KEWENANGAN BADAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN

Oleh:

Pande Putu Vida Satisva Swari* I Gusti Ayu Agung Krisnawati**

Bagian Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Salah satu penyelesaian secara non litigasi ialah melalui arbitrase, namun khusus dalam sengketa kepailitan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Dengan adanya perundang-undangan tersebut, terjadi dualisme pemahaman terhadap penyelesaian sengketa kepailitan apakah debitor atau kreditor dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga atau harus diselesaikan melalui prosedur arbitrase, sehingga menarik untuk dibahas. Permasalahan dalam penulisan ini ialah bagaimana kewenangan dari BANI dalam menyelesaikan sengketa kepailitan dan bagaimana implikasi hukum terhadap sengketa kepailitan yang diselesaikan melalui BANI. Metode yang digunakan dalam proses penyusunan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif yang didukung dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan fakta. Hasil akhir yang didapatkan penulis adalah berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim dalam sengketa kepailitan antara PT Enindo cs melawan PT PPFW disimpulkan bahwa kewenangan penyelesaian sengketa kepailitan secara mutlak diberikan kepada Pengadilan Niaga. Dan atas dasar pertimbangan majelis hakim dalam sengketa kepailitan antara PT Trakindo Utama melawan PT Hotel Sahid Jaya Internasional apabila sengketa kepailitan sudah diputus oleh BANI maka sengketa tersebut tidak dapat dimohonkan kembali ke Pengadilan Niaga, majelis hakim berhak untuk menolak permohonan pailit tersebut.

Kata Kunci : Kewenangan, Arbitrase, Penyelesaian Sengketa, Kepailitan.

Abstract

Dispute resolution can be done through litigation and non litigation channels. One solution to non-litigation is through arbitration, but specifically in bankruptcy disputes regulated in Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy. With the existence of the legislation, there was a dualism of understanding of the settlement of bankruptcy disputes whether the debtor or creditor could submit a bankruptcy application to the Commercial Court or must be resolved through arbitration procedures, so that it was interesting to discuss. The problem in this writing is how the authority of BANI in resolving bankruptcy disputes and how the legal implications of the arbitration award in the field of bankruptcy are resolved through BANI. The method used in the process of compiling this journal is a normative legal research method that is supported by a legislative approach, a case approach and a factual approach. The final results obtained by the author are based on the legal considerations of the panel of judges in the bankruptcy dispute between PT Enindo cs against PT PPFW concluded that the authority to settle the bankruptcy dispute is absolutely given to the Commercial Court. And on the basis of the judges' consideration in the bankruptcy dispute between PT Trakindo Utama against PT Hotel Sahid Jaya Internasional when the bankruptcy dispute has been decided by BANI the dispute cannot be re-applied to the Commercial Court, the panel of judges has the right to reject the bankruptcy application.

Keywords: Authority, Arbitration, Dispute Resolution, Bankruptcy.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan dengan melalui litigasi maupun non litigasi. Jalur non litigasi salah satunya ialah melalui badan arbitrase. Menarik untuk mencermati konsep peradilan non litigasi yang merupakan bagian dari Alternative Dispute Resolution (untuk selanjutnya disingkat dengan ADR),

sebab dalam konsep argumentatum per analogium, status non litigasi sebagai model beracara badan peradilan merupakan perpanjangan dari model litigasi yang menempatkan badan peradilan tertentu untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Status badan peradilan tersebut telah ditentukan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) yang mengindikasikan bahwa pengakuan secara konstitusional hanya berlaku secara terbatas (limitatif).

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (yang selanjutnya disebut UU Arbitrase) berisikan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pada Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase menentukan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang selanjutnya disebut UUK 2004) menentukan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausul arbitrase. Apabila masalah sengketa dagang mengenai kepailitan, maka untuk penyelesaiannya adalah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga secara khusus, yang merupakan bagian dari peradilan umum sebegaimana ditentukan dalam Pasal 300 ayat (1) UUK 2004.

