PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRICHTING) DALAM KAITANNYA DENGAN KONTROL SOSIAL (SOCIAL CONTROLLING)
on
PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU MAIN HAKIM
SENDIRI (EIGENRICHTING) DALAM KAITANNYA DENGAN KONTROL SOSIAL (SOCIAL CONTROLLING)*
Ni Putu Maitri Suastini**
I Gusti Ngurah Parwata***
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan bentuk luapan emosi dan kekecewaan masyarakat terhadap gagalnya penegak hukum untuk merepresentasikan keadilan masyarakat dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana. Main hakim sendiri seringkali berakhir dengan kerugian bagi korbannya, berupa luka-luka bahkan kematian, maka perlu adanya penjatuhan pidana terhadap pelaku main hakim sendiri untuk mengontrol tingkah laku dalam bermasyarakat. Berangkat dari kondisi tersebut, adapun permasalahan yang dikaji, yakni unsur, penyebab, ancaman pidana, serta hubungan antara penjatuhan pidana bagi pelaku main hakim sendiri, dengan teori tujuan pemidanaan dan fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial (social controlling). Tujuan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengkualifikasian perbuatan main hakim sendiri sebagai suatu tindak pidana beserta ancaman pidananya, dan pentingnya penjatuhan pidana bagi pelaku main hakim sendiri guna mengatur kembali tingkah laku masyarakat. Karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif guna menganalisis norma hukum serta putusan pengadilan terkait, maka dapat diperoleh hasil bahwa perbuatan main hakim sendiri disebabkan oleh faktor emosi kepada penegak hukum dan terduga pelaku tindak pidana serta pelaku main hakim sendiri dapat diancamkan pidana penjara sesuai dengan Pasal 170 dan Pasal 351 KUHP dimana kaitan antara pemidanaan dengan teori penjatuhan pidana dan hukum sebagai kontrol sosial adalah
untuk mengembalikan tingkah laku masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci : Pemidanaan, Eigenrichting, Social Controlling
Abstract
persecution (eigenrichting) is a form of emotional outburst and public disappointment with the failure of law enforcement to represent community justice in resolving a criminal case. persecution often ends with a loss for the victim, in the form of injuries and even death, it is necessary to impose a criminal offense against the persecution to control behavior in the community. Departing from these conditions, as for the problems studied, namely the elements, causes, criminal threats, as well as the relation between criminal charges for persecution actors, with the theory of the purpose of punishment and legal functions as a means of social control (social controlling). The purpose of this scientific work is to find out the qualification of persecution acts as a criminal offense along with its criminal threats, and the importance of imposing criminal acts on persecution actors in order to reorganize public behavior. By using normative research methods to analyze legal norms and related court decisions, results can be obtained that persecution actions are caused by emotional factors to law enforcers and criminal offenders then persecution can be punished by imprisonment in accordance to Article 170 and Article 351 of the Criminal Code where the relation between punishment and the theory of criminal imposition and law as social control is to restore public behavior in accordance with the laws and regulations.
Key Words : Punishment, Persecution, Social Controlling
Hukum melekat pada kehidupan manusia, hukum tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan manusia itu sendiri, dimana hukum merupakan alat atau sarana untuk mengatur tiap individu dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sebagai negara hukum menjunjung tinggi penegakan keadilan, begitu pula masyarakat Indonesia harus tunduk dan taat pada hukum yang berlaku, sehingga hukum dapat menjalankan fungsinya sebagai sarana kontrol sosial dengan sebagaimana
mestinya guna mencapai keadilan. Namun penegakan hukum oleh penegak hukum seringkali tidak mencerminkan nilai keadilan masyarakat, sehingga menimbulkan akibat berupa perilaku yang menyimpang, salah satunya adalah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang belakangan menjadi persoalan dalam penegakan hukum di indonesia.
Patut disadari perbuatan main hakim sendiri, merupakan perwujudan dari ledakan amarah masyarakat terhadap seorang terduga pelaku tindak pidana yang tertangkap tangan dan diadili tanpa melewati proses hukum, berupa pemukulan dan pengeroyokan oleh seseorang maupun banyak orang tanpa memikirkan mengenai apa akibat yang akan ditimbulkan bagi terduga pelaku tindak pidana. Contoh kasus perbuatan main hakim sendiri adalah pembakaran hidup-hidup terhadap seorang terduga pelaku tindak pidana pencurian pengeras suara (amplifier) yang terjadi pada tahun 2017 di Bekasi, hingga menyebabkan meninggalnya terduga pelaku, namun kemudian perbuatan main hakim sendiri itu justru menjadi perbuatan yang melanggar ketentuan dalam KUHP dan harus diadili melalui proses hukum dengan sebagai mana mestinya.
