ANALISIS YURIDIS UNSUR PERBUATAN DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN
on
ANALISIS YURIDIS UNSUR PERBUATAN DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN∗
Oleh :
Silvia Eka Fitania∗ A.A. Ngurah Wirasila∗∗ Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Perkembangan globalisasi informasi yang semakin pesat sering menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam masyarakat. Pemanfaatan dalam bidang teknologi informasi telah disalahgunakan sebagaian orang untuk mempublikasi dokumen yang berhubungan dengan kesusilaan. Permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini tentang bagaimanakah perumusan dan penjelasan unsur tindak pidana kesusilaan yang disebut melanggar kesusilaan. Pembahasan ini dilakukan karena tidak adanya rujukan dan batasan secara tegas tentang penjelasan melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk memahami dan mengetahui batasan-batasan tentang unsur melanggar kesusilaan sebagaimana tertuang dalam UU ITE. Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif, beranjak dari tidak adanya penjelasan tentang unsur melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang mengakibatkan terjadinya kekaburan norma. Pemerintah seharusnya memberikan dasar rujukan unsur melanggar kesusilaan dalam UU ITE, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan banyak penafsiran. Kesimpulan yang diperoleh bahwa unsur melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE telah menggeneralisir perbuatan melanggar kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam KUHP.
Kata Kunci: Teknologi, Kesusilaan, Informasi dan Transaksi Elektronik.
∗Penulisan karya ilmiah yang berjudul “Analisis Yuridis Unsur Perbuatan Dalam Tindak Pidana Kesusilaan” ini merupakan ringkasan di luar skripsi.
∗Silvia Eka Fitania, adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: [email protected].
∗∗A.A. Ngurah Wirasila, SH., MH. adalah Dosen Fakultas Hukum
Universitas Udayana. [email protected].
Abstract
The rapid development of information globalization has created new problems on society. The information technology has been utilized by some people to publish documents that contain elements of violating decency. The issues discussed in this journal, how to formulation and explanation of the elements of violating decency. This discussion was carried out because, there were no definite references and limitation about violating decency in article 27 paragraph (1) of law number 19 of 2016 concerning amendments to law number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. The purpose of writing this journal is to understand and know the limits of the element of violating decency as contained in the Information and Electronic Transactions law. The method used in this journal is a normative legal research, moving from the absence of an explanation of the element of violating decency in article 27 paragraph (1) of the Information and Electronic Transactions law which results in the obscurity of norms. The government should provide an element of reference for violating decency in the Information and Electronic Transactions law, so that its application does not cause much interpretation. The conclusion obtained is that the element of violating decency in article 27 paragraph (1) of the Electronic Information and Transaction law has generalized acts of violating decency as stipulated in the criminal code.
Keywords: Technology, Decency, Information and Electronic Transactions.
Perkembangan yang terjadi dalam bidang teknologi semakin menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dewasa ini. Pada hakikatnya pemanfaatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi mampu memberikan perubahan, salah satunya adalah perilaku setiap orang secara global saat ini. Perkembangan di bidang teknologi mampu merubah hubungan dunia seolah menjadi tanpa batasan-batasan (borderless) yang berhubungan dengan budaya, sosial dan ekonomi yang dinamis berlangsung dengan begitu cepat. Teknologi informasi tidak hanya mampu meningkatkan kemajuan pembangunan, kesejahteraan dan peradapan, tetapi juga dapat menimbulkan perubahan negatif yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang sudah berlaku.1
Penyerangan terhadap kepentingan orang melalui pemanfaatan teknologi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
