PENGATURAN APARATUR SIPIL NEGARA YANG TIDAK NETRAL DALAM PEMILIHAN UMUM INDONESIA
on
PENGATURAN APARATUR SIPIL NEGARA YANG TIDAK NETRAL DALAM PEMILIHAN UMUM INDONESIA∗
Oleh :
Putu Riski Ananda Kusuma∗∗
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi∗∗∗
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Tindak pidana pemilihan umum merupakan suatu bentuk kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum atau bisa juga suatu organisasi yang dengan kesadarannya secara sengaja melakukan pelanggaran hukum, mengacaukan, menghalangi, serta mengganggu pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan menurut undang-undang pemilihan umum yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui mengenai pengaturan aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini serta pengaturannya di masa mendatang. Penulisan ini bertujuan untuk mencari jawaban atas kedua permasalahan tersebut. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang berdasarkan teori hukum yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan contoh kasus. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dalam pertentangan pengaturan netralitas aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum Indonesia lebih berpedoman kepada hukum yang berlaku dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 dimana seorang aparatur sipil negara yang tidak netral dapat dikenakan sanksi pidana, oleh karena itu undang-undang pemilihan umum perlu diuji ke mahkamah konstitusi agar tidak lagi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sehingga pengaturannya di masa mendatang sesuai dengan apa yang terdapat dalam hierarki perundang-undangan.
Kata Kunci : Netralitas, Pengaturan, Pemilihan Umum, Aparatur Sipil
Negarayan
ABSTRACT
Criminal acts of general elections constitute committed by a person or legal entity or can be carried out by an organization whose awareness intentionally violates the law, disrupts, hinder, and interfere the implementation of general elections conducted in accordance with applicable regulations. Based on this, it is necessary to know about the regulation of the state civil apparatus in carrying out general elections in terms of the laws regulations currently in force and their future arrangements. This journal aimed at looking for answers over both issues. The
∗ Karya ilmiah ini adalah karya ilmiah diluar ringkasan skripsi:
∗∗ Putu Riski Ananda Kusuma adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi : [email protected].
∗∗∗ Anak Agung Istri Ari Atu Dewi adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected].
method used in this writing is a normative legal research method based on legal theory associated with statute approach and case approach. Based on the results of the study, it can be known that in the contradiction of the regulation of the neutrality of the state civil apparatus in carrying out Indonesian elections more guided by applicable law in Law No. 7 of 2017 where a non-neutral state civil apparatus can be subject to criminal sanctions, therefore the electoral law needs to be tested to the constitutional court so that it no longer contradicts the Basic Law so that its future arrangements are in accordance with what is in the hierarchy legislation.
Keywords: Neutrality, Settings, General Elections, State Civil Apparatus
Pemilihan umum merupakan suatu mekanisme seleksi dan pendelegasian atau penyerahan mandat atau kedaulatan oleh rakyat selaku pemegang kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai sebagai wakilnya dalam menjalankan kedaulatan tersebut.1 Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia seringkali terjadi tindak pidana pemilihan umum didalamnya. tindak pidana pemilihan umum merupakan suatu bentuk kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum atau suatu organisasi yang secara sengaja melakukan pelanggaran hukum, mengacaukan, menghalangi, serta mengganggu pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan menurut undang-undang.2
Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia telah jelas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang mengartikan bahwa negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat tersebut dijalankan oleh para wakil rakyat yang dilakukan melalui sistem perwakilan yang
dimana para wakil rakyat tersebut dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Konstitusi Indonesia yakni Pasal 22E ayat (1) menentukan bahwa pemilihan umum Indonesia dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun sekali dan untuk ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam undang-undang (Pasal 22E ayat 6), dimana undang-undang yang mengatur mengenai pemilihan umum Indonesia adalah UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Pemilihan Umum ini mengatur berbagai aturan dan larangan yang dimaksudkan untuk memperlancar pelaksanaan pemilu serta berakibat sanksi pidana bagi siapapun yang melanggarnya. Salah satunya yang diatur adalah diwajibkannya seorang aparatur sipil negara untuk bersikap netral dalam pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 280 ayat (4) undang-undang pemilu.
