PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DI INDONESIA
on
PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Oleh
Ni Putu Risna Daryani*
Ayu Putu Laksmi Danyathi**
I Made Walesa Putra***
Program Kekhususan Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda dan makhluk hidup yang ada di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang dapat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Dewasa ini kerusakan lingkungan hidup khususnya di Indonesia semakin memperihatinkan, yang jika dibiarkan lambat laun akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Kerusakan lingkungan selain diakibatkan oleh kondisi alam juga secara umum diakibatkan oleh kerusakan yang diakibatkan dari aktifitas manusia yang mengekploitasi alam secara berlebihan seperti perusakan hutan, penebangan pohon secara liar, pencemaran air, udara ,tanah dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini mengkaji mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap lingkungan hidup ditinjau dari perspektif hukum pidana di Indonesia serta kekaburan norma mengenai pengaturan dumping limbah B3. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif yang kemudian dijabarkan secara deskriptif analitis dengan teknik argumentatif. Hukum positif Indonesia mengatur mengenai Lingkungan Hidup dalam UU No 32 tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan agar kebijakan hukum pidana di masa yang akan
datang dalam menanggulangi tindak pidana lingkungan hidup dari perspektif hukum pidana dapat dilihat dari berbagai aspek seperti kebijakan kriminalisasi, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Perspektif Hukum Pidana
Abstract
The living environment is the unity of space with all objects and living things in it, including humans and their behavior can affect the sustainability of life between humans and their environment. Today the environmental damage, especially in Indonesia is even more alarming, which if left unchecked will eventually threaten human life itself. In addition to the environmental damage caused by the natural conditions are also generally caused by damage resulting from human activities that exploit the excessive nature such as deforestation, illegal logging, pollution of water, air, soil and so forth. In this study examines the criminal responsibility for the environment viewed from the perspective of criminal law in Indonesia as well as the vagueness of norms regarding the administration of waste dumping. This research uses normative research which is then translated by descriptive analytical argumentative technique. Indonesian laws regulating the Environmental Law No. 32 of 2009 on the Protection and Environmental Management is expected that criminal law policy in future in tackling environmental crime from the perspective of criminal law can be seen from various aspects such as criminalization policy, criminal responsibility and criminal prosecution.
Keywords: Criminal Liability, Environmental Criminal, Criminal Law Perspective
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada semua mahluk hidup yang ada di dunia ini, oleh sebab itu hak untuk menikmati lingkungan yang sehat merupakan hak bagi setiap manusia beserta seluruh makluk hidup di sekitarnya tanpa terkecuali. Agar dapat menikmati lingkungan yang bersih dan menyenangkan tentu menjadi tugas bagi semua orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Dewasa ini semakin disadari bahwa kian lama keberlangsungan lingkungan hidup yang bersih dan sehat semakin terancam, selain karena pengaruh faktor alam, iklim dan cuaca, ternyata penyebab utama kerusakan lingkungan hidup justru diakibatkan oleh aktivitas manusia sendiri. Sebagai contoh, penebangan hutan secara liar dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan perubahan suhu dan curah hujan.1 Faktor ekonomi adalah salah satu hal yang
mempengaruhi penebangan hutan secara liar dan yang mendasari manusia mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Negara Indonesia sebagai suatu Negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang kian pesat sehingga menjadi salah satu faktor terjadinya tindak pidana lingkungan hidup.
Semakin bertambahnya kegiatan pembangunan berdampak pada lingkungan hidup, pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup.2 Dampak pencemaran yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya kegiatan
pembangunan diantaranya pencemaran air yang disebabkan oleh limbah-limbah yang dihasilkan dari kegiatan industrial yang kemudian dibuang ke sungai atau tempat aliran air sehingga menyebabkan air tercemar.3 Kemudian pencemaran tanah yang diakibatkan oleh kebiasaan manusia yang membuang sampah plastik sembarangan yang menimbulkan pencemaran tanah oleh karena sampah plastik akan susah diurai oleh tanah dan memakan waktu yang sangat lama, kemudian pencemaran udara yang diakibatkan oleh asap kendaraan dan asap yang dihasilkan dari pembakaran mesin.
Melihat begitu besarnya dampak yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan terhadap keberlangsungan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, maka perlu adanya pengendalian terhadap dampak lingkungan hidup sehingga resiko pencemaran lingkungan hidup dapat diminimalisir. Dalam bentuk kebijakan sebagai salah satu bentuk dalam menanggulangi dampak lingkungan hidup ialah Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dapat dijadikan landasan dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia saat ini. Undang-undang ini membawa angin segar bagi peraturan mengenai lingkungan, karena di dalam undang-undang ini terkandung prinsip-prinsip mengenai perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sekaligus instrument hukumnya sehingga sejalan dengan sistem hukum lingkungan di Indonesia.4
Walaupun regulasi mengenai lingkungan sudah diundangkan, tetap saja kian lama kondisi lingkungan di Indonesia kian memperihatinkan. Menoleh pada beberapa tahun ke belakang perusakan dan pencemaran lingkungan baik yang diakibatkan oleh kondisi alam maupun disebabkan oleh ulah manusia semakin memperburuk kondisi lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh penerapan aturan yang tidak maksimal.