ITE yang dikenal sebagai dasar hukum terkait telematika atau cyber law. UU ITE sempat mengalami perubahan dengan pertimbangan dapat menjamin penghormatan, pengakuan dan kebebasan terhadap hak yang dimiliki setiap individu, serta untuk melindungi korban kejahatan ITE yang sangat rawan terjadi. Salah satunya tentang kejahatan kesusilaan yang objeknya berhubungan dengan informasi atau dokumen elektronik yang mengandung unsur perbuatan kesusilaan dengan menggunakan sarana komputer dan lainnya.2
Klasifikasi perbuatan yang dilarang dalam UU ITE yaitu pada Pasal 27 sampai Pasal 37, ketentuan yang ada di dalam pasal itu telah mengatur tentang perkembangan jenis kejahatan yang sifatnya tradisional sebagaimana yang tertuang dalam KUHP. Salah satunya mengatur masalah pelanggaran kesusilaan yaitu pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang unsurnya tentang Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memuat pelanggaran tentang kesusilaan. Kemudian yang menjadi persoalan dalam undang-undang tersebut karena tidak adanya definisi dan rujukan tentang pelanggaran kesusilaan yang dimaksud. Pasal 27 ayat (1) UU ITE kemudian menjadi kabur karena tidak diberikannya definisi dan rujukan apakah kesusilaan yang dimaksud sama dengan kesusilaan dalam KUHP. Setelah dilakukan revisi, pemerintah memberikan penjelasan tentang Pasal 27 ayat (3) dan (4) UU ITE maka akan merujuk pada KUHP. Seharusnya pemerintah memberikan penjelasan unsur melanggar kesusilaan dalam UU ITE sehingga dalam penerapan hukumnya dapat memberikan kepastian dan tidak menimbulkan banyak penafsiran. Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan maka judul
jurnal ini adalah “ANALISIS YURIDIS UNSUR PERBUATAN DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN ”.
Berdasarkan pada latar berlakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan dianalisis lebih lanjut yaitu sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah perumusan unsur perbuatan melanggar
kesusilaan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ?
-
2. Bagaimana penjelasan tentang unsur yang memiliki muatan
melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
Tujuan penulisan jurnal ini adalah memahami tentang perumusan unsur perbuatan melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan untuk memahami tentang penjelasan unsur yang memiliki muatan melanggar kesusilaan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode hukum normatif atau penelitian kepustakaan. Dengan jenis pendekatan yang digunakan pendekatan perundang-undangan dengan mengacu pada peraturan dan juga pendekatan konseptual terkait prinsip-prinsip hukum seperti pandangan-pandangan para sarjana ataupun doktrin-dokrin hukum.3 Bahan hukum yang diterapkan dalam jurnal ini adalah bahan hukum
primer dan sekunder. Pertama, bahan hukum primer yang digunakan meliputi UU ITE, UU Pornografi dan KUHP. Kedua, bahan hukum sekunder meliputi pendapat tentang hukum atau teori yang termuat dari pustaka hukum dan hasil penelitian.4
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Unsur Perbuatan Melanggar Kesusilaan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
-
Kemajuan teknologi sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan dan pelanggaran yang berkaitan dengan kesusilaan, yang salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatan teknologi informasi berbasis sistem komputer atau elektronik. Kejahatan dan pelanggaran kesusilaan tentu sangat bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Kata susila dalam bahasa Inggris disebut moril atau ethis yang artinya adalah kesopanan atau kesusilaan sedangkan decent artinya sebagai kepatutan.5 Sebenarnya kata kesusilaan berarti perihal susila yang artinya berhubungan dengan sopan santun, baik budi bahasanya, kesopanan dan keadaban, tata tertib dan adat istiadat yang baik, sehingga masyarakat menganggap bahwa kesusilaan itu adalah suatu kelakuan yang benar dan salah yang berhubungan dengan perbuatan seksual.6 Kejahatan terhadap kesusilaan menjadi dua yaitu kejahatan kesusilaan dan kejahatan kesopanan yang diluar bidang kesusilaan, seperti kejahatan pornografi dan kejahatan melanggar kesusilaan umum. Kejahatan kesusilaan telah diatur dalam Buku II Bab XIV yaitu Pasal 281299 KUHP. Sedangkan pelanggaran terhadap kesusilaan diatur
dalam Pasal 301, 504, 505 KUHP dan juga pada Buku III Bab VI dari Pasal 532-547 KUHP. Jadi kejahatan dan pelanggaran kesusilaan adalah perbuatan yang sama-sama melanggar norma-norma hukum dalam masyarakat.
