KONSEPSI PRAPENUNTUTAN BERDASARKAN KUHAP*

Oleh:

Putu Tresna Nararya Indranugraha** I Gede Artha***

Program Kekhususan Peradilan

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Prapenuntutan merupakan salah satu mekanisme dalam penyelesaian perkara pidana sebelum dilakukannya penuntutan di persidangan. Prapenuntutan dilakukan apabila setelah penuntut umum mempelajari dan meneliti berkas perkara dari penyidik, penuntut umum menganggap hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum menginstrusikan penyidik agar kekurangan tersebut dilengkapi melalui petunjuk-petunjuk disertai pengembalian berkas perkara tersebut. Namun, dalam praktik prapenuntutan masih menimbulkan permasalahan baik dari definisi maupun mekanisme. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dibahas adalah berapa kali suatu berkas perkara dapat dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik dan bagaimana konsekuensi hukumnya jika penyidik tidak mampu menyempurnakan berkas perkara yang dimaksud. Jenis metode penelitian dalam jurnal ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, disertai dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Adapun sumber bahan hukum meliputi sumber bahan hukum primer dan sekunder dengan teknis studi pustaka dan studi dokumen untuk kemudian di analisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa batas berapa kali berkas perkara dapat dikembalikan kepada penyidik tidak diatur dalam perundang-undangan. Sehingga, seringkali mengakibatkan suatu perkara tidak kunjung selesai, karena bolak-baliknya berkas perkara dan akhirnya menyebabkan suatu perkara terbangkalai yang berimbas pada hak-hak korban dan tersangka tidak terpenuhi karena proses penyidikan yang tidak berjalan secara efektif dan pasti.

Kata Kunci : Prapenuntutan, Penuntut Umum, Penyidik, Berkas Perkara.

Abstract

Pre-prosecution is one of the mechanisms in the resolution of criminal cases before the prosecution in the trial proceedings. Pre-procecution is made when after the public prosecutor learns and examines the case file of the investigator, the public prosecutor considers the results of investigation to be incomplete, the public prosecutor instructs the investigator that he deficiencies be completed through instructions accompanied by the return of case file. But, in pre prosecution practices still cause problems both definition and mechanism. Based on the description, te problem discussed is how many times a case file can be return by the public prosecutor to the investigator and how the legal consequences if the investigator unable to perfect the case file. The type of reserach method used in this sicentific journal uses normative legal research method, accompanied by the statute approach dan conceptual approach. As the source of legal material used includes the source of primary and secondary legal materials , with technical legal literature studies and legal document studies to be analyzed qualitatively. The result of the study indicate the limit of how many case files can be returned to investigator is not regulated In legislation . So that, this often results in a case not being resolved, because of the reversal of case files and ultimately causing an ignored case that impacts on the rights of victims and suspects not fulfilled because the judicial process does not work effectively and surely.

Keywords : Pre-Prosecutor, Public Prosecutor, Investigator, Case File

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Dalam mekanisme perkara pidana, Penyidikan merupakan rangkaian proses yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi Lembaga Kepolisian. Penyidikan dilakukan oleh penyidik guna menemukan bukti-bukti, yang dimana bukti-bukti tersebut dapat menyimpulkan fakta-fakta yang terjadi dari suatu tindak pidana termasuk pihak yang bertanggungjawab. Dengan dimulainya penyidikan, penyidik segera menyampaikan telah dimulainya penyidikan kepada Kejaksaan ditambah dengan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hasil dari penyidikan tersebut berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP), selanjutnya akan diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum yang meliputi pelimpahan tanggung jawab terhadap tersangka dan barang bukti.

Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (2) KUHAP apabila setelah menerima dan mempelajari berkas perkara dari penyidik, penuntut umum menganggap bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyidikan maka penuntut umum berwenang mengembalikannya kepada penyidik untuk disempurnakan kembali.    Tindakan    demikian    disebut   prapenuntutan

prapenuntutan. Namun, jika dalam 14 (empat belas) hari berkas perkara tidak dikembalikan kepada penyidik, maka berkas perkara dianggap sudah lengkap dan sudah tidak bisa lagi diadakan suatu prapenuntutan. Mengenai esensi dari prapenuntutan tersirat dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik indonesia sebagai berikut:

“Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah 3

menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari dan/atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik, serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan”.