Berdasarkan hal tersebut, terjadi adanya dualisme pemahaman terhadap penyelesaian sengketa kepailitan, apakah

debitor atau kreditor dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga atau harus diselesaikan melalui prosedur arbitrase sesuai dengan adanya klausul arbitrase di dalam perjanjian. Hal ini yang terjadi dalam perkara kepailitan antara PT. Enviromental Network Indonesia cs (selanjutnya disebut PT. Enindo cs) sebagai pemohon pernyataan pailit melawan PT. Putra-Putri Fortuna Windu (selanjutnya disebut PT. PPFW) sebagai termohon pailit.

  • 1.2    Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, permasalahan yang penulis temukan sebagai berikut:

  • 1.2.1    Bagaimana kewenangan dari Badan Arbitrase Nasional dalam menyelesaikan sengketa kepailitan?

  • 1.2.2    Bagaimana implikasi hukum terhadap sengketa kepailitan yang diselesaikan melalui BANI?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

    • 1.3.1    Untuk mendeskripsikan kewenangan dari Badan Arbitrase Nasional dalam menyelesaikan sengketa kepailitan.

    • 1.3.2    Menjelaskan implikasi hukum terhadap sengketa kepailitan yang diselesaikan melalui BANI.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto adalah sebuah kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dengan tujuan untuk menjelaskan sebuah gejala sosial di Masyarakat. 1 Dalam menanggapi persoalan tersebut, maka Metode merupakan sebuah alternatif yang cenderung digunakan serta menjadi indikator utama yang mempengaruhi hasil dari penelitian. Sehubungan dengan itu, maka metode yang digunakan dalam penyusunan

jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif yang sekaligus menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer.2 Demi menunjang kredibilitas dari metode dan aksebtabilitas dari hasil yang dikemukakan maka penulis menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan analisis dan konseptual (analitical and conceptual approach) serta pendekatan kasus (the case approach).3 Dengan menggunakan konsep berpikir A. Furchan maka sifat penelitian yang paling tepat untuk digunakan adalah sifat penelitian deskriptif.4

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Kewenangan Badan Arbitrase Nasional dalam Menyelesaikan Sengketa Kepailitan

Pasal 1 angka 1 UUK 2004 menentukan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang penguasaan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 303 UUK 2004 menentukan bahwa yang berwenang menyelesaikan permohonan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian klausul arbitrase adalah Pengadilan Niaga, sepanjang utang yang menjadi dasar pernyataan pailit telah memnuhi ketentuan dalam UU ini.

Arbitrase merupakan salah satu proses adjudikasi privat, berbeda halnya denga litigasi yang dikategorikan sebagai bentuk adjudikasi publik. Meskipun demikian, arbitrase dengan litigasi memiliki sebuah kesamaan yakni perwujudan akhir dari putusan

selalu mencerminkan sifat win-lose solution.5 Hal demikian sejatinya ingin menampilkan bahwa pada kenyataannya output dari sebuah badan pengadilan adalah mengadili salah satu pihak. Menarik untuk dicermati bahwa sekalipun arbitrase memiliki sistem yang sama dengan litigasi namun Dewi Tuti Murwanti dan Rini Haryanti berpendapat bahwa penyelesaian kasus menggunakan model arbitrase cenderung dipergunakan oleh banyak pengusaha.6

Akseptabilitas dari arbitrase dalam ranah penyelesaian sengketa perusahaan tersebut dikarenakan dari faktor finansial, arbitrase cenderung lebih murah dengan mekanisme administratif yang lebih efektif dan efisien.7 Konfidensial dari setiap pihak dalam proses penyelesaian masalah tetap dapat dijaga oleh karena sifat privat dan tertutup yang melekat pada model penyelesaian sengketa berbasis arbitrase. Secara yuridis, Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (untuk selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase) telah menetapkan sifat tertutup dari model arbitrase tersebut.