Merujuk pada pandangan Djoko Prakoso dan Sianturi, mereka memandang bahwa kejahatan kesusilaan adalah kejahatan atau tindakan yang saling berkaitan dengan permasalahan seksual atau yang berhubungan dengan perilaku yang dianggap sebagai suatu tindakan susila.7 Kejahatan kesusilaan pada hakikatnya sangat sulit ditegaskan dalam rumusan pasal-pasal karena kejahatan kesusilaan tidak hanya menyangkut masalah seksual tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat khususnya hubungan pergaualan rumah tangga seperti kejahatan konvensional yaitu kejahatan dalam dunia internet yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik.
Perbuatan melanggar kesusilaan atau schending der eerbaarheid atau schennis der eerbaarheid bahwa undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan terkait rumusan tersebut. Merujuk pendapat Prof. Simon tentang yang dimaksud dengan perbuatan melanggar kesusilaan itu merupakan perbuatan berkenaan dengan hubungan seksual antara wanita dan pria yang dilakukannya perbuatan itu karena untuk meningkatkan serta memuaskan nafsu atau gairah yang dilakukan di depan umum dan dipandang sebagai perbuatan keterlaluan dan apabila orang lain melihat dapat menimbulkan perasaan tidak senang dan malu.8 Penjelasan yang dimaksud dengan “di depan umum” undang-undang khususnya KUHP tidak memberikan penjelasan
tentang kata itu, namun Hoge Raad dalam Arrestnya menetapkan bahwa di depan umum adalah perbuatan yang dilakukan di tempat umum atau pada tempat yang dikunjungi oleh khalayak ramai dan tidak di tempat umum tapi dapat dilihat dari tempat umum. Prof. Van Bemmelen dan Prof. Van Hattum juga berpendapat, pelaku yang dapat di katakan melanggar perbuatan kesusilaan di hadapan umum itu hanyalah apabila perbuatan itu dilakukan dihadapan yang dapat dilihat di muka umum.9
Rumusan pidana yang berkaitan dengan unsur melanggar kesusilaan diatur dalam Pasal 281, 282 dan 283 KUHP. Pasal 281 KUHP menetapkan bahwa diancam dengan pidana barangsiapa dengan senggaja secara terbuka melanggar kesusilaan dan barang siapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan hendaknya atau melanggar kesusilaan. Pasal 281 angka 1 KUHP mengatur bahwa sifat melanggar kesusilaan yang dimaksud dilakukan dengan sengaja, ada pada tubuhnya sendiri pada tempat yang terbuka, sedangkan dalam angka 2 mengatur bahwa sifat melanggar kesusilaannya apabila sengaja di depan orang lain melakukan perbuatan kesusilaan tetapi tidak karena kehendaknya.
Ketentuan pidana tentang melanggar kesusilaan di depan umum oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 282 ayat (1) sampai ayat (3) KUHP, terkait tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukan secara terbuka suatu tulisan, gambar dan benda yang menyinggung kesusilaan. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (1) KUHP melarang dilakukannya tiga jenis tindak pidana, yaitu: (a). Menyebarluaskan mempertunjukan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan yang diketahui isinya, suatu gambar atau benda yang sifatnya
melanggar kesusilaan; (b). Membuat, memasukan, mengeluarkan atau mempunyai dalam persediaan suatu tulisan yang diketahui isinya, suatu gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan; (c). Tanpa diminta menawarkan atau menyatakan sebagai dapat diperoleh suatu tulisan yang telah diketahui isinya, suatu gambar atau benda yang sifatnya melanggar kesusilaan, baik itu dilakukan secara terbuka maupun dilakukan dengan cara menyebarluaskan suatu tulisan.10
BPHN Departemen Hukum & HAM RI memberikan arti bagi kata-kata de eerbaarheid schenden yang diartikan sebagai melanggar kesusilaan. Usaha dalam memberikan arti yang setepat-tepatnya bagi kata yang digunakan oleh pembuat peraturan perundang-undangan khususnya rumusan ketentuan pidana dalam KUHP, BPHN menyatakan bahwa sulit memberikan arti bagi kata-kata tersebut. Berkenaan dengan perlindungan yang diberikan kepada setiap orang di Indonesia terhadap pandangan yang menurut sifatnya dapat menyinggung rasa susila dari orang yang melihatnya, pemerintah menyatakan bahwa yang dilarang dalam undang-undang hanya terkait dengan perbuatan-perbuatan melanggar kesusilaan yang telah dilakukan oleh orang di depan umum. Menurut Lamintang dan T.Lamintang perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan adalah karena sifatnya yang bertantangan dengan kepribadian dan bertantangan dengan rasa susila bangsa Indonesia.11