Antara korban dan pelaku main hakim sendiri, perlu disadari bahwa kedua belah pihak merupakan korban dari kegagalan pelaksanaan sistem penegakan hukum yang dianggap belum dapat merepresentasikan rasa keadilan masyarakat, sehingga dengan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum, menjadi alasan kemudian masyarakat menjalankan keadilannya sendiri dengan mengadili terduga pelaku saat tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Menilik dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan main hakim sediri, menjadi dasar penjatuhan pidana bagi pelaku main hakim sendiri yang lebih berat
dibanding penjatuhan pidana terhadap terduga pelaku tindak pidana yang menjadi korban perbuatan main hakim oleh masyarakat, maka untuk mencerminkan keadilan, perlu adanya penjelasan mengenai alasan dari penjatuhan hukum pidana itu. Berdasarkan teori dalam hukum pidana, yakni teori tujuan pemidanaan yang dibagi menjadi 2 tujuan yaitu untuk pencegahan umum (general prevention) dan pencegahan khusus (special prevention), tujuan dari penjatuhan pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku masyarakat dan pelaku tindak pidana agar tidak melakukan dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya1, hal ini sejalan dengan teori fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial (social controlling). Oleh karena banyaknya akibat tidak diinginkan yang timbul dari perbuatan main hakim sendiri, sudah sepatutnya perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) di Indonesia diatur secara tegas guna menegakkan keadilan dan untuk mengatur kembali perilaku tiap individu dalam hidup bermasyarakat.
-
1. Bagaimana kualifikasi perbuatan main hakim sendiri sebagai tindak pidana serta ancaman pidananya ?
-
2. Bagaimana kaitan antara penjatuhan pidana terhadap pelaku main hakim sendiri dengan fungsi hukum sebagai kontrol sosial berdasarkan analisis terhadap putusan bagi pelaku main hakim sendiri ?
Adapun tujuan dari kajian ini, adalah untuk memahami mengenai unsur, penyebab dan ancaman pidana bagi pelaku main hakim sendiri, serta kaitan penjatuhan pidana terhadap pelaku
main hakim sendiri dengan fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial ditinjau dari putusan pengadilan terhadao kasus main hakim sendiri.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) dalam bidang Hukum Pidana, pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical &
Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach) berkaitan dengan perbuatan main hakim sendiri yang telah mendapat putusan pengadilan di Indonesia. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menganalisis ketentuan norma yang digunakan dalam penjatuhan pidana bagi pelaku main hakim sendiri serta alasan pemidanaannya. Bahan yang digunakan yaitu bahan hukum primer, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disingkat KUHP) dan bahan hukum sekunder berupa literatur mengenai Perbuatan Main Hakim Sendiri, Hukum Pidana dan putusan atas pelaku perbuatan main hakim sendiri.2
-
2.2. Hasil dan Pembahasan
2.2.1. Unsur, Penyebab Serta Pengkualifikasian Main Hakim Sendiri Sebagai Suatu Tindak Pidana.
Perbuatan main hakim sendiri berasal istilah “eigenrichting” dalam bahasa Belanda, yang berarti mengambil hak tanpa mengindahkan hukum, mengadili seseorang tanpa sepengetahuan
pemerintah dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah. 3 menurut Professor Donald Black, eigenrichting adalah kondisi ketika pengendalian sosial dilakukan oleh rakyat, karena pengendalian sosial yang dilakukan oleh pemerintah tidak berjalan sesuai dengan gambaran keadilan masyarakat.4 Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan main hakim sendiri merupakan bentuk pelaksanaan hak berdasarkan kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang bersangkutan, atau dengan kata lain perbuatan main hakim sendiri merupakan pelaksanaan sanksi oleh perseorangan.5 Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat ditarik beberapa ciri-ciri perbuatan main hakim sendiri, yakni dilakukan secara langsung dan bersama-sama terhadap terduga pelaku tindak pidana yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana.