Menurut ketentuan tersebut artinya perbuatan aparatur sipil negara yang bersikap tidak netral seperti mendeklarasikan dukungan dalam pelaksanaan pemilihan umum juga dapat dikategorikan sebagai salah satu tindak pidana pemilihan umum. Padahal menurut Undang-Undang Dasar setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat 3) sehingga terdapat suatu pertentangan dalam hal ini. Seharusnya aparatur sipil negara yang juga merupakan rakyat Indonesia memiliki hak untuk bergabung dalam organisasi manapun yang dikehendakinya sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar namun hal tersebut dilarang dalam ketentuan undang-undang pemilihan umum dan berakibat pada sanksi pidana apabila dilanggar.3
Kebijakan mengenai pengaturan netralitas aparatur sipil negara dalam undang-undang pemilihan umum beserta sanksi
pidananya pada Pasal 494 undang-undang pemilu sejatinya merupakan atribusi yang diberikan dari Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar. Tujuannya untuk melancarkan pelaksanaan pemilihan umum, namun dalam prosesnya terjadi suatu konflik antara ketentuan dari undang-undang pemilihan umum tersebut yang melarang aparatur sipil negara untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hal itu terjadi karena dalam konstitusi negara Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 memperbolehkan atau memberi kebebasan kepada setiap orang warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Mengingat adanya realita persoalan tersebut, maka hal ini akan dikaji lebih lanjut dalam penulisan jurnal ilmiah ini dengan judul “PENGATURAN APARATUR SIPIL NEGARA YANG TIDAK NETRAL DALAM PEMILIHAN UMUM INDONESIA”.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik beberapa permasalahan terkait, sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah pengaturan aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum ?
-
2. Bagaimanakah Pengaturan Aparatur sipil Negara Dalam Melaksanakan Pemilihan Umum di Masa Mendatang?
Tujuan penulisan ini adalah untuk lebih memahami tentang pengaturan aparatur sipil negara di dalam undang-undang dasar dan dalam undang-undang pemilihan umum yang disertai dengan contoh kasus. Penulisan ini juga mengkaji lebih lanjut mengenai pengaturan aparatur sipil negara dalam pelaksanaan pemilihan umum di masa yang akan datang.
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan suatu metode penelitian mencari sebuah jawaban atas suatu permasalahan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang ada.4 Metode ini menguraikan permasalahan yang ada terlebih dahulu untuk selanjutnya dibahas dan dikaji dengan berdasarkan teori-teori hukum yang kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan contoh kasus.5 Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan undang-undang (statute
approach), dan pendekatan kasus (case approach).6 Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari bahan hukum primer yang meliputi peraturang perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang meliputi laporan-laporan penelitian terdahulu dan pendapat para ahli hukum dalam kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan ini, dan yang terakhir bahan hukum tersier yang meliputi kamus hukum serta ensiklopedia.7
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini meliputi pengumpulan bahan hukum primer yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan terkait pokok-pokok permasalahan yang sesuai dengan penulisan. Pengumpulan bahan hukum sekunder dengan cara meneliti kepustakaan, dan pengumpulan bahan hukum tersier melalui
ensiklopedia. Setelah bahan hukum berhasil didapatkan atau telah terkumpul kemudian selanjutnya akan diolah dan dianalisa. Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum meliputi teknik deskriptif untuk memperoleh gambaran mengenai perumusan tindak pidana dan sanksinya dan teknik evaluatif serta teknik argumentatif untuk memberikan alasan berupa penalaran hukum untuk menilai suatu pandangan yang telah dikaji.8
-
2.2. Hasil dan Analisis
-
2.2.1. Pengaturan Aparatur Sipil Negara Dalam Melaksanakan Pemilihan Umum
-
Aparatur Sipil Negara adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah serta diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.9 Berbicara mengenai pengaturan aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum dapat kita tinjau dari dua sudut pengaturan yaitu dalam konstitusi negara melalui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan pengaturan yang lebih terkhusus (lex specialis) terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan umum.