Perkembangan teknologi informasi & komunikasi telah membawa pengaruh positif dan negatif yang dapat diibaratkan pedang bermata dua. Pemanfaatan teknologi informasi &
komunikasi selain memberikan pengaruh terhadap peradapan manusia dan kesejahterahan masyarakat, kemajuan teknologi ITE juga dapat disalah gunakan pemanfaatannya untuk melakukan perbuatan yang dianggap melawan hukum dan menyerang berbagai kepentingan masyarakat ataupun negara. Adanya tindak kejahatan tersebut menyebabkan hukum pidana harus mengikuti perkembangan dari kemajuan teknologi. Pemerintah sudah memberikan klasifikasi terkait Tindak Pidana di bidang ITE, UU ITE juga mengatur tentang tindak pidana yang saling berhubungan dengan kesusilaan atau pornografi sebagaimana tertuang dalam UU Pornografi dan KUHP. Beberapa pasal yang dapat di terapkan terhadap (cyber crime) di bidang kesusilaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 281, 282, 283, 289, 532 ayat (1) dan Pasal 533 KUHP.
Larangan melakukan perbuatan melanggar kesusilaan dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang di dalamnya memuat unsur melanggar kesusilaan. Namun kemudian maksud unsur “melanggar kesusilaan” dalam UU ITE menjadi persoalan karena dalam UU ITE tidak memasukan definisi dan petunjuk mengenai unsur ini dalam penjelasannya. Majelis Hakim dalam memutus perkara menyangkut pasal tersebut yaitu salah satunya dalam Putusan No.2191/Pid.B/2014/PN.Sby. Majelis Hakim memberikan pengertian tentang maksud melanggar kesusilaan adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dimana perbuatan itu dianggap telah melanggar norma yang berhubungan dengan kesusilaan, misalkan penyebarluasan suatu konten menggunakan beberapa media baik komunikasi ataupun
pertunjukan yang ditampilkan dimuka umum, yang memiliki muatan bertentangan dengan norma kesusilaan yang ada.12
Hakim dalam memberikan batasan tentang unsur melanggar kesusilaan dalam putusan tersebut seperti merujuk pada batasan objek Tindak Pidana Pornografi dalam UU Pornografi. Objek tindak pidana pornografi memiliki cakupan yang lebih luas dari pada yang tertuang dalam KUHP, sedangkan KUHP hanya memuat tiga objek yaitu tulisan, gambar dan benda. Objek pornografi memiliki dua sifat yang isinya mengandung kecabulan atau ekspolitasi seksual dan melanggar norma kesusilaan, sedangkan dalam KUHP dikenal dengan sifatnya yang melanggar kesusilaan.
Undang-undang ITE sebagai aturan yang mengatur tentang pengelolahan informasi dan juga transaksi elektronik merupakan landasan hukum dalam penanganan tindak pidana siber yang salah satunya memuat tentang pelanggaran kesusilaan. Sehingga untuk mencari penjelasan lebih lanjut tentang unsur yang memiliki memuat melanggar kesusilaan, maka akan menimbulkan beberapa pendapat antara sebagai berikut:13
-
I. Pendapat Pertama
UU ITE, UU Pornografi dan KUHP tidak memberikan keterangan tentang arti atau definisi melanggar kesusilaan, sehingga keadaan tersebut dapat merujuk kepada nilai-nilai kesusilaan yang manakah dan dalam keadaan atau kualitas yang bagaimana menurut kesadaran masyarakat bila dilanggar telah mengganggu rasa susila masyarakat. Masyarakat Indonesia memiliki nilai kesusilaan umum yang berpedoman pada nilai agama dan kesusilaan yang hidup di masyarakat, sehingga dalam proses pemeriksaan dalam perkara yang berkaitan dengan tindak
pidana kesusilaan maka hakim harus mampu memahami dan menghayati nilai-nilai kesusilaan yang hidup dalam masyarakat. II. Pendapat Kedua
Penjelasan tentang unsur melanggar kesusilaan dapat juga merujuk pada melanggar kesusilaan yang ada dalam KUHP. Alasannya karena tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE adalah tindak pidana kesusilaan khusus (lex specialis), karena dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi elektronik sehingga kekhususannya terletak pada sarana yang digunakan. Sementara jenis dan bentuk tindak pidananya sama dengan yang diatur dalam KUHP.