Melihat bahwa perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu bentuk luapan emosi dan kekecewaan masyarakat, maka perlu adanya untuk mengemukakan lebih dalam mengenai faktor penyebab terjadinya perbuatan main hakim sendiri, antara lain : adanya hasutan dari sesama masyarakat untuk ikut menghakimi terduga pelaku, emosi dalam diri masyarakat terhadap perbuatan terduga pelaku, perasaan kurang percaya oleh masyarakat terhadap penegak hukum, keinginan untuk membalas perbuatan terduga pelaku hingga ada rasa jera dan kurang sigapnya pihak kepolisian untuk langsung datang ke tempat kejadian perkara
(TKP). Beberapa bentuk dari perbuatan main hakim sendiri diantaranya adalah mempermalukan di muka umum, pemukulan, penganiayaan, bahkan sampai pembakaran hidup-hidup. Perbuatan ini apabila dilihat dari sisi hukum tentu tidak dibenarkan, karena masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri baik secara sengaja maupun tidak sengaja menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang, baik akibat tersebut memenuhi unsur subyektif maupun unsur obyektif, serta tidak memandang apakah keputusan untuk melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut timbul dari dirinya atau karena gerakkan oleh pihak ketiga.6 Peraturan perundang–undangan di Indonesia, khususnya KUHP belum mengatur secara khusus mengenai perbuatan main hakim sendiri, akan tetapi jika terjadi perbuatan main hakim sendiri maka ketentuan KUHP yang digunakan untuk mengancam pelaku main hakim sendiri. Berdasarkan unsur-unsur yang terpenuhi dari suatu perbuatan main hakim sendiri, maka pelaku main hakim sendiri dapat dipidana sesuai dengan beberapa ketentuan pasal yang pada realitasnya kerap digunakan dalam KUHP, sebagai berikut :
-
• Pasal 170, melarang untuk menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dan bersama-sama menurut aturan ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lama lima (5) tahun enam (6) bulan, apabila kekerasan tersebut menimbulkan akibat yang tidak diinginkan menurut ketentuan ayat (2), berupa hancurnya barang atau luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh (7) tahun, bila menyebabkan luka berat diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan (9) tahun dan jika kekerasan menyebabkan
kematian diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun.7
-
• Pasal 351
Ketentuan Pasal 351 KUHP mengatur mengenai penganiayaan yang dapat diancamkan dengan pidana penjara paling lama dua (2) tahun delapan (8) bulan atau denda paling banyak tiga ratus (300) rupiah. Jika penganiayaan mengakibatkan luka berat, diancamkan pidana penjara paling lama lima (5) tahun, dan jika penganiayaan mengakibatkan kematian, maka diancamkan dengan pidana penjara paling lama tujuh (7) tahun.8
Berdasarkan kedua pasal yang umumnya digunakan untuk mengancam pelaku main hakim sendiri, baik pasal mengenai penggunaan kekerasan secara bersama-sama di depan umum maupun pasal penganiayaan sama-sama termasuk dalam delik aduan. Menurut Samidjo, delik aduan (klacht delict) adalah suatu delik yang akan diadili apabila pihak berkepentingan maupun pihak yang dirugikan melakukan pengaduan, sehingga Jaksa dapat melakukan penuntutan.9 Sedangkan menurut Lamintang, klacht delicten adalah tindak pidana yang dapat dituntut apabila adanya pengaduan dari orang yang dirugikan. Perlu dijadikan perhatian, apabila saat masyarakat melakukan perbuatan main hakim sendiri terhadap terduga pelaku tindak pidana kemudian polisi datang untuk mengamankan situasi, bukan berarti polisi berwenang untuk menindaklanjuti perbuatan main hakim sendiri tersebut, sebab sebelum melakukan proses hukum terhadap pelaku main hakim
sendiri, harus ada pengaduan oleh pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah terduga pelaku tindak pidana yang menjadi korban main hakim sendiri maupun keluarganya, sehingga terlihat jelas bahwa selain pelaku main hakim sendiri sebagai korban kegagalan penegakan hukum, juga korban main hakim sendiri menjadi korban dari aturan hukum itu sendiri.