Penerapan sanksi pidana wajib diberlakukan sebagai cara dalam menanggulangi masalah lingkungan. Namun penerapan sanksi pidana sebagai ultimum remindum dirasa kurang maksimal dalam menindaklanjuti permasalahan tindak pidana pencemaran lingkungan. Secara umum proses perkara perdata memerlukan waktu yang cukup lama, dilain hal penerapan sanksi administrative berakibat pada penutupan industri , dan berdampak pada pekerja yang kemudian menjadi pengangguran dan bisa menimbulkan meningkatnya tingkat kejahatan dan kriminalitas.5 Maka dalam memerangi tindak pidana lingkungan hidup perlu diberlakukan sanksi pidana secara primum remidium, tindak pencemaran dan perusakan lingkungan hidup perlu disikapi dengan tegas melalui penerapan sanksi-sanksi pidana.
Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin mengkaji efektivitas sanksi yang diberikan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam tindak pidana lingkungan hidup melalui jurnal yang berjudul : Pertanggungjawaban Tindak
Pidana Lingkungan Hidup Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana di Indonesia.
Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengkaji pengaturan yuridis mengenai tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia, serta untuk memahami dan mengetahui bagaimana pertanggung jawaban hukum pidana di Indonesia terhadap tindak pidana lingkungan hidup di masa yang akan datang.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian hukum normative yaitu meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum.6 Penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan
hukum positif khususnya UU tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang – Undang Lingkungan Hidup Lainnya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (The statute Approach), pendekatan fakta (The Fact Approach), dan pendekatan analisa konsep hokum (analytical & conceptual approach).
-
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU no. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingjungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
-
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal – jurnal hukum, karya tulis ilmiah atau pandangan ahli hukum, skripsi dan makalah.
-
3. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum tersier terdiri dari kamus dan ensiklopedia.
Penulisan jurnal ini menggunakan teknik kepustakaan dalam pengumpulan bahan hukum. Adapun yang dimaksud dengan teknik kepustakaan adalah dilakukan dengan mencatat informasi dari bahan hukum primer dan sekunder kemudian membahasnya.
Model analisis yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah model analisis kualitatif, yaitu keseluruhan bahan – bahan yang terkait diolah dan dianalisis dengan menyusun secaras sistematis dan selektif, kemudian dijabarkan secara deskriptif analitis menggunakan teknik argumentative dalam bentuk uraian-uraian disertai dengan teori –teori hukum agar diperoleh gambaran yang jelas dari permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Hukum Pidana di Indonesia.
-
Penerapan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana lingkungan hidup tertuang di dalam perumusan sanksi yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai sanksi berupa sanksi administrative, sanksi pidana, dan sanksi perdata. Selain mengatur mengenai sanksi di dalam UU No. 32
Tahun 2009 menegaskan tiga langkah penegakan hukum yang dilakukan secara sistematis diantaranya diawali dengan penegakan hukum administrative, penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan melalui pengadilan, dan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.
Menurut teori hukum pidana terdapat pendapat yang menerangkan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai ultimum remidium terhadap para pelaku tindak pidana lingkungan hidup, Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sudah menjadi urusan pemerintah terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui pemberlakuan sanksi administrative. Tindakan administrative ialah penetapan izin oleh instansi atau lembaga yang berwenang, pada saat terjadi pelanggaran maka akan diberlakukan sanksi administrative.7 Setelah sanksi administrative akan diberlakukan sanksi perdata berupa pembayaran denda atau ganti rugi terhadap pelanggaran secara materiil. Sedangkan sanksi pidana baru akan diberlakukan ketika sanksi administrative dan sanksi perdata tidak bisa menanggulangi secara efektif.
Undang-undang No. 32 tahun 2009 menerapkan ancaman minimum disamping hukuman maksimum, pemidanaan bagi pelanggar baku mutu lingkungan, perluasan alat bukti, pengaturan tindak pidana korporasi dan keterpaduan penegakan hukum pidana. Asas ultimum remidium diberlakukan hanya tehadap tindak pidana formil tertentu saja, dimana hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah
penerapan sanksi administratif dianggap tidak efektif, adapun contoh tindak pidana yang menggunakan asas ultimum remidium adalah pelanggaran terhadap baku mutu air limbah, emisi, gangguan sesuai dengan apa yang diatur di dalam pasal 100 UU No. 32 Tahun 2009. Disamping itu ketentuan pidana di pasal lainnya menerapkan asas premium remidium, sebagai contoh adalah pengelolaan limbah B3 dan dumping limbah. Penerapan asas premium remidium ini dirasa tepat karena pelanggaran terhadap limbah B3 dan dumping bukanlah merupakan suatu delik materiil, atau delik yang tidak memerlukan pembuktian materiil untuk mengetahui dampak yang dilarang dari suatu perbuatan yang terjadi.8
-
2.2.2 Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Hukum Pidana di Masa Yang Akan Datang.