Sebagai bagian dari praktek peradilan, prapenuntutan masih menimbulkan pertanyaan, termasuk seorang Advokat senior yaitu Harjono Tjitrosubono mempermasalahkan bahwa di dalam pasal-pasal berkaitan dengan prapenuntutan pada prosesnya antara penyidik dengan jaksa dalam melimpahkan suatu perkara tidak terdapat istilah prapenuntutan, sehingga apa sebenarnya prapenuntutan tersebut.1 Menurut Andi Hamzah, petunjuk untuk melengkapi hasil penyidikan pada dasarnya merupakan kelanjutan dari penyidikan itu sendiri. Undang-undang hendak menghindari suatu anggapan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penyidikan lanjutan, sehingga wewenang yang demikian dinamakan sebagai prapenuntuan.2

Selain mengenai permasalahan tersebut masih terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan. Antara lain berkaitan dengan mekanisme dari prapenuntutan tersebut, sebagai contoh di dalam KUHAP atau peraturan perundang-undangan lainnya tidak mengatur atau terjadi kekosongan hukum (vacuum of norm) menyangkut berapa kali Penuntut Umum dapat mengembalikkan berkas perkara dalam hal petunjuk yang diberikan oleh Penuntut Umum kepada penyidik tidak dilaksanakan penyempurnaan sebagaimana mestinya oleh penyidik. Hal-hal ini tentunya dapat menghambat proses penegakan hukum, yang tidak sesuai dengan asas trilogi peradilan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Berapa jumlah batas berkas perkara dapat dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk disempurnakan ?

  • 2.    Apakah konsekuensi hukumnya bila penyidik tidak mampu melengkapi kekurangan berkas perkara?

  • 1.3    Tujuan

    1.3.1    Tujuan Umum

Guna memahami dan mengkritisi pengaturan tentang prapenuntutan sebagai rangkaian proses penegakan hukum dalam beracara pidana

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

  • 1.    Guna memahami serta menganalisis berapa kali berkas perkara dapat dikembalikan kepada penyidik.

  • 2.    Guna memahami serta menganalisis konsekuensi hukum yang timbul apabila penyidik tidak mampu memenuhi kekurangan berkas perkara sesuai petunjuk dari Penuntut Umum.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitinya. Tahapan dari metode penelitian hukum normatif adalah:

  • 1.    Merumuskan asas-asas hukum, baik dari data sosial maupun dari data hukum positif tertulis.

  • 2.    Merumuskan pengertian-pengertian hukum.

  • 3. Pembentukan standar-standar hukum.

  • 4. Perumusan kaidah-kaidah hukum. 3

Jurnal ini dalam penulisannya menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan diawali dari suatu peraturan perundang-undangan dari segi aspek-aspek hukum dan konsep-konsep hukum serta undang-undang ikutannya atau peraturan organik.4 Pendekatan konseptual bertujuan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah didasarkan dari suatu konsep hukum yang ada.

Sumber bahan hukum dalam penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Yang termasuk Bahan hukum primer adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Yang termasuk bahan hukum sekunder meliputi buku, jurnal hukum, makalah hukum dan doktrin.

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen. Pustaka yang dimaksud adalah perundang-undangan dan buku-buku di bidang hukum. Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif, lengkap dan komperehensif. Kualitatif yaitu melakukan pembahasan terhadap bahan hukum yang telah didapat dengan mengacu kepada landasan teoritis yang ada.5 Komperehensif artinya menganalisis secara menyeluruh terkait dengan variabel-variabel yang berhubungan isu hukum. Lengkap memiliki arti bahwa semua

hasil analisis telah dimasukkan ke dalam analisis yang dilakukan, guna menghasilkan penelitian hukum normatif yang baik dan bermutu.

  • 2.2    Hasil Dan Analisis

    • 2.2.1    Jumlah batas berkas perkara dapat dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk disempurnakan.

Setelah mencermati Pasal 14 butir b KUHAP, prapenuntutan adalah langkah untuk menyempurnakan penyidikan yang dilakukan melalui pemberian petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik.

Menurut Rusli Muhammad, Perlu perumusan yang lebih baku dan tepat mengenai prapenuntutan karena pengertian prapenuntutan yang dirumuskan oleh undang-undang terasa janggal.6 Keberadaan dari prapenuntutan tidak saja berhubungan dengan lengkapnya berkas perkara hasil penyidikan, Namun juga berkaitan dengan berkas penuntutan. Dengan demikian, prapenuntutan bertujuan untuk mengetahui berita acara pemeriksaan yang diberikan oleh penyidik ke jaksa apakah telah memenuhi syarat atau belum. Selain itu prapenuntutan juga bertujuan dalam hal menentukan apakah berkas perkara sudah layak untuk dilakukan pelimpahan ke pengadilan. Tujuan yang paling penting adalah yaitu untuk memutuskan langkah dari penuntut umum untuk bisa membuat surat dakwaan sebagai salah satu syarat dalam berkas yang akan dilimpahkan kepada pengadilan.

