TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

KEKAYAAN INTELEKTUAL

Oleh:

Gatri Puspa Dewi∗∗

Dewa Nyoman Rai Asmara Putra∗∗∗

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Dewasa ini perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual berkembang dengan sangat pesat. Berbagai bentuk penyelesaian sengketa di bidang kekayaan intelektual kemudian hadir dalam mendukung terciptanya perlindungan hukum terhadap pemegang hak kekayaan intelektual di Indonesia. Hak eksklusif yang dimiliki oleh para pencipta, penemu dan pendesain ini kerap kali disalahgunakan tanpa hak oleh orang lain untuk kepentingan pribadi dengan mendapatkan keuntungan ekonomi. Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan penyelesaian sengketa dibidang kekayaan intelektual dan untuk mengetahui bentuk-bentuk mediasi yang dapat dipilih atau digunakan dalam penyelesaian sengketa kekayaan intelektual. Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan pengaturan terhadap penyelesaian sengketa di pengadilan dilakukan dengan mengajukan gugatan secara perdata di pengadilan niaga dan melakukan penuntutan pidana pada pengadilan umum. Arbitrase juga dapat dipilih sebagai media penyelesaian sengketa kekayaan intelektual. Selain itu negosiasi, konsiliasi dan mediasi merupakan beberapa bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih dalam penyelesaian sengketa kekayaan intelektual. Adapun bentuk mediasi yang dimaksud disini adalah mediasi sukarela (di luar pengadilan) dan mediasi penal dalam tuntutan pidana.

Kata Kunci: Kekayaan Intelektual, Penyelesaian Sengketa, Mediasi.

Abstract

Protection of intellectual property rights are growing very rapidly. Various forms of settlement of disputes in the field of intellectual property were then present to support the creation of legal protection for holders of intellectual property rights in Indonesia. Exclusive rights owned by creators, inventors and designers are often misused without rights by others for personal gain by gaining economic benefits. This journal aims to determine the settlement of disputes in the field of intellectual property and to find out the forms of mediation that can be chosen or used in resolving intellectual property disputes. The research method used in this writing this journal is uses normative legal research. The results of the study indicate that the regulation of dispute resolution in court is done by filing a lawsuit in the commercial

Penulisan karya ilmiah yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual, ini merupakan karya tulis ilmiah di luar ringkasan skripsi.

∗∗ Gatri Puspa Dewi adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: [email protected].

∗∗∗ Dewa Nyoman Rai Asmara Putra adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

court and carrying out criminal prosecution in the general court. Arbitration can also be selected as a medium for resolving intellectual property disputes. Besides negotiations, conciliation and mediation are some alternative forms of dispute resolution that can be chosen in resolving intellectual property disputes. The form of mediation referred is voluntary mediation (outside the court) and reasoning mediation in criminal charges.

key word: intellectual property rights, dispute resolution, mediation .

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Pembangunan nasional di bidang ekonomi merupakan salah satu cara atau langkah yang dilakukan oleh negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini merupakan salah satu dari tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) alinea IV. Pembangunan di bidang ekonomi sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi dan informasi. Perkembangan tersebut telah mendorong terjadinya revolusi industri yang melahirkan berbagai jenis ekonomi kreatif yang tidak saja dalam bentuk berwujud melainkan juga dalam bentuk tidak berwujud (intangible).1

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan salah satu dari bentuk ekonomi kreatif dalam bentuk tidak berwujud yang lahir dari hasil kreasi-kreasi manusia menggunakan kemampuan intelektualnya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia.2 Karya-karya yang lahir dari hasil kreatifitas manusia ini memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi sehingga menjadi sumber kekayaan seseorang. Kekayaan yang bersumber dari hasil kreatifitas manusia inilah yang disebut dengan kekayaan intelektual. Perlindungan hukum terhadap karya-karya baru dan unik yang lahir dari hasil kreatifitas manusia ini dilindungi dalam rezim hukum kekayaan intelektual.3

Perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual ini berkembang dengan sangat pesat, hingga kemudian disepakati sebuah perjanjian yang mencakup seluruh aspek-aspek HKI yang disebut dengan Trade Related Aspects of Intellectual Property Right atau TRIPs Agreement.4 Indonesia yang merupakan negara anggota dari TRIPs Agreement telah meratifikasi TRIPs melalui Undang-undang No.7 Tahun 1994, sehingga Indonesia harus mentaati segala prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam TRIPs Agreement. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut maka dilakukanlah harmonisasi hukum nasional dengan dibentuknya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kekayaan Intelektual.