Berdasarkan pada sudut pandang hukum pidana, dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dapat dilihat dari 3 aspek yaitu aspek kebijakan kriminalisasi, aspek pertanggungjawaban pidana, dan aspek pemidanaan.
-
a. Aspek Kebijakan Kriminalisasi
Yang dimaksud dengan aspek kebijakan kriminalisasi adalah suatu kebijakan untuk menetapkan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.9
-
b. Aspek Pertanggungjawaban Pidana
Ada 2 hal penting dalam hukum pidana, yaitu perbuatan pidana yang berkaitan dengan pelaku perbuatan pidana dan kesalahan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Dalam hal subjek perbuatan pidana secara umum hanya diakui orang sebagai subjek hukum, namun seiring dengan perkembangan zaman maka diakuilah korporasi sebagai subjek hukum. Mekanisme untuk memidanakan korporasi yaitu :
-
1. Dikenakan pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya, atau disebut dengan asas strict liability.
-
2. Dikenakan pidana dimana diakui tindakan anggota tertentu dari korporasi atau disebut dengan asas identifikasi . sebagai contoh keputusan direktur juga sebagai keputusan korporasi.
-
c. Aspek Pemidanaan
Yang dimaksud denga pemidanaan pada hakekatnya ialah ganjaran terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga dapat dilihat dari pendapat ini bahwa pemidanaan hanya sebagai suatu pembalasan. Namun dilain sisi pemidanaan juga dimaksudkan untuk memperbaiki perilaku dari terpidana yang mencegah orang lain melakukan tindak pidana yang serupa.10
Masih ditemukan beberapa kelemahan di dalam perumusan UU no. 32 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya yaitu UU no . 23 tahun 1997 mengenai Perlindungan Lingkungan Hidup. Sebagai salah satu contohnya adalah mengenai
pengelolaan limbah B3 dan dumping, lebih tepatnya ada dalam pasal 60, 61 dan pasal 104. Pasal 60 yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin”.
Pasal 61 berbunyi :
-
1. Dumping sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
-
2. Dumping sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
-
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan pidana yang mengatur tentang dumping terdapat di
Pasal 104 UU RI No. 32 Tahun 2009, berbunyi :
“Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan / atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
Terdapat kelonggaran di dalam perumusan sanksi dimana tidak dirumuskan mengenai sanksi minimum layaknya yang terdapat pada pasal-pasal lain mengenai pengelolaan limbah B3. Hendaknya pengaturan serta perumusan sanksi dibuat secara khusus dan lebih jelas, serta penjatuhan sanksi hendaknya lebih berat daripada sanksi yang berlaku saat ini. Karena dapat kita ketahui bersama bahwa
perbuatan dumping Limbah B3 sangat membahayakan lingkungan hidup.
-
III PENUTUP
-
1. Di dalam perumusan Undang-undang No. 32 tahun 2009 melihat dari segi penjatuhan sanksi dalam hal menanggulangi tindak pidana perlindungan lingkungan hidup terdapat 3 penjatuhan sanksi yaitu : sanksi administrative, sanksi perdata dan sanksi pidana, dengan sistematikanya diawali dengan sanksi administrative , penyelesaian perkara di luar maupun di dalam pengadilan dan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.
-
2. Harapan terhadap pengaturan hukum pidana terhadap Tindak pidana Lingkungan Hidup kedepannya adalah upaya penanggulangannya bisa dipandang dari aspek lainnya seperti : aspek Kebijakan Kriminalisasi, Aspek Pertanggungjawaban Pidana, dan aspek Pemidanaan. Berkaitan dengan aspek pemidanaan diharapkan perumusan sanksi minimal dan
pengaturan pasal dibuat secara jelas dan khusus agar
memudahkan masyarakat dan aparat penegak hukum untuk memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
Arief Barda Nawawi, 2006, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Gatot Supramono, 2013, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian hokum Normatif dalam Justifikasi teori Hukum, Predana Media Grup, Jakarta
Muhammad Akib, 2014, Hukum Lingkungan, Rajagrafindo Persada, Jakarta
Samsul Wahidin, 2014, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PustakaBelajar, Yogyakarta.
St. Munadjat Danusaputro, dalam Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU no. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingjungan Hidup
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Sri Sufiyati dan, Munsyarif Abdul Chalim, 2017, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum , Vol. 12.
Rusdianto Pratama, 2015, Tindak Pidana pencemaran Lingkungan Serta Pertanggungjawabannya Ditinjau Dari Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. IV.
15
Discussion and feedback