-
2.2.2. Hubungan Antara Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku
Main Hakim Sendiri Dengan Kontrol Sosial (Social Controlling) Berdasarkan Analisis Putusan Pengadilan Kasus Muhammad Al Zahra (Zoya)
Kasus Zoya merupakah bukti nyata bahayanya perbuatan main hakim sendiri, pada 1 Agustus 2017 Zoya diamuk massa karena diduga mencuri alat pengeras suara (amplifier) musala di Kampung Muara Bakti, kecamatan Babelan, Bekasi. 10 Menurut pemeriksaan fakta di persidangan, Zoya yang tewas setelah dipukuli kemudian di siram menggunakan bahan bakar pertamax untuk selanjutnya dibakar. Dalam kasus ini 5 orang ditetapkan sebagai tersangka dan 6 orang ditetapkan sebagai buronan. Tanggal 03 Mei 2018, hakim Pengadilan Negeri Bekasi menjatuhkan pidana dengan rincian, atas nama Rosadih dijatuhi pidana penjara 8 tahun dan dibebankan biaya pengadilan sebesar Rp.5000 dan terhadap 4 tersangka lainnya, Zulkafi, Aldi, Najibullah dan Subur, dijatuhi pidana penjara 7 tahun karena terbukti bersalah melakukan tindak kekerasan secara bersama-sama di muka umum hingga menyebabkan kematian, dimana khusus terhadap Rosadih dengan pertimbangan menjadi pelaku utama penyiraman dan pembakaran dijatuhkan pidana penjara lebih lama. Ditinjau dari putusan
tersebut kepada pelaku main hakim sendiri terhadap Zoya diancamkan dengan Pasal 170 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun. Perlu diingat pidana yang diterima pelaku main hakim sendiri terhadap Zoya ini lebih berat dibandingkan bila Zoya kemudian diadili atas tindak pidana pencurian sesuai Pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun. Menarik untuk mengkaji hubungan antara putusan pengadilan mengenai main hakim sendiri ini dengan teori tujuan pemidanaan dan hukum sebagai alat kontrol sosial.
Hukum sebagai instrumen pengendali sosial, eksistensinya adalah untuk mengatur hubungan dalam kehidupan bermasyarakat, antara orang yang satu dengan orang lain, antara orang dengan negara maupun antar lembaga negara. Dalam melakukan pekerjaannya hukum dapat dijabarkan ke dalam 2 fungsi, yakni hukum sebagai sarana kontrol sosial (social controlling) dan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering).11
Berdasarkan teori social control masyarakat dalam melakukan perbuatan dan tindakan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan menjadikan suatu peraturan sebagai pedoman yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan suatu perbuatan dan tingkah laku.12 Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa hukum merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia, dimana tingkah laku
tersebut didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum dan sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar. Hal ini berarti hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar berdasarkan apa yang ditetapkan oleh hukum itu sendiri sehingga ketentraman terwujud13. Hukum sebagai sarana kontrol sosial berfungsi membentuk kaidah baru guna menggantikan kaidah lama, kemudian menciptakan situasi dimana seseorang terpaksa taat atau mengubah sikapnya, sehingga menghasilkan kepatutan secara tidak langsung pada norma yang masuk dibawah sadar. Berdasarkan sifatnya, hukum sebagai social controller bersifat preventif dan represif, yakni hukum bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya suatu perbuatan maupun suatu akibat dari sebuah perbuatan yang tidak diinginkan. Berkaitan dengan fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial, dalam hukum pidana, terdapat teori mengenai tujuan pemidanaan, yakni teori pencegahan umum (general prevention) dimana tujuan pemidanaan adalah untuk mempengaruhi tingkah laku masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana dan teori pencegahan khusus (special prevention) yakni tujuan pemidanaan adalah untuk mempengaruhi tingkah laku terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi dan agar menjadi lebih baik.14
Hukum pidana sebagai bagian dari hukum untuk alat kontrol sosial diwujudkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut : 1. Pemindanaan berupa pemberian penderitaan bagi pelanggarnya.
-
2. Pemidanaan berupa pencabutan hak-hak tertentu bagi pelanggarnya.15
Berkaitan antara putusan terhadap 5 tersangka main hakim sendiri terhadap Zoya, dengan teori penjatuhan pidana dan hukum sebagai alat kontrol sosial harus dianalisis dari beratnya pidana yang dijatuhkan serta alasan penjatuhan pidana itu sendiri. Berdasarkan kasus ini, dapat diketahui bahwa adanya proses pengadilan karena pihak yang dirugikan dari meninggalnya Zoya, keluarganya, melakukan pengaduan ke polisi, sehingga perbuatan main hakim atas Zoya dapat dilakukan penuntutan.