Pengaturan mengenai aparatur sipil negara di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang pelaksanaan pemilihan umum tidak diatur secara spesifik dimana hanya terdapat pengaturan pemilihan umum secara dasar saja yang diatur didalamnya. Pengaturan tersebut terdapat di dalam BAB VIIB
Pasal 22E ayat (1) sampai ayat (6), walaupun tidak dijelaskan secara spesifik mengenai pengaturan aparatur sipil negara, namun Undang-Undang Dasar mengatur mengenai kebebasan pribadi atau kebebasan individu setiap warga negara yang tertuang dalam BAB XA Undang-Undang Dasar hasil amandemen. Kebebasan pribadi yang dimaksudkan tersebut apabila dikaitkan dengan pelaksanaan pemilihan umum akan merinci pada ketentuan Undang-Undang Dasar Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, kemudian Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” serta Pasal 28I ayat (2) berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Menelaah isi dari ketiga pasal tersebut maka aparatur sipil negara dalam hal ini juga merupakan warga negara Indonesia artinya memiliki hak yang sama dengan setiap orang lainnya dalam pemerintahan dan tidak boleh dibatasi sesuai ketentuan Pasal 28D ayat (3). Aparatur sipil negara menurut ketentuan Pasal 28E ayat (3) juga diberikan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dimana dalam pelaksanaan pemilihan umum berserikat dan berkumpul dapat diartikan sebagai kebebasan untuk ikut bergabung kedalam salah satu partai politik. Kebebasan menyatakan pendapat artinya Undang-Undang Dasar apabila dikaitkan dengan pelaksanaan pemilihan umum juga memberikan kebebasan kepada aparatur sipil negara dalam menyatakan dukungannya kepada calon yang dipilihnya sebagai bentuk kebebasan menyatakan pendapat. Ketiga Dalam Pasal 28I ayat (2) tentang anti diskriminasi apabila dikaitkan dalam
pelaksanaan pemilihan umum mengatur bahwa seorang aparatur sipil negara berhak atas suatu kebebasan yang sama dengan warga negara lainnya tanpa dibedakan karena apabila demikian akan menimbulkan sikap diskriminasi terhadap kaum aparatur sipil negara dalam pemilihan umum.
Setelah meninjau pengaturan aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen selanjutnya pengaturan akan ditinjau mengenai pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Apabila dalam konstitusi dasar setiap warga negara siapapun itu diberikan suatu hak kebebasan pribadi dalam melaksanakan pemilihan umum sebagaimana disebutkan diatas berbeda halnya dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang pemilihan umum dimana ada pembatasan-pembatasan terhadap individu tertentu dalam mengikuti penyelenggaraan pemilihan umum. Aparatur sipil negara merupakan salah satu organ yang hak kebebasannya dibatasi dalam pelaksanaan pemilihan umum menurut undang-undang pemilihan umum. Pengaturan undang-undang pemilihan umum mengatur seorang aparatur sipil negara untuk dilarang ikut berpartisipasi dalam partai politik, ikut mengkampanyekan dukungan pada salah satu pasang calon, dan lain sebagainya. Seorang aparatur sipil negara apabila mengajukan diri untuk ikut serta menjadi calon dalam pemilihan umum seorang aparatur sipil negara diharuskan menyatakan pengunduran diri dari keanggotaannya sebagai aparatur sipil negara.10
Pengaturan mengenai pelarangan aparatur sipil negara dalam pelaksanaan pemilihan umum yang terdapat dalam
Undang-Undang pemilihan umum tertuang dalam Pasal 280 ayat (2) huruf f, (3), dan (4) yang berbunyi, “Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan: f. aparatur sipil negara; kemudian (2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye Pemilu, dan (4) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu. Pasal 283 berbunyi, (1) “Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye, (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Terakhir Pasal 494 yang berbunyi, “Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.11