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan No. 013PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999 berkenaan dengan permohonan Peninjauan Kembali perkara kepailitan antara PT Putra Putri Fortuna Windu dan cs sebagai para pemohon PK atau para termohon kasasi atau para termohon pailit melawan PT Enviromental Network Indonesia (PT Enindo) dan cs sebagai para

termohon PK atau pemohon dan turut termohon kasasi atau pemohon pailit, dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan sebagai berikut.

“bahwa bertitik tolak pada ketentuan Pasal 260 ayat (1) dan ayat (2) Perpu No. 1 tahun 1998, yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1998, status hukum dan kewenangan (legal status and power) Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pernyataan pailit.”8

Berdasarkan pertimbangan putusan tersebut, dapat diartikan bahwa Pengadilan Niaga memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaiakan sengketa kepailitan atas dasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Hal ini diperkuat juga dengan ketentuan Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan yang berisikan bahwa pengadilan memiliki kewenangan dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pailit telah memenuhi ketentuan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.

Pertimbangan hukum dalam putusan No. 013PK/N/1999 juga memuat sebagai berikut.

  • -    “bahwa clausula arbitrase berdasarkan penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 jo Pasal 377 HIR dan Pasal 615-651 Rv, telah menempatkan status hukum dan kewenangan arbitrase memiliki kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian dalam kedudukan sebagai extra judicial berhadapan dengan Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan Negeri biasa.

  • -    Bahwa dalam kedudukan arbitrase sebagai extra judicial yang lahir dari clausula arbitrase, yurisprudensi telah mengakui legal effect yang memberi kewenangan absolute bagi arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul

dari perjanjian, Azas Pacta Sunt Servanda yang digariskan Pasal 1338 KUH Perdata”9

Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 tersebut memberikan kewenangan kepada arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Dan juga dalam Surat Keputusan Kepala Kamar Badan SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 Nopember 1977 yang berisikan bahwa arbitrase memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan, industri, dan keuangan nasional maupun internasional. Namun, perlu diingat bahwa hal ini tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian pailit oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagai suatu Undang-undang khusus.

Putusan kasasi perkara ini sebelumnya, Mahkamah Agung RI dalam putusan NO. 012PK/N/1999 dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan.

  • -    “bahwa berdasarkan Pasal 615 Rv, yang dapat diserahkan untuk menjadi kewenangan arbitrase adalah perselisihan mengenai hak-hak yang dapat dikuasai secara bebas oleh para pihak, artinya tidak ada ketentuan perundang-undangan yang telah mengatur hak-hak tersebut. Bahkan Pasal 615 Rv menyatakan antara lain tentang hibah, perceraian, sengketa status seseorang dan sengketa-sengketa lain yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada Arbitrase;

  • -    bahwa dalam hal perkara kepailitan, ternyata telah ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kepailitan dan siapa yang berwenang untuk memeriksa serta memutus perkara kepailitan yaitu UU No. 4 tahun 1998. Ini berarti perkara kepailitan ini tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada arbitrase, karena telah diatur secara khusus dalam UU No. 4 tahun 1998 dan

sesuai dengan ketentuan Pasal 280 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 yang berwenang memeriksa dan memutus perkara ini adalah Pengadilan Niaga.”

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan adalah kewenangan mutlak dari Pengadilan Niaga, sehingga dengan demikian badan arbitrase tidak berwenang. Alasan yang dapat diajukan adalah karena Pasal 280 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 dengan tegas mengemukakan “Permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Bab Pertama dan Bab Kedua diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum”, dan juga dalam penjelasannya ditentukan bahwa semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya Undang-undang tentang Kepailitan hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga. Oleh karenanya, tidak memungkinkan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada selain pengadilan niaga dan arbitrase tidak memiliki kewenangan memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit.