Pendapat kedua ada karena istilah kesusilaan dalam frasa “yang memiliki muatan melanggar kesusilaan” tidak dijelaskan dalam UU ITE sementara istilah atau arti kesusilaan (zeden) dalam KUHP juga tidak diberikan penjelasan, kesusilaan sebagai kelompok jenis-jenis tindak pidana (kejahatan maupun pelanggaran) maka untuk menerapkan pasal 27 ayat (1) UU ITE dapat dilakukan yaitu melalui penyesuaian tindak pidana kesusilaan yang mana telah dilakukan oleh terdakwa yang bersesuaian dengan pasal-pasal yang ada dalam bagian kejahatan dan pelanggaran kesusilaan dalam KUHP dan ketentuan ini tidak dituangkan dalam penjeladan UU ITE pasca perubahan.
Banyaknya jenis atau bentuk tindak pidana kesusilaan baik kejahatan maupun pelanggaran dalam KUHP tetapi tidak semua bersesuaian dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan yang hanya bersesuaian atau sebagai lex specialis yang dapat diterapkan adalah terbuka melanggar kesusilaan Pasal 281, Pornografi Pasal 282 dan 283, pemerkosaan untuk bersetubuh Pasal 285, Pemerkosaan untuk berbuat cabul Pasal 289, membujuk berbuat cabul Pasal 290 dan 293, menawarkan kesempatan bermain judi
Pasal 303 dan 303 bis, menawarkan atau meniarkan tulisan sarana mencegah kehamilan Pasal 534 dan menggugurkan kandungan Pasal 535.
-
III. Pendapat Ketiga
Arti melanggar kesusilaan dapat mengacu pada Pasal 281 angka 1 KUHP frasa “openbaar de eerbaarheid schendt” oleh banyak pakar hukum pidana diterjemahkan dengan “terbuka melanggar kesusilaan”, sedangkan frasa eerbaarheid schendt diterjemahkan dengan “melanggar kesusilaan”, yang sama digunakan dalam pasal 281 angka 1 KUHP. Penerapan Pasal 27 ayat 1 sebagai lex specialis dengan merujuk atau menggunakan Pasal 281 angka 1 KUHP sebagai lex generalisnya.