Keberadaan prapenuntutan perannya sangat penting dalam mekanisme peradilan. Namun, selama ini pengaturannya belum

pasti. Contohnya tidak diaturnya tentang batas jumlah berkas perkara dapat dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik. Hal demikian dapat berimbas pada penyelesaian perkara pidana yang tidak kunjung selesai karena berkas perkara yang bolak-balik, yang akhirnya akan menyebabkan suatu perkara terbangkalai, apalagi jika koordinasi dan komunikasi yang terjalin antara penyidik dengan penuntut umum kurang berjalan dengan baik, dimana petunjuk-petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik guna penyempurnaan hasil penyidikan tidak mampu dilaksanakan dengan baik oleh penyidik. Sebaliknya penyidik telah berusaha untuk melengkapi kekurangan berkas perkara, namun penuntut umum selalu merasa berkas perkara tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikannya.7

Sebenarnya penuntut umum juga memiliki kapasitas dalam melakukan penyidikan tambahan (dalam tindak pidana khusus). Penyidikan tambahan terjadi karena kurang lengkapnya berkas perkara.8 Meskipun di dalam KUHAP tidak dimungkinkan penuntut umum melakukan penyidikan tambahan, dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dijelaskan, jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan berkas perkara tertentu yang sebelumnya harus berkoordinasi dengan penyidik. Sebagai ilustrasi, penuntut umum dapat mengganti pasal dalam peraturan pidana yang didakwakan oleh penyidik dalam hasil pemeriksaannya, dalam hal penuntut umum menganggap pasal yang didakwakan tersebut bukanlah pasal yang tepat. Penuntut

umum bertindak sebagai dominus litis didalam penuntutan. Penuntut umum memiliki hak untuk menerapkan aturan pidana yang didakwakan kepada tersangka ataupun yang tidak didakwakan kepada tersangka di dalam berkas perkara tersebut.9

  • 2.2.2    Konsekuensi hukum bila penyidik tidak mampu melengkapi kekurangan berkas perkara.

Pengaturan prapenuntutan di dalam KUHAP baik dari definisi maupun mekanismenya yang belum diatur secara jelas menimbulkan berbagai permasalahan dalam praktek peradilannya. Terjadinya bolak-balik berkas perkara karena tidak ada aturan yang mengatur tentang batas berapa kali berkas perkara dapat dikembalikan kepada penyidik. Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum yang negatif dikarenakan perkara yang tidak kunjung selesai sebagai akibat dari bolak baliknya berkas perkara. Sebenarnya frasa “bolak-balik” tersebut tidak tersurat di dalam KUHAP, namun frasa tersebut telah lazim digunakan pada saat tahap prapenuntutan suatu perkara. Kejadian bolak baliknya berkas perkara ini dikarenakan kedua belah pihak mempunyai argumen yang berbeda-beda terhadap suatu perkara, masing-masing argumen tersebut dapat0dibenarkan, tetapi belum tentu dapat0dipertanggung jawabkan oleh jaksa maupun penyidik sehingga terjadi ketimpangan tujuan antara penyidik yang memperhatikan hak asasi dari pelaku dan penuntut umum memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat umum.10

Konsekuensi hukum yang dapat timbul dikarenakan bolak baliknya berkas perkara adalah faktor efisiensi untuk melakukan penyidikan akan berkurang, yang nantinya akan berimbas pada timbulnya ketidakpastian hukum dari nasib perkara dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan (justisiabellen). Disamping itu, hal tersebut berpotensi terbukanya ruang bagi oknum aparat penegak hukum untuk melakukan penyalahgunaan wewenang yang akan melanggar hak-hak tersangka maupun korban. Bahkan cenderung dipakai kesempatan untuk melakukan negosiasi antara tersangka dengan penegak hukum.

Guna menghindari semua hal tersebut diperlukan prapenuntutan dengan ketentuan jelas. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kejaksaan Agung untuk mewujudkannya harus dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:

  • a.    Membina hubungan kerjasama antara penyidik dengan penuntut umum. Hal ini dimaksudkan agar terarahnya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, baik berkenaan dengan diri tersangka, perbuatan yang disangkakan sampai dengan pembuktiannya sehingga dapat menghindari hasil penyidikan yang berlarut-larut dan bolak-baliknya berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum.