Setelah proses hukum berjalan, didapatkan beberapa fakta, diantaranya Zoya tewas akibat pemukulan oleh warga Desa Muara Bakti, yang kemudian dengan kesadaran penuh membakar mayatnya menggunakan bahan bakar hingga akhirnya polisi sampai untuk memecah amukan massa. Tentu yang menjadi pertimbangan hakim menjatuhkan pidana sesuai ketentuan Pasal 170 KUHP ditekankan kepada unsur, “melakukan kekerasan secara bersama-sama di depan umum” yang menyebabkan kematian, dengan kata lain adalah perbuatan main hakim itu sendiri. Lalu alasan mengapa pidana yang dijatuhkan oleh hakim lebih berat dibandingkan jika Zoya diadili berdasarkan tindak pidana pencurian adalah untuk memberikan pemahaman kepada pelaku main hakim sendiri dan masyarakat luas, bahwa perbuatan main hakim sendiri, baik berupa mempermalukan terduga pelaku tindak pidana dengan menunjukkan atau mengarak terduga pelaku,
menganiaya pelaku, bahkan hingga menyebabkan kematian adalah hal yang sangat tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, dimana dapat dilihat yang diharapkan dari beratnya pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku main hakim sendiri adalah untuk mencegah perbuatan serupa terjadi kembali. Pertimbangan tersebut sesuai dengan teori tujuan penjatuhan pidana (general dan special prevention) yakni untuk mencegah baik masyarakat maupun pelaku tindak pidana untuk melakukan suatu tindak pidana dikemudian hari, dan dengan begitu tercermin fungsi hukum adalah sebagai alat untuk kontrol sosial, dimana hukum bertindak sebagai pedoman dalam bertingkah laku yang baik dan benar.
-
1. Perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) sebagai bentuk pengendalian sosial oleh masyarakat berupa mengadili secara bersama-sama terduga pelaku tindak pidana yang disebabkan oleh faktor hasutan, emosi, ketidakpercayaan terhadap penegak hukum, pembalasan untuk membuat jera dan ketidaksigapan penegak hukum yang terhadap pelakunya diancamkan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 170 dan Pasal 351 KUHP.
-
2. Berdasarkan putusan pengadilan kepada pelaku main hakim sendiri terhadap Zoya dapat dilihat kaitan antara teori tujuan pemidanaan dan fungsi hukum sebagai sarana kontrol sosial adalah untuk mencegah masyarakat dan pelaku tindak pidana untuk melakukan tindak pidana guna mengatur tingkah laku individu dalam bermasyarakat.
-
1. Penegak hukum diharapkan untuk menegakkan keadilan sesuai dengan keadilan masyarakat dan bertindak lebih sigap dalam menindaklanjuti laporan masyarakat sehingga meminimalisir
kemungkinan terjadinya perbuatan main hakim sendiri dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai akibat hukum terhadap perbuatan main hakim sendiri.
-
2. Diharapkan kepada setiap lapisan masyarakat untuk bersama-sama mematuhi dan mentaati setiap aturan dalam peraturan perundang-undangan guna mencapai keadilan dan
menghormati hak setiap individu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Ali, Zainuddin, 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. IX, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Arif, Barda Nawawi, 1984, Sari Kuliah Hukum Pidana II, tanpa penerbit, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro.
Laksana, I Gusti Ngurah Dharma et.al., 2017, Buku Ajar Sosiologi Hukum, Pustaka Ekspresi, Tabanan.
Merta, I Ketut et.al., 2016, Buku Ajar Hukum Pidana, tanpa penerbit, Denpasar.
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Moeljatno, 2016, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. ke.32 Bumi Aksara, Jakarta.
Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Jakarta.
Jurnal Ilmiah :
Diab, Ashadi L., 2014, Peranan Hukum Sebagai Social Control, Social Engineering Dan Social Welfare, Vol. 7 No.2, Jurnal Al-‘Adl Institut Agama Islam Negeri Kendari, Kendari.
Panjaitan, Chandro dan Firman Wijaya, 2018, Penyebab Terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri Atau Eigenrichting Yang Mengakibatkan Kematian (Contoh Kasus Pembakaran Pelaku Pencurian Motor Dengan Kekerasan Di Pondok Aren Tanggerang), Vol.1 No.1, Jurnal Hukum Adigama Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Prabowo, Thario Farhan Pudianto, 2018, Pendapat Masyarakat Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Putra, Putu Bagus Darma, A.A Ngurah Yusa Darmadi, dan I Gusti Ngurah Parwata, 2016, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting), Vol.5 No.6, Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Syaputra, Rayon dan Erdianto, 2015, Penegakan Hukum Terhadap Kasus Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Di Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Cerenti, Vol.1 No. 1, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau, Riau.
Internet :
Setyo Adi Nugroho, 2018, “Terdakwa Pengeroyokan Dan Pembakaran Zoya Divonis 8 Tahun Penjara”, Surat Kabar Online Megapolitan.Kompas.com, URL
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/03/181 52231/terdakwa-pengeroyokan-dan-pembakaran-zoya-divonis-8-tahun-penjara
15
Discussion and feedback