Dalam ketentuan Undang-Undang dibidang Kekayaan Intelektual di Indonesia telah mengatur mengenai bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di bidang Kekayaan Intelektual yang terdiri dari bentuk penyelesaian secara litigasi dan nonlitigasi. Penyelesaian sengketa dibidang kekayaan intelektual secara litigasi merupakan kewenangan absolut dari Pengadilan Niaga. Secara nonlitigasi penyelesaian sengketa HKI dilakukan dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang terdiri dari negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Penyelesaian sengketa secara non litigasi ini diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, dalam ketentuan Undang-Undang tersebut hanya mengatur mengenai prosedur arbitrase saja dan tidak mengatur mengenai prosedur dari bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Hingga akhirnya dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) pertama yang mengatur mengenai prosedur mediasi yaitu Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Namun karena adanya beberapa masalah hingga menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan mediasi, maka Perma tersebut dirubah menjadi Perma No.1 Tahun 2008. Akan tetapi Perma ini juga belum mampu mengakomodir pelaksanaan mediasi secara komprehensif sehingga direvisi kembali menjadi Perma

No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan yang berlaku hingga saat ini.

Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2016 ditentukan bahwa semua sengketa perdata termasuk juga verzet yang masuk dalam pengadilan wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur mediasi. Namun, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) terdapat pengecualian dari pelaksanaan mediasi terhadap sengketa yang diperiksa di Pengadilan Niaga. Berdasarkan pada ketentuan itulah penulis menemukan adanya kekaburan norma dalam penyelesaian sengketa di bidang kekayaan intelektual, sehingga penulis memiliki ketertarikan untuk melakukan penelitian lebih mendalam dengan mengangkat judul: “Tinjauan Yuridis terhadap Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa di bidang Kekayaan Intelektual?

  • 2.    Apasajakah bentuk-bentuk mediasi yang dapat dipilih atau digunakan dalam penyelesaian sengketa di bidang Kekayaan Intelektual?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui mengenai pengaturan penyelesaian sengketa di bidang Kekayaan Intelektual, serta untuk mengetahui dan menganalisis bentuk-bentuk mediasi yang dapat dipilih atau digunakan dalam penyelesaian sengketa di bidang Kekayaan Intelektual.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Penelitian dalam karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berdasarkan pada kaidah atau

norma-norma dalam peraturan perundang-undangan.5 Penelitian ini dilakukan dengan cara menguraikan permasalahan-permasalahan yang terjadi kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kekayaan intelektual. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan yaitu sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dengan teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskripsi analisis yaitu dengan menggambarkan permasalahan yang ada dilengkapi dengan jawaban atas permasalahan tersebut melalui analisis bahan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1.    Pengaturan Penyelesaian Sengketa di Bidang Kekayaan Intelektual

Kekayaan Intelektual dalam ilmu hukum dikelompokkan sebagai bagian dari hukum kekayaan (harta benda). Perlindungan hukum yang diberikan pun terpisah antara hak atas kekayaan intelektualnya dengan bentuk jelmaan fisik dari haknya tersebut. Hak atas kekayaan intelektual merupakan hak yang didapatkan karena kemampuan menggunakan ratio otaknya untuk berfikir secara kreatif dan bernalar untuk menghasilkan sebuah karya intelektual, sehingga hak atas kekayaan intelektual bersifat tidak berwujud (intangible) dan diklasifikasikan sebagai hak milik perorangan atau individual rights.6 HKI pada hakekatnyaa merupakan suatu hak yang diberikan kepada seseoraang karena kemampuaannya untuk menghasilkan suatu karya dengan menggunakan intelektualnya yang memberikan manfaat untuk mensejahterakan umat manusia.7 Karya-karya tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dihasilkan dari usaha yang demikian besar mengorbankan pikiran, waktu, tenaga dan keluarga, sehingga bagi yang telah menghasilkan karya di bidang

kekayaan intelektual mendapatkan hak eksklusif sebagai bentuk dari perlindungan hukum.8