Meninjau pengaturan aparatur sipil negara dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam undang-undang pemilu dapat dilihat bahwa telah secara jelas dikatakan pada Pasal 280 ayat (4) bahwa perbuatan aparatur sipil negara yang ikut serta berpartisipasi dalam pelaksanaan pemilihan umum merupakan suatu hal yang dilarang dan dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana pemilihan umum. Diberlakukannya Undang-Undang Pemilu tahun 2017 membuat aparatur sipil negara yang tertangkap ikut serta dalam pelaksanaan pemilihan umum harus dikenakan sanksi pidana yaitu sanksi pidana berupa pidana kurungan dan juga pidana denda.12 Seperti salah satunya dalam kasus seorang aparatur sipil negara yang bernama Ibrahim Martabaya yang bertugas di kementerian kehutanan kota Medan, provinsi Sumatera Utara. Ibrahim yang dalam hal ini tertangkap ikut serta dalam kampanye salah satu pasangan calon presiden dalam pelaksanaan pemilihan umum 2019 dinyatakan terbukti bersalah dalam putusan majelis hakim setelah dalam persidangan terbukti tidak netral sebagai aparatur sipil negara. Putusan majelis hakim menjelaskan bahwa Ibrahim telah melanggar ketentuan Pasal 280 jo Pasal 552 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum dan dijatuhi pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan serta denda sebesar 5 (lima) juta rupiah.13
Sanksi pidana menurut Von Feurbach merupakan ancaman hukuman yang bersifat penderitaan dan siksaan yaitu bahwa ancaman hukuman akan menghindarkan orang lain dari perbuatan jahat.14 Netralitas aparatur sipil negara dalam pelaksanaan pemilihan umum ini juga masih dipertanyakan mengenai urgensi dari penerapan sanksi pidana karena seorang aparatur sipil negara sebenarnya juga telah dikenakan sanksi administratif apabila melanggar aturan namun saat ini juga harus bertemu dengan unsur pemidanaan. Dilihat dari struktural
pemerintahan peran aparatur sipil negara masih kurang tepat apabila dikategorikan sebagai organ yang berbahaya dalam kelancaran pemilu seperti yang ada dalam tindak pidana pemilu. Berbeda halnya dengan organ POLRI dan TNI yang memang memiliki tugas sebagai penjaga keamanan dan pertahanan negara sehingga netralitas merupakan hal wajib baginya. Melihat penjelasan dan contoh kasus diatas maka dapat diketahui bahwa penerapan sanksi pidana bagi aparatur sipil negara yang tidak netral dalam melaksanakan pemilihan umum Indonesia saat ini adalah sesuai dengan ketentuan dari Pasal 494 Undang-undang Pemilihan Umum. Pasal 494 ini menjerat seorang aparatur sipil negara yang tidak netral dengan sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) Tahun dan pidana denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Membahas mengenai pengaturan aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum pada masa sekarang, dapat dilihat bahwa terjadi pertentangan norma didalam pengaturannya yakni pengaturan dalam Undang-Undang Dasar dengan pengaturan dalam undang-undang pemilihan umum. Undang-Undang Dasar memperbolehkan semua warga negara siapapun itu berhak memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan namun dalam undang-undang pemilu kesempatan dalam pemerintahan tersebut dibatasi dimana golongan aparatur sipil negara walaupun masih diperbolehkan memiliki hak memilih namun diwajibkan bersikap netral dalam pemilihan umum dan apabila hal itu dilanggar dengan bersikap tidak netral maka akan dikenakan sanksi. Berbicara mengenai peraturan perundang-
undangan bisa kita ditinjau dari teori hierarki perundang-undangan yang dikemukakan oleh hans-kelsen yang menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar.15
Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri secara berurutan atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.16 Dikaitkan dengan konflik yang terjadi dalam pengaturan pelaksanaan pemilihan umum oleh aparatur sipil negara ini maka sesuai dengan teori hierarki perundang-undangan seharusnya aturan yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar lah yang seharusnya digunakan sebagai acuan apabila terjadi pertentangan antar peraturan perundang-undangan. Dalam penerapannya yang terjadi di masyarakat justru malah sebaliknya, Undang-Undang Pemilihan Umum yang digunakan oleh aparat penegak hukum seperti yang terjadi dalam kasus aparatur sipil negara kementrian kehutanan Sumatera Utara bernama Ibrahim yang divonis pidana kurungan dan pidana
denda setelah terbukti tidak netral dengan ikut berpartisipasi dalam kampanye pemilihan umum.17
Demikian setelah melihat konflik yang terjadi dalam permasalahan saat ini mengenai pengaturan aparatur sipil negara dalam pemilihan umum di peraturan perundang-undangan, maka penyelesaiannya adalah dengan melakukan suatu pengujian secara materiil mengenai Undang-Undang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi selaku badan yang berwenang melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini bertujuan agar kedepannya pengaturan aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum di masa mendatang dapat dibenahi ketentuan-ketentuannya dalam Undang-Undang Pemilihan Umum tidak lagi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sehingga terdapat suatu sinkronisasi antara keduanya.