  • 2.2.2    Implikasi Hukum terhadap Sengketa Kepailitan yang Diselesaikan Melalui BANI

Arbitrase sering digunakan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang timbul, khususnya di bidang perdagangan di antara para pihak yang terikat dalam suatu kontrak. Tujuan arbitrase adalah agar sengketa diselesaikan di luar pengadilan biasa. Keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase diantaranya arbiter yang dipilih para pihak adalah ahli di bidangnya sehingga mereka memahami permasalahan yang dipersengketakan, dan forum penyelesaian sengketanya bersifat privat sehingga kerahasiaan perusahaannya terjamin dan tidak merusak

reputasi.10 Disamping keunggulan tersebut, menurut Sudiarto dan Zaeni Asyhadie berpendapat bahwa pertimbangan para pihak memilih arbitrase dikarenakan oleh ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri, prosesnya lebih cepat, merupakan putusan akhir dan mengikat, biayanya lebih murah, bebas memilih hukum yang diberlakukan, eksekusinya mudah, kepekaan arbiter, dan kecenderungan yang modern.11

Yurisdiksi atau kewenangan menyelesaikan sengketa bisnis diatur dalam Pasal 2, 3, dan 11 UU Arbitrase. Sengketa bisnis yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah jika telah diperjanjikan terlebih dahulu secara tegas bahwa sengketa yang akan mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase, dan pengadilan negeri tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa para pihak yang telah mencantumkan kalusula arbitrase.12 Dalam perkembangannya, dengan adanya UUK 2004 dalam bidang sengketa kepailitan menjadi kewenangan absolut bagi Pengadilan Niaga dan bukan menjadi kewenangan BANI. Namun, apabila suatu sengketa kepailitan tersebut telah diselesaikan melalui prosedur BANI, tidak dapat dimohonkan kembali ke Pengadilan Niaga atas dasar Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase.

Penolakan permohonan kepailitan oleh Pengadilan Niaga tersebut terjadi pada sengketa antara PT Trakindo Utama sebagai pemborong melawan PT Hotel Sahid Jaya Internasional sebagai

pemberi kerja yang telah membuat suatu Perjanjian Pemborongan Kerja Pengadaan dan Pemasangan Genset untuk Proyek Menara Sahid di Jl. Jend. Sudirman No. 86. Dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terjadi wanprestasi dimana Hotel Sahid sebagai pemberi kerja tidak sanggup untuk melakukan pembayaran terhadap prestasi yang telah dilakukan oleh Trakindo Utama sebagai pemborong. Dikarenakan oleh Hotel Sahid Jaya tetap tidak melakukan pembayaran utangnya, maka sesuai dengan klausula arbitrase dalam perjanjian, PT Trakindo Utama mengajukan penyelesaian sengketanya kepada majelis arbiter BANI. Dalam putusannya BANI menyatakan mengabulkan permohonan pemohon sebagian, menyatakan termohon telah melakukan ingkar janji/wanprestasi, menyatakan Perjanjian Pemborongan Kerja batal demi hukum, menghukum dan memerintahkan termohon kepada pemohon untuk membayar kewajiban-kewajibannya sekaligus menyatakan putusan arbitrase ini merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir dan mengikat kedua belah pihak.

Terhadap putusan BANI tersebut, Hotel Sahid Jaya masih tetap tidak secara sukarela menjalankan kewajibannya sesuai dengan putusan ariber, sehingga Trakindo Utama mengajukan permohonan pailit terhadap Hotel Sahid Jaya ke Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga melalui putusannya Nomor 80/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 3 Januari 2001 memutuskan menyatakan menolak permohonan pailit tersebut. Pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Niaga bahwa permohonan pailit terhadap Trakindo Utama adalah berkelebihan. Karena sebagai suatu sengketa, sengketa tersebut telah diputuskan oleh BANI, dimana putusan BANI memiliki kekuatan hukum tetap. Seharusnya Trakindo Utama menempuh terlebih dahulu proses pelaksanaan putusan arbitrase yang diatur dalam

Pasal 61 UU Arbitrase yang menyatakan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Bahwa “perintah” sebagaimana dimaksud di atas diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan putusan arbitrase tersebut akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tentang pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan uaraian kasus antara PT Trakindo Utama melawan PT Hotel Sahid Jaya tersebut, dapat diketahui bahwa apabila sengketa kepailitan telah diputus melalui BANI, maka implikasi yuridisnya ialah permohonan kepailitan ditolak oleh Pengadilan Negeri dikarenakan oleh putusan BANI memiliki kekuatan yang final dan mengikat.