Telah diketahui bahwa kekayaan intelektual dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu hak cipta (copy rights) yang memberikan perlindungan terhadap karya-karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dan yang kedua adalah hak dibidang industri (industrial property rights) yang terdiri dari, paten, merek, indikasi geografis, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Karya-karya yang dihasilkan dari bidang-bidang tersebut memiliki hak yang berbeda walaupun sama-sama merupakan kekayaan intelektual yang memberikan hak eksklusif kepada yang telah melahirkan sebuah karya intelektual, akan tetapi untuk memperoleh hak eksklusif pada bidang-bidang kekayaan tersebut berbeda. Seperti pada bidang hak cipta, hak eksklusif didapatkan secara langsung begitu sebuah karya intelektual telah diwujudkan dalam bentuk karya nyata atau mendapatkan perlindungan secara otomatis (automaaticelly protection).9 Sedangkan untuk kekayaan intelektual dibidang industri seperti paten, merek, dan desain industri menganut first to file system yaitu siapa yang mendaftarkan hasil karyanya pertama kali maka ialah yang akan mendapatkan hak eksklusif. Jangka waktu pemberian perlindungan hukumnya pun berbeda-beda karena karakteristik dari masing-masing.

Adapun pengaturan dari masing-masing bidang kekayaan intelektual di Indonesia diwujudkan dalam bentuk: Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta; Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten; Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis; Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman; Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang; Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri; Undang-Undang No.32 Tahun 2000 Tentang Desaian Tata Letak Sirkuit Terpadu. Pengaturan dari kekayaan intelektual di Indonesia ini telah mengatur dan mengakomodir secara komprehensif

kebutuhan untuk melindungi hak eksklusif dari pencipta, penemu ataupun pendesain. Perlindungan hukum bagi orang-orang yang telah menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat ini sangat penting artinya untuk mendorong setiap orang agar menciptakan dan menghasilkan ide-ide baru yang memberikan financial baginya sehingga akan membantu pembangunan ekonomi Negara.10 Oleh karena itu, maka pengaturan di bidang HKI selain harus menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat pada TRIPs-Agreement dan konvensi-konvensi internasional HKI juga harus sejalan dengan perkembangan masyarakat. Untuk mewujudkan perlindungan hukum yang berkepastian dan berkeadilan maka terhadap orang-orang atau sekelompok orang yang melakukan kecurangan untuk kepentingan pribadi menggunakan karya-karya orang lain tanpa hak haruslah diberikan tindakan hukum. Terkait dengan hal ini, dalam ketentuan undang-undang HKI sebagaimana tersebut diatas telah mengatur mengenai cara menyelesaikan sengketa HKI. Ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa dalam undang-undang HKI Indonesia di atur dalam pasal yang berbeda, yakni hak cipta diatur dari Pasal 95 hingga Pasal 120 Undang-Undang hak cipta; paten pada pasal 145, 153 dan 154 Undang-Undang paten; merek dan indikasi geografis diatur dalam Pasal 83 sampai 93; Desain Industri, terdapat di Pasal 46 sampai dengan 48; Rahasia dagang diatur dalam Pasal 11 dan 12; untuk perlindungan varietas tanaman penyelesaian sengketanya diatur mulai dari Pasal 66 hingga 69; dan untuk Desaian Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur pada pasal 38, 39, dan 40. Selain diatur secara perdata, dalam Undang-Undang dibidang kekayaan intelektual juga diatur ketentuan pidana terhadap pelaku pelanggaran HKI.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapatlah diketahui bahwa untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran hak kekayaan intelektual dapat diselesaikan melalui beberapa jenis penyelesaian, meliputi:

  • a.    Jalur Peradilan (litigasi)

Dalam praktik kehidupan masyarakat, apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak yang merasa telah dirugikan akibat pelanggaran tersebut dapat melakukan penuntutan dan mengajukan gugatan kepada pihak yang telah melakukan pelanggaran itu. Proses ini dikenal dengan proses beracara di pengadilan.11 Lembaga peradilan sejatinya merupakan langkah terakhir yang ditempuh oleh para pencari keadilan apabila permasalahan yang dihadapi tidak dapat diselesaikanya sendiri. Proses peradilan di Indonesia yang berkaitan langsung dengan keadilan masyarakat secara umum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam 4 (empat) lingkungan peradilan, yakni Peradilan Umum, Militer, Agama dan Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Masing-masing dari lingkungan peradilan tersebut memiliki peradilan khusus di bawahnya kecuali peradilan militer.

Pengadilan niaga merupakan salah satu bentuk dari peradilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum. Terkait dengan penyelesaian sengketa dibidang kekayaan intelektual merupakan kewenangan absolut dari peradilan niaga12 oleh karenanya akan diperiksa dan diputus oleh hakim pada pengadilan niaga berdasarkan pada Undang-Undang dibidang kekayaan intelektual dan hukum acara perdata yang berlaku. Untuk tuntutan pidana terhadap kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual dilakukan di pengadilan umum berdasarkan undang-undang kekayaan intelektual, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan hukum acara pidana.

  • b.    Arbitrase

Arbitrase merupakan cara untuk menyelasaikan sengketa di luar pengadilan berdasarkan pada klausula arbitrase yang termuat dalam perjanjian tertulis para pihak, dimana proses arbitrase ini dilakukan dengan bantuan arbiter yang mempunyai kewenangan untuk memutus

terhadap sengketa yang dihadapi para pihak.13 Pelaksanaan arbitrase untuk sengketa KI dilakukan berdasarkan landasan hukum dari arbitrase yaitu Undang-Undang No. 30 tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa.

  • c.    Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA)

Merupakan bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dilakukan secara sah menurut hukum berdasarkan consensus dari para pihak.14 Bentuk penyelesaian sengketa seperti ini bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia, sebab sejak zaman dahulu sudah dikenal adanya musyawarah mufakat yang merupakan dasar dari PSA. Bentuk-bentuk PSA yang dijelaskan dalam penjelasan pasal masing-masing undang-undang KI yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa alternative terdiri dari: 1)Negosiasi, yang merupakan cara memecah masalah secara sukarela yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara saja; 2) Konsiliasi dilakukan dengan cara mempertemukan pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi dengan menyerahkan sengketanya kepada konsiliator agar diusahakan tercapainya kesepakatan kehendak diantara para pihak. Pihak-pihak ini tidak wajib menyetujui siapa yang menjadi konsiliatornya, sehingga konsiliasi ini bersifat tidak mutlak;15 3)Mediasi, merupakan bentuk penyelesaian sengketa degan melibatkan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan diantara para pihak, akan tetapi keputusan akhirnya tetap ditentukan oleh para pihak saja, mediator dalam hal ini tidak memiliki kewenangan untuk memutus sengketa.16

  • 2.2.2.    Bentuk Mediasi Yang Dapat Dipilih atau Digunakan Dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Kekayaan Intelektual

Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dipilih dalam menyelesaiakan sengketa di bidang HKI. Mediasi adalah bentuk penerapan asas trilogi peradilan yang justru tidak diterapkan dalam proses berperkara di pengadilan. Munculnya lembaga nonlitigasi ini dikarenakan adanya kekecewaan terhadap proses berperkara di pengadilan yang tidak pernah menemukan titik ujung penyelesaiannya. Jalur litigasi pada hakekatnya hanya bertujuan untuk memenuhi hasrat emosional salah satu pihak dengan melihat pihak lawan kalah dengan putusan hakim17, dilanjutkan lagi dengan upaya-upaya hukum yang tersedia, sehingga pada haketnya suatu sengketa ini tidak pernah berakhir dan malah menjadi bumerang bagi para pihak itu sendiri.