Penyimpangan dalam hierarki perundang-undangan juga tidak lagi terjadi seperti saat ini yaitu Undang-Undang Dasar sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia harus menjadi pedoman dalam perancangan-perancangan peraturan perundang-undangan yang ada. Peraturan-peraturan yang berada dibawah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen harus sesuai dan tidak boleh memiliki norma yang berbeda dengan aturan dasar yang ada diatasnya. Seperti contoh dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam putusan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 dimana isinya membatalkan isi dari Pasal 122 huruf I UU MD3 yang berbunyi tentang “mempidanakan warga yang mengkritik DPR” isi dari Pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena
bertentangan dengan ketentuan dari Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.18
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan penulis dalam tulisan ini, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, sebagai berikut :
-
1. Pengaturan yang mengatur aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar memberikan kebebasan baginya untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pemilihan umum karena setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan sedangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum seorang aparatur sipil negara diwajibkan bersikap netral dalam pemilihan umum serta berakibat sanksi pidana apabila dilanggar sehingga terdapat suatu pertentangan norma yang terjadi dan pada saat ini Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan perkara tersebut.
-
2. Permasalahan konflik norma yang terjadi dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus diselesaikan dengan melakukan suatu pengujian secara materiil Undang-Undang Pemilihan Umum ke Mahkamah
Konstitusi agar kedepannya pengaturan aparatur sipil negara dalam melaksanakan pemilihan umum di masa mendatang dapat dibenahi ketentuan-ketentuannya dalam Undang-Undang Pemilihan Umum dan tidak lagi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar hukum tertinggi di Indonesia.
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam tulisan ini, adalah sebagai berikut :
-
1. Untuk mengatasi masalah pertentangan norma dalam peraturan perundang-undangan apabila terjadi suatu perkara atau kasus yang terjadi berkaitan dengan aturan tersebut sebaiknya aparat penegak hukum menggunakan ketentuan hukum yang lebih tinggi sesuai dengan teori hierarki perundang-undangan.
-
2. Mengenai suatu pertentangan yang terjadi dalam peraturan perundang-undangan yang ada hendaknya dilakukan pengkajian kembali melalui uji materiil ke Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang agar tidak terjadi kebingungan dalam penegakan hukum di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Nurul Huda, 2018, Hukum Partai Politik dan PEMILU di Indonesia, Fokusmedia, Bandung.
Sri Hartini et. al., 2014, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
I Ketut Mertha et. al., 2016, Buku Ajar Hukum Pidana, Udayana Press, Denpasar.
Aziz Syamsuddin, 2016, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.
I Gede Yusa, 2016, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD NRI 1945, Setara Press, Malang.
Gde Marhaendra et. al., 2017, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, Pustaka Ekspresi, Denpasar.
Jurnal
Fahmi, Khairul. "Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu."
Jurnal Konstitusi 12.2 (2017): 264-283.
Muhdlor, Ahmad Zuhdi. "Perkembangan Metodologi Penelitian
Hukum." Jurnal Hukum dan Peradilan 1.2 (2012): 189-206.
Internet
Tim Viva, 2019, “Pegawai PTPN yang Kampanyekan Prabowo Divonis 3 Bulan Penjara” / Bali 28 (03) 23-11 diakses dari https://www.viva.co.id/berita/politik/1134384-pegawai-ptpn-yang-kampanyekan-prabowo-divonis-3-bulan-penjara
Fabian Januarisman Kuwado, “Putusan MK Soal UU MD3 Dinilai Tepat dan Sesuai Akal Sehat” /Bali 03 (04) 22-51 diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2018/06/29/10341161/ putusan-mk-soal-uu-md3-dinilai-tepat-dan-sesuai-akal-sehat
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 82; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
17
Discussion and feedback