tua/wali;

  • b.    Penyerahan kepada seseorang;

  • c.    Perawatan di rumah sakit jiwa;

  • d.    Perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial);

  • e.    Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh Pemerintah atau badan swasta;

  • f.    Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

  • g.    Perbaikan akibat tindak pidana.

  • 2.2.2 Penerapan pemidanaan terhadap Anak dalam Perkara Narkotika

Secara umum diakui bahwa istilah pemidanaan dapat dipersamakan dengan hukuman. R. Soesilo mengutarakan bahwa yang dimaksudkan dengan hukuman (pidana) yaitu suatu

perasaan yang tidak mengenakan atau nestapa yang diberikan oleh hakim kepada orang yang dinyatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan hukum pidana.6 Anak yang berkonflik atau berurusan dengan hukum haruslah mendapat perlindungan dari Negara yang salah satunya terejawantahkan dalam penerapan UU SPPA. Begitu pula ketika kerangka pemidanaan ini dilihat dari keterlibatan anak dalam perkara Narkotika. Ketentuan mengenai pemidanaan berkaitan dengan sistem maupun pola pemidanaannya tidak boleh serta merta mengesampingkan keberadaan UU SPPA dan hanya secara strict berpatokan pada UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Hal ini, pun tidak dibenarkan jika argumentasinya didalilkan pada asas kepastian hukum. Karena sebagai pengaturan yang dikhususkan mengatur mengenai subyek/pelaku dari tindak pidana yang dalam konteks ini adalah anak-anak, oleh karena itu asas kepastian hukum baru akan tercapai jika penerapannya disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat pada UU SPPA.

Muatan materi Undang-undang Narkotika terdapat pola pemidanaan minimum khusus yang oleh UU SPPA ditiadakan atau tidak bisa diberlakukan kepada anak yang memiliki konflik dengan hukum. Hakim sekali lagi harus cermat dan wajib berpatokan pada UU SPPA. Penjatuhan sanksi pidana diupayakan hanya menjadi opsi terakhir (last option) dalam penyelesaian konflik hukum yang ada. Jika semisal anak terlibat atau terseret dalam lingkaran penyalahgunaan Narkotika, maka sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Narkotika maupun peraturan turunannya dan (dalam hal ini selaras) dengan UU SPPA, maka anak harus mendapat perlindungan berupa rehabilitasi medis dan sosial yang mana dalam ketentuan UU SPPA disebutkan sebagai satu pidana pembinaan atau pelatihan di luar lembaga (LP) yang

berbentuk terapi. Patut pula diingat bahwa hal tersebut harus menyesuaikan pula dengan pengaturan tata cara pendaftaran rehabilitasi yang harus melalui uji penilaian (assessment test) tertentu.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

      • 1.1.1.    UU SPPA mengatur mengenai pidana (hukuman) dan tindakan tertuang di dalam BAB V dimana BAB tersebut terdiri atas 15 pasal (Pasal 69 sampai Pasal 83). Undang-Undang ini mengatur 2 (dua) jenis pidana yang dimana pidana ini dapat diberikan kepada anak-anak yang memiliki konflik dengan hukum yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Konsep keadilan restoratif juga menjadi landasan utama untuk mencari keadilan bagi pelaku dan korban. Mencari jalan terbaik bagi pelaku dan korban adalah tujuan utama dirancangnya UU SPPA. Pidana lain juga dapat di jatuhkan kepada pelaku kriminal yang berada dibawah umur namun tentu saja juga harus melihat faktor-faktor yang membuat pelaku tersebut melakukan tindak pidananya.

      • 1.1.2.    Penjatuhan sanksi pidana kepada anak merupakan upaya terakhir yang dapat di tempuh (last option). Kaitannya dengan anak yang berkonflik dengan hukum, sinergitas antara masyarakat dan aparat penegak hukum diperlukan agar keadilan restoratif dapat tercapai, begitu pula ketika anak berkonflik dengan hukum dalam ranah peredaran maupun penyalahgunaan Narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Buku

Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Joni, Muhammad, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soesilo, R., 1976, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.

Syamsuddin, Aziz, 2004, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.

Adi Koesno, 2015, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Setara Press, Malang.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, cetakan. IV, Kencana, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UIPress, Jakarta.

  • B.    Jurnal Ilmiah

Pratasik, S. O., 2015, Pemidanaan dan Perlindungan Hukum

Terhadap Anak yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lex et Societatis, Vol 3.

  • C.    Peraturan Perundang – Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602).

Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 153,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).

14