Berbeda dengan mediasi yang dilaksanakan dengan prinsip winwin solution dan memperdayakan para pihak untuk melakukan negosiasi secara kooperatif agar dapat menyelesaikan sengketanya secara mandiri dengan ditengahi oleh seorang mediator.18 Dalam proses mediasi keputusan sepenuhnya ditentukan oleh para pihak, mediator hanya membantu memberikan saran-saran dan membantu mereka untuk dapat segera menyelesaikan sengketanya serta meyakinkan mereka untuk menjalankan hasil dari perdamaian. Dengan diketemukannya keuntungan-keuntungan dari psoses mediasi dalam menyelesaiakan permasalahan beda kepentingan dan keinginan tersebut, maka mahkamah agung kemudian mengintegrasikan mediasi dalam bentuk Perma No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang pada dasarnya merupakan palaksanaan lebih lanjut dari ketentuan pasal 130 HIR dan 154 Rbg yang sudah menentukan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa terlebih dahulu.

Setelah diberlakukannya perma tersebut semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan harus diupayakan penyelesainnya melalui prosedur mediasi dan apabila upaya ini tidak berhasil barulah dilanjutkan dengan pemeriksaan pada pokok sengketa. Alasan yuridis diaturnya ketentuan yang demikian tidak lain adalah untuk mengurangi terjadinya penumpukan perkara di pengadilan dan memutus jalinan sengketa yang terjadi dengan menyampaikan keinginan masing-masing sehingga tetap menjalin hubungan yang harmonis satu sama lain.19 Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2), ditentukan terdapat pengecualian kewajiban tersebut untuk perkara-perkara yang memiliki batasan waktu pemeriksaan seperti pengadilan niaga. Dengan demikian, penyelesaian sengketa HKI melalui mediasi tidak dapat dilakukan berdasarkan Perma No.1 Tahun 2016.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa pelaksanaan mediasi tidak hanya terdapat pada pengadilan melainkan juga dikenal adanya mediasi di luar pengadilan atau mediasi secara sukarela. Pelaksanaan proses mediasi ini tidak diatur dan ditentukan oleh negara melalui penegak hukumnya, melainkan merupakan kehendak dari para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara nonlitigasi melalui mediasi. Prosedur dari mediasi ini pada prinsipnya dilakukan sama dengan proses mediasi di pengadilan. Dasar yuridis pelaksanaan mediasi diluar pengadilan yaitu Undang-Undang No.30 Th. 1999 dan langkah-langkah dalam proses mediasi yang berlaku secara umum. Jadi pilihan mediasi sebagai bentuk dari penyelesaian sengketa alternatif dibidang HKI adalah mediasi sukarela.

Ketentuan pidana yang terdapat dalam beberapa undang-undang kekayaan intelektual seperti hak cipta, paten, merek dan indikasi geografis mengatur secara tegas kewajiban melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum proses penuntutan pidana dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa mediasi dalam ketentuan undang-undang HKI tidak hanya ditujukan pada sengketa perdata, melainkan juga pada kasus