  • b.    Kewajiban meneliti kelengkapan    hasil penyidikan

meliputi kelengkapan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), keabsahan tindakan penyidik, alat bukti yang sah, dasar penahanan tersangka, kecocokan barang bukti dengan yang tercantum dalam berkas perkara, dan hal-hal penting lainnya.

  • c.    Apabila penuntut umum  berpendapat  bahwa hasil

penyidikan belum lengkap, dalam waktu 7 hari harus memberitahu penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk yang rinci guna penyempurnaan hasil penyidikan.11

Ketentuan prapenuntutan yang diatur dalam perundang-undangan bertujuan untuk melindungi kepentingan korban maupun tersangka, dan demi kepentingan penuntutan. Jadi sangat jelas bahwa tindakan dari penuntut umum untuk meneliti berkas perkara merupakan suatu rangkaian tindakan penuntutan yang harus dihayati secara maksimal dan diperlukan pengendalian serta pengawasan dalam pelaksanaannya.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Simpulan

  • 3. .1.1 Dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak ada aturan yang mengatur tentang jumlah batas pengembalian berkas perkara kepada penyidik guna penyempurnaan hasil penyidikan, dalam praktiknya, hal tersebut seringkali dapat membuat suatu perkara terbangkalai karena berkas perkara yang tidak kunjung selesai.

  • 3. .1.2 Konsekuensi hukum yang timbul akibat dari penyidik tidak mampu memenuhi petunjuk dari penuntut umum guna penyempurnaan hasil penyidikan adalah efisiensi dalam melakukan penyidikan akan berkurang, karena memerlukan waktu yang cukup lama sehingga nantinya akan berimbas pada timbulnya ketidakpastian hukum dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan kerugian bagi para pencari

keadilan (justisiabellen). Disamping itu, berpotensi juga menimbulkan penyalahgunaan wewenang dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab khususnya penegak hukumnya yang berdampak kepada dilanggarnya hak-hak tersangka maupun korban.

  • 3.2    Saran

    • 3.2.1.    Agar pembuat undang-undang membuat aturan baru atau merevisi KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya tentang jumlah batas pengembalian berkas perkara kepada penyidik guna penyempurnaan hasil penyidikan demi menjamin kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

    • 3.2.2.    Agar penuntut umum dengan penyidik menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik, khususnya dalam hal penyempurnaan hasil penyidikan sehingga penyidikan berjalan secara efektif dan efisien, dengan tujuan bolak-baliknya berkas perkara secara terus menerus tanpa batas waktu yang pasti dari penuntut umum kepada penyidik tidak terjadi lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amirrudin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan VI, Rajawali Pers, Jakarta.

Fajar, Mukti dan Yulianto Ahmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hamzah, Andi 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta.

M.Hadjon, Philipus dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad, Rusli 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Tjitrosubono, Harjono 1982, Hukum Acara Pidana (HAP) dalam Diskusi, Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Bina Ilmu, Surabaya.

Zulkarnain, 2013, Praktik Peradilan Pidana : Panduan Praktis Memahami Peradilan Pidana, Setara Press, Malang.

Jurnal

Cahyo Maryono, Ericha, 2014, Kendala Yang Dihadapi Jaksa Penuntut Umum Untuk Melakukan Pra Penuntutan Dalam Rangka Proses Penuntutan Tindak Pidana Umum (Studi di Kejaksaan Negeri Kota Malang), Jurnal Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang.

Purnamaningrat, I Gusti Ayu Intan dan I Gede Yusa, 2016, Tinjauan Yuridis Terhadap Sikap Kejaksaan Atas Pelimpahan Berkas Perkara Oleh Penyidik, Jurnal Kertha Wicara Universitas Udayana, Vol. 05, No. 02.

Saputra, Anak Agung Gede Dwi, I Wayan Tangun Susila, dan I Dewa Made Suartha, 2013, Pengembalian Berkas Perkara Oleh Penuntut Umum Dalam Prapenuntutan, Jurnal Kertha Wicara Universitas Udayana, Vol. 01, No. 04.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209

Undang-Undang Nomor Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401

Artikel/Website :

Soemarno, 2017, Meminimalisir Bolak-Baliknya Berkas Perkara Antara Penyidik Dan Jaksa (P-16), diakses dari https://komisi-kejaksaan.go.id/meminimalisir - bolak-baliknya - berkas -perkara - antara – penyidik - dan-jaksa-p-16/, pada tanggal 14 Februari 2019.

14