  • III.    Penutup

    • 3.1    Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian diatas adalah:

  • 1.    Kewenangan dari badan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa kepailitan jika mengacu pada Surat Keputusan Kepala Kamar Badan dan Industri Indonesia Nomor SKEP/152/DPH/1977 yang disahkan pada tanggal 30 November 1977 meliputi sengketa bidang perdagangan, industri dan keuangan nasional maupun internasional. Namun, atas dasar Pasal 303 Undang-Undang Kepailitan kewenangan penyelesaian sengketa kepailitan mutlak

diberikan kepada Pengadilan Niaga, sehingga arbitrase tidak memiliki kewenangan itu.

  • 2.    Sengketa kepailitan yang telah diputus oleh BANI tidak dapat dimohonkan kembali ke Pengadilan Niaga dikarenakan oleh putusan oleh BANI merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir dan mengikat kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila permohonan pailit yang telah diputus oleh BANI diajukan ke Pengadilan Niaga, maka implikasi hukumnya permohonan tersebut akan ditolak oleh Pengadilan Niaga.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Bagi legislator agar dalam pembuatan perundang-undangan memperhatikan peraturan yang telah berlaku sebelumnya dan harus secara tegas menentukan apakah Pengadilan Niaga atau BANI yang berhak menyelesaikan sengketa kepailitan. Khususnya di dalam penjelasan UUK 2004 lebih ditegaskan kembali terkait dengan kewenangan absolut Pengadilan Niaga, agar tidak terjadi dualisme pemahaman.

  • 2.    Bagi penegak hukum yang dalam hal ini majelis arbiter atau BANI dan majelis hakim dalam Pengadilan Niaga, sebaiknya lebih tegas dalam penerimaan perkara yang dimohonkan dan juga hendaknya memperhatikan kompetensi absolut yang tepat untuk menerima suatu perkara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Dyah Ochtorina Susanti. 2013. Penelitian Hukum. Surabaya: Sinar Grafika.

Furchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Soerjono Soekanto. 2006. “Pengantar Penelitian Hukum”. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Sutan Remy Siahdeini. 2009. Hukum Kepailitan. Jakarta: Pustaka Grafiti.

Hasil Penelitian dan Jurnal:

Dede Febrianto. 2011. “Tinjauan Yuridis Tentang Eksistensi Dari Arbitrase Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa di Indonesia”. Skripsi. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Dewi Tuti Murwanti dan B. Rini Haryanti. 2011. “Pengaturan dan Penyelesaian Sengketa Non Litigasi di Bidang Perdagangan”. Jurnal Dinamika SosBud. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Volume 13. Nomor 1.

Husni, M. 2008. “Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”. Jurnal Equality. Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Volume 13. Nomor 1.

Novi Kusuma Wardhani. 2009. “Tinjauan Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan

dengan Adanya Akta Arbitrase”. Skripsi. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Rahmadi Indra Tektona. 2011. “Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”. Jurnal Pandecta. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember. Volume 6. Nomor 1.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Rechtreglement Voor De Buitengewesten

Herzien Inlandsch Reglement

Reglement Op De Buergelijke Rechsvordering

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 107; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 87; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1945.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 013PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999.

Putusan          Pengadilan          Niaga          Nomor

80/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 3 Januari 2001.

Surat Keputusan Kepala Kamar Badan dan Industri Indonesia Nomor SKEP/152/DPH/1977 pada tanggal 30 November 1977.

16