pelanggaran yang merupakan delik pidana. Adapun proses mediasi ini dilakukan dengan ditengahi oleh pihak kepolisian sebagai mediator yang menengahi pertemuan korban dan pelaku untuk menyelesaikan kasus mereka.20 Pelaksanaan mediasi ini dikenal dengan mediasi penal. Mediasi penal ditempuh apabila terjadi pelanggaran tindak pidana ringan dan kasus-kasus yang berkaitan dengan delik aduan seperti kasus pelanggaran dibidang HKI. Mediasi ini dilakukan karena adanya kewenangan diskresi dari kepolisian dan diatur dalam surat edaran Kapolri No. Pol: B/3022/XXII/2009/SDEOPS tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution yang menekankan penyelesaian kasus pidana dengan prosedur alternatif penyelesaian sengketa sepanjang disepakati oleh para pihak. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hubungan hukum antara penemu/pencipta dengan pelaku adalah hubungan privat to privat yang mengakibat kerugian bagi pemegang hak sehingga dalam hal ini tidak ada kepentingan negara yang dilanggar. Dengan demikian, maka penyelesaian sengketa KI melalui mediasi penal telah menerapkan konsep keadilan restroaktif yakni menempatkan kembali korban dalam posisinya yang semula dibandingkan dengan menjatuhkan pidana kepada pelaku. Jadi dalam hal ini bagi pemegang hak eksklusif yang telah dilanggar haknya akan mendapatkan ganti kerugian.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan penyelesaian sengketa dibidang Kekayaan Intelektual dalam udang-undang KI diatur pada pasal yang berbeda-beda dan terdiri dari penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non-litigasi, yaitu melalui mekanisme formal di pengadilan dan di luar pengadilan dengan mekanisme arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dalam bentuk negosiasi, konsiliasi, dan mediasi. Langkah hukum yang dapat ditempuh untuk itu adalah mengajukan gugatan

secara perdata pada pengadilan niaga dan melakukan penuntutan pidana pada pengadilan umum.

  • 2.    Pelaksanaan mediasi yang ditentukan dalam Undang-Undang Kekayaan Intelektual di Indonesia bukanlah bentuk pelaksanaan mediasi di dalam pengadilan sebagaimana diatur pada Perma No.1 Th. 2016, melainkan mediasi sukarela yang dilakukan para pihak di luar pengadilan dan juga bentuk mediasi penal dalam hukum pidana dengan kepolisian yang bertindak sebagai mediator.

  • 3.2.    Saran

Bagi pembentuk peraturan perundang-undangan sebaiknya segera melakukan revisi terhadap undang-undang di bidang kekayaan intelektual yang mengatur mengenai penyelesain sengketa dan pelanggaran HKI dengan mengatur secara tegas dan jelas mengenai bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dimaksud dan dimana dilaksanakan, mengingat makin banyaknya terjadi kecurangan-kecurangan terhadap hak eksklusif pencipta, penemu maupun pendesain.

DAFTAR PUSTAKA

  • a.    BUKU

Amirrudin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.

Dharmawan, Ni Ketut Supasti, et.al., 2018, Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia, Swasta Nulus, Denpasar.

Rai Asmara Putra, Dewa Nyoman, et.al., 2016, Buku Ajar Hukum Penyelesaian Sengketa Bisnis, Pustaka Ekspresi, Tabanan Bali.

Roisah, Kholis, 2015, Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Setara Press, Malang.

Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta.

Santoso, Budi, 2009, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, Pustaka Magister, Semarang.

Widnyana, I Made, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center, Jakarta.

Witanto, D.Y., 2012, Hukum Acara Mediasi, Alfabeta, Bandung.

  • b.    JURNAL

Fathoni, 2014, “Paradigma Hukum Berkeadilan Dalam Hak Kekayaan Intelektual Komunal”, Jurnal Cita Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, Vol. 01, No. 02, diakses pada tanggal 12 Maret 2019.

Henry Donald Toruan, 2017, “Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Melalui Acara Cepat”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure Kemenkumham RI, Jakarta, Vol. 17, No. 01, diakses pada tanggal 12 Maret 2019.

Sudjana, 2018 “Efektivitas dan Efisiensi Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual Melalui Arbitrase dan Mediasi Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Vol. 02, No. 01, diakses pada tanggal 22 Maret 2019.

Diah Ratnasari Hariyanto, 2018, “Konstruksi Mediasi Penal dalam PenyelesainTindak Pidana Ringan di Indonesia”, Disertasi Universitas Udayana, Denpasar, diakses pada tanggal 22 Maret 2019.

  • c.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043)

Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044)

Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045)

Undang-Undang No.32 Tahun 2000 Tentang Desaian Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4046)

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953)

15