Unsur pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE menjadi salah satu kelemahan dalam undang-undang ini, karena tidak adanya penjelasaan dari maksud melanggar kesusilaan. UU ITE setelah perubahan pembentuk undang-undang memberikan penjelasan seperti pada ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan (4) yang memberikan penjelasan terkait ketentuan dalam pasal tersebut yang mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHP, yaitu terkait dengan ketentuan pencemaran dan/atau fitnah serta pemerasan dan/atau pengancaman yang merujuk pada KUHP, tetapi dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE pasca perubahan hanya di jelaskan tentang maksud mendistribusikan, mentransmisikan, serta yang dimaksud dengan membuat dapat diakses dan sama sekali tidak diberikan rujukan ataupun penjelasan dalam pasal demi pasal tentang perbuatan melanggar kesusilaan dalam UU ITE yang dimaksud apakah sama dengan yang termuat dalam KUHP.14
Pelanggaran yang terjadi dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE terkaitan dengan perbuatan melanggar kesusilaan selalu merujuk pada ketentuan pasal kesusilaan dalam KUHP, dikarenakan UU ITE tidak memberikan penjelasan dan pemahaman tentang unsur perbuatan melanggar kesusilaan. Apabila dicermati rumusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentu akan memberikan banyak penafsiran. Ketidakjelasan maksud dari perbuatan yang dilarang sebagai unsur keadaan yang menyertai yang melekat pada objek tindak pidana tersebut apabila dilihat dalam penjelasan Pasal demi pasal hanya disebutkan “Cukup Jelas”. Mengutip pendapat Barda Nawawi, harusnya Undang-Undang Khusus tidak hanya merumuskan dan menjelaskan tentang tindak pidananya saja tetapi juga harus membuat aturan yang bersifat umum yang dapat dijadikan pedoman atau hukum payung. Tidak adanya penjelasan tentang tindak pidana tentang melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE telah mengeneralisir bentuk-bentuk kejahatan kesusilaan seperti dalam KUHP.15
Berdasarkan pada penjelasan dan kajian diatas maka berikut adalah kesimpulannya:
-
(1) Perbuatan melanggar kesusilaan telah di atur dalam KUHP yang telah tertuang di dalam KUHP yaitu Pada Bab ke-XIV dari Buku ke-II, yang mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Ketentuan pidana terkait melanggar kesusilaan diatur dalam Pasal 281 dan 282. Perbuatan melanggar kesusilaan ternyata undang-undang tidak memberikan
penjelasan terkait rumusan tersebut bahkan dalam Bab tersebut juga tidak menyebutkan adanya keterangan sedikitpun tentang arti kesusilaan.
-
(2) Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur tentang pelanggaran kesusilaan yang objeknya Informasi elektronik maupun dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Rumusan Pasal 27 ayat (1) tersebut akan memberikan banyak penafsiran terkait dengan ketidakjelasan maksud dari objek perbuatan yang dilarang, karena dalam penjelasan Pasal demi pasal tersebut telah disebutkan “Cukup Jelas”. Tidak jelasnya unsur dalam pasal tersebut dianggap telah mengeneralisir bentuk-bentuk kejahatan kesusilaan yang diatur dalam KUHP.
-
(1) Tidak adanya penjelasan tentang definisi atau arti dari unsur melanggar kesusilaan dalam KUHP, seharusnya pemerintah segera memberikan rumusan atas unsur tersebut yang dapat dilalukannya melalui pembaharuan KUHP sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan banyak penafsiran.
-
(2) Unsur yang memiliki muatan melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE yang menimbulkan berbagai tafsir terhadap satu norma hukum sebagai indikator adanya
kesalahan dalam perumusannya. Sekiranya kelemahan perumusannya ini harusnya dapat diatasi dengan Yurisprudensi, karena selama Hakim konsisten berpegang teguh pada putusan yang adil, sesuai dengan logika dan sesuai dengan apa yang dirasakan masyarakat maka yurisprudensi bisa dijadikan cara untuk mengatasi kekurangan atau kesalahan dalam perumusan norma dalam undang-undang. Penerapan tehadap pemasalahan ini dapat dilakukan dengan cara terbaik adalah dengan cara perubahan ataupun perbaikan
undang-undang dan seharusnya pembentuk undang-undang dalam membuat aturan tidak hanya memikirkan perumusan aturannya tetapi juga harus memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya tentang aturan yang dibuat sehingga tidak menimbulkan kekaburan dan multitafsir.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami, 2016, Tindak Pidana Pornografi, Sinar Grafika, Jakarta.
Chazawi, Adami, dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, Bayumedia Publishing, Malang.
Lamintang, P.A.F., dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika Offset, Jakarta
Laden, Marpaung, 2008, Kejahatan terhdap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta.
Maskun, 2013, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2017, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Sujamawardi, L. Heru, 2018, “Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informsi dan Transaksi Elektronik”, Dialogia Iuridica Ilmu Hukum, Vol. 9 No. 2, h. 90-91, April 2018.
Mudzakkir, 2010, “Analisis Atas Mekanisme Penanganan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan”, Laporan Akhir Penulisan Karya Ilmiah, Kementerian Hukum dan Ham RI, Yogyakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Ekektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)
16
Discussion and feedback